klinis “kedukaan itu adalah sebuah reaksi normal terhadap suatu peristiwa kehilangan atas sesuatu yang berharga” Tomb, 1981: 77-78. Sekali lagi dapat dikatakan bahwa
dukacita merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan diri secara holistik dalam menghadapi kehilangan sesuatu yang bernilai, berharga atau penting. Tanggapan secara
holistik berarti menyagkut seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu keadaan fisik, mental, spritual, dan sosial. Dari berbagai pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa kedukaan selalu berkaitan secara langsung dengan kehilangan sesuatu atau seseorang yang dianggap berharga atau bernilai. Kedukaan itu sendiri merupakan reaksi
manusiawi untuk mempertahankan diri ketika sedang menghadapi peristiwa kehilangan.
B. SIFAT UTAMA DUKACITA
1. Dukacita bersifat Unik
Sekali lagi, setiap proses dukacita sesungguhnya merupakan sebuah pengalaman yang bersifat unik, khas, dan sangat pribadi Wiryasaputra, 2003. Pengalaman dukacita
yang dialami oleh seseorang kemungkinan besar tidak sama dengan pengalaman orang lain, walaupun pada hakikatnya kehilangan objek yang sama, dan bahkan terjadi pada
waktu yang bersamaan pula. Tidak ada kedukaan yang sama. Proses dukacita bukan merupakan sebuah proses garis lurus, melainkan seperti seutas tali yang melingkar-
lingkar Wiryasaputra, 2003. Selanjutnya, dukacita dapat terjadi pada orang yang sama mengalami peristiwa
kehilangan yang sama, namun kedalaman dukacitanya yang berbeda. Perbedaan kedalaman itu mungkin disebabkan oleh waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda. Itulah
sebabnya dukacita dianggap sangat personal, situasional, dan, kontekstual. Waktu, situasi, dan kondisi yang berbeda dapat membuat penghayatan dan kedalaman kedakatan
juga berbeda.
2. Dukacita bersifat holistik
Selain bersifat unik, khas, personal, situasional, dan kontekstual, dukacita juga merupakan pengalaman yag bersifat holistik. Dalam pandangan holistik keemapat aspek
utama kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh secara sinergistik. Keempat aspek tersebut memang dapat dibedakan satu dengan yang lainya, namun tidak dapat
dipisahkan.
Keempat aspek tersebut, yaitu: fisik, mental, spiritual, dan sosial, saling melengkapi dan mempengaruhi. Wiryasaputra 2003 menjelaskan juga bahwa aspek
fisik biologis dapat mempengaruhi kondisi aspek lainnya dan pengaruh tersebut dapat bersifat positif atau pun negatif.
Aspek fisik berkaitan dengan tubuh kita yang dapat dilihat dan diraba atau disentuh. Inilah aspek somatis, biologis dan medis hidup manusia. Aspek ini sangat
berhubungan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, kebersihan tubuh, keutuhan anggota tubuh, lingkungan alam, dan metabolisme tubuh kita. Sementara, aspek mental
juga mengacu pada hubungan manusia dengan ketidaktampakan dirinya. Dengan aspek mentalnya manusia dapat menghidupkan, memberadakan, dan membedakan dirinya.
Dalam aspek ini manusia menjadi pribadi yang otonom, serta memiliki identitas diri. Aspek mental dikaitkan dengan pikiran, emosi perasaan positif dan negatif, motivasi,
harga diri, integritas, dan kreatifitas diri. Sedangkan aspek spritual memungkin menusia memiliki visi, misi, dan harapan yang jelas dalam hidup. Aspek ini memampukan
manusia tetap memberadakan dirinya sebagai manusia dengan nilai-nilai leluhurnya Wiryasaputra, 2003. Dengan adanya aspek ini maka manusia dengan dunia metafisik
dan transenden Tuhan yang mengatasi dirinya. Yang terakhir adalah aspek sosial, aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan manusia lainnya serta
mengacu penuh pada kebersamaan hidup manusia dalam kelompok bermasyarakat. Dalam hubungan dengan dukacita, lewat keempat aspek inilah manusia dikatakan
manusia sinergik, yaitu manusia mampu bertumbuh melalui pengalaman kehilangan atas kematian. Maksudnya ialah ia tidak mampu menghindar dari pengalaman dukanya,
melainkan ia harus masuk dan merangkul pengalamannya dengan jiwa yang terbuka. Adapun gejala-gejala dukacita secara holistik dilihat dari keempat aspek ini
Wiryasaputra, 2003, yaitu:
a. Aspek Fisik Secara fisik, biasanya muncul gejala-gejala seperti menangis, mata
menerawang, mati rasa, kesemutan, tubuh gemetaran, kalau berjalan seperti melayang, tidak tenang, tubuh lemah, tenggorokan terasa kering, dada sesak, kejang-kejang, nafas
pendek, pusing, kadang terasa gatal-gatal, bisulan, perut nyeri atau mulas. diare, ingin
kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan pulas, ngilu dipersendian, nafsu makan menurun atau bertambah, dan nafsu seks juga menurun.
b. Aspek Mental Dalam aspek mental biasanya muncul gejala-gejala seperti tidak dapat
menerima kenyataan menyangkal, menolak, terkejut, sedih, bingung, gelisah, pikiran kacau tidak teratur, tidak dapat berkonsentrasi, acuh tak acuh, selalu berpikir dan
merindukan yang hilang, mudah tersinggung, benci, marah, kecewa, rasa putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak
berarti lagi, merasa sendiri atau kesepian, dan kadang muncul keinginan untuk bunuh diri.
c. Aspek Spritual Dalam aspek ini gejala yang namapak adalah gejala seperti rasa berdosa,
mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat berkonsentrasi misalkan berdoa, membaca kitab suci, mendengarkan kotbah rohani, tidak berminat mengikuti
kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok keagamaannya, kadang muncul tawar-menawar dengan Tuhan.
d. Aspek Sosial Yang terakhir adalah aspek sosial, gejala kedukaannya adalah suka
menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan tentang sesuatu atau orang yang hilang secara berlebihan, suka mengunjungi makan atau tempat-tempat yang
berhiubungan dengan orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan orang lain, membenci atau marah pada orang lain juga, bersikap kasar atau berlebihan dalam
berbagai hal. Sering peristiwa kehilangan menimbulkan perselisihan antara anggota keluarga. Selanjutnya persoalan sosial seperti ketagihan, bergosip, merokok, melacur,
terlibat dalam penggunaan obat terlarang dan minuman keras mungkin saja berakar pada sebuah peristiwa kedukaan.
C. TAHAP DUKACITA