Struktur Mengenai Hasil Penelitian UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

Kelima, mengenai UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU yang baru. Keenam,UU No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Ketujuh, mengenai Persyaratan dan Tata Cara Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Kedelapan, SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Kesembilan, mengenai Perwalkot Semarang No. 10 tahun 2010. Kesepuluh, tentang perbedaan Perwalkot dengan Peraturan lain tentang Bantuan Hukum. Kesebelas, mengenai Bantuan Hukum di Kota Salatiga. Keduabelas, mengenai Hakikat Bantuan Hukum cuma-cuma. Ketigabelas, mengenai kapan perikatan pemberian bantuan hukum. Serta yang terakhir keempatbelas, mengenai dasar hukum penyelenggaraan Bantuan Hukum.

3.1. Struktur Mengenai Hasil Penelitian

Adapun Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Bantuan Hukum yang telah ada selama ini yaitu sebagai berikut: 1 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, 2 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokad, 3 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lama, 4 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru, 5 UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum, 6 PP No. 83 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma – Cuma, 7 Surat Edaran Makamah Agung No. 10Bua.6HsSPVIII2010, 8 Perda Kota Semarang No. 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang. 9 Serta Peraturan Walikota Salatiga No. 51 tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Salatiga. Peraturan-peraturan yang berstruktur seperti telah disebutkan ini masuk di dalam sub bab hasil penelitian. Setelah hasil penelitian maka dalam sub bab berikut yaitu analisis. analisis merupakan penguraian suatu peraturan menurut berbagai bagiannya break down dan penelaahan bagian – bagian itu untuk memperoleh pemahaman sebaik – baiknya. Dalam hal ini, sesuai dengan tujuan penelitian, yang dimaksud dengan pemahaman yang sebaik – baiknya tersebut adalah guna mengetahui bagaimana pemberian bantuan hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma – cuma.

3.2. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

Dalam KUHAP pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum cuma-cuma tertuang dari pasal 54-56. Pasal 54-56 KUHAP berbunyi sebagai berikut; “Pasal 54, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang- undang ini”. Pasal 55, “Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memiih sendiri penasihat hukumnya”. Pasal 56, “1 Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. 2 Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma- cuma.” Memperhatikan hasil penelitian di atas, penulis berpendapat bahwa pertama, Bantuan Hukum kepada masyarakat sesungguhnya sudah tertuang secara jelas. Hanya saja ada beberapa kelemahan terhadap pengaturan yang dimuat dalam KUHAP. Ketika membaca rumusan Pasal 56 Ayat 1 KUHAP terlihat bahwa KUHAP hanya mengakomodir kepentingan terdakwa tidak mampu yang dipidana lebih dari 5 tahun? Dengan adanya peraturan yang demikian maka muncul persoalan, bagaimana dengan terdakwa tidak mampu yang dipidana kurang dari 5 tahun. Apakah mereka itu kemudian dibiarkan saja oleh Negara sebagai pihak the party to contract dalam perikatan bersisi satu? Padahal UUD 1945 menjamin warga negara dengan persamaan dihadapan hukum. Maka dengan demikian KUHAP secara tidak langsung sudah melakukan diskriminasi atau membeda –bedakan pihak yang berhak atas bantuan hukum kepada warga negara dengan pembedaan kateori subjek penerima bantuan hukum tersebut. Kedua, selain adanya diskriminasi yang telah disebutkan di atas, KUHAP ternyata hanya mengatur mengenai hak terdakwa saja. KUHAP tidak mengatur tentang bagaimana hak korban. Padahal, seperti yang telah diketahui, bahwa masyarakat bukan hanya terdakwa saja, korban dari kejahatan juga tidak dapat dipungkiri banyak yang berasal dari golongan tidak mampu, dalam pengertian membutuhkan Bantuan Hukum. Ketiga, tentang Bantuan Hukum secara cuma-cuma, apakah hal itu berarti bahwa pihak yang dibebani dengan perikatan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dalam hal ini Negara harus benar-benar menjamin bahwa sudah akan ada Bantuan Hukum sejak suatu kasus dibawa hingga pengadilan dimana warga negara atau orang tidak memiliki Bantuan Hukum? Hal ini menjadi permasalahan serius karena ketika undang – undang telah mengatur namun prakteknya tidak terlaksana dengan baik. Pengaturan tentang Bantuan Hukum di dalam KUHAP harus dapat mengakomodir kepentingan atas Bantuan Hukum tersebut apabila ada kekurang jelasan tentang makna pengaturan yang ada dalam KUHAP dapat menjadi salah satu sebab tidak terpenuhinya hak atas Bantuan Hukum cuma –cuma yang sejak tahun 1981.

3.3. UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat