T1 312008005 BAB III
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Bab ini berisi gambaran mengenai hasil penelitian dan analisis Penulis terhadap peraturan – peraturan yang mengatur tentang Bantuan Hukum yang berlaku hingga saat ini hingga munculnya undang-undang Bantuan Hukum dan diterbitkan pada saat ini.
Sesuai dengan judul Bab ini, peraturan – peraturan yang akan Penulis kemukakan dalam Bab ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan Penulis untuk penyusunan Skripsi ini. Selain peraturan – peraturan yang berkaitan dengan hasil penetitian, Penulis juga melengkapi analisis untuk untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan dalam tujuan penetitian dalam Bab I skripsi ini.
Bab ini terdiri dari dua bagian besar. Pertama mengenai gambaran hasil penelitian. Kedua berisi analisis. Dalam dua bagian besar itu Bab ini terdiri dari beberapa Sub Bab antara lain; pertama, sub Bab tentang struktur mengenai hasil penelitian. Kedua, sub Bab mengenai UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sub
Bab ketiga, mengenai UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokad. Keempat
mengenai UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU yang lama).1
1
Memang pada prinsipnya Penulis mengetahui bahwa tidak ada undang-undang yang lama dan undang-undang yang baru. Hanya saja seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa bantuan Hukum dilihat dalam skripsi ini dalam kurun waktu Indonesia merdeka, maka Penulis merasa penting untuk membedakan undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru.
(2)
Kelima, mengenai UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU yang baru). Keenam,UU No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Ketujuh, mengenai Persyaratan dan Tata Cara Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Kedelapan, SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum. Kesembilan, mengenai Perwalkot Semarang No. 10 tahun 2010.
Kesepuluh, tentang perbedaan Perwalkot dengan Peraturan lain tentang Bantuan
Hukum. Kesebelas, mengenai Bantuan Hukum di Kota Salatiga. Keduabelas, mengenai Hakikat Bantuan Hukum cuma-cuma. Ketigabelas, mengenai kapan perikatan pemberian bantuan hukum. Serta yang terakhir keempatbelas, mengenai dasar hukum penyelenggaraan Bantuan Hukum.
3.1. Struktur Mengenai Hasil Penelitian
Adapun Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Bantuan Hukum yang telah ada selama ini yaitu sebagai berikut: (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, (2) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokad, (3) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (lama), (4) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (baru), (5) UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum, (6) PP No. 83 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma – Cuma, (7) Surat Edaran Makamah Agung No. 10/Bua.6/Hs/SP/VIII/2010, (8) Perda Kota Semarang No. 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang. (9) Serta Peraturan Walikota Salatiga No. 51 tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
(3)
Salatiga. Peraturan-peraturan yang berstruktur seperti telah disebutkan ini masuk di dalam sub bab hasil penelitian. Setelah hasil penelitian maka dalam sub bab berikut yaitu analisis. analisis merupakan penguraian suatu peraturan menurut berbagai bagiannya (break down) dan penelaahan bagian – bagian itu untuk memperoleh pemahaman sebaik – baiknya. Dalam hal ini, sesuai dengan tujuan penelitian, yang dimaksud dengan pemahaman yang sebaik – baiknya tersebut adalah guna mengetahui bagaimana pemberian bantuan hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma – cuma.
3.2. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Dalam KUHAP pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum cuma-cuma tertuang dari pasal 54-56. Pasal 54-56 KUHAP berbunyi sebagai berikut;
“Pasal 54, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Pasal 55, “Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam
Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memiih sendiri penasihat
hukumnya”.
Pasal 56, “(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan
cuma-cuma.”
Memperhatikan hasil penelitian di atas, penulis berpendapat bahwa
(4)
secara jelas. Hanya saja ada beberapa kelemahan terhadap pengaturan yang dimuat dalam KUHAP. Ketika membaca rumusan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP terlihat bahwa KUHAP hanya mengakomodir kepentingan terdakwa tidak mampu yang dipidana lebih dari 5 tahun? Dengan adanya peraturan yang demikian maka muncul persoalan, bagaimana dengan terdakwa tidak mampu yang dipidana kurang dari 5 tahun. Apakah mereka itu kemudian dibiarkan saja oleh Negara sebagai pihak (the party to contract) dalam perikatan bersisi satu? Padahal UUD 1945 menjamin warga negara dengan persamaan dihadapan hukum. Maka dengan demikian KUHAP secara tidak langsung sudah melakukan diskriminasi atau membeda–bedakan pihak yang berhak atas bantuan hukum kepada warga negara dengan pembedaan kateori subjek penerima bantuan hukum tersebut.
Kedua, selain adanya diskriminasi yang telah disebutkan di atas, KUHAP
ternyata hanya mengatur mengenai hak terdakwa saja. KUHAP tidak mengatur tentang bagaimana hak korban. Padahal, seperti yang telah diketahui, bahwa masyarakat bukan hanya terdakwa saja, korban dari kejahatan juga tidak dapat dipungkiri banyak yang berasal dari golongan tidak mampu, dalam pengertian membutuhkan Bantuan Hukum.
Ketiga, tentang Bantuan Hukum secara cuma-cuma, apakah hal itu berarti
bahwa pihak yang dibebani dengan perikatan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dalam hal ini Negara harus benar-benar menjamin bahwa sudah akan ada Bantuan Hukum sejak suatu kasus dibawa hingga pengadilan dimana warga negara atau orang tidak memiliki Bantuan Hukum? Hal ini menjadi
(5)
permasalahan serius karena ketika undang – undang telah mengatur namun prakteknya tidak terlaksana dengan baik.
Pengaturan tentang Bantuan Hukum di dalam KUHAP harus dapat mengakomodir kepentingan atas Bantuan Hukum tersebut apabila ada kekurang jelasan tentang makna pengaturan yang ada dalam KUHAP dapat menjadi salah satu sebab tidak terpenuhinya hak atas Bantuan Hukum cuma–cuma yang sejak tahun 1981.
3.3. UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat
Bantuan Hukum dalam undang – undang advokat mengatur pemberian bantuan hukum cuma – cuma kepada masyarakat yang wajib dilakukan oleh advokad. Dalam Undang – Undang Advokat itu bantuan hukum cuma – cuma diatur dalam BAB VI, yaitu dalam Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2).
Adapun Pasal 22 Ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 adalah sebagi berikut
“Advokad wajib memberikan bantuan hukum secara cuma – cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu”. Sedangkan dalam Pasal 22 Ayat (2), diatur berikut “ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara
cuma – cuma sebagaimana yang telah dimaksud pada Ayat (1), diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah”.
Dengan rumusan Pasal 22 Ayat (1) tersebut maka pengaturan mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam Undang – Undang Advokat itu akan
(6)
dijabarkan lebih jelas dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah sebagaimana telah disebutkan akan Penulis gambarkan dalam tulisan ini.2
3.4. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat pengaturan mengenai Bantuan Hukum yang terdapat dalam BAB VII yang tertuang dari Pasal 37 hingga Pasal 40. Dalam Pasal 37 UU No. 4 tahun 2004 dijelaskan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh Bantuan Hukum. Namun, dengan melihat pasal-pasal selanjutnya tidak ada pengaturan yang jelas mengenai bagaimana pemberian Bantuan Hukum tersebut. Seperti halnya yang dapat dilihat dalam Pasal 38. Dalam pasal ini hanya menjelaskan bahwa tersangka yang terkait dalam perkara pidana berhak menghubungi advokad dan meminta bantuan sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan. Sedangkan dalam Pasal 39 UU No. 4 tahun 2004 hanya memberikan penekanan adanya kewajiban dari advokad untuk membantu penyelesaikan perkara dengan menjunjung tinggu hukum dan keadilan.
Dari penjelasan tersebut maka jika dilihat dalam Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman,3 dalam dokumen yang secara fomal tidak berlaku lagi tersebut hanya memberi ketegasan bahwa pemberian bantuan hukum disini merupakan kewajiban dari advokad. Dalam undang-undang Kekuasaan Kehakiman (lama) belum terlihat menyentuh peran serta Pemerintah (Negara)
2
Lihat sub judul 3.7. dalam Bab ini.
3
(7)
dalam Bantuan Hukum. Hanya saja memang dalam prespektif hukum sebagai satuan sistem, maka hal itu dapat dikaitkan dengan peraturan atau UU yang lain.
3.5. UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (baru) mengatur lebih rinci mengenai Bantuan Hukum dibandingkan UU tentang Kekuasaan Kehakiman yang lama sebagaimana telah diuraikan diatas. Walaupun dalan UU tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru hanya terdapat dua pasal yang mengatur mengenai Bantuan Hukum. Namun, dalam undang – undang yang baru tersebut sudah menyinggung mengenai siapa atau pihak (the party to contract) yang bertanggung jawab atas pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat tersebut.
Pasal yang menjelaskan tentang Bantuan Hukum dalam undang-undang ini yaitu Pasal 56 dan Pasal 57 Undang – Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan dalam pasal tersebut yaitu sebagai berikut;
“ Pasal 56 (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 (1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara Cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
(8)
Melihat rumusan Pasal 56, UU tersebut telah mengakomodir mengenai siapa yang menanggung biaya atau dana dalam bantuan hukum bagi masyarakat tersebut. Pasal 56 Ayat (2) menjelaskan bahwa Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Dengan begitu dalam Pasal tersebut pembuat UU mengatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tersangkut masalah hukum.
Namun, persoalannya adalah apa yang sudah diatur atau pacta sunt
servanda, mengikat, berjalan dengan lancar? Walaupun peraturan telah dibuat
namun apakah pasti akan ada jaminan bahwa tidak lagi bakal ditemukan masyarakat miskin yang harus menjalani proses hukumnya sendiri tanpa ditemani oleh penasehat hukum?
Menurut pendapat Penulis, Dengan begini maka tanggung jawab atau perikatan, atau perjanjian dari Negara itu sendiri belum ada jaminan bakal terlaksana dengan baik. Sehingga apa yang seharusnya terjadi dengan baik justru hanya menjadi sebuah aturan yang masih harus ditunggu ketegasan dalam pelaksanaan.
3.6. UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Kaitan dengan pernyataan sebagaimana telah dikemukakan diatas, UU Bantuan Hukum ini secara khusus mengatur tentang pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat. Undang – undang dimaksud muncul dengan dasar untuk menjamin hak konstitusional bahwa setiap orang berhak untuk
(9)
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam konsideran undang – undang Bantuan Hukum huruf (b) disebutkan
bahwa “negara bertanggung jawab atas pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan terhadap akses keadilan”. Dalam undang – undang Bantuan Hukum itu, “Bantuan Bukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum”.4
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 16 tahun 2011 ini menjelaskan bahwa Penerima Bantuan Hukum yang dimaksud dalam UU itu adalah masyarakat miskin. Sedangkan Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan undang undang ini5. Hal yang lebih rinci untuk menjabarkan mengenai Pemberi Bantuan Hukum ini terdapat pada pasal berikutnya.
Tujuan dari penyelenggaraan Bantuan Hukum ini tertuang dalam Pasal 3 undang-undang Bantuan Hukum tersebut. Bantuan Hukum yang diberikan berdasar undang undang-undang Bantuan Hukum itu bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan. Serta guna menjamin hak konstitusional warga negara dan menjamin kepastian dari penyelenggaraan Bantuan hukum di seluruh wilayah Indonesia.6 Dalam
4
Pasal 1 Ayat (1) UU No 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
5
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum.
6
(10)
kenyataannya hingga hampir satu tahun undang-undang ini muncul, dalam pelaksanaannya masih belum berjalan sebagaimana yang diinginkan. Masih ada masalah hukum yang berjalan tanpa adanya Bantuan Hukum bagi pencari keadilan yang membutuhkan.
Dalam Bab II Pasal 4 Ayat (2) UU No. 16 tahun 2012 tentang Bantuan Hukum menjelaskan mengenai ruang lingkup yang diberikan oleh undang- undang itu. Bantuan Hukum dalam undang-undang itu diberikan bagi masalah hukum keperdataan, pidana dan tata usaha negara, baik dengan jalur litigasi maupun dengan jalur non-litigasi.
Pasal 5 Ayat (1) UU No. 16 tahun 2012 tentang Bantuan Hukum ini juga menjelaskan bahwa Penerima Bantuan Hukum menurut undang – undang itu adalah setiap orang atau kelompok miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Dalam Ayat (2) dijelaskan hak dasar meliputi atass pangan, sandang, layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan berusaha, maupun perumahan.
Penyelenggaraan Bantuan Hukum dalan undang-undang Bantuan Hukum tersebut diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Hal ini sesuai yang tertuang dalam pasal 6 Ayat (4) UU No. 16 tahun 2011. Sedangkan yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum dalam Pasal 1 Ayat (3) yaitu adalah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberi Layanan Bantuan Hukum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang Bantuan Hukum tersebut.
(11)
UU No. 16 tahun 2011 dengan tegas mengatur bahwa Bantuan Hukum yang diberikan sesuai aturan dalam UU Bantuan Hukum ini bersifat cuma-cuma. Dalam Pasal 20 menegaskan adanya larangan bagi Pemberi Bantuan Hukum untuk menerima ataupun meminta bayaran apapun dari Penerima Bantuan Hukum. larangan dalam Pasal 20 tersebut dipertegas dengan adanya aturan pidana yang terdapat dalam pasal 21.7
3.7. PP Persyaratan dan Tata Cara Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, berisikan bagaimana dan seperti apa pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma yang akan di terapkan di Indonesia. Peraturan Pemerintah itu muncul guna menjadi peraturan pelaksana atas kewajiban pemberian Bantuan Hukum yang terdapat dalam undang-undang Advokad. Adapun isi dari Peraturan Pemerintah ini sebagai berikut;
Pasal 1 dari Peraturan pemerintah ini berisi tentang ketentuan umum, ketentuan tersebut termasuk mengatur mengenai pengertian Bantuan Hukum serta siapa yang berhak mendapat Bantuan Hukum. Dalam ketentuan umum ini ditegaskan bahwa bantuan hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah itu meruakan bantuan hukum cuma-cuma.
Dalam Pasal 1 Angka (3) PP tersebut didefinisikan bahwa mengingat orang antara lain dapat memahami hakikat sesuatu dengan memperhatikan definisi dari sesuatu tersebut, maka menurut Penulis, PP tersebut di atas
7
(12)
tercantumkan hakikat atau sifat-sifat dan kharakteristik bantuan hukum yang cuma-cuma. Bantuan Hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
Sedangkan dalam Pasal 1 Angka (4) PP di atas pembuat PP itu menetapkan bahwa, Pencari Keadilan yang Tidak Mampu yang selanjutnya disebut Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum Advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Pasal itu dengan demikian hanya membatasi arti tidak mampu dari sudut pandang ekonomis.
Dalam Pasal 2 PP 83 tahun 2008 dijelasakan mengenai siapa yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum cuma-cuma kepada masyarakat. Pasal 2 menjelaskan bahwa bantuan hukum cuma – cuma wajib diberikan oleh Advokat kepada pencari keadilan. Dengan pernyataan tersebut berarti Pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma merupakan tanggung jawab dari Advokat.8
Pasal 3 Ayat (1) mencatat berdasarkan tahap-tahap Bantuan Hukum Secara cuma-cuma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 meliputi tindakan hukum untuk kepentingan Pencari Keadilan di setiap tingkat proses peradilan. Pasal 3 Ayat (2), Bantuan Hukum secara cuma-cuma berlaku juga terhadap pemberian
8
(13)
jasa hukum juga diberikan kepada pencai keadilan yang membutuhkan jasa bantuan hukum di luar pengadilan.
Bantuan Hukum cuma-cuma yang diatur dalam Peraturan Pemerintah itu diberikan baik untuk Bantuan Hukum di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Pemberian Bantuan Hukum di dalam pengadilan akan diberikan pada setiap tingkatan dari proses peradilan.
3.7.1. Prosedur Pemohonan Bantuan Hukum
Sedangkan di dalam Pasal 4 Ayat (1), pembuat regulasi itu menyatakan bahwa untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma, Pencari Keadilan mengajukan permohonan tertulis yang ditujukan langsung kepada Advokat atau melalui Organisasi Advokat atau melalui Lembaga Bantuan Hukum.Dalam Pasal 4 Ayat (2) diatur, Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat; (a) nama, alamat, dan pekerjaan pemohon dan, (b) uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum. Pasal 4 ayat (3) dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), Pencari Keadilan harus melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 5, Permohonan Bantuan Hukum secara cuma-cuma dapat diajukan bersama-sama oleh beberapa Pencari Keadilan yang mempunyai kepentingan yang sama terhadap persoalan hukum yang bersangkutan. Pasal 6 Ayat(1), Dalam hal Pencari Keadilan tidak mampu menyusun permohonan tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Pasal 6 Ayat (2), Permohonan yang diajukan secara
(14)
lisan dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh pemohon dan Advokat atau petugas pada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum yang ditugaskan untuk itu. Pasal 6 Ayat (3), Permohonan Bantuan Hukum yang diajukan langsung kepada Advokat, tembusan permohonan disampaikan kepada Organisasi Advokat.
Pasal 7 (1), Advokat, Organisasi Advokat, atau Lembaga Bantuan Hukum wajib menyampaikan jawaban terhadap permohonan kepada pemohon dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diterima. Pasal 7 Ayat (2) dijelaskan, dalam hal kejelasan mengenai pokok persoalan yang dimintakan Bantuan Hukum belum jelas maka Advokat, Organisasi Advokat, atau Lembaga Bantuan Hukum dapat meminta keterangan tambahan kepada pemohon dalam waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Pasal 8 Ayat (1), dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Pasal 8 Ayat (2), Advokat yang ditugaskan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) namanya dicantumkan dalam jawaban terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1).
Pasal 9 ayat (1), Keputusan mengenai pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma ditetapkan secara tertulis dengan menunjuk nama Advokat. Pasal 9 ayat (2), Keputusan pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat
(15)
(1) disampaikan kepada pemohon dan instansi yang terkait dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma.
3.7.2. Standarisasi Kualitas Jasa
Pasal 10, Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma harus memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorarium. Dalam kaitannya dengan standarisasi kualitas jasa Bantuan Hukum, Pembuat regulasi itu juga menegaskan kalau PP tersebut dalam Pasal 11 ayat (1) bahwa Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kode etik advokat, dan peraturan organisasi Advokat. Pasal 11 Ayat (2), Pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma dilaporkan oleh Advokat kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
Pasal 12 ayat (1), Advokat dilarang menolak permohonan Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Pasal 12 ayat (2) pembuat regulasi menyatakan bahwa dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon dapat mengajukan keberatan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum yang bersangkutan.
3.7.3. Larangan Menerima Pemberian
Pasal 13 Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan. Sedangkan Pasal 14 Ayat (1), Advokat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dijatuhi sanksi oleh
(16)
Organisasi Advokat. Pasal 14 Ayat (2), sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: (a) teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c) pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau (d) pemberhentian tetap dari profesinya. Pasal 14 Ayat (3), Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Pasal 14 Ayat (4) Ketentuan mengenai tata cara pembelaan diri dan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Organisasi Advokat.
Pasal 15 Ayat (1), organisasi Advokat mengembangkan program Bantuan Hukum secara cuma-cuma dapat bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum. Pasal 15 Ayat (2), Untuk melaksanakan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Organisasi Advokat membentuk unit kerja yang secara khusus mengenai Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Pasal 15 Ayat (3), Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Organisasi Advokat.
Pasal 16 Dalam hal Organisasi Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum belum memiliki unit kerja, penanganan permohonan dan pelaksanaan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dilakukan oleh unit kerja lain yang ditetapkan oleh Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
(17)
Pasal 17, Pada saat Peraturan Pemerintah itu mulai berlaku, pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma yang sedang ditangani Advokat, dilaporkan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
Pasal 18, Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) harus sudah ditetapkan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.”
Pasal 4 – Pasal 18 PP No. 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma hanya mengatur mengenai teknis pemberian Bantuan Hukum. Peraturan pemerintah ini secara tegas menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam peraturan ini menjadi tanggung jawab dari Advokat maupun organisasi Advokat. Sehingga dalam hal ini peran serta Negara secara langsung tidak terlihat perannya. Bentuk perikatan negara atas bantuan hukum yang bersifat cuma-cuma tidak nampak dalam adanya peratuan ini.
3.8. SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
Surat Edaran Makamah Agung (SEMA) itu muncul dalam setelah adanya pengaturan hukum mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman yang baru. SEMA itu memiliki fungsi untuk mengatur lebih rinci mengenai bagaimana pemberian Batuan Hukum dilaksanakan.
Dalam SEMA No 10 Tahun 2010 itu diatur mengenai pengadaan pos pemberian bantuan hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri. Seperti halnya yang telah diterangkan dalam Pasal 1 Angka 3 SEMA No 10 Tahun 2010,
(18)
pos bantuan hukum merupakan ruang yang disediakan oleh dan pada setiap pengadilan negeri bagi advokad yang piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut mengenai bantuan jasa advokat.9 SEMA mendefinisikan bantuan jasa advokad itu sendiri sebagai jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma untuk mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lainnya berdasar peraturan perundang-undangan untuk kepentingan pemohon bantuan hukum dalam perkara pidana amupun perkara perdata, yang diberikan oleh advokat berdasar ketetapan ketua pengadilan.10
Menurut Pasal 1 Angka (3) SEMA tersebut, pihak berperkara yang dihadapi oleh pemohon hanya menerima bantuan bila yang tersangkut masalah perdata, pidana dan tata usaha negara. Sedangkan untuk permasalahan di luar perkara pidana dan perdata belum mendapat perhatian yang lebih. Sedangkan sesungguhnya berdasarkan undang – undang dasar 1945 setiap orang berhak atas persamaan di muka hukum tanpa adanya diskriminasi apapun.
Dalam SEMA tersebut, dalam pasal 31 telah menjelaskan bahwa bila sudah disahkan, ketentuan tentang bantuan hukum maka Bantuan Jasa Advokat
9
Pasal 1 angka (3) Surat Edaran Mahkamah Agung No 10 tahun 2010.
10 Ibid.,
(19)
sebagaimana diatur dalam pedoman ini akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut.
3.8.1. Perbedaan antara SEMA dan PP tentang Bantuan Hukum
Dalam SEMA No 10 tahun 2010 itu ada perbedaan mendasar dengan PP No. 83 Tahun 2008. Dalam PP No 83 Tahun 2008 tindak dijelaskan mengenai pendanaan dari penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan. Sedangkan dalam SEMA No. 10 tahun 2010 justru dijelaskan secara tegas dalam Pasal 1 Angka (12) ketentuan itu menegaskan bahwa anggaran bantuan hukum merupakan alokasi negara yang berada dalam lingkup peradilan umum yang dibiayai Mahkamah Agung melalui DIPA bantuan hukum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yang dialokasikan pada Pengadilan Negeri.11
Penganggaran untuk bantuan hukum oleh Negara tersebut juga ditekankan pada bagian dua Pasal 9 Lampiran (A) SEMA No. 10 Tahun 2010 ini yaitu mengenai biaya penyelenggaraan pos bantuan hukum digunakan untuk pengadaan advokad piket diperoleh melalui APBN.12
Melalui apa yang telah dijelaskan di atas berarti bahwa pemberian bantuan hukum dalam SEMA No 10 Tahun 2010 ini merupakan tanggung jawab Negara yang dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri. Ini berarti bahwa Negara mengikatkan diri untuk memberikan prestasi kepada masyarakat miskin dalam bentuk bantuan hukum secara cuma-cuma. Negara mengikatkan diri kepada
11
Pasal 1 Angka 12 Lampiran (A) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 tahun 2010.
12
(20)
masyarakat sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk menanggung kepentingan bersama.
3.9. Perwalkot Fasilitasi Bantuan Hukum Bagi Warga Kota Semarang
Peraturan wali kota semarang itu mengatur mengenai pemberian fasilitas bantuan hukum bagi warga kota semarang. Peraturan pemerintah kota semarang itu muncul sebelum diberlakukan UU No 18 Tahun 2003 tentang Bantuan Hukum.
Adapun sebab dari munculnya berbagai ketentuan bantuan hukum di daerah-daerah tersebut adalah bahwa sebelum munculnya undang – undang bantuan hukum pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin tidak diatur secara terpusat oleh negara sehingga setiap daerah berhak mengatur secara tersendiri aturannya mengenai pemberian bantuan hukum. Antara lain dilakukan oleh Kota Semarang yang memunculkan peraturan walikota tersebut sebagai dasar pelaksanaan tugas dan wewenang bagian hukum pemerintah Kota Semarang.
3.10. Perbedaan Perwalkot dengan Peraturan Lain tentang Bantuan Hukum
Dalam Peraturan Walikota Semarang No. 10 tahun 2010 ada perbedaan kata yang digunakan untuk menyebutkan pemberian bantuan hukum yang biasa digunakan dalam peraturan perundangan lainnya. Pemberian bantuan hukum cuma – cuma dalam Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2010 ini disebut fasilitasi bantuan hukum.
Peraturan Walikota Semarang Nomor 10 tahun 2010 tentang Fasilitasi Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin Kota Semarang muncu sebagai tindak lanjut
(21)
atas adanya Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Semarang.
Dalam Pasal 1 Angka (11) Peraturan Walikota No. 10 tahun 2010 itu dijelaskan mengenai pengertian fasilitasi bantuan hukum. Fasilitasi bantuan hukum merupakan progam bantuan hukum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah melalui Advokat/Pengacara kepada warga miskin yang terkena perkara pidana. baik dalam proses pemeriksaan dan atau proses persidangan sampai pada Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang atau Pengadilan Tinggi Jawa Tengah atau Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 2 Peraturan Walikota No. 10 Tahun 2010 mengatur mengenai maksud dan tujuan atas pemberian fasilitasi bantuan hukum tersebut. Pasal 2 ayat (1) dalam Peraturan Walikota ini berisi mengenai Maksud pemberian fasilitasi bantuan hukum itu sendiri. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa bantuan hukum adalah untuk memberikan perlindungan bagi warga miskin Kota Semarang yang terkena perkara pidana.
Dalam Pasal 2 Ayat (2) memuat tujuan dari pemberian fasilitasi bantuan hukum tersebut. Tujuan dari fasilitas bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum bagi warga miskin yang membutuhkan perlindungan hukum melalui jasa Advokat / pengacara untuk mendampingi baik pemeriksaan oleh aparat penegak hukum maupun di dalam proses persidangan.13
13
(22)
Biaya yang digunakan untuk memberikan bantuan hukum ini, sesuai dengan pasal 5 Peraturan Walikota Semarang Nomor 10 Tahun 2010 digunakan APBD Kota Semarang.14
Melihat dari pendanaan tersebut maka di dalam peraturan ini Negara bertangung jawab atas pemberian bantuan hukum yang diberikan oleh warganya yang membutuhkan.
Pemerintah Kota sebagai kepanjangan tangan dari Negara harus mampu mewujudkan kontrak (perikatan) yang telah diberikan kepada masyarakatny, mengingat Negara telah memiliki kontrak membuat suatu perikatan voluntir yang telah dibuat kepada warganya melalui peraturan yang telah dibuat ini.
3.11. Bantuan Hukum di Kota Salatiga
Peraturan pemerintah Kota Salatiga No. 31 tahun 2008 tentang sesungguhnya tidak secara khusus mengatur mengenai pemberian bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh Pemerintah Kota Salatiga kepada warga kotanya. Namun, sesungguhnya peraturan itu hanya berisi tugas pokok dan uraian tugas pejabat struktural pada sekretariat daerah, termasuk dalam hal ini mengenai tugas bagian hukum dalam pemerintah Kota Salatiga yang menangani soal pemberian bantuan hukum kepada warga Kota Salatiga.
Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum itu sendiri terrdapat dalam bagian 3 Pasal 11 Ayat (2) huruf (c), yang menyebutkan sebagai berikut, untuk melaksanakan tugas pokok, bagian hukum menyelenggarakan fungsi, c.
14
(23)
Penyiapan bahan pertimbangan dan bantuan hukum. Yang termasuk tugas bantuan hukum dalam Pasal 11 Ayat (3) Huruf (e) dijelaskan yaitu memberikan pertimbangan, bantuan dan konsultasi hukum kepada massyarakat dan aparat dilingkungan pemerintah daerah atas permasalahan hukum, baik didalam maupun di luar pengadilan, guna penyelesaiannya.15
Dalam pelaksanaan progam bantuan hukum oleh bagian hukum pemerintah kota salatiga ini dilakukan dengan cara memberi bantuan finansial yang berasal dari APBD kepada Advokad yang telah ditunjuk oleh penerima bantuan hukum. Dengan begitu maka progam bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Kota Salatiga adalah progam yang diberikan oleh Negara melalui pemerintah daerah.
3. 12. Hakikat Bantuan Hukum Cuma-Cuma
Memerhatikan tinjauan pustaka dalam Bab II serta pengetian bantuan hukum sebagaimana tela dikemukakan dalam Bab III tentang hasil penelitian, maka penulis berpendapat bahwa bantuan hukum cuma-cuma itu pada hakekatnya adalah suatu (perikatan) yang lahir bukan karena perjanjian, tetapi karena undang-undang.
Penulis juga berpendapat bahwa mengingat kewajiban yang dipikul oleh pihak Negara (Menkumham), apabila hal itu dilihat dari prespektif UU Bantuan Hukum, lahir karena ada UU, maka dapat dikatakan bahwa hakekat dari pemberian bantuan hukum sebagai suatu perikatan itu adalah beregi satu
15
(24)
(Unilatateral Vouluntary Oblogation). Dalam hal ini seperti yang telah penulis kemukakan dalam tinjauan pustaka, sub bab 2.8, perjanjian itu memberikan keuntungan kepada pihak lain, tanpa perlu adanya penerimaan suatu manfaat di orang yang memberi (Negara). Perikatan voluntir ini hanya bisa terjadi bila pihak yang melaksanakan tugas (kewajiban) adalah pihak yang memiliki kapasitas untuk mengikatkan diri secara sah. Dalam hal ini pihak yang memiliki kapasitas dalam perikatan atas pemberian bantuan hukum ini adalah Negara.
3.13. Kapan Perikatan Pemberian Bantuan Hukum
Mengingat hakikat (the nature) dari Bantuan Hukum cuma-Cuma adalah suatu kontrak, dalam hal ini suatu perikatan yang termasuk sebagai unilateral
voluntary obligation, maka analisa selanjutnya dari bantuan hukum cuma-cuma,
atau break-down terhadap unsur-unsur dari bantuan hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma-cuma akan dilakukan menurut struktur suatu kontrak.
Pada prinsipnya struktur suatu kontrak dimulai dengan dasar hukum di mana perikatan tersebut dicantumkan; selanjutnya diikuti dengan pihak (the parti
to contract) kemudian diikuti dengan kapasitas (capacity) dan kekuasaan (power
to contract); hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak/perikatan
tersebut; kapan lahir perikatan itu; kapan berakhir perikatan tersebut; serta mekanisme penyelesaian sengketa apabila ada pelanggaran terhadap perikatan tersebut, misalnya apabila perikatan itu tidak dilaksanakan.
(25)
3.14. Dasar Hukum Penyelenggaraan Bantuan Hukum
Sebagaimana telah diucapkan di atas, berikut ini Penulis berpendapat bahwa penyelenggaraan bantuan hukum sejak diundang-undangkannya UU Bantuan Hukum adalah UU No. 16 tahun 2011 dan UU No 18 tahun 2003 tentang advokad. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 16 tahun 2011
dimana pembuat UU itu menegaskan bahwa: “Bantuan Hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi Penerima
Bantuan Hukum”.
Sedangkan penyelenggaran bantuan hukum sebelum diundang-undangkannya UU Bantuan Hukum mendasarkan diri kepada beberapa peraturan
perundang-undangan tersendiri, yang ada sebelum UU Bantuan Hukum. Seperti yang telah Penulis gambarkan dalam bagian hasil penelitian, penyelenggaraan bantuan hukum dalam perkara pidana sebelum UU Bantuan Hukum diundangkan
mendasarkan diri kepada KUHAP. Pasal 56 KUHAP,16 seperti telah dikemukakan di depan, mencatat kehendak pembuat UU untuk menyerahkan penyelenggaraan bantuan hukum kepada pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemerikasaan dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan pasal 56 KUHAP, dalam pasal 6 Ayat (2) UU Bantuan Hukum, pihak penyelenggara bantuan hukum adalah Menkumham sedangkan pelaksanaan bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisais kemasyarakatan (LSM) yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum
16 Pasal 56 Ayat (1) KUHAP “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pisada lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.
Pasal 56 Ayat (2) KUHAP “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
(1)
masyarakat sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk menanggung kepentingan bersama.
3.9. Perwalkot Fasilitasi Bantuan Hukum Bagi Warga Kota Semarang
Peraturan wali kota semarang itu mengatur mengenai pemberian fasilitas bantuan hukum bagi warga kota semarang. Peraturan pemerintah kota semarang itu muncul sebelum diberlakukan UU No 18 Tahun 2003 tentang Bantuan Hukum.
Adapun sebab dari munculnya berbagai ketentuan bantuan hukum di daerah-daerah tersebut adalah bahwa sebelum munculnya undang – undang bantuan hukum pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin tidak diatur secara terpusat oleh negara sehingga setiap daerah berhak mengatur secara tersendiri aturannya mengenai pemberian bantuan hukum. Antara lain dilakukan oleh Kota Semarang yang memunculkan peraturan walikota tersebut sebagai dasar pelaksanaan tugas dan wewenang bagian hukum pemerintah Kota Semarang.
3.10. Perbedaan Perwalkot dengan Peraturan Lain tentang Bantuan Hukum
Dalam Peraturan Walikota Semarang No. 10 tahun 2010 ada perbedaan kata yang digunakan untuk menyebutkan pemberian bantuan hukum yang biasa digunakan dalam peraturan perundangan lainnya. Pemberian bantuan hukum cuma – cuma dalam Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2010 ini disebut fasilitasi bantuan hukum.
Peraturan Walikota Semarang Nomor 10 tahun 2010 tentang Fasilitasi Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin Kota Semarang muncu sebagai tindak lanjut
(2)
atas adanya Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Semarang.
Dalam Pasal 1 Angka (11) Peraturan Walikota No. 10 tahun 2010 itu dijelaskan mengenai pengertian fasilitasi bantuan hukum. Fasilitasi bantuan hukum merupakan progam bantuan hukum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah melalui Advokat/Pengacara kepada warga miskin yang terkena perkara pidana. baik dalam proses pemeriksaan dan atau proses persidangan sampai pada Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang atau Pengadilan Tinggi Jawa Tengah atau Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 2 Peraturan Walikota No. 10 Tahun 2010 mengatur mengenai maksud dan tujuan atas pemberian fasilitasi bantuan hukum tersebut. Pasal 2 ayat (1) dalam Peraturan Walikota ini berisi mengenai Maksud pemberian fasilitasi bantuan hukum itu sendiri. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa bantuan hukum adalah untuk memberikan perlindungan bagi warga miskin Kota Semarang yang terkena perkara pidana.
Dalam Pasal 2 Ayat (2) memuat tujuan dari pemberian fasilitasi bantuan hukum tersebut. Tujuan dari fasilitas bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum bagi warga miskin yang membutuhkan perlindungan hukum melalui jasa Advokat / pengacara untuk mendampingi baik pemeriksaan oleh aparat penegak hukum maupun di dalam proses persidangan.13
13
(3)
Biaya yang digunakan untuk memberikan bantuan hukum ini, sesuai dengan pasal 5 Peraturan Walikota Semarang Nomor 10 Tahun 2010 digunakan APBD Kota Semarang.14
Melihat dari pendanaan tersebut maka di dalam peraturan ini Negara bertangung jawab atas pemberian bantuan hukum yang diberikan oleh warganya yang membutuhkan.
Pemerintah Kota sebagai kepanjangan tangan dari Negara harus mampu mewujudkan kontrak (perikatan) yang telah diberikan kepada masyarakatny, mengingat Negara telah memiliki kontrak membuat suatu perikatan voluntir yang telah dibuat kepada warganya melalui peraturan yang telah dibuat ini.
3.11. Bantuan Hukum di Kota Salatiga
Peraturan pemerintah Kota Salatiga No. 31 tahun 2008 tentang sesungguhnya tidak secara khusus mengatur mengenai pemberian bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh Pemerintah Kota Salatiga kepada warga kotanya. Namun, sesungguhnya peraturan itu hanya berisi tugas pokok dan uraian tugas pejabat struktural pada sekretariat daerah, termasuk dalam hal ini mengenai tugas bagian hukum dalam pemerintah Kota Salatiga yang menangani soal pemberian bantuan hukum kepada warga Kota Salatiga.
Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum itu sendiri terrdapat dalam bagian 3 Pasal 11 Ayat (2) huruf (c), yang menyebutkan sebagai berikut, untuk melaksanakan tugas pokok, bagian hukum menyelenggarakan fungsi, c.
14
(4)
Penyiapan bahan pertimbangan dan bantuan hukum. Yang termasuk tugas bantuan hukum dalam Pasal 11 Ayat (3) Huruf (e) dijelaskan yaitu memberikan pertimbangan, bantuan dan konsultasi hukum kepada massyarakat dan aparat dilingkungan pemerintah daerah atas permasalahan hukum, baik didalam maupun di luar pengadilan, guna penyelesaiannya.15
Dalam pelaksanaan progam bantuan hukum oleh bagian hukum pemerintah kota salatiga ini dilakukan dengan cara memberi bantuan finansial yang berasal dari APBD kepada Advokad yang telah ditunjuk oleh penerima bantuan hukum. Dengan begitu maka progam bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Kota Salatiga adalah progam yang diberikan oleh Negara melalui pemerintah daerah.
3. 12. Hakikat Bantuan Hukum Cuma-Cuma
Memerhatikan tinjauan pustaka dalam Bab II serta pengetian bantuan hukum sebagaimana tela dikemukakan dalam Bab III tentang hasil penelitian, maka penulis berpendapat bahwa bantuan hukum cuma-cuma itu pada hakekatnya adalah suatu (perikatan) yang lahir bukan karena perjanjian, tetapi karena undang-undang.
Penulis juga berpendapat bahwa mengingat kewajiban yang dipikul oleh pihak Negara (Menkumham), apabila hal itu dilihat dari prespektif UU Bantuan Hukum, lahir karena ada UU, maka dapat dikatakan bahwa hakekat dari pemberian bantuan hukum sebagai suatu perikatan itu adalah beregi satu
15
(5)
(Unilatateral Vouluntary Oblogation). Dalam hal ini seperti yang telah penulis kemukakan dalam tinjauan pustaka, sub bab 2.8, perjanjian itu memberikan keuntungan kepada pihak lain, tanpa perlu adanya penerimaan suatu manfaat di orang yang memberi (Negara). Perikatan voluntir ini hanya bisa terjadi bila pihak yang melaksanakan tugas (kewajiban) adalah pihak yang memiliki kapasitas untuk mengikatkan diri secara sah. Dalam hal ini pihak yang memiliki kapasitas dalam perikatan atas pemberian bantuan hukum ini adalah Negara.
3.13. Kapan Perikatan Pemberian Bantuan Hukum
Mengingat hakikat (the nature) dari Bantuan Hukum cuma-Cuma adalah suatu kontrak, dalam hal ini suatu perikatan yang termasuk sebagai unilateral voluntary obligation, maka analisa selanjutnya dari bantuan hukum cuma-cuma, atau break-down terhadap unsur-unsur dari bantuan hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma-cuma akan dilakukan menurut struktur suatu kontrak.
Pada prinsipnya struktur suatu kontrak dimulai dengan dasar hukum di mana perikatan tersebut dicantumkan; selanjutnya diikuti dengan pihak (the parti to contract) kemudian diikuti dengan kapasitas (capacity) dan kekuasaan (power to contract); hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak/perikatan tersebut; kapan lahir perikatan itu; kapan berakhir perikatan tersebut; serta mekanisme penyelesaian sengketa apabila ada pelanggaran terhadap perikatan tersebut, misalnya apabila perikatan itu tidak dilaksanakan.
(6)
3.14. Dasar Hukum Penyelenggaraan Bantuan Hukum
Sebagaimana telah diucapkan di atas, berikut ini Penulis berpendapat bahwa penyelenggaraan bantuan hukum sejak diundang-undangkannya UU Bantuan Hukum adalah UU No. 16 tahun 2011 dan UU No 18 tahun 2003 tentang advokad. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 16 tahun 2011
dimana pembuat UU itu menegaskan bahwa: “Bantuan Hukum diselenggarakan
untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum”.
Sedangkan penyelenggaran bantuan hukum sebelum diundang-undangkannya UU Bantuan Hukum mendasarkan diri kepada beberapa peraturan
perundang-undangan tersendiri, yang ada sebelum UU Bantuan Hukum. Seperti yang telah Penulis gambarkan dalam bagian hasil penelitian, penyelenggaraan bantuan hukum dalam perkara pidana sebelum UU Bantuan Hukum diundangkan
mendasarkan diri kepada KUHAP. Pasal 56 KUHAP,16 seperti telah dikemukakan di depan, mencatat kehendak pembuat UU untuk menyerahkan penyelenggaraan bantuan hukum kepada pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemerikasaan dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan pasal 56 KUHAP, dalam pasal 6 Ayat (2) UU Bantuan Hukum, pihak penyelenggara bantuan hukum adalah Menkumham sedangkan pelaksanaan bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisais kemasyarakatan (LSM) yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum
16 Pasal 56 Ayat (1) KUHAP “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pisada lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.
Pasal 56 Ayat (2) KUHAP “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana