Hubungan Konstruk Kepemimpinan Dengan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Di Rumah Sakit Rujukan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009

(1)

HUBUNGAN KONSTRUK KEPEMIMPINAN DENGAN KUALITAS

HIDUP PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT RUJUKAN

PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009

DISERTASI

Oleh

DANIEL GINTING

058102003/KD

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN KONSTRUK KEPEMIMPINAN DENGAN KUALITAS

HIDUP PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT RUJUKAN

PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DANIEL GINTING

058102003/KD

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Disertasi : HUBUNGAN KONSTRUK KEPEMIMPINAN

DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA

HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT RUJUKAN PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009 Nama Mahasiswa : Daniel Ginting

N P M : 058102003

Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Kedokteran

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K)) Promotor

(dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc)

Co-Promotor (Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH) Co-Promotor

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Kedokteran

(Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K)) (Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP. 194503181973021001 NIP. 1954021201980111001


(4)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

………

...


(5)

HUBUNGAN KONSTRUK KEPEMIMPINAN DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT RUJUKAN PROVINSI

SUMATERA UTARA TAHUN 2009

Daniel Ginting

ABSTRAK

Kualitas hidup penderita HIV/AIDS ditentukan banyak faktor, salah satu diantaranya adalah faktor ketersedian sarana, prasarana pendukung pengobatan penderita HIV/AIDS di rumah sakit. Peran pemimpin rumah sakit dari tingkat paling bawah sampai tertinggi adalah mendukung pelayanan dengan: a) Menjaga ketersediaan obat yang cukup dan kontinu, b) Mampu meningkatkan dedikasi petugas pelayanan HIV/AIDS, c) Menciptakan pelayanan HIV/AIDS yang terjangkau.

Gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin di rumah sakit berperan menentukan pencapaian tujuan organisasi pelayanan HIV/AIDS dengan membawa bawahan agar fokus melayani penderita, meningkatkan kualitas SDM, menjalankan semua aturan baku (Protap) dan evaluasi mutu pelayanan (konsep manajemen mutu terpadu). Sehubungan dengan itu maka penelitian ini merumuskan masalah: Apakah ada hubungan model konstruk kepemimpinan dengan dorongan perbaikan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di rumah sakit rujukan pelayanan HIV/AIDS di Sumatera Utara.

Kerangka kerja penelitian ini menggunakan 2 metode tahapan yaitu tahap I:

Kualitatif exploratif dengan mengidentifikasi konstruk dan variabel kepemimpinan

di RSU Adam Malik dan RSU Pematang Siantar, pada tahap ini dilaksanakan wawancara yang mendalam dan observasi sehingga didapatkanlah sebuah model konstruk kepemimpinan. Tahap II: Kuantitatif konfirmatif, yaitu: Model konstruk kepemimpinan tersebut dikonfirmasikan pada 5 rumah sakit rujukan di Kota Medan.

Konstruk kepemimpinan dalam penelitian ini mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV/AIDS melalui kualitas SDM, fokus pelanggan, manajemen proses dan evaluasi mutu (MMT) semakin baik gaya kepemimpinan maka semakin baik penerapan MMT yang berujung dengan peningkatan kualitas hidup.

Konstruk gaya kepemimpinan yang karakteristik terdapat di lingkungan RSU rujukan yang didapat dalam penelitian ini adalah: a) Pemimpin yang bisa menjadi idola, perilaku terpuji digambarkan sebagai seorang raja, b) Pemimpin berwibawa kalau perlu dengan bantuan supranatural disebabkan banyak dukungan dan kepedulian terhadap pelayanan HIV, namun dukungan tersebut ternyata hanya di bibir saja, c) Pemimpin harus bisa mempertahankan jabatan dengan segala cara (pintar berpolitik, nepotisme, selalu meminta restu atasan, didukung oleh pihak III).


(6)

RELATIONS WITH CONSTRUK OF LEADERSHIP AND QUALITY OF LIFE HIV/AIDS PATIENTS IN HOSPITAL REFERRAL PROVINCE

OF SUMATRA UTARA IN 2009

Daniel Ginting

ABSTRACT

Quality of life in HIV/AIDS patients was determined by many factors, one of which is the factor of availability of facilities, infrastructure to support of the sufferers medical treatment HIV/AIDS at the hospital. The role of hospital leaders from the lowest to the highest level is to support the service with: a) Maintain the availability of adequate and continuous drug, b) able to increase the dedication of frontline employees with HIV/AIDS, c) created HIV/AIDS service affordable. Leadership styles used by leaders in hospitals played a role determining the achievement the aim of organizational goals HIV/AIDS service with a subordinate for: Focus to serve patients, increase the quality of human resources, run all the standard rules (SOP) and service quality evaluation (the concept of Total quality management). Accordingly, this study formulates the problem: Is there a relationship construct a model of leadership with the encouragement improved quality of life HIV /AIDS patients in referral hospital HIV/AIDS services in Sumatra Utara.

The framework of this study used 2 stage methods that is Phase I: Qualitative explorative by identified variable and leadership construcs in RSU Adam Malik and RSU Siantar, in this stage carried out in depth interviews and observation so that construct models of leadership. Phase II: Quantitative konfirmatif. Namely: construct models of leadership confirmed at 5 referral hospitals in Medan.

Constructs leadership styles in this research affect the quality of life HIV/ AIDS patients through the quality of human resources, customer focus, process management and quality evaluation (TQM). Increasingly leadership style then increasingly good the TQM that was pointed increase quality of life.

Characteristic constructs of leadership styles in Referral Hospital environment obtained in this study were: a) The leader who can become an idol, commendable behavior is described as a king, b) Authoritative leader if necessary with the help of supra naturally caused a lot of support and care to HIV services, but such support was only lip service, c) The leader must be able to maintain position in every way (smart politics, nepotism, always ask for the blessing of the boss, supported by third parties).


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT………. ii

DAFTAR ISI……….. iii

DAFTAR TABEL……….. DAFTAR GAMBAR……….. DAFTAR LAMPIRAN……….. BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang………...…………... 1

1.2 Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Landasan Teori... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 16

2.1 Pathophysiology Infeksi HIV...……...……… 16

2.2 Definisi Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS... 20

2.3 Variabel Organisasi yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup... 25

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Kerja... 36

3.2 Tempat Penelitian ... 37

3.3 Jalannya Penelitian ... 38


(8)

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Penelitian Eksploratif Kualitatif...57

4.2Hasil Penelitian Kuantitatif Konfirmatif...90

4.3Hasil Penelitian Kualitas Hidup Pasien...115

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Penelitian Eksploratif Kualitatif...132

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian Kuantitatif Konfirmasi...155

5.3 Pembahasan Hasil Penelitian Kualitas Hidup Pasien ...161

5.4 Pembahasan Hubungan Antara Variabel Kepemimpinan Dengan Variabel Kualitas SDM, Fokus Pelanggan, Proses Manajemen Dan Evaluasi Mutu ...162

BAB 6 KESIMPULAN...183

6.1 Kesimpulan ...183

6.2 Penelitian kuantitatif konfirmatif ...186

6.3. Hubungan Antar Variabel ...187

6.4 Saran ...189


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Pravalence Kasus AIDS per 1000 Penduduk Berdasarkan Provinsi

Sampai September 2007 ... 3

Tabel 1.2. Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS di Sumatera Utara sampai dengan Oktober 2007 ... 4

Tabel 1.3. Tempat Pelayanan Penderita HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan Oktober 2007 ... 4

Tabel 2.1. Dimensi Pengukuran Kualitas Versi WHO (2004) ... 24

Tabel 2.2. Perkembangan Teori Kepemimpinan ... 26

Tabel 2.3. Frekuensi Pemakaian Variabel TQM pada Penelitian Sebelumnya ... 35

Tabel 2.4. Nama Variabel TQM yang dipakai pada Penelitian sebelumnya ... 35

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen ... 47

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variebel Dependen ... 48

Tabel 4.1. Kinerja Pelayanan RSU H. Adam Malik Medan ... 60

Tabel 4.2. Jumlah Kunjungan Penderita HIV/AIDS ke Posyansus RSU H. Adam Malik Medan ... 60

Tabel 4.3. Kinerja Pelayanan RSU Dr. Djasamen Saragih ... 61

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Informan Berdasarkan Kelompok Umur ... 63

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64


(10)

HIV/AIDS ... 65 Tabel 4.9. Konstruk Gaya Kepemimpinan ... 89 Tabel 4.10. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kepemimpinan dan MMT ... 96 Tabel 4.11. Kinerja Pelayanan RSU. H.Adam malik Medan Tahun 2004 sampai

2008 ... 98 Tabel 4.12. Jumlah Kunjungan Penderita HIV/AIDS ke Posyansus RSU H.Adam

Malik Medan Tahun 2003 – 2009 ... 99 Tabel 4.13. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Pelayanan

HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 99 Tabel 4.14. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di

Pelayanan HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 100 Tabel 4.15. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Pelayanan HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 101 Tabel 4.16. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jabatan di Pelayanan

HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 101 Tabel 4.17. Distribusi Kecenderungan Konstruk Kepemimpinan Dilaksanakan di

Pelayanan HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 102 Tabel 4.18. Distribusi Kecenderungan Pelaksanaan MMT di laksanakan di

Pelayanan HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 103 Tabel 4.19. Kinerja Pelayanan RSD dr Pirngadi Medan Tahun 2004-2009 ... 104 Tabel 4.20. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD

dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 105 Tabel 4.21. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di

RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 105 Tabel 4.22. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 106 Tabel 4.23. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jabatan di RSUD


(11)

Tabel 4.24. Distribusi Kecenderungan Konstruk Kepemimpinan di laksanakan

di Pelayanan HIV/AIDS RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 107 Tabel 4.25. Distribusi Kecenderungan Pelaksanaan MMT di laksanakan di

Pelayanan HIV/AIDS RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 108 Tabel 4.26. Kinerja Pelayanan RS Haji Medan Tahun 2009 ... 109 Tabel 4.27. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Haji

Medan Tahun 2009 ... 109 Tabel 4.28. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di

RS Haji Medan Tahun 2009 ... 110 Tabel 4.29. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

RS Haji Medan Tahun 2009 ... 110 Tabel 4.30. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jabatan di RS Haji

Medan Tahun 2009 ... 111 Tabel 4.31. Distribusi Kecenderungan Konstruk Kepemimpinan di laksanakan

di Pelayanan HIV/AIDS RS Haji Medan Tahun 2009 ... 112 Tabel 4.32. Distribusi Kecenderungan Pelaksanaan MMT di laksanakan di

Pelayanan HIV/AIDS RS Haji Medan Tahun 2009 ... 113 Tabel 4.33. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di

Pelayanan HIV/AIDS RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 114 Tabel 4.34. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di

Pelayanan HIV/AIDS RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 114 Tabel 4.35. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Pelayanan HIV/AIDS RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 115 Tabel 4.36. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jabatan di pelayanan

HIV/AIDS RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 116 Tabel 4.37. Distribusi Kecenderungan Konstruk Kepemimpinan di laksanakan


(12)

Pelayanan HIV/AIDS RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 117 Tabel 4.39. Kinerja Pelayanan di Rumkit Dam II/BB Medan Tahun 2009 ... 119 Tabel 4.40. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di unit

HIV/AIDS Rumkit Dam II/BB Medan Tahun 2009 ... 119 Tabel 4.41. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di unit

HIV/AIDS Rumkit Dam II/BB Medan Tahun 2009 ... 120 Tabel 4.42. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Unit HIV/AIDS Rumkit Dam II/BB Medan Tahun 2009 ... 120 Tabel 4.43. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jabatan di Unit HIV/AIDS

Rumkit Dam I/BB Medan Tahun 2009 ... 121 Tabel 4.44. Distribusi Kecenderungan Konstruk Kepemimpinan di laksanakan

di pelayanan HIV/AIDS di Rumkit Dam II/BB Tahun 2009 ... 122 Tabel 4.45. Distribusi Kecenderungan Pelaksanaan MMT di laksanakan di

pelayanan HIV/AIDS di Rumkit Dam II/BB Tahun 2009 ... 123 Tabel 4.46. Jumlah Populasi Penderita Tahun 2008 Di Rumah Sakit Rujukan

HIV/AIDS di Kota Medan ... 124 Tabel 4.47. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 127 Tabel 4.48. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 128 Tabel 4.49. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009 ... 128 Tabel 4.50. Distribusi Kecenderungan Perbaikan/Penurunan Kualitas Hidup

di pelayanan HIV/AIDS RSU H.Adam Malik Medan Tahun 2009 .... 129 Tabel 4.51. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 129 Tabel 4.52. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 130 Tabel 4.53. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


(13)

RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 130 Tabel 4.54. Distribusi Kecenderungan Perbaikan/Penurunan Kualitas Hidup

di pelayanan HIV/AIDS RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2009 ... 132 Tabel 4.55. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di

RS Haji Medan Tahun 2009 ... 133 Tabel 4.56. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

di RS Haji Medan Tahun 2009 ... 133 Tabel 4.57. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

di RS Haji Medan Tahun 2009 ... 134 Tabel 4.58. Distribusi Kecenderungan Perbaikan/Penurunan Kualitas Hidup

di pelayanan HIV/AIDS RS Haji Medan Tahun 2009 ... 135 Tabel 4.59. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 136 Tabel 4.60. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 136 Tabel 4.61. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 137 Tabel 4.62. Distribusi Kecenderungan Perbaikan/Penurunan Kualitas Hidup

di pelayanan HIV/AIDS RS Bhayangkara Medan Tahun 2009 ... 137 Tabel 4.63. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Rumkit Dam II/BB Tahun 2009 ... 138 Tabel 4.64. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

Rumkit Dam II/BB Tahun 2009 ... 139 Tabel 4.65. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Rumkit Dam II/BB Tahun 2009 ... 139 Tabel 4.66. Distribusi Kecenderungan Perbaikan/Penurunan Kualitas Hidup


(14)

Tabel 5.2. Hasil Penelitian Kualitas Hidup Pasien di Rumah Sakit

Rujukan Tahun 2009 ... 167 Tabel 5.3. Hubungan antara Variabel Kepemimpinan dengan Variabel

Kualitas SDM, Fokus Pelanggan, Proses Manajemen dan

Evaluasi Mutu Tahun 2009 ... 168 Tabel 5.4. Data Rata-rata Kepemimpinan dan Kualitas Hidup di Rumah

Sakit Rujukan HIV/AIDS di Kota Medan Tahun 2009 ... 172 Tabel 5.5. Hubungan antara Kepemimpinan dan Kualitas Hidup di

Rumah Sakit Rujukan HIV/AIDS di Kota Medan Tahun 2009 ... 172 Tabel 5.6. Data Rata-rata Manajemen Mutu Terpadu dan Kualitas Hidup

Pasien di Rumah Sakit Rujukan HIV/AIDS di Kota Medan

Tahun 2009 ... 174 Tabel 5.7. Hubungan Antara MMT dan Kualitas Hidup Pasien di Rumah


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka Baldrige ... 12

Gambar 3.1 Kerangka Kerja ... 36

Gambar 3.2. Kerangka Konsep Indentifikasi Faktor Kepemimpinan ... 41

Gambar 3.3. Kerangka Konsep ... 53


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Hasil Penelitian Eksplorasi Kualitatif ... 1 – 86 2. Distribusi Konstruk Kepemimpinan dan MMT di RSU Rujukan

HIV/AIDS di Kota Medan Tahun 2009 ... 87-112 3. Hasil Penelitian Kualitas Hidup Pasien ...103-112 4. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kepemimpinan...113-122 5. Hubungan Antara Variabel Kepemimpinan dengan Variabel

Kualitas SDM, Fokus Pelanggan, Proses Manajemen dan Evaluasi

Mutu ...123-129 6. Hubungan Kepemimpinan dan Kualitas Hidup...130-141

7. Kuesioner Penelitian ... 335

8. Informed Concern ... 348

9. Surat Izin Penelitian dari Fakultas ... 349

10. Surat Balasan Telah Melakukan Penelitian ... 350


(17)

HUBUNGAN KONSTRUK KEPEMIMPINAN DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT RUJUKAN PROVINSI

SUMATERA UTARA TAHUN 2009

Daniel Ginting

ABSTRAK

Kualitas hidup penderita HIV/AIDS ditentukan banyak faktor, salah satu diantaranya adalah faktor ketersedian sarana, prasarana pendukung pengobatan penderita HIV/AIDS di rumah sakit. Peran pemimpin rumah sakit dari tingkat paling bawah sampai tertinggi adalah mendukung pelayanan dengan: a) Menjaga ketersediaan obat yang cukup dan kontinu, b) Mampu meningkatkan dedikasi petugas pelayanan HIV/AIDS, c) Menciptakan pelayanan HIV/AIDS yang terjangkau.

Gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin di rumah sakit berperan menentukan pencapaian tujuan organisasi pelayanan HIV/AIDS dengan membawa bawahan agar fokus melayani penderita, meningkatkan kualitas SDM, menjalankan semua aturan baku (Protap) dan evaluasi mutu pelayanan (konsep manajemen mutu terpadu). Sehubungan dengan itu maka penelitian ini merumuskan masalah: Apakah ada hubungan model konstruk kepemimpinan dengan dorongan perbaikan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di rumah sakit rujukan pelayanan HIV/AIDS di Sumatera Utara.

Kerangka kerja penelitian ini menggunakan 2 metode tahapan yaitu tahap I:

Kualitatif exploratif dengan mengidentifikasi konstruk dan variabel kepemimpinan

di RSU Adam Malik dan RSU Pematang Siantar, pada tahap ini dilaksanakan wawancara yang mendalam dan observasi sehingga didapatkanlah sebuah model konstruk kepemimpinan. Tahap II: Kuantitatif konfirmatif, yaitu: Model konstruk kepemimpinan tersebut dikonfirmasikan pada 5 rumah sakit rujukan di Kota Medan.

Konstruk kepemimpinan dalam penelitian ini mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV/AIDS melalui kualitas SDM, fokus pelanggan, manajemen proses dan evaluasi mutu (MMT) semakin baik gaya kepemimpinan maka semakin baik penerapan MMT yang berujung dengan peningkatan kualitas hidup.

Konstruk gaya kepemimpinan yang karakteristik terdapat di lingkungan RSU rujukan yang didapat dalam penelitian ini adalah: a) Pemimpin yang bisa menjadi idola, perilaku terpuji digambarkan sebagai seorang raja, b) Pemimpin berwibawa kalau perlu dengan bantuan supranatural disebabkan banyak dukungan dan kepedulian terhadap pelayanan HIV, namun dukungan tersebut ternyata hanya di bibir saja, c) Pemimpin harus bisa mempertahankan jabatan dengan segala cara (pintar berpolitik, nepotisme, selalu meminta restu atasan, didukung oleh pihak III).


(18)

RELATIONS WITH CONSTRUK OF LEADERSHIP AND QUALITY OF LIFE HIV/AIDS PATIENTS IN HOSPITAL REFERRAL PROVINCE

OF SUMATRA UTARA IN 2009

Daniel Ginting

ABSTRACT

Quality of life in HIV/AIDS patients was determined by many factors, one of which is the factor of availability of facilities, infrastructure to support of the sufferers medical treatment HIV/AIDS at the hospital. The role of hospital leaders from the lowest to the highest level is to support the service with: a) Maintain the availability of adequate and continuous drug, b) able to increase the dedication of frontline employees with HIV/AIDS, c) created HIV/AIDS service affordable. Leadership styles used by leaders in hospitals played a role determining the achievement the aim of organizational goals HIV/AIDS service with a subordinate for: Focus to serve patients, increase the quality of human resources, run all the standard rules (SOP) and service quality evaluation (the concept of Total quality management). Accordingly, this study formulates the problem: Is there a relationship construct a model of leadership with the encouragement improved quality of life HIV /AIDS patients in referral hospital HIV/AIDS services in Sumatra Utara.

The framework of this study used 2 stage methods that is Phase I: Qualitative explorative by identified variable and leadership construcs in RSU Adam Malik and RSU Siantar, in this stage carried out in depth interviews and observation so that construct models of leadership. Phase II: Quantitative konfirmatif. Namely: construct models of leadership confirmed at 5 referral hospitals in Medan.

Constructs leadership styles in this research affect the quality of life HIV/ AIDS patients through the quality of human resources, customer focus, process management and quality evaluation (TQM). Increasingly leadership style then increasingly good the TQM that was pointed increase quality of life.

Characteristic constructs of leadership styles in Referral Hospital environment obtained in this study were: a) The leader who can become an idol, commendable behavior is described as a king, b) Authoritative leader if necessary with the help of supra naturally caused a lot of support and care to HIV services, but such support was only lip service, c) The leader must be able to maintain position in every way (smart politics, nepotism, always ask for the blessing of the boss, supported by third parties).


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) bertujuan agar terciptanya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu diupayakan pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan terjangkau (Depkes RI, 2004).

Rumah sakit merupakan suatu tempat penyelenggaraan kegiatan pelayanan kesehatan berupa kegiatan rawat jalan, rawat inap, darurat dan pelayanan penunjang medis juga tempat pelaksanaan kegiatan pendidikan dan penelitian (Depkes RI, 2000 dan Ristrini, 2005).

Saat ini rumah sakit rujukan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh Indonesia berjumlah 237 buah, sementara untuk Sumatera Utara berjumlah sembilan buah yakni Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, Rumah Sakit Bhayangkara Medan, Rumah Sakit Kesdam II Bukit Barisan, Rumah Sakit Haji Medan, Rumah Sakit HKBP Balige Tapanuli Utara, Rumah Sakit Umum Lubuk Pakam Deli Serdang, Rumah Sakit Kabanjahe Tanah Karo dan Rumah Sakit Umum Pematang Siantar (Depkes RI, 2007).

Di Sumatera Utara, secara kumulatif pengidap HIV dan kasus AIDS sampai April 2009 terdiri dari 1680 orang, 872 orang (52%) penderita HIV, dan 808 orang


(20)

Di Kota Medan menempati urutan pertama dari 1181 orang yang teridentifikasi HIV/AIDS, yakni terdiri dari HIV berjumlah 600 orang (50,1%) dan AIDS berjumlah 581 orang (49,9%) (Dinkes Provinsi Sumut, 2009).

Kualitas hidup penderita HIV/AIDS menyangkut kesehatan fisik dan kesehatan mental, dinilai dari dari fungsi fisik, psikologi, sosial dan lingkungan (WHO, 2004). Di Indonesia peningkatan kualitas hidup diterjemahkan dengan pemberian obat ARV. Belajar dari pengalaman USA dan Brazil tahun 1996 yang dapat menekan angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup penderita HIV 40% sampai 70%, maka di Indonesia peningkatan kualitas hidup diterjemahkan dengan pemberian obat ARV (Depkes, 2005). Obat ARV (antiretroviral therapy) adalah obat penghambat perkembangan penyakit HIV, secara nyata tidak menyembuhkan HIV tetapi memberi kesempatan penderita hidup lebih lama, sehat, produktif, jarang rawat inap dan dapat beraktivitas normal (Djoerban, 2008).

Prosedur pemberian obat ARV membutuhkan pelayanan pendukung yaitu: 1. Pelayanan diagnostik,

2. Perawatan dan 3. Konseling.

Pelayanan diagnostik berupa pelayanan laboratorium. Pelayanan keperawatan berupa: a). Pengobatan infeksi oportunistik, b). Pelayanan gizi, c). Pengobatan paliatif, d). Antiretroviral Therapy (ART) sedangkan konseling berupa: a). Voluntary


(21)

Kualitas hidup penderita HIV/AIDS sewaktu-waktu dapat memburuk karena, penyakit HIV berubah menjadi penyakit kronis, adanya dampak mengkonsumsi obat

Anti Retro Viral (ARV) seumur hidup, kegagalan terapi, infeksi oportunistik, depresi,

dijauhi masyarakat, semua hal tersebut di atas mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

Dalam pelaksanaannya program penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan kepemimpinan yang mampu menggerakkan partisipasi semua pihak untuk meningkatkan cakupan dan efektivitas implementasi program. Kepemimpinan rumah sakit berperan mendelegasikan tugas, mengambil keputusan dan mengkomunikasikan visi dan misi ke bawahan, juga mempersiapkan infrastruktur, berupa sarana dan prasarana rumah sakit (Jeffrey, 2007). Sehingga dengan demikian dokter dan sumber daya manusia lainya saling mendukung di rumah sakit untuk membuat terapi dan menegakkan diagnostik.

Peran pemimpin rumah sakit mendukung pelayanan HIV/AIDS adalah melalui: a). Menjaga ketersedian obat yang cukup dan kontinu, b). Mampu meningkatkan dedikasi petugas pelayanan HIV/AIDS, c). Menciptakan pelayanan HIV/AIDS yang terjangkau, dukungan tersebut pada gilirannya akan meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS (Depkes RI, 2007). Pengelola rumah sakit harus mampu memberikan pelayanan kuratif yang terbaik, tidak hanya menyentuh kebutuhan penderita tetapi juga terhadap keluarganya, sehingga kualitas hidup penderita HIV/AIDS semakin membaik (Depkes RI, 2007). Depkes menetapkan


(22)

mendapatkan penanganan HIV/AIDS (100%), b). Infeksi menular seksual yang diobati (100%) (Depkes RI, 2003), namun dalam kenyataan sering dikemukakan bahwa masih terjadi masalah antara lain: kualitas pelayanan yang rendah, tidak efisien, masalah pembiayaan, tidak memadai obat dan sarana, penempatan dokter spesialis tidak merata (Depkes RI, 2004). Akibatnya kemungkinan besar penderita tidak mendapatkan obat ARV, hal ini akan mempengaruhi kualitas hidupnya.

Pada pengamatan awal di rumah sakit rujukan HIV di Kota Medan, seperti RSU Haji Adam Malik, sudah menunjukkan komitmen pimpinan dengan cara: a). Membentuk Pokja/Tim HIV/AIDS, b). Pelatihan secara bertahap untuk dokter ahli, dokter umum, perawat, manajer kasus, konselor dan tenaga teknis laboratorium, c). Menyediakan bangunan yang layak untuk pelayanan sehingga kunjungan penderita menunjukkan kecendrungan meningkat. RSU Dr. Pirngadi sudah mempunyai tim dan struktur organisasi dan tempat pelayanan yang sederhana, selama 3 kali periode kepemimpinan rumah sakit kunjungan penderita HIV tidak menunjukkan peningkatan sedangkan RSU Dr. Djasamen Saragih di Kota Siantar, dengan kepemimpinan yang baru pelayanan seperti terhenti.

Kenyataan lain menunjukkan bahwa, meskipun pelayanan HIV/AIDS didukung oleh Global Fund dengan memberikan layanan gratis, adanya insentif oleh pihak pendonor dan yang umumnya dari pihak negara asing sudah seharusnya pelayanan HIV/AIDS bekerja secara kontinu dan serius. Faktanya saat ini, banyak pelayanan HIV (klinik-klinik VCT) bagaikan unit yang mati suri, tinggal plang nama, tanpa ada kegiatan (Zein, 2005).


(23)

Di beberapa negara upaya meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS telah menjadi kebijakan pelayanan rumah sakit (Finn, 2008). Pelayanan rumah sakit sangat berperan memperbaiki kualitas hidup penderita HIV/AIDS dikaitkan dengan konsep ketidakhadiran nyeri, kemampuan untuk tetap berfungsi, adanya semangat berjuang untuk memperpanjang masa hidup (Wig dkk, 2006).

Di Australia kebijakan departemen kesehatan tentang pelayanan HIV/AIDS di rumah sakit untuk meningkatkan kualitas hidup dengan pembentukan tim terdiri dari konselor, ahli gizi, pekerja sosial mendatangi pasien yang dirawat di rumah. Bagi mereka yang dirawat di rumah sakit mendapat pelayanan dari tim yang terdiri dari dokter, psikolog dan ahli gizi (MHAHS, 2007).

Di Brazil kualitas hidup penderita HIV/AIDS ditingkatkan dengan metode tradisional berupa sosialisasi pencegahan, program pendidikan, distribusi kondom, dan kampanye penggunaan jarum suntik sekali pakai dan yang terpenting adalah pengobatan yang agresif. Metode tradisional dan pengobatan agresif ternyata efektif mengurangi penyebaran HIV, pengobatan agresif diterjemahkan dengan menyediakan obat, mempermudah distribusinya dengan harga minimal atau gratis (Rey, 2008).

Model kepemimpinan dalam penelitian Fisher, G; Bibo, M (2000), yang menggunakan penggabungan beberapa gaya kepemimpinan ternyata mewujudkan peningkatan out comes organisasi seperti kepuasan kerja, motivasi dan perbaikan kinerja, sedangkan penelitian Onne Jarsen., dkk (2002) menyebutkan bahwa kualitas pemimpin yang rendah membuat petugas kehilangan keinginan untuk


(24)

mengembangkan potensi, cenderung merasa kehilangan dukungan dan penurunan motivasi.

Gaya kepemimpinan dalam organisasi mempunyai peran yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab melalui gaya kepemimpinan yang baik seorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahan agar meningkatkan kinerjanya. Untuk membawa bawahan sesuai dengan kemauan pemimpin, maka seorang pemimpin harus mampu memotivasi pegawai. Motivasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain mengkomunisasikan tujuan organisasi, memberikan pujian, memberikan penghargaan, memberikan insentif kepada pegawai yang mempunyai kinerja yang baik (Kohles, 2001).

Beberapa penelitian model gaya kepemimpinan bisa diuraikan sebagai berikut. Penelitian Gifford (2004), di Childrens Hospital of Eastern Ontario, penerapan variabel kepemimpinan yang mengembangkan pendekatan tim dalam hal perencanaan, tantangan yang dihadapi tim, evaluasi tim ternyata berhubungan dengan kualitas pelayanan pasien. Hal yang serupa juga didapat di Indonesia, yaitu penelitian yang sejenis terdapat juga di Indonesia berupa variabel kepemimpinan yang menerapkan indikator klinik ternyata mampu memperbaiki kualitas penanganan trauma kepala di RSU Panti Nugroho Yogyakarta (Wijarnaka dan Dwiprahasto, 2005).

Model kepemimpinan di Barat dan di Asia berbeda disebabkan banyak hal antara lain adanya isu perbedaan budaya, perilaku dan lingkungan (Fisher dan Bibo, 2003). Namun penelitian Barat tersebut di atas sesuai dengan situasi budaya Barat


(25)

dan belum tentu sesuai dengan kondisi budaya dan kebiasaan Timur khususnya di Sumatera Utara, yang memiliki kebiasaan seperti "dalihan natolu", yang mengutamakan kesepakatan, menghormati orang tua, namun sangat disayangkan sedikit sekali penelitian model kepemimpinan rumah sakit di Indonesia, apalagi di Sumatera Utara, yang memiliki budaya organisasi dan perilaku yang berbeda dengan penelitian Barat.

1.2. Perumusan Masalah

Model kepemimpinan tertentu diyakini mampu meningkatkan hasil akhir organisasi seperti: Peningkatan kepuasan kerja, perbaikan kinerja, motivasi yang pada akhirnya memperbaiki kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

Sesuai dengan latar belakang di atas maka dirumuskan perumusan masalah

apakah ada hubungan model konstruk kepemimpinan dengan dorongan perbaikan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di rumah sakit rujukan pelayanan HIV/AIDS di Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan kualitas hidup pasien HIV/AIDS dengan konstruk kepemimpinan di rumah sakit rujukan HIV/AIDS di Sumatera Utara tahun 2009.


(26)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran model konstruk kepemimpinan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien penderita HIV/AIDS.

b. Diketahuinya gambaran model konstruk kepemimpinan yang berhubungan dengan kualitas SDM untuk mendorong perbaikan kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

c. Diketahuinya gambaran model konstruk kepemimpinan yang berhubungan dengan fokus terhadap pelanggan untuk mendorong perbaikan hidup penderita HIV/AIDS.

d. Diketahuinya gambaran model konstruk kepemimpinan yang berhubungan dengan proses manajemen yang mendorong perbaikan kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

e. Ditemukannya hubungan antara model konstruk kepemimpinan, kualitas SDM, fokus terhadap pelanggan dan proses manajemen dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Teoritis

a. Exploratif yaitu: Penelitian ini menghasilkan konstruk dan instrumen pengukuran baru untuk konstruk kepemimpinan, kualitas SDM, fokus terhadap pelanggan, proses manajemen yang berhubungan dengan dorongan


(27)

perbaikan kualitas hidup penderita HIV/AIDS. konstruksi empiris ini merupakan “novelty” disertasi ini.

b. Konfirmatif yaitu: Mengkonfirmasi model konstruk TQM dalam pelayanan HIV/AIDS di rumah sakit. Model empiris TQM ini juga dapat dikategorikan sebagai temuan orisinil dari disertasi ini.

1.4.2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan secara lengkap mulai dari pengembangan model (Exploratif Kualitatif) yang dilanjutkan dengan pengujian model tersebut secara statistik (Konfirmatif Kuantitatif).

1.4.3. Aplikatif

a. Kebijakan yaitu: Pengembangan model diharapkan bisa menjadi dasar pengambilan keputusan bagi pengelolaan HIV/AIDS, juga menjadi pertimbangan Depkes RI dalam memberikan bantuan sarana pengembangan HIV/AIDS di rumah sakit.

b. Manajemen pelayanan di rumah sakit yaitu: Pengembangan model diharapkan bisa menjadi sarana pertimbangan bagi para pengelola rumah sakit di masa yang akan datang.

c. Bagi pendidikan yaitu: Menyusun kurikulum penerapan TQM dan kepemimpinan di masa depan.


(28)

1.5. Landasan Teori

Kondisi sehat (Health/well-being) penderita HIV/AIDS dipengaruhi oleh banyak faktor, menurut HL Blum dalam Gochman D.S, (1996), Shi L., Singh DA (2008) terdapat faktor di luar kesehatan yang menentukan status kesehatan penderita HIV. Faktor tersebut adalah: faktor gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (kualitas dan cakupannya), seperti ditunjukkan gambar berikut.

Gambar 1.1. Faktor-faktor Penyebab Sakit dan Sehatnya Seorang Penderita HIV/AIDS


(29)

Faktor-faktor penyebab sehat dan sakit penderita HIV bisa diuraikan sebagai berikut: 1. Faktor Lingkungan:

a. Sosial

Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderitaannya akibat penyakit HIV, penderita akan hidup terasing dan menghindar dari orang lain. Dukungan sosial adalah adanya dukungan moril dari lingkungan terhadap pengidap HIV/AIDS di masyarakat.

b. Sosio Ekonomi

Hubungan sosio ekonomi seperti faktor pendidikan tinggi dan faktor penghasilan tinggi berhubungan dengan status kesehatan penderita HIV, karena penderita mempunyai lebih banyak akses kepada layanan sarana kesehatan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penderita yang mempunyai penghasilan dan pendidikan rendah lebih tinggi angka kesakitan dan kematiannya (Shi dan Singh, 2008).

c. Sosio Politik

Komitmen dan kebijakan pemerintah yang mendukung penderita melalui pemberian obat-obatan gratis meningkatkan status kesehatan penderita.

2. Perilaku

Penderita mempunyai sikap penampilan yang tidak saja bermasalah dengan kesehatannya tetapi juga masalah psikologis dan sosial. Sikap penderita HIV


(30)

optimis dan konstruktif jika masyarakat mendukung penderita yang terinfeksi HIV.

3. Hereditas

Faktor karakteristik bentuk tubuh tertentu mempengaruhi status kesehatan penderita HIV/AIDS.

4. Pelayanan Kesehatan

Faktor pelayanan kesehatan adalah sarana pelayanan rumah sakit yang menentukan status kesehatan penderita HIV yaitu: a). Tersedianya obat yang cukup dan kontinu, b). Dedikasi petugas pelayanan kesehatan yang baik, dan c). Biaya HIV/AIDS yang terjangkau.

Untuk mencapai tujuan pelayanan rumah sakit, di dalam penelitian ini terdapat 3 kategori landasan teori yaitu: Teori Kepemimpinan, Teori Manajemen Mutu Terpadu dan Teori Kualitas Hidup. Ketiga landasan teori ini dibungkus dalam satu wadah dan dimodifikasi kedalam Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) sebagai alat bantu mendefinisikan permasalahan.

Model Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence (MBCPE)

merupakan model yang betujuan untuk memodelkan peran dari kategori-kategori (elemen-elemen) yang terdapat dalam organisasi dalam rangka mengadopsi prinsip-prinsip manajemen pengendalian kualitas, di mana kepemimpinan merupakan pendorong utama yang diikuti dengan pendorong manajemen mutu terpadu untuk menghasilkan penilaian tentang kualitas hidup, adapun gambaran lengkapnya seperti kerangka berikut ini.


(31)

Sumber: Health Care Criteria, 2006

Gambar 1.2. Kerangka Baldrige

Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa terdapat 7 kategori saling berkaitan dan berproses untuk mengukur tingkat kualitas hidup penderita HIV/AIDS, ketujuh kategori tersebut adalah:

1. Leadership/Kepemimpinan

Leadership diharapkan dapat mengarahkan visi dan misi dan

mengkomunikasikan hal tersebut kepada jajaran bawahannya dan sekaligus memotivasi mereka. Kriteria kepemimpinan yang dinilai dalam disertasi ini adalah kepemimpinan struktural dan kepemimpinan fungsional. Bahan


(32)

kepemimpinan transformasi, transaksi, laisez faire dan lingkungan sekitar rumah sakit).

2. Strategic Planning/Perencanaan Strategi

Perencanaan Strategis adalah strategi pelayanan HIV/AIDS di rumah sakit, penilaian dilaksanakan dengan melihat bagaimana pelayanan HIV/AIDS dijalankan dan mengukur kemajuan rencana tersebut dalam evaluasi mutu. 3. Customer and Market Focus/Fokus Pasien

Dalam aspek ini SDM yang terlibat dalam proses pelayanan HIV/AIDS perlu mengetahui kebutuhan dan keinginan penderita HIV/AIDS dengan selalu membina hubungan dengan mereka, dan mendengarkan suara mereka. Penilaian dilaksanakan dalam rangka apakah SDM yang bekerja di pelayanan HIV/AIDS memperhatikan kebutuhan pasien.

4. Measurement, Analysis and Knowledge Management/Metode Tolok Ukur

Garis besar dari kategori ini adalah untuk mengetahui bagaimana organisasi menganalisa dengan memanfaatkan sistem informasi yang ada, dalam penelitian ini aspek pengukuran dikategorikan dalam evaluasi mutu.

5. Staff Focus/Kualitas SDM

Dalam aspek staff focus, dinilai kualitas SDM yang bekerja di pelayanan HIV/AIDS sehingga mereka dapat melayani pasien HIV/AIDS dengan baik.


(33)

6. Process Management/Manajemen Proses

Dalam aspek ini dilihat bagaimana sistem atau prosedur kerja direncanakan, disusun dan dilaksanakan untuk melayani penderita HIV/AIDS sebaik-baiknya.

7. Results/Hasil yang Diperoleh

Dalam aspek ini seluruh hasil-hasil diperhitungkan, melihat gambaran kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

Ketiga landasan teori yang terdapat dalam 7 kategori Malcolm Baldrige

National Quality Award (MBNQA) adalah sebagai berikut:

1. Teori Kepemimpinan Mutu

Kepemipinan mutu adalah kemampuan untuk memimpin dan menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan, menurut Bass (dalam Vance dan Larson, 2002), antara lain adalah fokus pada kegiatan mutu. Perilaku pemimpin untuk membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan kerja bawahannya dilaksanakan dengan berbagai model kepemimpinan. Model tranformasional diyakini mampu membangun komitmen organisasional karyawan melalui upaya-upaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi mengenai visi dan misi organisasi (Henckle, 2004, Golding, 2003, Janssen, 2004), model transaksional memberdayakan bawahan dengan proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis berdasarkan pertimbangan ekonomi.


(34)

Model lainnya yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model yang dibangun secara Kualitatif kemungkinan bisa berasal dari gaya kepemimpinan lainnya, gabungan dari beberapa gaya kepemimpinan atau variabel yang berkembang di lapangan. Model inilah nantinya menjadi orisinalitas dalam penelitian ini.

2. Manajemen Mutu Terpadu (MMT)

MMT/TQM (Total Quality Management) adalah: Suatu pendekatan manajemen berdasarkan partisipasi semua anggotanya untuk meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS, adapun variabel dalam MMT diuraikan sebagai berikut: a. Kualitas SDM

Kualitas SDM adalah kemampuan SDM mendukung pelayanan HIV/AIDS, berkomunikasi dan mengenal sasaran mutu (Douglas, dkk, 2004).

b. Fokus ke pelanggan

SDM yang bekerja di pelayanan HIV/AIDS sudah memahami dan memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini dan yang akan datang bahkan memberi pelayanan melebihinya (ISO, 9000).

c. Manajemen proses

Manajemen proses adalah program rumah sakit tentang tatacara pemberian pelayanan pengobatan ARV bagi ODHA, seperti: Pemberian ARV kepada ibu hamil yang positif HIV, menerima ARV profilaksis, juga manajemen proses tentang pelayanan yang diberikan rumah sakit berupa: promosi sampai rehabilitasi, termasuk tehnik voluntary counseling and testing


(35)

(VCT), care support and treatment (CST), prevention of mother to child

HIV transmission (PMTCT), tuberculosis-HIV, sexually transmitted infection dan pelayanan dari segi ilmu gizi, laboratorium, radiologi, rekam

medis dan pelaporan (Purwaningtias, Subronto, dan Hasanbasri, 2007). d. Evaluasi mutu

Evaluasi mutu adalah customer fed back, data yang bermutu, standar pelayanan, evaluasi yang dilaksanakan terhadap rencana strategi yang telah dilaksanakan untuk melayani pasien HIV/AIDS.

3. Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah standar hidup yang sangat objektif dan mampu menyebabkan perasaan senang (subjektif) (Gollner, 2002). Pengukuran kualitas hidup sangat banyak, dalam penelitian ini dipakai versi WHO (2004), yang terdiri dari kategori kesehatan fisik, psikologis, sosial dan lingkungan hidup.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pathophysiology Infeksi HIV

Memahami pathophysiology infeksi HIV penting dalam rangka mengetahui bagaimana virus menyebabkan kerusakan sistem kekebalan dan mengakibatkan gejala klinis, juga menjelaskan di mana dan bagaimana obat antiviral bekerja (Jeffrey, 2003). Pathophysiology infeksi HIV terdiri dari pengertian tentang virus HIV/AIDS, penularan, tanda-tanda klinis, terapi, yang bisa diuraikan sebagai berikut:

2.1.1. Definisi dan Pengertian Virus HIV dan Penyakit AIDS

Definisi dan pengertian menurut Depkes RI (2003), adalah sebagai berikut:

a. Virus HIV

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.

b. Penyakit AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul akibat melemah atau menghilangnya


(37)

sistem kekebalan tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.

2.1.2. Metode/Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV/AIDS

HIV menular melalui: Darah, cairan semen, cairan vagina, air susu ibu, air liur/saliva, feses, air mata, air keringat, urine. Penularan dapat terjadi melalui: hubungan seksual (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV, jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai secara bergantian, transfusi darah yang mengandung virus HIV, ibu penderita HIV positif saat melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI).

2.1.3. Tanda-tanda Klinis

Tanda-tanda klinis berupa: Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis, dimensia HIV ensefalopati. Sedangkan gejala minor yaitu: Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang gatal, adanya Herpes zoster multisegmental dan berulang, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

2.1.4. Kelompok Rawan HIV/AIDS

Risiko tertular lebih besar dari pada kelompok rawan AIDS, yaitu: Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom. Pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. Pasangan seksual pengguna narkoba suntik, bayi yang ibunya positif HIV.


(38)

2.1.5. Terapi HIV

Saat ini telah diketemukan obat untuk menghambat penggandaan virus yang bekerja dengan berbagai cara sebagai berikut:

a. Obat anti HIV yang pertama adalah: Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI), fungsinya menghalang penciptaan DNA virus dari RNA dengan membuat sel tiruan yang mengganggu proses ini. Contoh obatnya: Zidovudine, Didanosine, Zalcitabine, Stavudine, dan sebagainya.

b. Obat anti HIV yang juga mengganggu proses penciptaan DNA virus dari RNA, Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (analog non-nukleosida/NNRTI), obat ini mengikat enzim reverse transciptase dan menghalang kegiatannya. Contoh obatnya: Saquinavir, Indinavir, Nelfinavir. c. Protease inhibitor: Menghalang kegiatan protease, sebuah enzim yang

memotong rantai protein HIV menjadi protein tertentu yang diperlu untuk merakit tiruan virus yang baru.

d. Attachment dan Fusion Inhibitor: Mencegah pengikatan HIV pada sel.

e. Obat Antisense: Obat yang mengikat pada virus untuk mencegah fungsinya. f. Perangsang Kekebalan (Immune Stimulator).

2.1.6. Dampak

Saat ini penderita di Indonesia kebanyakan terjangkit pada usia produktif (80% dari semua kasus) sehingga menurut Depkes RI (2003), dampak secara langsung adalah: a). Peningkatan biaya perawatan medis, b). Meningkatkan biaya tenaga kerja, c). Mengurangi jumlah angkatan kerja dan pendapatan para


(39)

buruh/pekerja. Sedangkan dampak secara tidak langsung adalah: a). Menurunkan tingkat produktivitas perusahaan di setiap sektor, b). Mengurangi jumlah tenaga-tenaga terdidik dan terlatih serta berpengalaman, c). Klaim asuransi karyawan meningkat, d). Produksi menurun akibat PHK, e). Terjadi penularan antar karyawan melalui perilaku beresiko tinggi, f). Memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV yang mengancam prinsip serta hak dasar di tempat kerja, serta menghambat upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan. Dampaknya terhadap pekerja adalah: a). Kehilangan pendapatan dan tunjangan pegawai, b). Stigma dan diskriminasi, c). Tekanan terhadap keluarga.

2.1.7. Pelayanan Paliatif

Perawatan pelayanan paliatif terhadap penderita HIV/AIDS adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh diberikan terhadap penderita melalui pendekatan multidisiplin keahlian yang terintegrasi. Tujuan pelayanan perawatan HIV/AIDS di rumah sakit adalah untuk mengurangi penderitaan, memperpanjang umur, meningkatkan kualitas hidup, juga memberikan support kepada keluarga, meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya (Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo, 2008). Paliatif yang dikembangkan mempunyai prinsip sebagai berikut a). Menghargai setiap kehidupan, b). Menganggap kematian sebagai proses yang normal, c). Tdak mempercepat atau menunda kematian, d). Menghargai keinginan


(40)

aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien dan keluarga, g). Menghindari tindakan medis yang sia-sia, h). Memberikan dukungan yang

diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat, i). Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita (Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo, 2008).

2.2. Definisi Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS

Kualitas hidup adalah tingkat yang dirasakan oleh seorang individu atau kelompok, sulit didefinisikan secara pasti, biasanya didefinisikan para peneliti sesuai dengan disiplin bidang ilmu yang ditelitinya dengan berbagai sudut pandang tertentu.

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai suatu persepsi individu tentang harkat dan martabatnya di dalam konteks budaya dan sistem nilai, yang berhubungan dengan tujuan hidup dan target individu (WHO, 2004). Persepsi tersebut terdiri dari dua aspek yaitu: aspek fisik yang dirasakan penderita HIV seperti sehat, rasa sakit atau penyakit dan aspek psikologis seperti: stres, cemas, kenyamanan, kesenangan. Konsep sudut pandang bisa ditinjau dari karakter fisik, psikologis dan sosial, dan berhubungan dengan kepuasan terhadap keadaan lingkungan sekitarnya (Hicks, 2002). Kualitas hidup pasien didefinisikan Depkes adalah persepsi pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya (Depkes 2007). Dimensi dari kualitas hidup digambarkan terdiri dari: a). Gejala fisik, b). Kemampuan fungsional (aktivitas), c). Kesejahteraan keluarga, d). Spiritual, e). Fungsi sosial, f). Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah


(41)

keuangan), g). Orientasi masa depan, h). Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri, i). Fungsi dalam bekerja.

Peneliti kualitas hidup lainnya yang meninjau dari segi sosial ekonomi menyebutnya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dari segi pembangunan kesehatan kualitas hidup disebut dengan harapan hidup, dari segi pendidikan disebut dengan tingkat melek huruf (alat ukur dari segi pendidikan) dan segi ekonomi disebut dengan pengeluaran, jika nilainya baik maka disebut juga kualitas hidup manusia di suatu daerah menjadi baik. Kualitas hidup adalah sesuatu yang abstrak, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Sumber: Gollner (2002)

Gambar 2.1. Kualitas Hidup

Gambar di atas menunjukkan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh standar hidup (sesuatu yang objektif) mampu menyebabkan perasaan senang (sesuatu yang subjektif) (Gollner, 2002).


(42)

ekonomi, mahalnya alat kedokteran dan pengetahuan tentang penularan HIV. Perasaan senang bagi penderita HIV menurut (Depkes, 2003) adalah hilangnya perasaan tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah dan perasaan lainnya.

2.2.1. Pentingnya Pengukuran Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS bagi Ilmu Kedokteran

Pengukuran kualitas hidup penderita HIV/AIDS bagi ilmu kedokteran sangatlah penting, Hakuzimana (2005) menguraikan sebagai berikut:

a. Praktek kedokteran

Perubahan kualitas hidup penderita HIV selama pengobatan merupakan informasi penting bagi dokter untuk memberikan keputusan pemberian perawatan lanjutan atau menambah wawasan dokter dengan melihat perubahan penderita HIV setelah mengalami intervensi medis.

b. Efektivitas pelayanan medis

Instrumen kualitas hidup mampu melihat perubahan kesejahteraan pasien selama dalam pengobatan, hal ini merupakan informasi penting bagi efektivitas pelayanan medis. Biaya yang besar dan sulitnya menjangkau pelayanan menyebabkan penurunan kualitas hidup.

c. Evaluasi pelayanan

Sarana prasarana kelengkapan dan peralatan medis untuk mendukung pelayanan kesehatan HIV bisa dievaluasi secara priodik dengan menggunakan ukuran persepsi penderita HIV terhadap sarana pelayanan yang tersedia.


(43)

d. Dampak terapi dalam praktek klinik

Dokter yang memberikan terapi ARV bisa melihat dampak langsung pemberian obat. Kemanjuran, keamanan obat ARV mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV.

e. Kebijakan kesehatan

Pemerintah bisa memantau kualitas hidup penderita HIV di suatu daerah dan mengeluarkan kebijakan untuk peningkatan kualitas pelayanan HIV.

f. Penelitian ini

Memberi wawasan baru bagi pimpinan di rumah sakit untuk menerapkan model kepemimpinan yang sesuai untuk mendukung peningkatan kualitas hidup penderita HIV.

2.2.2. Berbagai Penelitian Dampak HIV/AIDS terhadap Kualitas Hidup serta Pengukuran Kualitas Hidup

Penelitian Miller, dkk (2006) tentang kualitas hidup bagi wanita penderita HIV di Amerika yang sudah menggunakan ARV selama 8 tahun menunjukkan bahwa kualitas hidup menurun jika pelayanan kesehatan yang mereka terima buruk, kurangnya perhatian. Gejala yang sering dijumpai akibat menurunnya kualitas hidup adalah depresi mental.

Penelitian di Kota Washington yang meneliti 125 penderita HIV/AIDS, menemukan kualitas hidup berhubungan dengan variabel-variabel tentang kedekatan keluarga, perhatian keperawatan. Penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup tidak


(44)

Penelitian kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS di Nigeria menemukan hampir 25% penderita dengan diagnosa depressi, juga kualitas hidup berhubungan dengan rendahnya pendidikan dan sosio ekonomi (Abiodun, 2008). Penelitian kualitas hidup di Brazilia menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kualitas hidup pada kulit putih dan hitam. Kualitas hidup lebih rendah pada warna kulit hitam dibandingkan kulit putih, sedangkan wanita mempunyai angka paling rendah untuk lingkup psikologis dan lingkungan. Kualitas hidup ditemukan meningkat pada penderita yang mempunyai penghasilan yang lebih tinggi (Elisabette, dkk, 2007).

2.2.3. Pengukuran Kualitas Hidup

Pengukuran kualitas hidup yang dikembangkan oleh WHO yang disebut The

World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) – BREF terdiri dari empat dimensi yaitu: psikis, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan WHO (2004). Alat ukur menggunakan lima Skala Likert, yaitu: 1 = sangat sering; 2 = sering; 3= kadang-kadang; 4 = sangat jarang; 5 = tidak pernah seperti ditunjukkan pada tabel berikut.


(45)

Tabel 2.1. Dimensi Pengukuran Kualitas Versi WHO (2004)

No Dimensi Kualitas Hidup Lingkup Pengukuran

1 Kesehatan fisik Menurunnya aktivitas kegiatan setiap hari

 Bergantung terhadap bantuan obat dan medis

 Terdapat rasa nyeri

 Susah tidur 2 Psikologis Perasaan tegang

 Tidak konsentrasi

 Kuatir

 Merasa rendah diri

 Merasa sangat menderita 3 Hubungan sosial Menghindari keluar rumah

 Sulit bersama orang lain

 Mudah tersinggung 4 Lingkungan Kesehatan memburuk

 Keuangan memburuk

 Tidak mampu beramah-tamah

 Hidup terasa kurang memuaskan

 Sama sekali tidak dapat berfungsi

2.3. Variabel Organisasi yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup

Variabel organisasi yang mendukung kualitas hidup dalam penelitian ini adalah kepemimpinan mutu dan Total Quality Management (TQM), adapun uraiannya sebagai berikut:

2.3.1. Kepemimpinan Mutu a. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin dan menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Kemampuan kepemimpinan menurut Bass dalam (Vance dan Larson, 2002) adalah: (a). Fokus pada kegiatan, (b). Mempunyai


(46)

kepribadian yang bisa ditiru, (c). Seni untuk mempengaruhi, (d). Kemampuan untuk memajukan, (e). Mampu bertindak tepat waktu, (f). Mempunyai karakter untuk mempengaruhi, (g). Mempunyai kekuatan dalam hubungan antar manusia, (h). Mempunyai instrumen untuk mencapai sasaran, (i). Kemampuan berinteraksi dengan peran yang berbeda. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Menurut John dan Bertram dalam (Nisrul, 2004). Pemimpin memiliki kekuasaan yang bersumber dari: a). Kekuasaan imbalan: Persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumber daya untuk memberikan penghargaan jika mengikuti arahannya, atau kepatuhan bawahan terhadap atasan, b). Kekuasaan paksaan: Persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumber daya memberikan hukuman bagi bawahan jika tidak mengikuti arahannya, c). Kekuatan legitimasi: Memiliki pengaruh berdasarkan otoritas yang dimilikinya terhadap pihak yang berkedudukan lebih rendah, d). Kekuasaan panutan: Memiliki pengaruh karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau kharismanya, e). Kekuasaan ahli: Memiliki pengaruh karena kompetensi dan keahlian teknis, administratif atau yang lain dalam bidangnya.

b. Perkembangan Teori Kepemimpinan

Perkembangan Teori Kepemimpinan menurut Bolden, dkk, (2003) seperti ditunjukkan tabel di bawah ini:


(47)

Tabel 2.2. Perkembangan Teori Kepemimpinan

Great Man Theories

Dasar kepemimpinan adalah adanya kepercayaan bahwa seseorang telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sifat pemimpin dibawa sejak lahir (dilahirkan untuk memimpin)

Trait Theories Teori ini menjelaskan bahwa pemimpin mempunyai sejumlah daftar

karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin

Behaviourist Theories

Teori perilaku muncul karena ada anggapan bahwa tidak selamanya pemimpin bisa berhasil walaupun dia memiliki ciri-ciri yang ideal, oleh karena itu teori ini berpusat kepada tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin tanpa memperhatikan karakteristiknya

Situational Leadership

Pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapi, dalam situasi tertentu dia bersifat otokratis tetapi situasi yang lain dia bersifat partisipasi

Contingency Theory

Teori ini perbaikan dari teori situasional yang berpusat kepada sudut pandang identifikasi situasi dan meramalkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai dan efektif

Transactional Theory

Pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya dalam mencapai tujuan

Transformation al

Theory

Memotivasi bawahannya melakukan tanggung jawabnya melalui

kemampuan mendefinisikan, mengkomunikasikan dan

mengartikulasikan visi organisasi

Sumber: Dikutip dari Lyn (2004)

Berdasarkan Tabel 2.2 di atas bisa diterangkan sebagai berikut:

a) Teori Great Man: Teori Great Man adalah teori kepemimpinan kuno pada zaman

Yunani kuno atau zaman Roma, teori ini menyatakan bahwa seorang menjadi pemimpin karena bawaan lahir, namun tidak seluruhnya teori ini dapat diterima pada saat ini karena menjadi pemimpin bisa dicapai melalui pendidikan dan pengalaman (Golding, 2003).

b) Model Teori Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership): Penelitian


(48)

jawab, 4). Partisipasi, 5). Status dan 6). Situasi, Penelitian pada era tahun 1950 an ini mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain Bass, Stogdill dalam (Siagian, 2002). Teori ini ditinggalkan karena tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin, k eb er h as i l a n kepemimpinan dan para pengikut. Para peneliti lainnya mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut (Thoha, 2000; Ward King, 2002; Golding, 2003; Henckle, 2004).

c) Model Behaviourist Theorist: Teori kepribadian perilaku yang mengeksplorasi

pemikiran bagaimana perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang dan tindakan yang dilakukan pemimpin. Penelitian di Michigan mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yang berbeda, disebut sebagai job-centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employed-centered yang berorientasi pada karyawan (Rivai, 2003).

d) Model Kepemimpinan Situasional: Model ini melihat bahwa menjadi

pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi, tidak ada seorang pemimpin yang efektif menggunakan satu gaya kepemimpinan dalam berbagai situasi yang berbeda, Bolden, dkk, (2003), selanjutnya


(49)

menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin,

yaitu: 1). Sifat struktural organisasi, 2). Iklim atau lingkungan organisasi, 3). Karakteristik tugas atau peran dan 4). Karakteristik bawahan. Namun

demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

e) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model): Model tersebut

beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektivitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya, atau kesesuaian antara karakteristik watak pribadi dan tingkah laku pemimpin dengan variabel-variabel situasional ( Bolden, dkk, 2 0 0 3 ) , menurut Fiedler d a l a m ( Golding, 2003) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi, faktor tersebut adalah: 1). Hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member

relations): Sampai sejauhmana pemimpin itu dipercaya, disukai dan mengikuti

petunjuk, 2). Struktur tugas (the task structure): Sejauhmana tugas-tugas sudah didefinisikan dan sudah dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku, 3). Kekuatan posisi (position power) yang dicapai lewat otorita formal: Sampai sejauhmana pemimpin menanamkan rasa memiliki dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing.


(50)

pada hakikatnya menekankan kewajiban melalui reward dan punishment untuk mencapai tujuan organisasi, memotivasi bawahan melakukan tanggung jawab dengan mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Model Transaksional menjelaskan hubungan atasan bawahan melalui proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis. Burns dalam Golding (2003). Sedangkan menurut Rivai (2003), mengatakan bahwa pemimpin yang transaksional yaitu pemimpin yang memandu atau memotivasi, pengikut mereka dalam arah dan tujuan yang ditegaskan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

g) Model Kepemimpinan Transformasional: Penggagas model ini adalah Burns

pada tahun 1978, masih relatif baru namun sudah dipakai secara luas dalam berbagai bidang baik bisnis, kesehatan, pendidikan, psycholog. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik kepemimpinan, karena pemimpin memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki karisma (Bolden, dkk, 2003). Kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, juga menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep model kepemimpinan terdahulu.


(51)

teori kepemimpinan selain pendekatan secara kontingensi dapat pula didekati dari teori path-goal yang mempergunakan kerangka motivasi. Usaha pengembangan teori path-goal ini sebenarnya telah dimulai oleh Georgepoulos dari Institut Penelitian Sosial Universitas Michigan, kemudian teori ini dikembangkan oleh Robert J. House, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif. Teorinya disebut sebagai jalur-tujuan karena memfokuskan pada bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi bawahannya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri dan jalan untuk mencapai tujuan, maka teori path-goal memasukkan 4 (empat) tipe atau gaya kepemimpinan sebagai berikut: 1) Kepemimpinan Direktif, tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang

otokratis karena dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan, 2) Kepemimpinan yang mendukung (Supportive), mempunyai kesediaan untuk

menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya, 3). Kepemimpinan

Partisipatif, pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari

bawahannya, namun untuk mengambil keputusan masih berada padanya, 4). Kepemimpinan berorientasi pada prestasi, pemimpin menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berpartisipasi (Thoha, 2000).

i) Tipe Laissez Faire: Ciri khas seorang pemimpin yang Laissez Faire adalah

cenderung memilih peran yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri, bersikap permisif dengan prinsip setiap anggota organisasi


(52)

boleh bertindak sesuai dengan hati nuraninya untuk mencapai tujuan organisasi, sebab setiap manusia pada prinsipnya memiliki rasa solidaritas, mempunyai kesetiaan, taat pada norma, bertanggung jawab (Golding, 2003; Jansenn, 2004; Henckle, 2004).

c. Kepemimpinan Mutu

Kepemimpinan mutu adalah perilaku pimpinan menjalankan mutu dalam organisasinya. Perilaku pemimpin membangun komitmen dalam organisasinya terlihat dari gaya kepemimpinan yang diterapkannya. Perilaku pemimpin transformasional membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan kerja bawahannya melalui proses hubungan antara atasan dan bawahan yang didasari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi mengenai visi dan misi organisasi dilandasi oleh pertimbangan pemberdayaan potensi manusia (Henckle, 2004; Golding, 2003; Janssen, 2004).

Pemimpin tranformasional juga diyakini mampu membangun komitmen organisasional karyawan melalui upaya-upaya untuk memberdayakan dan mentransformasi para bawahannya, sedangkan kepemimpinan transaksional adalah proses hubungan atasan dan bawahan melalui proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis berdasarkan pertimbangan ekonomi (Podsakoff, dkk dalam Pareke, 2004).

d. Total Quality Management (TQM)/Manajemen Mutu Terpadu

TQM (Total Quality Management) adalah strategi manajemen yang ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam organisasi.


(53)

berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan untuk mendapatkan kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta masyarakat (Choy, 2002).

TQM telah memperoleh ketenaran sebagai sebuah metoda yang merubah operasional organisasi menjadi lebih efisien dan efektif, TQM merupakan paradigma baru dalam menjalankan bisnis yang berupaya memaksimumkan daya saing organisasi melalui: fokus pada kepuasan konsumen, keterlibatan seluruh karyawan, dan perbaikan secara berkesinambungan atas kualitas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan organisasi, implementasi TQM juga berdampak positif terhadap biaya produksi dan terhadap pendapatan (Gaspersz, 2005). Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan prinsip TQM sudah lama dikenal dan dimanfaatkan dalam pengoperasian pabrik, saat ini sudah meluas ke organisasi pelayanan kesehatan, hasilnya diyakini menunjukkan peningkatan dan perbaikan sikap kerja (kepuasan kerja, komitmen organisasi, iklim kerja, dan adanya daya saing) (Choy, 2002).

Penerapan TQM di rumah sakit mampu membuat rumah sakit bertahan dalam era persaingan dan bisa mengangkatnya menjadi kelas dunia (Besterfield dalam Purwaningrum, dan Kuncoro, 2007). Penerapan TQM di organisasi kesehatan di Amerika sudah sangat luas, tahun 1994 hampir 60 persen dari organisasi pelayanan kesehatan sudah menerapkan TQM dalam perencanaan programnya, malah beberapa organisasi sudah merasakan sebagai suatu kebutuhan, (Donald Berwick (Bapak TQM) dalam Somer, dkk, 1994).


(54)

Filosofi TQM sudah digunakan secara luas untuk menambah kunjungan pasien, melalui konsep peningkatan kepedulian terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien, termasuk meningkatkan pelayanan di ICU (Lindberg, 2005).

Penelitian Gavriel, dkk (2007), menemukan bahwa semakin besar diberikan wewenang kepada direktur untuk mengelola rumah sakit (semakin terdesentralisasi) maka semakin mudah menerapkan prinsip TQM dalam pelayanannya. Penerapan TQM bisa juga digunakan untuk memperbaiki mutu terapi, diagnostik dan indikator penampilan rumah sakit, bahkan mampu merubah kultur kebiasaan pekerja kesehatan yang kurang baik menjadi lebih baik (Rad, 2006), unsur utama mendukung TQM adalah kepemimpinan (Ketut, 2008).

Kualitas menurut Juran (1989), adalah ‘kesesuaian untuk digunakan’, hal ini berarti produk yang memenuhi harapan konsumen dan bebas dari defisiensi. Sedangkan Deming dalam Peterson (2004), berpendapat kualitas adalah: mempertemukan kebutuhan dan harapan konsumen secara berkelanjutan atas harga yang telah mereka bayarkan. Pengertian kualitas lebih luas dalam delapan dimensi menurut Philip (2000), adalah sebagai berikut: (1). Kinerja (performance): karakteristik operasi suatu produk utama, (2). Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (feature), (3). Kehandalan (reliability): probabilitas suatu produk tidak berfungsi atau gagal, (4). Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), (5). Daya tahan (durability), (6). Kemampuan melayani (serviceability), (7). Estetika (estethic): bagaimana suatu produk dipandang dirasakan dan didengarkan, dan (8). Ketepatan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality).


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abiodun, A., Mohammed, A., Bola, O., Olorunfemi, O., Adeola, A., Bamidelle, O., 2008. Relationship between Depression and Quality of Life in Persons with

HIV Infection in Nigeria. Int’l. J. Psychiatry in medicine. Vol. 38, pp 43-51. Ayub, R. 2006. Kepemimpinan Kharisma: Tinjauan Etis-Teologis Kepemimpinan

Sukarno. BPK Gunung Mulia. Jakarta. pp 51-57.

Basuki J. 2008. Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma Baru

Kepemimpinan Aparatur Negara. Pidato Pengukuhan LAN. Jakarta.

Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A., Denison, P. 2003. A Review of Leadership

Theory and Competency Frameworks in the Report for Chase Consulting and the Management Standards Centre. Centre For Leadership Studies University

of Exeter. pp 25-30.

Chow-Chua, C., Mark, G. and Boon, W. 2003. T. Does ISO 9000 Certification Improve Business Performance. Int. J Quality & Reliability Management,

Vol. 20. pp. 936-953.

Choy, L.M. 2002. Development and Validation of a Total-Quality-Management-For-Service (TQMS) Model. Disertation. University of Hongkong. pp. 19-25. Cunningham, W. E., Wong, M., Hays, R,D. 2008. Case Management and

Health-Related Quality of Life Outcomes in a National Sample of Persons with HIV/AIDS. J.Nat.Med. Ass. Vol. 100, pp .7-20

Depkes RI. 2000. Paradigma Indonesia, Visi dan Misi. Jakarta. ________. 2004. SKN (Sistem Kesehatan Nasional). Jakarta.

________. 2007. Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang dengan

HIV/AIDS. Kep. Menkes No760/Menkes/SK/VI/2007. Jakarta.

________. 2007. Kebijakan Perawatan Paliatif. Kepmenkes No: 812/MENKES/SK/ VII/2007. Jakarta.

________. 2007. Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi orang dengan HIV


(2)

Djoerban, Z. 1998. Membidik HIV AIDS Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Galang. Yogyakarta. Vol 2, pp 15.

Douglas, T.J., Lawrence D.F. 2004. Evaluating the Deming Management Model of

Total Quality in Services, Atlanta. Decision Sciences. Vol. 35, pp 393-403.

Finn, F., Sarangi, S. 2008. Quality of Life as a Mode of Governance. NGO Talk of HIV 'Positive' Health in India. Social Science & Medicine. Vol. 66. Oxford. pp 156-158.

Fisher, G., Bibo, M. 2000. No Leadership Without Reprensentation. Int J Org Beh. Vol 6. Brisbane. pp 307-319.

Gani, A. 2006. Reformasi Pembiayaan Kesehatan Kabupaten/Kota dalam Sistem

Desentralisasi. Naskah Pertemuan Nasional Desentralisasi Kesehatan. 6-8

Juni 2006. Bandung.

Gask, L., Rogers, A., Campbell, S., Sheaff, R. 2008. Beyond the Limits of Clinical Governance? The Case of Mental Health. BMC Health Services Research. Vol 8. Manchester. pp 63-68.

Gaspersz, V. 2005. Total Quality Management. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gavriel, M., Yael, B.I., Alexander, M. 2007. Quality of Hospital Service: The Impact of Formalization and Decentralization. Int Journal Health Care Quality

Assurance. Vol 20. pp 240-252.

GB Fisher., Bibo. M. 2003. No Leadership Without Representation. Int Journal of

Organisational Behaviour, 6(2). pp 307-319.

Gifford, C.C., 2004. Competency Identification For Leaders and Managers at the Childrens Hospital of Eastern Ontario. Thesis Master. Royal Roads University. Canada. pp 19-31.

Giligan, S., Walters, M. 2008. Quality Improvements in Hospital Flow May Lead to a

Reduction in Mortality, Pub. Emerald Group. Clinical Governance Int J. Vol.

13. pp 26-34.

Golding, A.A. An Examination of Bass Full Range Leadership Model in Jamaican Organizations. Disertation. Nova Southerastern University. pp 23-25.


(3)

Gollner, K.M. 2002. Economic Growth Social Impoverishment and Quality of Life.

Disertation. Rensselaer Polytechnic Institute. New York. pp 30-35.

Ham, C. 2006. Clinical Leadership the Key to Improving NHS Performance. Health

Services Management Centre. Vol. 12 Issue 2. Birmingham.

Hencke, A.C. 2004. Organizational Culture Change in a Texas Hospital. Disertation. University of North Texas. Texas. pp 1-11.

Hicks, T.L. 2002. Quality of Life Admist The Lights of Las Vegas. Thesis. Universitas of Nevada. Las Vegas. pp 3-15.

Irawati, N. 2007. Kepemimpinan Efektif, Kepemimpinan yang Mampu Mengambil

Keputusan yang Tepat. USU Digital Library. Medan. diakses Jan 2009.

Janssen, L.T. 2004. Leadership Characteristics of Hospital CEOS. Factors That Influence Leadership Style. Disertation. Drake University.

Jeffrey, A., Alexander., Bryan, J., Weiner., Stephen, M., Laurence, C. 2006. The

Role of Organizational Infrastrcture in Implementation of Hospitals Quality Improvement. Michigan. Pub. ProQuest Medical Library. diakses Feb 2009.

Jordan, M. 2007. Total Quality Management in a Chosen Section of the Hospitals in Amman, Milwaukee. The Quality Management Journal. Vol. 14, pp 45-58. Ketut SN. 2008. TQM Sebagai Perangkat Baru Manajemen untuk Optimisasi. Buletin

Studio Ekonomi, Vol. 13. No. 1, 2008.

Kohles, J.C. 2001. The Vision Integration Process: Leadership, Comunication, and Reconceptualization of Vision. Disertation. The State University of New York. Bufallo USA. pp 10-15.

KPA Nasional. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Pub: Kementerian Koordinator Bidang Kesra. Jakarta.

KPA Sumut. 2006. Rencana Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS. Pub: Pem Prov SU. Medan.

Lindberg, E., Rosenqvist, U. 2005. Implementing TQM in the Health Care Service: A Four-Year Following-up of Production, Organisational Climate and Staff Wellbeing, Bradford. Int J Health Care Quality Assurance. Vol. 18. Bradford. pp. 370-385.


(4)

Menko Kesra. 2007. HIV and AIDS Response Strategies National AID Commission

on the 2007-2010. SK No 07/PER/MENKO/KESRA/III/2007. Jakarta.

________. 2008. Pidato dalam Rangka Hari AIDS se Dunia. Jakarta. http : // www.menkokesra. go.id, diakses Jan 2009.

________. 2008. Laporan Kemajuan Penanggulangan HIV/AIDS di Sidang PBB

Tahun 2003. Jakarta. http : // www. menkokesra. go.id, diakses Feb 2009.

MHAHS/Multicultural HIV/AIDS and Hepatitis Service. 2007. The Health System In

Australia. http://www.multiculturalhivhepc.net/indonesian. diakses Jan 2008.

Miller, J., Cook, A., Cohen, H., Hessol. N. 2006. Longitudinal Relationships Between Use of Highly Active Antiretroviral therapy Satisfaction with Care Among Women Living With HIV/AIDS. Abstract. Washington. American Journal of

Public Health. Vol. 96.

Muljani N. 2006. Kompensasi Sebagai Motivator untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. Vol. 4, No.2.

Pareke, F. 2004. Kepemimpinan Transformasional dan Perilaku Kerja Bawahan: Sebuah Agenda Penelitian. Fokus Ekonom. Vol. 3 – No. 2. Bengkulu.

Peterson, A.J. 2004. Making a Case for Challenging The Current and Future Efficacy of The Plan, Do, Check, Act (PDCA) Quality Cycle-The Foundation of Quality Managements Systems. Disertation. University of Minesota, pp: 35-40.

Petros, V., Thomas, P., Nikolopoulus., The Interdisciplinary Model of Hospital Administration: Do Health Professionals and Managers Look At it in The Same Way ?. The European Journal of Public Health. Vol 18. Athens. pp 71-76.

Prior, D. 2006. Efficiency and Total Quality Management In Health care

Organizations: A Dynamics Frontier Approach. Ann Oper Res. Vol. 145.

Barcelona. pp 281-299.

Purwaningrum, N., Kuncoro, Tj. 2007. Evaluasi Kinerja RSUD Kabupaten Brebes

dengan Pendekatan The Malcolm Baldrige National Quality Award. KMPK


(5)

Purwaningtias, A., Subronto, Y., Hasanbasri, M. 2007 Pelayanan HIV/AIDS di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta. Program Magister Kebijakan dan Manajemen

Pelayanan Kesehatan. Universitas Gadjah Mada.

Rad, MA. 2006. The Impact of Organizational Culture on the Succesful

Implementation of Total Quality Management. The TQM Magazine. Vol. 18.

pp 606-612.

Rey, J. 2008. The Brazilian Treatment Model: a New Course for Global Aids Policy. Spring. Journal of Third World Studies. Vol. 25. pp 51-72.

Ristrini. 2005. Perubahan Paradigma Jasa Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit dan Rekomendasi Kebijakan Strategis bagi Pimpinan. JMPK. Vol. 08, No. 01. Surabaya.

Rivai, V. 2004. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Konsultan Bisnis dan

Managemen. Penerbit Raja Gravindo Persada. Jakarta.

Ronoatmojo, S. 2006. Profil: Tujuh Program Penanganan Utama HIV/AIDS PB IDI, Yayasan Spritia. http://Spritia.or.id.

Samsi, J. 2003. Manajemen Resiko Klinis. Kongres IX dan Hospital Expo XVI. 3 Oktober. Jakarta.

Santos,C., Junior, F., Lopes, F. 2007. Quality of Life of People Living With HIV/AIDS

in San Paulo. Rev Saude Publicia. Vol. 41. San Paulo Brazil.

Shi L., Singh DA. 2008. Delivering Health Care in America, A System Approach. Jones and Bartlett Pub. Canada. pp 50.

Siagian, A. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Kesehatan. Makalah Pengantar Falsafah Sains Pascasarjana S3. Bogor.

Siagian, P,S. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Siboro, C. 2006. Prinsip-prinsip Kepemimpinan dari Pemikiran-pemikiran yang

Berkembang Akhir-akhir Ini dalam Teori Kepemimpinan. Jurnal Manajemen

Sumber Daya Manusia & Organisasi. Vol. 1. Jakarta. pp 50 – 60.

Suryoputro A., Ford NJ., Shaluhiyah Z. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Kesehatan, Vol. 10, No. 1,


(6)

Sutomo. 2008. Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri. Surabaya. http://rumah kanker.com, diakses Jun 2009.

Soegiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Sternberg, J. 2005. A Model of Leadership. Psychologist Manager Journal. Vol 8. pp 29-43.

Tampubolon, N. 2005. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal terhadap

Kualitas Hidup. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap FKG. Medan.

Thoha, M. 2000. Kepemimpinan dalam Manajemen. Penerbit CV. Rajawali. Jakarta. UNAIDS. 2007. Estimating National Adult Prevalence of Hiv−1 in Concentrated

Epidemics. pp 4-5.

UNGASS. 2008. Laporan Kemajuan Penanggulangan HIV/AIDS di Sidang PBB. Jakarta. http://www.menkokesra.go.id., diakses Jan 2009.

Vance, C., Larson, E. 2002. Leadership Research in Bussines and Health Care.

Journal of Nursing Scholarship. Vol. 34. pp 165-171.

Ward King, S. 2002. Effective Leadership for Quality Acchievment and Organizational Learning. Disertasi. Business Administration Portland State University, pp 30-35.

Wegner, W. 2004. Organizational Leaders and Empowered Employees: The Relationshi Between Leadership Styles, Perception of Styles, and The Impact on Organizational outcomes. Disertation. Capella University. pp 16-29. WHO. 2004. The World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF.

WHO Press. Geneva.

________. 2007. Guidance On Provider-Initiated Hiv Testing And Counselling In

Health Facilities. WHO Press. Geneva.

Wig, N., Lekshmi, R., Pal, H., Vivek, A., Mittal, M., Agarwal, A. The impact of HIV/AIDS on the Quality of Life: a Cross Sectional Study in North India.

Journal of Medical Sciences. Vol 60, No 1. Indian.

Wijarnaka, A., Dwiprahasto. I. 2005. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat.