ANALISIS FINANSIAL DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BANDREK LAMPUNG PADA UNIT USAHA THP HERBALIST

(1)

ANALISIS FINANSIAL DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

USAHA BANDREK LAMPUNG PADA

UNIT USAHA THP HERBALIST

Oleh

ARIS ASMARANTAKA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS FINANSIAL DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BANDREK LAMPUNG PADA UNIT USAHA THP HERBALIST

Oleh

ARIS ASMARANTAKA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan finansial dan merumuskan strategi pengembangan bagi usaha Bandrek Lampung. Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Hajimena, Kecamatan Natar Kabupaten Lampung selatan dan dilakukan dengan metode studi kasus. Alat analisis untuk mengkaji aspek finansial usaha adalah keuntungan usaha (π), R/C ratio, payback period (PBP), titik impas (BEP), Gross B/C rasio, Net B/C rasio, dan return on investment (ROI). Alternatif strategi dirumuskan dengan matrik SWOT. Strategi prioritas pengembangan usaha dirumuskan dengan metode FGD.

Hasil penelitian menunjukkan π usaha per tahun sebesar Rp 43.230.321,-; R/C ratio atas biaya tunai 2,21; R/C ratio atas biaya total 1,7; nilai BEP Rp 18.643.798,-; persentase BEP 15,54; kapasitas BEP 18.643,8 unit; PBP 1,65 tahun, Gross B/C rasio dan Net B/C rasio sebesar 1,44 dan 3,96; dan nilai ROI didapat sebesar 59,32 persen. Strategi prioritas bagi pengembangan usaha yaitu merapikan pembukuan usaha; menjaga kontinuitas produksi dan kontrol mutu; mengajarkan kepada tenaga kerja seluk beluk usaha sehingga dapat bekerja tanpa pengawasan namun produk yang dihasilkan tetap berkualitas prima; memanfaatkan perkembangan teknologi untuk meningkatkan performa usaha baik dalam sisi produksi, maupun promosi produk; memperhatikan pengembangan SDM; memfokuskan diri pada usaha untuk melakukan pendekatan pada supplier;


(3)

menemukan subtitusi dalam resep; dan melakukan inovasi produk.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 10

1.3 Tujuan Penelitian 10

1.4 Kegunaan Penelitian 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka 11

2.1.1. Tinjauan Agronomis Jahe 11

2.1.2. Agroindustri 12

2.1.3. Minuman Bandrek 16

2.1.4. Kajian Finansial Usaha 18

2.1.5. Manajemen Strategi 24

2.1.5.1. Konsep Manajemen Strategi 24

2.1.5.2. Analisis SWOT 29

2.1.6. Focus Group Discussion 35

2.2. Kajian Penelitian Terdahulu 39

2.3. Kerangka Pemikiran 42

III. METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional, dan Pengukuran Variabel 45 3.2. Lokasi, Waktu Penelitian, dan Responden 47


(7)

3.4.1. Analisis Finansial Usaha 49 3.4.2. Perumusan Strategi Pengembangan Usaha 51

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Usaha 54

4.2. Visi dan Misi Perusahaan 56

4.3. Lokasi Perusahaan 57

4.4. Organisasi Usaha 57

4.5. Produk Perusahaan 58

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Lingkungan Usaha 59

5.1.1 Lingkungan Internal 59

5.1.1.1 Perencanaan 59

5.1.1.2 Keuangan 61

5.1.1.3 Semberdaya Manusia 62

5.1.1.4 Produksi 65

5.1.1.5 Pemasaran 68

5.1.2 Lingkungan Eksternal 71

5.1.2.1 Pelanggan 71

5.1.2.2 Pesaing 72

5.1.2.3 Pemasok 74

5.2. Analisis Finansial Usaha 75

5.2.1 Keuntungan Usaha 75

5.2.2 Revenue per Cost Ratio 76

5.2.3 Analisis Titik Impas 77

5.2.4 Periode Balik Modal 77

5.2.5 Gross B/C dan Net B/C rasio 78

5.2.6 Return on Investment 78

5.3 Strategi Pengembangan 79

5.3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan 79 5.3.2 Identifikasi Peluang dan Ancaman 83

5.3.3 Formulasi Strategi 86


(8)

6.1 Kesimpulan 98

6.2 Saran 99

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teori ekonomi pembangunan modern memuat pandangan bahwa sektor pertanian sangat potensial untuk menjadi basis pembangunan ekonomi sebuah bangsa. Hal ini dengan syarat jika pertanian telah mampu menjadi pengganda pendapatan (income multiplier) dan pengganda tenaga kerja (employment multiplier).

Pengganda pendapatan maksudnya ialah jika pertanian telah mampu

meningkatkan pendapatan bagi aktifitas yang berkaitan langsung dengan sektor ini. Pengganda tenaga kerja ialah jika sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja dan terbukanya peluang kerja baru di luar pertanian, terutama karena keterkaitan sektor ini dengan industri pengolahan hasil pertanian yang mampu menciptakan nilai tambah bagi produk dan meningkatkan sarana produksi dan infrastruktur ekonomi lainya (Arifin, 2005). Pertumbuhan sektor pertanian selayaknya perlu terus dipacu untuk mewujudkan peran sebagai pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja tersebut. Pertumbuhan tidak dalam arti hanya pada sisi produksi, namun juga harus berorentasi pasar.

Pertumbuhan sektor pertanian dari sisi produksi dan produktivitas menunjukkan kenaikan sejak 2006 hingga tahun sensus 2010. Pemerintah Provinsi Lampung melalui instrumen kebijakannya telah mampu menjaga produksi sektor pertanian yang terus meningkat 11 persen hingga 21,1 persen per tahun (BPS Provinsi


(10)

Lampung, 2010). Pertumbuhan tersebut tercermin dalam produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Lampung yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku dari sektor pertanian (juta rupiah)

No Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 Pertanian,

peternakan, kehutanan, dan perikanan

18.166.620 22.732.966 28.802.380 35.504.650 39.671.283

a Bahan makanan 7.853.896 9.247.871 11.330.605 15.036.500 18.053.022

b Non-pangan 3.337.242 4.648.344 6.575.287 6.529.876 6.999.511

c Peternakan 2.594.662 2.939.343 3.614.931 4.164.902 4.102.245

d Kehutanan 286.280 389.450 436.122 488.814 539.393

e Perikanan 4.094.541 5.507.958 6.845436 8.284.558 9.977.111

Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2010

Tabel 1 mengungkapkan bahwa PDRB dari hampir semua bidang dalam sektor pertanian (terbagi dalam lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan) menunjukkan kenaikan sejak 2006 hingga 2010, meski sempat

mengalami sedikit penurunan. Lapangan usaha bidang bahan makanan (tanaman pangan), kehutanan, dan perikanan tercatat konsisten dalam kenaikan

produksinya. Prestasi bagus dalam PDRB Provinsi Lampung tersebut perlu disambut dengan langkah lanjutan yang tepat. Berkaca pada revolusi hijau tahun 1980an, kebijakan pertanian yang lebih berat orientasinya pada peningkatan hasil semata sangat rentan dengan ekses suplai dan berujung pada anjloknya harga produk. Strategi pertanian perlu juga lebih berlandaskan demand driven (Arifin, 2005).

Peningkatan pendapatan yang seiring dengan pengganda tenaga kerja dapat dilakukan dalam sektor pertanian melalui industrialisasi. Hal ini merupakan upaya peningkatan nilai tambah produk pertanian yang tidak hanya mampu


(11)

meningkatkan ekonomi dan pendapatan petani, namun juga mampu menyerap tenaga kerja dan menciptakan lapangan kerja baru (Arifin, 2005). Tabel 2 menunjukkan hasil kerja industri pengolahan di Provinsi Lampung yang tercatat dalam PDRB.

Tabel 2. Produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku dari industri pengolahan (juta rupiah)

No Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 Industri

pengolahan

6.146.604 8.313.988 9.798.072 12.514.338 17.166.731

a Migas 0 0 0 0 0

b Non-migas 6.146.604 8.313.988 9.798.072 12.514.338 17.166.731

Makanan,

minuman, tembakau

4.232.989 4.743.156 6.160.849 7.614.894 10.445.846

Tekstil, barang dari kulit dan alas kaki

88.846 143.650 210.272 265.739 364.531

Industri lain 1.824.769 3.427.182 3.426.951 4.633.705 6.356.354

Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2010.

Sebagai penyerap tenaga kerja, sektor industri pengolahan baik yang berbasis produk pertanian maupun bukan, telah tumbuh seiring dengan peningkatan produksi pertanian hingga tahun sensus 2010. Pertumbuhan paling tinggi tercatat pada industri pengolahan makanan, minuman, tembakau yaitu 37 persen di tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2009 (BPS Provinsi Lampung, 2010).

Pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan ini menjadikan keduanya sebagai penyumbang terbesar dalam PDRB Provinsi Lampung tahun 2010. Kontribusi berbagai lapangan usaha termasuk pertanian dan industri pengolahan terhadap PDRB Lampung disajikan dalam Tabel 3.


(12)

Tabel 3. Kontribusi lapangan usaha terhadap produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku (persen)

No Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian,

peternakan, kehutanan, dan perikanan

36,98 37,3 39,07 39,28 36,98

Bahan makanan 15,09 15,18 15,37 17,12 16,83

Non bahan makanan

6,79 7,63 8,92 7,43 6,52

Peternakan 5,28 4,82 4,9 4,74 3,82

Kehutanan 0,58 0,64 0,59 0,56 0,5

Perikanan 8,34 9,04 9,29 9,43 9,3

2 Industri pengolahan

12,51 13,65 13,29 14,25 16,0

a Migas 0 0 0 0 0

b Non-migas 12,51 13,65 13,29 14,25 16,0

Makanan, minuman dan tembakau

8,62 7,79 8,36 8,67 9,74

Tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki

0,18 0,24 0,29 0,3 0,34

Industri pengolahan lain

3,71 5,62 4,64 5,18 5,93

3 Lap. Usaha lain 50,51 49,05 47,64 46,47 47,02 Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2010

Pertumbuhan di bidang industri pengolahan makanan, minuman, dan tembakau erat kaitannya dengan konsep demand driven sebagai strategi pembangunan pertanian masa kini. Industri ini mengolah bahan baku dari hasil pertanian, sehingga meningkatkan nilai jual terhadap produk itu sendiri. Pengolahan yang dilakukan menjadikan produk akhir yang lebih sesuai dengan beragam selera konsumen. Peningkatan secara kontinyu bidang makanan dan minuman di Lampung ini juga sama dengan pola yang terjadi dalam skala nasional. Setidaknya dalam periode dua tahun terakhir tercatat terus meningkatnya

pengeluaran per kapita masyarakat akan produk makanan dan minuman jadi (BPS Indonesia, 2011). Data pengeluaran per kapita sebulan masyarakat tersaji dalam Tabel 4.


(13)

Tabel 4. Pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang tahun 2010 dan 2011

No Kelompok barang Perkotaan Pedesaan

2010 2011 2010 2011

1 Makanan

Padi-padian 40.796 39.524 52.352 50.835

Umbi-umbian 1.234 1.378 1.118 1.923

Makanan dan minuman jadi

63.251 80.291 22.895 39.905

Komoditi lain 165.900 184.541 124.548 153.563

Jumlah makanan 271.181 305.734 200.913 246.226

2 Bukan makanan Jumlah bukan makanan

314.309 351.031 146.368 186.338

Total 585.489 656.766 347.281 432.564 Sumber : BPS Indonesia, 2011

Data dalam Tabel 4 mengungkapkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat untuk kelompok makanan terletak pada produk-produk makanan dan minuman jadi. Masyarakat perkotaan ataupun pedesaan sama-sama menunjukkan peningkatan dalam jumlah pengeluaran per kapita untuk konsumsi makanan dan minuman jadi pada periode tahun 2010 hingga 2011. Pengeluaran per kapita meningkat sebesar 27 persen untuk produk makanan dan minuman jadi di daerah perkotaan,

sedangkan di pedesaan lebih besar, mencapai 74,2 persen (BPS Indonesia, 2011).

Sejalan dengan peningkatan konsumsi produk makanan dan minuman jadi, di Indonesia berdiri beragam perusahaan dengan produk minuman jadi berbahan dasar jahe untuk menjawab peluang tersebut. Produk minuman ini bermunculan karena manfaat dari jahe yang memang telah dikenal masyarakat sejak lama. Industri dari berbagai skala usaha masuk ke pasar untuk bersaing memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap minuman jahe sebagai minuman kesehatan hingga sekadar minuman diwaktu senggang.


(14)

Salah satu industri rumah tangga dengan produk minuman siap saji berbahan dasar jahe telah berdiri di Provinsi Lampung. Industri dengan produk bermerek dagang Bandrek Lampung ini berlokasi di Kelurahan Hajimena Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Industri Bandrek Lampung ini termasuk Industri Rumah Tangga (IRT) karena memiliki tenaga kerja kurang dari lima (5) orang (BPS, 2012). Usaha yang berdiri sejak tahun 2008 ini mengolah kelimpahan produksi di wilayah sekitarnya. Data produksi jahe per kabupaten di Provinsi Lampung ditampilkan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Produksi tanaman jahe menurut kabupaten / kota di Provinsi Lampung tahun 2008-2010 (kg)

No Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 1 Kabupaten

Lampung Barat 1.963.362 1.907.395 1.938.614

Tanggamus 192.157 466.804 139.286

Lampung Selatan 78.591 106.868 178.089

Lampung Timur 578.853 599.380 1.299.349

Lampung Tengah 392.124 715.994 681.760

Lampung Utara 473.548 561.767 389.526

Way kanan 1.332.275 2.153.007 308.796

Tulang Bawang 121.894 122.892 73.119

Pesawaran 180.157 640.145 71.389

Pringsewu 0 0 1.738

Mesuji 0 0 15.051

Tulang Bawang Barat

0 0 23.368

2 Kota

Bandar Lampung 32.892 44.732 44.182

Metro 204.808 29.142 28.170

Total 5.550.661 7.348.126 5.201.437 Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2010

Industri Bandrek Lampung memperoleh bahan baku dari petani jahe di Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung. Bahan baku jahe segar tersedia dalam jumlah yang cukup, karena produksi dari dua wilayah terdekat masih memenuhi untuk kebutuhan industri rumah tangga ini. Petani yang menjual


(15)

hasilnya ke industri ini, mendapatkan jaminan permintaan yang berkesinam-bungan. Keberadaan agroindustri pengolahan jahe menjadi minuman bandrek ini telah membawa manfaat bagi warga sekitar lokasi sekaligus juga petani jahe.

Selain dari peran dan manfaat keberadaannya, industri Bandrek Lampung masih mengalami beberapa kendala dalam usahanya. Beberapa masalah tersebut antara lain minimnya modal usaha. Masalah permodalan dapat diatasi salah satunya dengan opsi yaitu peminjaman ke lembaga keuangan atau mengajukan bantuan ke Dinas terkait. Solusi ini belum dapat diupayakan karena pemberian pinjaman modal membutuhkan persyaratan seperti laporan/pencatatan keuangan usaha yang bersangkutan. Hal ini menjadi kendala lanjutan karena industri rumah tangga, termasuk juga Bandrek Lampung, umumnya belum memiliki pencatatan yang lengkap dengan rasio finansial yang dibutuhkan terhadap usahanya. Pendapatan agroindustri juga cenderung tetap atau mungkin rentan mengalami penurunan. Penurunan pendapatan dapat disebabkan karena kenaikan harga bahan baku atau faktor produksi lain. Masalah pendapatan ini akan memberikan gambaran mengenai stabil atau tidaknya usaha yang sedang berjalan tersebut.

Agroindustri skala rumah tangga menghadapi permasalahan lain yaitu persaingan ketat. Pesaing datang dari industri yang berskala lebih besar maupun industri dengan skala sama. Industri untuk minuman bandrek produksi Lampung memang hanya ada beberapa, namun produk subtitusi yang menguasai pasar misalnya produksi PT Santos dan Nestle maupun industri kopi asal Lampung atau minuman jahe lain seperti kopi jahe, susu jahe dan lainnya cukup memberikan pengaruh besar bagi usaha Bandrek Lampung ini. Agroindustri yang pengelolaannya


(16)

kurang handal akan mudah tergusur oleh pesaing-pesaing tersebut. Tabel 6 mengungkapkan keberadaan industri pengolahan yang menghasilkan produk minuman jadi di Kabupaten Lampung Selatan.

Tabel 6. Industri Pengolahan Minuman di Kabupaten Lampung Selatan hingga 2011

No Jenis Industri Jumlah Skala

usaha Alamat

1 Pengolahan kopi dan teh 4 IRT, kecil Kalianda, Katibung Natar

2 Pengolahan susu 4 IRT Katibung, Palas,

Penengahan

3 Minuman ringan 2 IRT,

menengah

Tanjung Bintang, Natar

4 Minuman kesehatan, jahe,

temulawak

3 IRT Katibung, Sidomulyo,

Natar

5 Sirup, limun 3 IRT, kecil Sidomulyo, Natar,

Jatiagung Total 16

Sumber: Disperindagkop dan UKM Kab. Lampung Selatan, 2011

Tabel 6 memberikan informasi bahwa telah ada enam belas (16) industri pengolahan dengan produk minuman jadi yang menjadi pesaing maupun bukan bagi Bandrek Lampung dari kabupaten asalnya. Industri minuman kesehatan hingga tahun 2011 baru ada tiga (3) industri yang terdaftar dan bersertifikat. Hal ini menjadi peluang bagi usaha Bandrek Lampung karena pangsa pasar produk masih terbuka lebar dengan belum banyaknya produk lokal untuk lingkup

Lampung Selatan yang masuk ke pasar (Diskoperindag dan UKM Kab. Lampung Selatan, 2011).

Masalah lain ialah industri Bandrek Lampung belum memiliki bentuk organisasi yang mampu menghadapi perubahan dengan cepat. Hal ini disebabkan karena struktur organisasi internalnya masih sederhana. Struktur sederhana ini menyebabkan tugas dan wewenang personil yang terlibat di dalamnya sering


(17)

merangkap atau overlap. Manajer/pemilik kadang merangkap bagian lain sehingga tugas utamanya justru terlewatkan.

Masalah selanjutnya yang terkait sumber daya manusia adalah belum adanya kerangka kerja atau strategi bagi kelanjutan usaha oleh manajer. Manajemen yang memiliki panduan strategis dalam menyelesaikan masalah usaha akan membawa manajer berfikir cepat dan kreatif. Masalah kemampuan manager/pemilik dalam mengelola bisnisnya adalah hal sangat krusial. Kurangnya keterampilan

mengelola bisnis memiliki kontribusi jauh lebih besar dalam jatuhnya sebuah usaha dibandingkan dengan masalah kurangnya modal (Singer, 2006).

Masih terkait dengan kerangka kerja sebuah usaha, penelitian menunjukkan bahwa 24 persen dari perusahaan baru yang muncul bangkrut dalam dua tahun, dan 63 persen akan bernasib sama dalam lima tahun pertamanya. Kejadian menyedihkan ini disebabkan karena ketidaklayakan sistem akuntansi sampai kegagalan yang bersangkutan mengantisipasi pertumbuhan. Masalah inti sebenarnya adalah karena kurangnya manajemen strategis secara keseluruhan, mulai dari tidak mampu merencanakan strategi menggaet pelanggan hingga pada kegagalan mengontrol kinerja perusahaannya. Dalam hampir semua kasus usaha kecil/rumah tangga, perencanaan yang dilakukan pemilik sangat minim dan usaha dijalankan hanya sebagai rutinitas (Hunger dan Wheelen, 2003).

Mencermati permasalahan berupa modal yang kecil, pendapatan yang fluktuatif, belum adanya kajian terhadap aspek finansial usaha, struktur organisasi

sederhana, persaingan ketat, dan belum adanya strategi bagi kelanjutan usaha, maka perlu adanya penelitian terkait hal tersebut. Penelitian ini sendiri


(18)

difokuskan untuk mempelajari kondisi usaha tumah tangga Bandrek Lampung dari segi finansial serta merumuskan langkah-langkah bagi pengembangan usahanya. Strategi usaha yang tepat akan membawa industri ini tidak hanya sekedar bertahan namun juga mampu memenangkan persaingan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada subbab 1.1, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apakah usaha Bandrek Lampung menguntungkan secara finansial? 2. Bagaimana strategi pengembangan usaha Bandrek Lampung?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui keuntungan usaha Bandrek Lampung secara finansial. 2. Merumuskan strategi pengembangan usaha Bandrek Lampung.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain:

1. Sebagai bahan informasi bagi pemilik usaha untuk mengembangkan usahanya.

2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Agronomis Jahe

Uraian tentang tanaman jahe disarikan dari naturindonesia.com. Jahe merupakan tanaman obat berumpun dan berbatang semu. Tanaman yang berasal dari Asia Pasifik dan tersebar dari India sampai Cina ini termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), satu famili dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Cucuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Languas galanga) dan lain-lain. Nama daerah jahe antara lain halia (Aceh), jahi (Lampung), jae (Jawa dan Bali), dan beberapa nama lain. Klasifikasi ilmiah tanaman jahe sebagai berikut. Kingdom : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberales Keluarga : Zingiberaceae Genus : Zingiber


(20)

Tanaman jahe memiliki ciri-ciri berbatang semu setinggi 30 cm sampai 1 meter, daun sedikit berbulu, rimpang berwarna kuning atau jingga, dan rimpang berasa pedas. Jahe yang saat ini dibudidayakan terdiri dari tiga jenis, yaitu jahe gajah / jahe badak, jahe emprit / jahe kecil, dan jahe merah. Rimpang jahe dapat

digunakan sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula dan berbagai minuman. Tanaman ini digunakan pada industri obat, minyak wangi, industri jamu tradisional, diolah menjadi asinan jahe, acar, lalap, bandrek, sekoteng dan sirup. Saat ini para petani cabe

menggunakan jahe sebagai pestisida alami. Jahe dijual dalam bentuk segar, kering, jahe bubuk dan awetan jahe. Hasil olahan jahe yang lain adalah minyak astiri dan koresin yang diperoleh dengan cara penyulingan yang berguna sebagai bahan pencampur dalam minuman beralkohol, es krim, campuran sosis dan lain-lain.

Jahe tumbuh dengan baik di daerah tropis dan subtropis dengan ketinggian 0-2.000 mdpl. Tanaman ini membutuhkan sinar matahari dalam jumlah besar dan curah hujan antara 2.500-4.000 mm/tahun. Wilayah penanamannya tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, biasa ditanam di kebun atau pekarangan. Negara lain yang menjadi produsen jahe diantaranya Australia, Sri Lanka, Cina, Mesir, India, Jepang, Jamaika, dan beberapa negara lain. Jahe asal Jamaika dikenal memiliki kualitas terbaik di dunia saat ini (naturindonesia.com, 2012).

2.1.2 Agroindustri

Agroindustri berasal dari dua kata agricultural dan industri yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian dalam arti luas sebagai bahan baku


(21)

utamanya. Agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri input pertanian dan industri jasa pertanian. Industri jenis ini sering disebut sebagai industri off farm atau yang sekarang lebih popular dengan sebutan agroindustri (Prasetyo, 2009). Apabila dilihat dari sistem agribisnis, agroindustri merupakan bagian (subsistem) agribisnis yang memproses dan mentranformasikan bahan-bahan hasil pertanian (bahan makanan, kayu dan serat) menjadi barang setengah jadi, barang jadi, dan barang atau bahan hasil produksi industri yang digunakan dalam proses produksi seperti traktor, pupuk, pestisida, mesin pertanian dan lain-lain (Suprapto, 2012).

Batasan di atas menerangkan bahwa agroindustri merupakan sub sektor yang luas yang meliputi industri hulu sektor pertanian sampai dengan industri hilir. Industri hulu adalah industri yang memproduksi alat-alat dan mesin pertanian serta

industri sarana produksi yang digunakan dalam proses budidaya pertanian. Industri hilir merupakan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi atau merupakan industri pascapanen dan pengolahan hasil pertanian.

Dalam kerangka pembangunan pertanian, agroindustri merupakan penggerak utama perkembangan sektor pertanian, terlebih dalam masa yang akan datang posisi pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional sehingga peranan agroindustri akan semakin besar. Ini artinya upaya mewujudkan sektor pertanian yang tangguh, maju dan efisien sehingga mampu menjadi leading sector (sektor pemimpin) dalam pembangunan nasional, harus ditunjang melalui


(22)

Agroindustri memiliki setidaknya empat poin sumbangan nyata bagi

pembangunan pertanian khususnya negara berkembang. Pertama, agroindustri adalah pintu berkembangnya sektor pertanian. Produk agroindustri memiliki pasar yang lebih luas, sehingga permintaan jumlah dan ragam produksi pertanian akan meningkat. Permintaan ini mendorong petani untuk mengadopsi aneka teknologi baru, selain juga memacu pengembangan prasarana (jalan, listrik, dan sebagainya). Agroindustri yang berbasis industri kecil menengah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tangguh dan tahan gejolak ekonomi. Penyerapan tenaga kerja yang banyak oleh agroindustri ini pun mempercepat terwujudnya distribusi pendapatan yang merata (Bakce, 2008).

Poin kedua ialah agroindustri sebagai dasar sektor manufaktur. Transformasi penting lainnya dalam agroindustri kemudian terjadi karena permintaan terhadap makanan olahan semakin beragam seiring dengan pendapatan masyarakat dan urbanisasi yang meningkat. Poin selanjutnya agroindustri menghasilkan komoditas ekspor penting. Produk agroindustri termasuk produk dari proses sederhana seperti pengeringan, mendominasi ekspor kebanyakan negara berkembang sehingga menambah perolehan devisa. Poin terakhir adalah

agroindustri pangan merupakan sumber nutrisi yang beraneka ragam. Semua poin tersebut akan terlihat nyata jika dikelola serius dari semua pihak yang

berkepentingan (Suprapto, 2012).

Masih terkait dengan keempat poin tersebut, agroindustri berperan dalam

menguatkan daya saing produk karena mampu mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Bahan baku lokal sebagai keunggulan


(23)

komparatif ini seharusnya bisa menjamin keberlanjutan agroindustri. Selanjutnya agroindustri menaikkan nilai tambah hasil pertanian sehingga memperbesar pangsa pasar. Semua ini diharapkan mampu berujung pada berubahnya struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri (Tarigan dan Supriyati, 2008).

Secara umum agroindustri di Indonesia masih menghadapi beberapa

permasalahan pokok dalam pengembangannya. Masalah tersebut antara lain dalam bidang kemampuan teknologi, kualitas sumber daya manusia (SDM) pengelola, koordinasi dan sinkronisasi program kelembagaan, iklim yang belum kondusif, infrastruktur pendukung dan pengembangan yang masih terbatas dan masih langkanya SDM berkualitas yang berminat menekuni agroindustri terutama di pedesaan. Permasalahan dalam bidang teknologi berupa ketergantungan pada teknologi luar negeri untuk mengolah produk pertanian. Hal ini karena teknologi buatan lokal yang tepat guna dan siap digunakan terbatas ketersediaannya.

Masalah tersebut mengakibatkan rendahnya produktifitas dan efisiensi, serta pendapatan pelaku agribisnis dan agroindustri. Selanjutnya beberapa program yang perlu dikembangkan antara lain pengembangan komoditas unggulan, kemudian pengembangan sistem pemasaran efektif, penyediaan sarana transportasi dan ditribusi produk, pengembangan kemitraan dan kelembagaan pertanian (Prasetyo, 2009). Permasalahan tersebut dapat dideskripsikan seperti pada Tabel 7.


(24)

Tabel 7. Permasalahan agroindustri sekarang dan harapan masa datang Permasalahan Kondisi sekarang Kondisi harapan

Orientasi industri Kurangnya budaya kewirausahaan Agroindustri yang berorientasi

pasar

Kondisi SDM Rendahnya kemampuan SDM SDM berkualitas dan

kompeten

Kondisi teknologi Penguasaan teknologi rendah Peningkatan dan penguasaan

iptek yang mendukung inovasi

Perilaku pasar Kurang informasi pasar Peningkatan manajemen

informasi untuk memperluas pangsa pasar

Perilaku organisasi Belum memiliki bentuk organisasi yang

adaptif terhadap perubahan

Manajemen profesional dan adaptif

Perilaku masyarakat Sebagian masih lebih menyukai produk

impor

Meningkatnya budaya cinta produk dalam negeri

Peran pemerintah Kurangnya political will pemerintah Pemerintah lebih berpihak

pada petani dan usaha kecil Sumber : Prasetyo, 2009

2.1.3 Minuman Bandrek

Bandrek merupakan minuman tradisional khas masyarakat Sunda. Minuman ini berbahan baku jahe, namun bercita rasa yang jauh berbeda dengan wedang jahe pada umumnya. Bandrek dikonsumsi untuk menaikkan kehangatan tubuh atau sekadar untuk minuman selingan. Minuman ini biasa disajikan pada cuaca dingin atau malam hari. Bandrek yang awalnya hanya ada di Jawa Barat kini telah menyebar. Produsen minuman bandrek instan juga tidak lagi berasal dari Jawa Barat, misalnya produk terkenal yang bermerek dagang Bandrek Sorbah diproduksi di Medan, Sumatera Utara (Muchlis, 2013).

Bandrek secara tradisional terbuat dari bahan utama jahe dan gula merah. Beberapa daerah kemudian menambahkan rempah-rempah berupa serai, pandan, merica, atau telur ayam kampung untuk menambah khasiatnya. Penambahan susu cair juga bisa dilakukan sesuai selera. Bandrek siap saji yang kini beredar telah memodifikasi resep gula merah menjadi gula putih untuk memudahkan


(25)

pengemasan dan daya tahan produk. Rempah-rempah yang dimasukkan dalam komposisinya juga disesuaikan dengan rasa yang diinginkan, atau menciptakan kekhasan dari produk itu sendiri.

Resep bandrek tradisional umumnya terdiri dari jahe, gula merah, daun pandan, cengkih, kayu manis, dan garam. Diagram alir pembuatan bandrek tradisional disajikan dalam Gambar 1 (Muchlis, 2013).

Gambar 1. Diagram alir pembuatan bandrek

Resep Bandrek Lampung juga berasal dari resep tradisional ini, akan tetapi sedikit ditambah rempah-rempah untuk memberikan ciri yang membedakan dari jenis yang lain. Komposisi produk minuman Bandrek Lampung terdiri dari jahe emprit, gula putih, gula aren, lada hitam, cabai jawa, kayu manis, pala, kapulaga, dan cengkeh. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode kering untuk menghasilkan serbuk bandrek yang siap saji dengan cara diseduh. Diagram alir pembuatan Bandrek Lampung disajikan dalam Gambar 2.


(26)

Gambar 2. Diagram alir pembuatan Bandrek Lampung

2.1.4 Kajian Finansial Usaha

Tujuan penilaian terhadap sebuah usaha adalah melihat apakah usaha tersebut secara teknis, ekonomis, dan komersial cukup menguntungkan untuk dilaksanakan atau tidak. Penilaian umumnya dilakukan berdasarkan rencana bisnis yang

diajukan. Namun tidak hanya sampai disitu, tetapi juga penilaian saat usaha dioperasionalisasikan untuk mencapai keuntungan dalam waktu tidak ditentukan


(27)

(Kadariah, 2001). Ada lima aspek yang harus dicermati pada saat melihat keragaan sebuah usaha, yaitu aspek pasar dan pemasaran, teknis dan teknologi, manajemen operasional, finansial, dan aspek yuridis (Wibowo, 2005).

Analisis finansial memiliki arti menilai dan menentukan satuan rupiah terhadap aspek-aspek yang dianggap layak dari keputusan yang dibuat dalam tahapan analisis usaha. Alur analisis secara finansial ini digolongkan dalam tiga tahap, yaitu membuat rekap penerimaan, membuat rekap semua biaya yang telah diputuskan, dan menguji apakah aliran kas masuk yang dihasilkan layak berdasarkan kriteria yang ada. Kegiatan analisis finansial yang dilakukan disesuaikan dengan semua kepentingan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana pendirian usaha, meliputi pemilik usaha, pemberi pinjaman, dan

pemerintah (Sofyan, 2004). Beberapa metode dapat digunakan secara bersamaan untuk menilai sebuah usaha tertentu dari segi finansial.

Metode Pay Back Period (PBP) mengandung pengertian sebagai suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas, dengan kata lain PBP merupakan rasio antara initial cash investment dengan keuntungannya yang hasilnya merupakan satuan waktu. Selanjutnya nilai rasio ini dibandingkan dengan maksimum PBP yang dapat diterima.

Apabila waktu PBP hasilnya lebih pendek dari umur ekonomi (PBP maksimum) maka usaha dikatakan layak dijalankan. Metode ini tidak memperhatikan konsep

X 1 tahun Nilai investasi

keuntungan PBP =


(28)

∑ laba selama umur usaha Modal usaha

nilai waktu uang (time value of money) dan juga aliran kas masuk pasca PBP (Sofyan, 2004).

Break Event Point (BEP) adalah metode yang digunakan untuk mengetahui kapan atau berapa tepatnya sebuah usaha mencapai titik impas. Titik impas dicapai dengan penjualan sejumlah tertentu yang seimbang dengan biaya yang

ditanggung. Kondisi ini mendudukkan usaha pada titik tidak untung dan tidak pula rugi. Nilai BEP per tahun dapat dihitung melalui persamaan (Wibowo, 2005):

Persentase untuk BEP dapat dihitung melalui persamaan:

Kapasitas pada BEP per tahun suatu usaha dihitung dengan persamaan berikut.

Metode lain yang digunakan untuk menilai kelayakan tanpa melihat nilai waktu uang ialah metode marginal efficiency of capital (MEC). MEC adalah

perbandingan antara laba yang diperoleh selama umur usaha dengan modal yang telah dikeluarkan. Usaha dinyatakan layak jika nilai MEC>1 (Sofyan, 2004). MEC dihitung dengan persamaan:

MEC = BEP =

Total biaya tetap 1 – total biaya variabel penerimaan

Persentase BEP = Total biaya tetap

penerimaan – biaya variabel

X 100%


(29)

P.V. dari gross benefit P.V. dari gross cost

Metode gross benefits per cost ratio(gross B/C) diterapkan dengan menghitung biaya modal (capital cost) atau biaya investasi permulaan dan biaya operasional serta pemeliharaan sebagai gross cost. Gross benefit selanjutnya dihitung dari nilai total produksi (Kadariah, 2001). Gross B/C dapat dihitung dengan persamaan:

Net B/C ialah perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net costs. Periode pertama dari usaha biasanya akan menghasilkan gross cost lebih besar dari gross benefit, sehingga net benefit akan negatif. Hal ini disebut dengan net costs. Waktu selanjutnya, gross benefit

umumnya lebih besar dari gross cost, sehingga net benefit akan positif (Kadariah, 2001). Usaha dinyatakan layak dijalankan atau dikembangkan jika nilai gross B/C dan net B/C lebih besar dari 1. Net B/C dapat dihitung dengan persamaan:

B/C ratio atau profitability index (P.I) adalah perbandingan antara aliran kas positif dalam periode tertentu dengan modal awal investasi. Usaha dinyatakan layak jika nilai B/C ratio > 1 (Sofyan, 2004). B/C ratio dihitung dengan persamaan:

Penilaian terhadap pendapatan usaha mempunyai dua tujuan yaitu

menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan menggambarkan Gross B/C =

Net B/C = ∑ P.V. net B positif

Net benefit P.V. net B negatif Net costs =


(30)

keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Semakin tinggi fluktuasi pendapatan usaha menandakan sebuah usaha yang semakin tidak stabil. Pendapatan kotor usaha atau penerimaan merupakan hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usaha. Pendapatan atau keuntungan adalah selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran total usaha (Soekartawi, 1995). Pendapatan

usaha (π) dihitung dengan mengurangkan total revenue (TR) dengan total cost (TC) dalam persamaan:

Analisis revenue per cost ratio (R/C ratio) adalah perbandingan antara penerimaan dengan biaya. Penggunaan R/C ratio dalam analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil kegiatan usaha menguntungkan selama waktu tertentu. Usaha dinilai menguntungkan dan layak dijalankan jika nilai R/C ratio > 1 (Soekartawi, 1995). Semakin tinggi nilai R/C maka efisiensi penggunaan input semakin tinggi. Nilai ini menggambarkan berapa rupiah hasil yang dapat dicapai dari setiap rupiah yang dikorbankan. R/C ratio dihitung dengan persamaan:

Perhitungan R/C ratio dibedakan menjadi R/C ratio atas biaya tunai dan R/C ratio atas biaya total. R/C ratio atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai sedangkan, R/C ratio atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total yang dikeluarkan.

R/C ratio =

Total revenue Total cost π = TR - TC


(31)

Biaya operasi Penerimaan total Biaya operasi Penerimaan total

Pendapatan neto Penerimaan total

Formula diatas digunakan untuk menghitung R/C ratio atas biaya total, sedangkan R/C ratio atas biaya tunai dihitung dalam persamaan:

Penerimaan total dalam usaha juga dapat dimanfaatkan untuk memperoleh nilai rasio operasi. Rasio operasi adalah indikator kemampuan manager untuk mengawasi biaya-biaya yang digunakan untuk operasi. Rasio operasi juga bermanfaat untuk mengecek ada atau tidaknya pemborosan biaya (Gittinger, 1986). Persamaan rasio operasi sebagai berikut.

Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk operasi juga terlihat dari pengembalian atas penjualan. Pengembalian atas penjualan menunjukan besarnya biaya operasi perusahaan dalam penjualannya. Nilainya ditentukan dengan membagi

pendapatan neto dengan penerimaan total. Semakin rendah nilai pengembalian atas penjualan, maka semakin besar penjualan yang harus diperoleh agar pengembalian atas investasi secara memadai dapat tercapai (Gittinger, 1986). Pengembalian atas penjualan dinyatakan dengan persamaan:

Rasio operasi (persen) = Rasio operasi (persen) = Rasio operasi (persen) =

Pengembalian penjualan (persen) = R/C ratio =

Total revenue Biaya tunai R/C ratio =

Total revenue Biaya total


(32)

Σ Keuntungan usaha Umur ekonomis

Σ Keuntungan usaha - investasi investasi

Proses menilai efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari investasi yang telah dilakukannya dapat dikerjakan dengan indikator ROI (return on investment). ROI dapat dinyatakan dengan formula berikut (Sofyan, 2004).

Semakin tinggi nilai ROI berarti semakin efektif sebuah usaha menghasilkan keuntungan dari investasinya. Konsep tentang pengembalian atas investasi ini dapat dimodifikasi sesuai situasi dan tujuan penggunanya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada formula yang “lebih benar”. Sebagai contoh, ROI juga bisa dinyatakan sebagai perbandingan selisih keuntungan usaha dengan nilai investasi terhadap investasi itu sendiri (investopedia.com, 2013).

2.1.5 Manajemen Strategi

2.1.5.1 Konsep Manajemen Strategi

Analisis mengenai manajemen strategi merupakan salah satu topik yang banyak dipelajari secara serius di bidang akademis. Hal ini disebabkan karena setiap saat terjadi perubahan, seperti persaingan yang semakin ketat, peningkatan inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi, perubahan teknologi yang semakin canggih, dan perubahan kondisi demografis, yang mengakibatkan berubahnya selera konsumen secara cepat. Perusahaan atau pelaku ekonomi secara umum membutuhkan analisis langkah-langkah strategis yang harus diambil untuk menjawab semua tantangan tersebut.

ROI (persen) = : investasi


(33)

Manajemen strategi mengkombinasikan pola berpikir strategis dengan proses manajemen. Segala sesuatu yang bersifat strategi tidak hanya berhenti pada proses perencanaan saja tetapi dilanjutkan sampai pada tingkat operasi dan pengawasan. Keberhasilan merencanakan, menerapkan, serta mengawasi penerapan strategi yang telah dibuat akan membawa perusahaan tumbuh dan berkembang. Manajemen strategi juga mencakup pola baru yang terjadi dalam persaingan bisnis. Pola itu adalah peralihan perencanaan menjadi keunggulan bersaing, peralihan dari elitisme menjadi egalitarianisme, peralihan dari kalkulasi menjadi kreativitas, dan peralihan dari sifat kaku menjadi fleksibel (Wahyudi, 1996).

Peralihan perencanaan menjadi keunggulan bersaing maksudnya perusahaan menciptakan kompetensi khusus untuk menghadapi pesaing. Kompetensi khusus ini mampu mengubah struktur pasar dari persaingan sempurna menjadi persaingan tidak sempurna. Kompetensi khusus juga mensyaratkan kemampuan perusahaan yang tidak dapat dengan mudah ditandingi oleh pesaing. Peralihan yang kedua membawa maksud bahwa tuntutan berpikir strategis tidak hanya kepada para elit organisasi/perusahaan, tetapi ditanamkan kepada setiap orang di perusahaan tersebut. Hal ini karena pihak yang melakukan perencanaan adalah pihak yang akan melaksanakan rencana tersebut. Peralihan ketiga muncul dari kesadaran bahwa tidak semua sisi dalam bisnis dapat diukur dan dikalkulasi. Langkah kreatif yang berdasarkan perasaan (senses) juga mampu membawa keberhasilan. Peralihan yang terakhir berarti bahwa strategi perusahaan harus fleksibel, adaptif, serta mampu mengelola stabilitas dan perubahan.


(34)

Keempat pola peralihan dalam dunia bisnis tersebut kembali menegaskan

pentingnya menyusun strategi yang sinergis dengan pola manajemen. Manajemen strategi didefinisikan sebagai serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang akan menentukan kinerja perusahaan bersangkutan dalam jangka panjang.

Manajemen strategi meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi, implementasi, evaluasi, serta pengendalian. Manajemen strategi menekankan pada pengamatan dan evaluasi terhadap peluang dan ancaman lingkungan dengan melihat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan (Hunger dan Wheelen, 2003).

Tahap pembuatan strategi yang meliputi pengamatan lingkungan dan perumusan strategi, merupakan tahap paling menantang dalam manajemen strategi.

Pembuatan strategi adalah proses menyatukan perusahaan dengan lingkungannya, kemudian menelurkan strategi-strategi yang sesuai dengan lingkungan untuk mencapai tujuan perusahaan. Elemen dalam pembuatan strategi adalah

identifikasi masalah strategis, mengembangkan alternatif strategi, evaluasi dari tiap alternatif, dan penentuan pemilihan strategi terbaik (Porter, 1980 dalam Wahyudi, 1996).

Tahap ini merupakan tumpuan untuk menentukan arah perusahaan/organisasi dalam upaya pencapaian tujuan. Berlatar belakang fungsi yang demikian, maka tahap ini harus dikerjakan oleh jajaran manajemen puncak. Kesalahan dalam tahap pembuatan strategi akan mengakibatkan kekalahan total dalam persaingan. Terdapat lima teknik yang membantu dalam proses pembuatan strategi. Teknik


(35)

tersebut yaitu teknik analisis kesenjangan, matrik strategi umum, matrik Boston Consulting Group, matrik SWOT, dan analisis daur hidup produk.

Strategi yang telah dirumuskan perlu dijalankan dengan sungguh-sungguh. Penerapan dari rencana adalah sebuah proses pemindahan misi, tujuan, dan strategi menjadi suatu hasil dan melibatkan semua aspek dalam perusahaan. Ini adalah proses yang rumit, serta tidak kalah vital dari pembuatan strategi untuk keberhasilan usaha. Tahap ini membutuhkan komitmen dan kerjasama dari seluruh unit, tingkat, dan anggota jika ingin berhasil sesuai target. Apabila hal itu tidak terpenuhi, maka strategi yang telah disusun hanya akan menjadi impian. Keterkaitan antar elemen perusahaan dalam pengaplikasian strategi terlihat dalam Gambar 3.

Gambar 3. Model 7S Mc Kinsey

Gambar 3 menjelaskan bahwa jalannya organisasi perusahaan akan efektif jika ketujuh elemen yang berbeda tersebut sesuai. Perubahan atau pembaharuan pada salah satu elemen perusahaan tidak akan efektif jika tidak diikuti oleh penyesuaian bagian lain. Model 7S juga dapat dipakai untuk memahami penyebab kinerja perusahaan yang kurang baik (Wahyudi, 1996).


(36)

Implementasi strategi adalah tentang mengorganisasi tindakan. Gambar 3 juga mangungkapkan bahwa yang akan mengimplementasikan strategi berjumlah lebih banyak dari yang membuat. Mulai dari manajemen puncak hingga karyawan paling bawah harus sejalan dan memiliki semangat yang sama. Ketidakselarasan dalam tindakan umumnya karena bawahan kadang tidak dilibatkan dalam

perumusan strategi. Untuk mencapai kinerja usaha yang lebih baik, seluruh lapisan dalam perusahaan sebaiknya dilibatkan dalam keseluruhan proses (Hunger dan Wheelen, 2003).

Lingkungan usaha yang berubah dengan cepat menuntut para pelaku ekonomi untuk selalu mengevaluasi strategi bisnisnya. Pelaku bisnis harus mengadakan penyesuaian dalam strateginya untuk merespon perubahan lingkungan yang terjadi. Tindakan mengevaluasi dan mengontrol segala aktifitas perusahaan dilakukan agar setiap bagiannya selalu berada pada jalur yang direncanakan. Proses evaluasi terhadap kinerja perusahaan kaitannya dengan strategi yang dicanangkan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan.

Tahap pertama adalah menentukan standar untuk mengukur kinerja perusahaan dan membuat batas toleransi. Tahap selanjutnya ialah menghitung dan mengukur hasil kinerja yang telah dicapai. Tahapan ketiga ialah membandingkan antara standar dengan hasil yang dicapai. Tahapan terakhir yaitu melakukan perbaikan yang diperlukan berdasarkan hasil evaluasi ini (Wahyudi, 1996).


(37)

2.1.5.2 Analisis SWOT

Matrik SWOT digunakan dalam identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini menggunakan logika dalam memaksimalkan pemakaian kekuatan dan peluang untuk memanipulasi kelemahan dan meminimalkan ancaman. Analisis SWOT memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan strategis seperti disajikan dalam Gambar 4 (Rangkuti, 2004).

Gambar 4. Proses pengambilan keputusan strategis

Kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Analisis SWOT membandingkan antara faktor internal, kekuatan dan kelemahan, dengan faktor eksternal, peluang dan ancaman. Secara sederhana, matrik SWOT dapat menggambarkan kondisi yang sedang dialami sebuah usaha atau perusahaan dalam empat kuadran seperti dalam Gambar 5.


(38)

Gambar 5. Kuadran analisis SWOT

Kuadran I mengungkapkan kondisi usaha yang didukung peluang besar dan kekuatan memadai. Kondisi ini menguntungkan dan harus direspon dengan strategi berorentasi pertumbuhan (growth oriented strategy). Selanjutnya kuadran II , perusahaan memiliki keunggulan internal namun menghadapi ancaman, misalnya persaingan ketat. Kuadran III menggambarkan kondisi pasar yang potensial dengan banyaknya peluang yang ada, namun terkendala internal perusahaan. Kendala internal harus segera diatasi agar peluang yang ada dapat termanfaatkan. Kuadran IV menggambarkan perusahaan yang menghadapi ancaman dan kelemahan internal sekaligus.

Perumusan strategi dengan bantuan matrik SWOT dilalui dengan enam langkah (Yusa, 2011), yaitu:

1. Menentukan semua faktor eksternal perusahaan (O,T). 2. Menentukan semua faktor internal perusahaan (S,W).

3. Mencocokan faktor S dan O untuk mendapatkan strategi SO. 4. Mencocokan faktor W dan O untuk mendapatkan strategi WO.


(39)

5. Mencocokan faktor S dan T untuk mendapatkan strategi ST. 6. Mencocokan faktor W dan T untuk mendapatkan strategi WT.

Menentukan faktor eksternal atau lingkungan eksternal yang berpengaruh dilakukan dengan bantuan kolom EFAS (external factors strategy). Contoh bentuk kolom EFAS tersaji dalam Tabel 8.

Tabel 8. Kolom EFAS

Faktor eksternal Bobot Rating B x R Komentar Opportunities:

1. 2. Threats: 1. Total

Sumber: Rangkuti, 2004

Semua faktor yang menjadi peluang dan ancaman dituliskan dalam kolom faktor eksternal untuk diberi bobot dan rating. Tiap faktor diberi bobot antara 1,0 (sangat penting) hingga 0,0 (tidak penting) dampaknya terhadap kondisi

perusahaan. Pembobotan memerlukan perhitungan matang karena jumlah total bobot maksimal adalah 1,0. Kemudian setiap faktor diberi rating. Faktor peluang yang paling besar pengaruhnya diberi rating empat (4), sedangkan peluang

terkecil diberi rating satu (1). Faktor ancaman terbesar dapat diberi rating satu (1), sedangkan jika ancaman kecil diberi rating empat (4).

Langkah selanjutnya adalah mengalikan bobot dengan rating. Kolom komentar digunakan untuk memberi catatan mengapa faktor-faktor tertentu tersebut dipilih. Selanjutnya ialah menjumlahkan angka pada kolom BxR. Nilai total ini


(40)

menunjukan bagaimana perusahaan ini bereaksi terhadap faktor eksternal yang terjadi.

Penyusunan faktor-faktor internal yang berpengaruh dilakukan dengan bantuan kolom IFAS (internal factors strategy). Bentuk kolom IFAS tersaji dalam Tabel 9.

Tabel 9. Kolom IFAS

Faktor internal Bobot Rating B x R Komentar Strenght:

1. 2.

Weakness: 1.

Total

Sumber: Rangkuti, 2004

Langkah pembobotan dan rating hingga nilai total mengikuti aturan yang sama dengan kolom EFAS. Kekuatan terbesar diberi rating empat (4) dan terkecil satu (1). Kelemahan terbesar diberi rating satu (1), sedangkan terkecil adalah empat (4). Nilai total menunjukan bagaimana perusahaan ini bereaksi terhadap faktor internal yang berpengaruh pada kondisi usaha itu sendiri.

Setelah mengidentifikasi semua faktor baik internal maupun eksternal, langkah selanjutnya adalah menentukan garis besar strategi yang akan dirumuskan untuk usaha tersebut. Langkah ini dilaksanakan dengan memetakan kondisi usaha berdasarkan kuadran SWOT pada Gambar 5. Garis horizontal pada kuadran SWOT adalah hasil pengurangan jumlah BxR faktor kekuatan dengan kelemahan pada kolom IFAS, sedangkan garis vertikal adalah hasil pengurangan jumlah BxR


(41)

faktor peluang dengan faktor ancaman pada kolom EFAS. Nilai akhir dari kolom IFAS dan EFAS tersebut selanjutnya dicocokan dalam kuadran untuk mengetahui acuan bagi strategi pengembangan usaha ini.

Posisi pada kuadran I berarti orientasi strategi perusahaan sebaiknya agresif (growth oriented strategy) karena kondisi internal dan eksternal yang memadai. Jika berada pada kuadran II berarti strategi perusahaan sebaiknya bersifat

diversifikasi. Jika berada pada kuadran III berarti strategi perusahaan sebaiknya bersifat turn around atau penciutan. Apabila posisi perusahaan berada di kuadran IV maka strategi kedepan sebaiknya bersifat defensif.

Selanjutnya strategi alternatif dapat dirumuskan melalui matrik SWOT. Matrik ini membantu perencana memadukan tiap unsur internal dengan eksternal untuk merumuskan strategi menghadapi persaingan. Matrik kombinasi ditampilkan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Matrik kombinasi strategi

Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) Strategi SO: menggunakan

kekuatan untuk

memanfaatkan peluang

Strategi WO: mengatasi kelemahan untuk mengambil peluang

Ancaman (T) Strategi ST: menggunakan kekuatan untuk meminimalisir ancaman

Strategi WT: mengatasi kelemahan untuk meminimalisir ancaman Sumber: Rangkuti, 2004 dan Wahyudi, 1996

Sel kekuatan (S) diisi dengan semua faktor yang telah teridentifikasi dan telah melalui proses dalam kolom IFAS. Nilai BxR pada kolom IFAS dan EFAS digunakan untuk memberi ranking atau urutan penulisan faktor dalam matrik


(42)

kombinasi strategi. Faktor kekuatan yang memiliki poin BxR terbesar ditulis pertama kali, kemudian diikuti faktor yang memiliki poin BxR terbesar kedua dan seterusnya. Faktor dengan nilai BxR terbesar berarti faktor tersebut adalah kekuatan terbesar sekaligus berpotensi menimbulkan dampak yang besar bagi perusahaan. Aturan penulisan poin ini berlaku pula untuk sel kelemahan, peluang, dan ancaman.

Strategi SO berarti menggunakan kekuatan internal sebesar-besarnya untuk

meraih semua peluang yang ada. Strategi WO bertujuan memperbaiki kekurangan internal dengan memanfaatkan peluang. Strategi ST ini menggunakan kekuatan internal untuk mengurangi dampak ancaman ekternal. Strategi WT adalah taktik paling defensif untuk memanipulasi kekurangan dan menghindari dampak ancaman lingkungan.

Jumlah strategi alternatif yang ada dalam sel SO, ST, WO, dan WT adalah

sejumlah perkalian faktor pembentuknya. Misalnya jika sel S terdiri dari lima (5) faktor dan sel O terdiri dari lima (5) faktor pula, maka sel SO akan memuat dua puluh lima (25) alternatif strategi. Jumlah ini diperoleh dari persilangan S1O1, S1O2, S1O3, dan seterusnya hingga S5O5. Aturan ini berlaku pula untuk sel WO, ST, dan WT. Jika masing-masing sel S, W, O, dan T memuat 5 faktor, maka akan terbentuk seratus (100) strategi alternatif. Strategi alternatif yang telah terbentuk ini selanjutnya dipilih untuk mendapatkan strategi prioritas yang akan dilakukan.


(43)

2.1.6 Focus Group Discussion (FGD)

Focus group discussion (FGD) merupakan salah satu metode dalam penelitian sosial. Pemakaian metode FGD dalam penelitian sosial memiliki kelebihan dalam memberikan kemudahan dan peluang bagi peneliti untuk menjalin keterbukaan, kepercayaan, dan memahami persepsi. FGD juga mampu menggali sikap, serta pengalaman yang dimiliki responden. Metode FGD memungkinkan peneliti dan responden berdiskusi intensif dan fleksibel untuk membahas topik yang spesifik. Metode FGD juga memungkinkan peneliti mendapat hasil secara cepat dan akurat dari peserta yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Dinamika kelompok (interaksi pelaku FGD) yang terjadi selama berlangsungnya proses diskusi seringkali memberikan informasi penting yang tidak terduga sebelumnya.

Focus group discussion (FGD) didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2006 dalam Yusuf, 2011). Metode FGD yang

dilakukan hendaknya memenuhi beberapa prinsip berikut (Irwanto, 2006 dalam Zebua, 2007).

1. FGD merupakan kelompok diskusi, bukan wawancara. Ciri khusus yang dimiliki metode FGD dari metode lain adalah interaksi antar anggotanya. Tanpa interaksi yang dinamis maka FGD hanya akan kembali menuju bentuk wawancara kelompok atau FGI (focus group interview). Kondisi ini dapat terjadi jika moderator cenderung menanyakan setiap topik kepada seluruh peserta FGD secara orang per orang. Semua peserta FGD secara bergilir diminta merespon topik, sehingga tidak terjadi interaksi antar


(44)

peserta. Kondisi ideal FGD terjadi jika topik atau masalah yang diberikan moderator ditanggapi oleh responden A, kemudian disanggah oleh B lalu dikomentari lagi oleh C dan demikian seterusnya.

2. FGD adalah group (kelompok) bukan individu. Interaksi lebih lebih mungkin terjadi jika moderator melempar topik untuk dikomentari

bersama. Apabila sejak awal moderator menanyakan langsung ke peserta (orang per orang), maka interaksi baik komentar maupun sanggahan akan lebih sulit terjadi.

3. Metode FGD merupakan diskusi terfokus, bukan diskusi bebas. Meskipun interaksi merupakan hal utama dalam FGD, namun tetap harus sesuai jalur. Moderator harus selalu fokus kepada tujuan yang ingin dicapai dari

diskusi. Moderator dituntut handal dalam mencairkan suasana (ice breaking) ketika suasana mulai kaku. Proses ini juga tidak boleh berlebihan. Jika peserta mulai membicarakan hal yang terlalu jauh dari topik diskusi, moderator perlu segera meluruskan. Ketegasan moderator dibutuhkan agar tujuan dapat tercapai sebelum kehabisan waktu atau peserta lelah berdiskusi.

Pemakaian FGD sebagai metode penelitian juga sesuai untuk beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tersebut. Beberapa tujuan yang dapat dipenuhi dengan pemakaian metode FGD antara lain pengambilan keputusan, mengetahui kepuasan, dan mengetahui kebutuhan kelompok (Krueger dan Casey, 2000 dalam Yusuf, 2011). Penggunaan metode FGD dalam penelitian didasari oleh tiga (3) alasan, yaitu alasan filosofi, metodologi, dan alasan praktik (Irwanto, 2006 dalam Yusuf, 2011).


(45)

1. Alasan filosofi maksudnya informasi yang diperoleh dari narasumber dengan latar belakang pengalaman berbeda dalam sebuah proses diskusi, seringkali lebih luas dibanding jika hanya berasal dari komunikasi peneliti dengan narasumber satu per satu.

2. Alasan metodologi maksudnya FGD melibatkan masyarakat/kelompok setempat (atau yang paling berkepentingan) sebagai peserta, sehingga metode ini lebih tepat untuk menggali maupun memecahkan masalah yang bersifat spesifik, khas, dan lokal.

3. Alasan praktik maksudnya harus ada kedekatan antara peneliti dan obyek penelitian (responden). Rasa saling memiliki dan membutuhkan perlu dibangun agar rekomendasi yang diberikan peneliti dapat sesuai dan mudah diterima oleh responden. Metode FGD mampu menjadi solusi hal tersebut.

Pelaksanaan FGD memerlukan perencanaan matang. Perencanaan diawali dengan menentukan tujuan diskusi, lalu menyusun topik atau daftar pertanyaan yang akan didiskusikan. Langkah selanjutnya yaitu membentuk tim pelaksana, mengatur tempat dan waktu, menyiapkan logistik (konsumsi dan perlengkapan), dan menentukan peserta.

1. Membentuk tim pelaksana. Tim umumnya terdiri dari moderator, notulen, bagian logistik, humas, dan dokumentasi. Bagian ini dapat disederhanakan sesuai kebutuhan penelitian. Moderator memerlukan persiapan maupun keahlian tertentu sebelum memimpin jalannya FGD (Setyobudi, 2010). Keahlian atau persiapan yang dibutuhkan antara lain memahami


(46)

moderator guidelines. Moderator guidelines disebut juga panduan jalannya FGD.

Moderator juga harus ahli membaca bahasa tubuh peserta. Ini digunakan untuk menangkap respon yang tersirat. Bahasa tubuh dapat memberi gambaran tentang kondisi pendapat peserta selain dari yang dia ucapkan. Moderator pun memerlukan kemampuan membangun suasana

menyenangkan atau bahkan memberi sedikit humor. Kemampuan yang tidak boleh luput adalah kemampuan mengarahkan peserta untuk berbicara dengan detil, jujur, dan tidak normatif.

2. Mengatur tempat dan waktu. Bagian ini adalah fungsi dari humas. Tempat FGD sebaiknya nyaman dan tenang. Waktu perlu diperhatikan agar peserta FGD dapat terpenuhi kehadirannya.

3. Menyiapkan logistik. Logistik dapat berupa konsumsi selama diskusi maupun perlengkapan seperti kertas, pena, dan lain-lain. Logistik dapat disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

4. Menentukan peserta. Menentukan maksudnya adalah menentukan jumlah peserta dan menentukan siapa saja yang akan dilibatkan. Sebagai contoh jika FGD akan dilakukan untuk menggali dan mencari solusi permasalahan suatu desa, maka peserta yang ikut FGD hendaknya mewakili dari semua golongan dan pihak berkepentingan dari desa tersebut.

Pelaksanaan FGD dilakukan berdasarkan panduan yang telah dibuat sebelumnya. Hasil dari FGD merupakan kesepakatan bersama semua pihak yang terlibat


(47)

(ditegaskan kembali) oleh moderator maupun dianalisis terlebih dahulu, hal ini bergantung pada pokok masalah maupun tujuan awal penyelenggaraan. Kesimpulan dari FGD diharapkan dapat memberi kepuasan karena merupakan aspirasi kelompok (Irwanto, 2006 dalam Yusuf, 2011).

2.2 Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pola maupun strategi pengembangan agroindustri telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Salah satu penelitian adalah tentang karakter, penerapan, dan pengembangan agroindustri hasil pertanian di Indonesia (Suprapto, 2012). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pengembangan

teknologi pada agroindustri dapat menjadi solusi untuk menaikkan daya saing dan menjawb tantangan perubahan zaman. Hal ini karena pengaplikasian teknologi maju dan mesin produksi berkapasitas besar dapat mengurangi biaya peubah (variable cost) seperti biaya tenaga kerja per unit output serta dapat memperkuat posisi perusahaan di pasar produknya karena kualitas output yang tinggi dan konsisten, serta volume produksi besar sehingga bisa menarik pembeli dalam jumlah lebih besar pula. Tingkat produksi dan pemakaian teknologi tinggi ini juga harus diimbangi dengan prasarana, manajemen, dan SDM yang terampil.

Penelitian lain yang telah dilakukan adalah mengenai orientasi pengembangan agroindustri skala kecil dan menengah (Djamhari, 2004). Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa segala upaya pengembangan agroindustri sebaiknya dilakukan dengan skema besar yaitu meningkatkan produkstifitas dan daya saing agroindustri, menguatkan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam rangka menaikkan posisi tawar, menguatkan


(48)

keterkaitan struktural agroindustri, dan ditunjang dengan kebijakan makro mikro yang mendukung. Agroindustri harus mampu berhadapan dengan cepatnya perubahan dan dinamika tuntutan masyarakat (konsumen/pasar). Hal-hal berupa peningkatan dan perbaikan teknologi produksi, distribusi, dan pemasaran sangat diperlukan untuk menjawab tuntutan tersebut (Djamhari, 2004).

Penelitian lain tentang upaya pengembangan agroindustri terpadu di pedesaan salah satunya mengungkapkan mengenai pentingnya semangat wiraswasta bagi kesuksesan usaha. Sikap kewiraswastaan yang tangguh dapat ditanamkan melalui pendidikan, transfer teknologi, dan pembinaan manajemen. Upaya pembinaan sikap kewiraswastaan dilakukan sejalan dengan upaya pengembangan agroindustri yang bersangkutan. Upaya tersebut yaitu pengembangan modal, pengembangan kepemimpinan, dan pengembangan inovasi (Sa’id, 1996). Pengembangan modal dimaksudkan untuk perluasan usaha, bisa berupa perkreditan dengan pihak perbankan. Pengembangan kepemimpinan dimaksudkan untuk meningkatkan tanggung jawab wiraswasta terhadap pencapaian tujuan usaha. Pengembangan inovasi dilakukan dengan berbagai pembaharuan dengan maksud untuk perluasan usaha dan peningkatan pendapatan.

Penelitian berikutnya yang pernah dilakukan adalah mengenai omzet penjualan dan strategi pengembangan minuman kesehatan merek “Dia” di Malang, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan dengan analisis kuantitatif menggunakan regresi linear dan analisis kualitatif dengan matrik SWOT. Alternatif strategi


(49)

1 Strategi SO : Bekerjasama dengan pemasok bahan baku untuk

meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produk, memperluas pangsa pasar dengan mengefektifkan kegiatan promosi, dan meningkatkan kerjasama dengan pemerintah daerah agar tenaga kerja lebih terampil dan handal.

2 Strategi ST : Membeli bahan baku dari pemasok yang memberikan harga terjangkau dan meningkatkan kemampuan manajemen dalam agroindustri untuk tetap bertahan di pasaran dengan melakukan perbaikan kualitas produk.

3 Strategi WO : Mengupayakan perbaikan penerapan teknologi untuk meningkatkan kualitas SDM, memperluas lapangan pekerjaan dengan bekerjasama dengan pemerintah setempat dengan memanfaatkan tenaga kerja yang tersedia, dan memperbaiki kegiatan periklanan dan distribusi dalam upaya perluasan daerah pemasaran dengan memanfaatkan isu back to nature.

4 Strategi WT : Melakukan inovasi produk untuk meng-antisipasi

perusahaan pesaing dan perubahan selera konsumen dan membeli bahan baku dalam jumlah besar pada pemasok yang telah melakukan kerjasama untuk mengantisipasi harga bahan baku.

Penelitian berikutnya adalah tentang strategi pengembangan pada usaha minuman kopi herbal instan bermerek Oriental Coffee di CV Agrifamilia Renanthera, Bogor. Analisis yang digunakan adalah analisis fungsional untuk

mengidentifikasi lingkungan internal. Analisis lingkungan jauh dan lingkungan industri untuk mengidentifikasi lingkungan eksternal. Matriks IFE dan matriks


(50)

EFE, matriks IE untuk mengetahui strategi inti perusahaan, matriks SWOT untuk memformulasikan strategi, dan matriks QSP untuk memprioritaskan alternatif strategi yang terbaik yang akan dijalankan perusahaan.

Prioritas strategi pengembangan yang dapat dijalankan perusahaan berdasarkan penelitian ini secara berurutan adalah meningkatkan kualitas produk dan

pelayanan purna jual kepada distributor (agen); melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan dalam peminjaman modal untuk pengembangan usaha; meningkatkan promosi yang lebih intensif; mengoptimalkan bagian riset dan pengembangan produk; meningkatkan brand image bahwa Oriental Coffee merupakan produk minuman kesegaran yang berbahan dasar kopi;

mengembangkan produk baru berupa inovasi dari produk yang sudah ada; dan memperbaiki manajemen perusahaan (Apriande, 2009).

2.3. Kerangka Pemikiran

Agroindustri dan sektor pertanian memiliki hubungan yang erat. Agroindustri antara lain berperan menaikkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian, sedangkan pertanian merupakan pemasok bahan baku agroindustri. Agroindustri skala rumah tangga seperti halnya Bandrek Lampung yang terus berkembang dewasa ini, mengalami beberapa kendala. Kendala tersebut diantaranya ialah tipisnya modal usaha, pendapatan yang naik turun, organisasi usaha yang belum ideal, SDM berkualitas (ulet,cerdas) dan penguasaan teknologi masih minim, hingga kebijakan pemerintah yang terkadang belum berpihak kepada petani sehingga ikut mengguncang agroindustri. Persaingan ketat dengan usaha yang


(51)

berskala lebih besar maupun dalam skala usaha yang sama juga mempengaruhi perjalanan agroindustri ini.

Penelitian ini didasari oleh masalah tersebut, yang jika tidak segera dicarikan solusinya maka agroindustri terutama skala rumah tangga akan rentan bangkrut. Solusi yang diajukan disini ialah pengkajian terhadap aspek finansial usaha yang mungkin membantu dalam penilaian bisnis terkait permodalan. Kajian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana kekuatan usaha ini secara finansialnya. Kajian finansial ini dapat dilakukan dengan metode PBP, BEP, MEC, Gross B/C, Net B/C, dan ROI.

Pengkajian terhadap pendapatan usaha dilakukan untuk mengukur keberhasilan usaha dan mengevaluasi usaha yang dilakukan selama rentang waktu tertentu. Analisis ini dilaksanakan dengan mengukur keuntungan usaha, metode R/C ratio, rasio operasi, dan pengembalian penjualan.

Alat analisis yang akan digunakan untuk mengkaji aspek finansial usaha dalam penelitian ini adalah analisis PBP, BEP, tingkat pengembalian modal, ROI, Gross B/C rasio, Net B/C rasio, pendapatan usaha (π), R/C ratio atas biaya total, dan R/C ratio atas biaya tunai (Wibowo, 2005, Kadariah, 2001, Sofyan, 2004 dan Soekartawi, 1995). Pemilihan alat analisis ini disesuaikan dengan kondisi usaha dan ketersediaan data.

Solusi berikutnya yaitu perumusan strategi pengembangan menghadapi

persaingan usaha dengan matrik SWOT (Wahyudi, 1996 dan Rangkuti, 2004). Kemudian pemilihan strategi prioritas akan dilakukan dengan metode Focus


(52)

group discussion atau FGD. Perumusan strategi usaha penting dilakukan agar usaha ini mampu mengungguli pesaing dalam industri minuman siap saji dengan keterbatasan sumberdaya yang ada. Kerangka pemikiran penelitian ini dijabarkan secara skematik pada Gambar 6.


(53)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional, dan Pengukuran Variabel

Penjelasan mengenai definisi operasional dan variabel pengukuran perlu dibuat untuk menghindari kekeliruan dalam pembahasan hasil penelitian ini. Penjelasan tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Agroindustri adalah industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya.

2. Faktor internal adalah semua faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bandrek Lampung yang berasal dari dalam perusahaan, seperti kekuatan dan kelemahan.

3. Faktor eksternal adalah semua faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bandrek Lampung yang berasal dari luar perusahaan, seperti peluang/kesempatan yang dimiliki dan ancaman.

4. Pay back period (PBP) merupakan waktu atau periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Hasil perhitungan PBP dinyatakan dalam satuan waktu.

5. Break event point (BEP) adalah kondisi dimana perusahaan tidak untung dan tidak rugi. BEP menggambarkan ambang batas yang harus dicapai perusahaan dalam penjualan produk untuk melampui titik impas. Hasil perhitungan dinyatakan dalam satuan unit.


(54)

6. Revenue per cost ratio (R/C ratio) adalah perbandingan antara penerimaan total dengan biaya total atu disebut juga R/C ratio atas biaya total.

7. R/C ratio atas biaya tunai adalah perbandingan antara penerimaan total dengan biaya tunai.

8. Investasi ialah dana yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat secara ekonomis dan dinyatakan dalam rupiah.

9. Keuntungan atau pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya usaha dan dinyatakan dalam rupiah.

10. Penerimaan adalah hasil kali antara harga jual per unit produk Bandrek Lampung dengan jumlah produksinya. Penerimaan dinyatakan dalam rupiah.

11. Umur ekonomis adalah usia alat produksi yang digunakan hingga tidak lagi menguntungkan secara ekonomi meski secara teknis masih dapat dipakai.

12. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan secara rutin tiap bulannya yang besarnya tidak terkait dengan jumlah produksi atau penjualan produk perusahaan. Biaya tetap dinyatakan dalam rupiah.

13. Biaya variabel adalah biaya per satuan output. Besarnya tergantung dari jumlah produksi perusahaan. Biaya variabel dinyatakan dalam rupiah. 14. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai (uang). 15. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan untuk produksi

namun biasanya tidak dihitung, seperti tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan, dan sebagainya.


(55)

16. Gross B/C rasio adalah perbandingan dari present value nilai total produksi terhadap present value investasi dan biaya total.

17. Net B/C rasio adalah perbandingan present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net cost.

18. Strategi pengembangan ialah sebuah rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengkombinasikan keadaan internal perusahaan dengan keadaan eksternal perusahaan untuk memastikan bahwa tujuan perusahaan akan tercapai jika pelaksanaanya tepat.

3.2 Lokasi, Waktu Penelitian, dan Responden

Penelitian ini dilakukan di lokasi usaha (tempat produksi) minuman Bandrek Lampung yang berlokasi di Kelurahan Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa usaha Bandrek Lampung merupakan salah satu agroindustri yang bergerak di bidang pengolahan dan penjualan jahe menjadi minuman bandrek khas Lampung yang memiliki potensi untuk

dikembangkan. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2012.

Responden dalam penelitian ini adalah pengusaha sekaligus pemilik/pimpinan usaha Bandrek Lampung dan karyawan usaha. Penelitian ini juga melibatkan konsumen Bandrek Lampung sebagai pihak eksternal perusahaan.


(56)

3.3 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study) dengan satuan kasusnya adalah industri rumah tangga Bandrek Lampung. Studi kasus merupakan metode dalam penelitian untuk mengungkap kasus tertentu. Penelitian studi kasus memusatkan perhatian pada satu obyek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara mendalam sehingga mampu menbongkar realitas dibalik fenomena (Rahardjo, 2010).

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dan lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari bacaan yang terkait penelitian ini. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara dengan responden

menggunakan kuisioner terkait dengan semua faktor baik kekuatan usaha, kekurangan/kelemahan, maupun peluang dan ancaman yang berdampak pada usaha. Data sekunder diperoleh dari beberapa buku, jurnal, artikel, dan publikasi instansi terkait. Beberapa instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Koperindag Provinsi Lampung, dan Dinas Koperindag dan UKM Kabupaten Lampung Selatan.

3.4 Metode Analisis dan Pengujian Data

Analisis data merupakan proses menyederhanakan data ke dalam bentuk yang ringkas dan lebih mudah diinterpretasikan (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data kuantitatif yang terkumpul dianalisis menggunakan beberapa kriteria finansial usaha dan analisis sensitivitas. Data kualitatif yang dikumpulkan kemudian


(57)

dianalisis menggunakan SWOT , dan FGD untuk menentukan strategi pengembangan usaha.

3.4.1 Analisis Finansial Usaha

Beberapa analisis digunakan untuk menilai kekuatan sebuah usaha dari segi finansial. Pemakaian alat analisis ini disesuaikan dengan kondisi usaha dan ketersediaan data yang diperlukan. Pendapatan usaha (π) yaitu selisih total revenue (TR) dengan total cost (TC) dihitung dengan persamaan:

Alat analisis yang digunakan selanjutnya adalah analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio). Penggunaan R/C ratio bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh dari usaha menguntungkan dalam periode tertentu. R/C ratio atas biaya total dihitung dengan persamaan:

Kemudian untuk R/C ratio atas biaya tunai dihitung dengan persamaan:

Keterangan: jika R/C >1 maka usaha untung jika R/C <1 maka usaha rugi.

Total penerimaan Total biaya tunai Total penerimaan Total biaya π = TR - TC

R/C = R/C =


(58)

Investasi

Keuntungan bersih per tahun

Total biaya tetap 1 – total biaya variabel penerimaan

P.V. dari gross benefit P.V. dari gross cost

Alat analisis yang digunakan selanjutnya adalah periode balik modal (pay back period/PBP). Penggunaan PBP bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk kembalinya modal. PBP dihitung dengan rumus:

Keterangan: jika PBP < umur ekonomi, maka usaha layak dijalankan jika PBP > umur ekonomi, maka usaha tidak layak.

Selanjutnya dilakukan pula perhitungan break event point (BEP). Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui berapa minimal produk yang harus terjual setiap periodenya agar usaha impas. Hasil dari perhitungan BEP dapat digunakan untuk membandingkan apakah kinerja usaha ini telah melebihi BEP atau belum. Nilai BEP per tahun dapat dihitung melalui persamaan:

Persentase untuk BEP dapat dihitung melalui persamaan:

Kapasitas pada BEP per tahun suatu usaha dihitung dengan persamaan berikut.

Alat analisis berikutnya adalah Gross B/C yang dihitung dengan persamaan berikut.

PBP = X 1 tahun

BEP =

Persentase BEP = Total biaya tetap

penerimaan – biaya variabel

X 100%

Kapasitas BEP = Persentase BEP X jumlah produksi


(59)

Σ Keuntungan usaha Umur ekonomis

Selanjutnya dihitung pula Net B/C rasio. Net B/C ialah perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net costs. Periode pertama dari usaha biasanya akan menghasilkan gross cost lebih besar dari gross benefit, sehingga net benefit akan negatif. Hal ini disebut dengan net costs. Waktu selanjutnya, gross benefit umumnya lebih besar dari gross cost, sehingga net benefit akan positif. Usaha dinyatakan menguntungkan jika nilai Gross B/C dan Net B/C lebih besar dari 1. Net B/C dapat dihitung dengan persamaan berikut.

Alat analisis untuk menghitung profitabilitas usaha selanjutnya adalah ROI (return on investment). ROI digunakan untuk mengukur sejauh mana usaha ini menghasilkan tingkat keuntungan dengan investasi yang ditanamkan. ROI dihitung dengan persamaan berikut.

3.4.2 Perumusan Strategi Pengembangan Usaha

Perumusan strategi pengembangan usaha dilakukan dengan bantuan matrik SWOT. Data mengenai faktor eksternal dan internal diperoleh dengan metode wawancara. Data ini selanjutnya dikonfirmasi kepada manager untuk

mendapatkan kecocokan dan poin penting lain. Faktor internal yang digali dalam wawancara ini berisi seputar aspek pemasaran, perencanaan, keuangan, produksi, dan aspek sumber daya manusia. Informasi tentang faktor eksternal yang akan

Net B/C = ∑ P.V. net B positif

Net benefit P.V. net B negatif Net costs


(60)

dikumpulkan adalah mengenai pengaruh lingkungan industri yang terkait pelanggan, pesaing, dan pemasok (Primozic, 1991 dalam Wahyudi, 1996).

Aspek pelanggan juga meliputi kekuatan tawar-menawar pembeli. Aspek pesaing adalah mencakup pendatang baru, ancaman produk pengganti, dan persaingan dari perusahaan sejenis. Aspek pemasok disini juga mencakup kekuatan

tawar-menawar dari pemasok/supplier.

Informasi yang didapat dari wawancara tersebut kemudian digabungkan dengan hasil observasi maupun data sekunder yang telah dikumpulkan. Langkah berikutnya ialah mengklasifikasikan beragam informasi ini kedalam daftar kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis SWOT dengan tahapan membuat kolom IFAS dan EFAS. Berikutnya adalah melihat posisi perusahaan dalam kuadran SWOT untuk menentukan orientasi strategi yang akan diambil.

Tahap selanjutnya adalah membuat matrik SWOT. Semua poin dari faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah dihitung dalam kolom IFAS dan EFAS dimasukan dalam matrik ini. Kemudian menyilangkan SO, ST, WO, dan WT. Tiap-tiap faktor dalam sel S, W, O, dan T disilangkan, misal S1O1, S1O2, S1O3, dan seterusnya.

Tahap berikutnya ialah pemilihan strategi prioritas. Strategi yang terbentuk dari persilangan SO, ST, WO, dan WT sangat banyak. Jika masing-masing sel S, W, O, dan T memiliki lima (5) faktor saja, maka akan terbentuk seratus (100) strategi yang mungkin dijalankan. Mencocokan faktor internal dengan eksternal


(61)

merupakan bagian sulit untuk mengembangkan strategi-strategi dan memerlukan penilaian teliti. Banyak strategi yang dapat dihasilkan dan kemudian

dikembangkan dari analisis SWOT. Hal ini karena perencana strategi dibekali kerangka kerja yang luas dan terstruktur.

Pemilihan strategi prioritas dilakukan dengan metode FGD dengan responden. Seluruh strategi alternatif yang telah tersusun dari matrik SWOT, selanjutnya akan dipilih sebanyak sepuluh (10) buah strategi yang akan dijalankan perusahaan. Sepuluh (10) strategi ini diurutkan berdasarkan peringkat yang telah disepakati dalam FGD.


(62)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Usaha

Usaha yang mengolah jahe menjadi minuman bandrek ini berdiri resmi bersertifikat sejak tahun 2008. Produk bermerek dagang Bandrek Lampung memperoleh sertifikat pangan industri rumah tangga (PIRT) dengan nomor 312187105207. Produk Bandrek Lampung sebenarnya telah mulai diproduksi sejak tahun 2004, namun belum memiliki sertifikat pangan. Saat masuk ke pasar pada tahun tersebut, Bandrek Lampung diproduksi oleh unit usaha di bawah naungan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian (THP), Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Unit usaha THP Unila didirikan berkat adanya program Inkubator Wirausaha Baru (INWUB) yang dikelola pihak Jurusan THP. Program tersebut masih berjalan hingga saat ini. Program INWUB dibuat untuk mendidik mahasiswa maupun alumni berwirausaha dengan bekal keterampilan yang diperoleh semasa kuliah. Banyak mahasiswa maupun alumni yang berpartisipasi dalam program tersebut. Mereka memanfaatkan laboratorium jurusan sebagai rumah produksi bagi produk mereka. Ada beragam produk olahan berbentuk makanan dan minuman yang dihasilkan dari program ini. Salah satu produk tersebut ialah Bandrek Lampung yang dikelola oleh Khaeroni.


(63)

Produksi awal Bandrek Lampung dilakukan di laboratorium jurusan hingga tahun 2008. Dalam jangka waktu tersebut terdapat beberapa produk baru yang muncul, ada yang mati karena kurang baik pengelolaannya, ada pula yang masih berjalan contohnya produk bandrek ini. Keuntungan yang dihasilkan dari penjualan sebagian disisihkan untuk tambahan modal usaha sehingga produksi dapat

ditingkatkan, sebagian lagi disimpan. Memasuki tahun 2008 terjadi permasalahan dengan kenaikan harga bahan, harga sewa laboratorium, dan beberapa masalah internal lain yang membuat jalannya usaha menjadi kurang ekonomis. Setelah melalui beragam pertimbangan dan saran dari pihak jurusan, akhirnya pengelola Bandrek Lampung bersama dengan beberapa pengelola produk lain memilih untuk mendirikan usaha secara mandiri. Produk yang mereka kelola kemudian menjadi milik pribadi karena merupakan hasil karya sendiri.

Pemilik usaha Bandrek Lampung ini lalu mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan untuk mendapat sertifikat pangan. Sertifikat ini penting untuk menaikkan nilai jual dan meyakinkan masyarakat bahwa produk ini aman. Pemilik juga mendirikan pabrik sendiri (terpisah dari rumah) untuk lokasi usaha. Pabrik yang berukuran tiga puluh meter persegi (30 m2

)

inikemudian diberi nama Unit Usaha THP (Teknologi Khaeroni Punya) Herbalist.

Pemilik juga pernah membuat produk berupa marning dan Zanzabil saat masih berada di Unila. Hal ini dikarenakan saat itu harga bahan pokok sedang melonjak dan langka sehingga butuh diversifikasi agar usaha tidak bangkrut. Pemasaran produk pun belum seluas seperti sekarang. Setelah harga bahan kembali stabil, produksi bandrek dilanjutkan.


(1)

berperan penting dalam kiprah usaha selama ini, terutama dalam perluasan wilayah pemasaran. Distributor memberikan laporan penjualan kepada pemilik dalam periode tertentu. Distributor juga bertanggung jawab menarik produk yang telah kadaluarsa maupun yang direturn (kembalikan) oleh toko pengecer.

4.5. Produk Perusahaan

Produk perusahaan adalah bandrek rasa original bermerek dagang Bandrek Lampung. Serbuk jahe, gula, dan beberapa bahan lain yang telah dicampur seberat delapan belas gram (18 gr) per sachet dan berwarna terang tersebut selanjutnya dikemas dalam plastik bening lalu dikemas lagi dalam kertas sachet berwarna coklat. Satu pak bandrek berisi sepuluh (10) sachet. Perbedaan bandrek ini dengan yang lain adalah adanya ampas dalam larutannya.


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Analisis finansial usaha mendapatkan nilai keuntungan bersih setelah pajak sebesar Rp 43.320.321,- per tahun. Nilai R/C ratio atas biaya tunai per tahun adalah 2,21 dan nilai R/C ratio atas biaya total per tahun adalah 1,7. Nilai titik impas (BEP) diperoleh sebesar Rp 18.643.798,- dan kapasitas pada BEP sebanyak 18.643,8 sachet per tahun

lebih rendah dari produksi yaitu 120.000 sachet per tahun. PBP sebesar 1,65 tahun lebih rendah dari umur ekonomis 10 tahun dengan tingkat pengembalian modal sebesar 71,92 persen. Gross B/C rasio dan Net B/C rasio sebesar 1,44 dan 3,96 dengan nilai ROI sebesar 59,32 persen. Berdasarkan kriteria tersebut maka usaha Bandrek Lampung dinilai menguntungkan secara finansial.

2. Strategi prioritas untuk pengembangan usaha adalah merapikan pembukuan usaha; menjaga kontinuitas produksi dan kontrol mutu; mengajarkan kepada tenaga kerja seluk beluk usaha sehingga dapat

bekerja tanpa pengawasan namun produk yang dihasilkan tetap berkualitas prima; memanfaatkan perkembangan teknologi untuk meningkatkan performa usaha baik dalam sisi produksi, maupun promosi produk;

memperhatikan pengembangan SDM; memfokuskan diri pada usaha untuk melakukan pendekatan pada supplier; memperluas distribusi produk ke


(3)

6.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan kepada perusahaan sebagai berikut.

1. Kegiatan di luar bisnis yang banyak menyita waktu dan membuat pemilik menjadi kurang fokus pada usahanya adalah tantangan yang harus diatasi. Tahap awal pembangunan bisnis merupakan titik kritis yang butuh

perhatian serius, sehingga pemilik perlu meluangkan lebih banyak waktu untuk mengurus usahanya. Pemilik perlu segera menemukan orang-orang yang mampu menggantikan perannya ketika yang bersangkutan sedang tidak berada di tempat.

2. Perusahaan sebaiknya lebih giat mengkomunikasikan produk ini kepada masyarakat. Jaringan pemasaran diperluas dan promosi juga

membutuhkan penanganan lebih intensif. Distribusi produk ke wilayah bercuaca lebih sejuk sebaiknya dapat segera direalisasikan. Promosi sebaiknya dilakukan dengan memanfaatkan beragam media yang ada, terutama melalui internet karena biayanya lebih murah selain dari keikutsertaan dalam beragam pameran atau event lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Apriande, C. 2009. Strategi Pengembangan Usaha Minuman Kopi Herbal Instan ……“Oriental Coffee” pada CV Agrifamili Renanthera, Bogor. (Skripsi). IPB. ……Bogor.

Arifin, B. 2005. Pembangunan Pertanian. Grasindo. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2011. Statistik Konsumsi dan Pengeluaran …….Masyarakat Indonesia. BPS. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Indonesia. Istilah Statistik. 2012. 2 Agustus 2012. ……www.bps.go.id.

Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2010. Lampung Dalam Angka. BPS …….Provinsi Lampung. Lampung.

Bakce, D. 2008. Agroindustri Sebagai Motor Penggerak Ekonomi di

…….Indonesia: Analysis Social Accounting Matrix. Jurnal Studi Pembangunan …….Interdisipliner. Vol. XX(2): 113-122.

Disperindagkop dan UKM Kab. Lampung Selatan. 2011. Rekapitulasi Data …….Industri Kabupaten Lampung Selatan. Disperindagkop dan UKM Kab. …….Lampung Selatan. Lampung.

Djamhari, C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan …….Menengah; Rangkuman Pemikiran. Infokop. Nomor 25 tahun XX: 121-132. Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Penerbit

…….Universitas Indonesia. Jakarta.

Hunger, J.D dan T.L Wheelen. 2003. Manajemen Strategis. Penerbit Andi. …….Yogyakarta.

Investopedia. Return On Investment. 2013. 19 Juli 2013. www.investopedia.com. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek: Analisis Ekonomis. LP FE UI. Jakarta.

Kusuma, V.S. 2012. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Omzet Penjualan dan …….Strategi Pengembangan Agroindustri Minuman Kesehatan Instant Merek


(5)

Muchlis, M. Minuman Bandrek. 10 Januari 2013. 24 Januari 2013. …….Sehatnews.com.

Naturindonesia. Budidaya Jahe. 9 Februari 2011. 2 Agustus 2012. …….www.naturindonesia.com.

Prasetyo, P. E. 2009. Perilaku dan Strategi Bersaing Agroindustri: Pendekatan …….Game Theory. Media Ekonomi dan Manajemen.Vol.20. UNS. Semarang. Rahardjo, M. Mengenal Lebih Jauh Tentang Studi Kasus. November 2010. …….2 Agustus 2012. www.mudjia.blogspot.com.

Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia …….Pustaka Utama. Jakarta.

Sa’id dan E. Gumbira. 1996. Upaya Pengembangan Agroindustri Terpadu di …….Pedesaan. Pengembangan Agroindustri Terpadu. No. 7 Tahun III. IPB. …….Bogor.

Setyobudi, W. Teknik Moderasi Focus Group Discussion (FGD). 2010. …….15 Desember 2012. www.inspirewhy.com.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. Singer, B. 2006. The ABC’s of Building Bussiness Team That Wins. Gramedia. …….Jakarta.

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI press. Jakarta.

Sofyan, I. 2004. Studi Kelayakan Bisnis. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Suprapto. 2012. Karakteristik, Penerapan, dan Pengembangan Agroindustri Hasil …….Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang …….Pertanian. Bogor.

Tarigan, H. dan Supriyati. 2008. Meningkatkan Nilai Tambah Melalui

…….Agroindustri. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 30(4). …….Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Wahyudi, A.S. 1996. Manajemen Strategi. Binarupa Aksara. Jakarta.

Wibowo, S., Murdinah dan Y.N Fawzya. 2005. Petunjuk Mendirikan Usaha …….Kecil. Penebar Swadaya. Jakarta.


(6)

Yusa, M. R. 2011. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Pada E-cofarm, …….Kampus IPB Darmaga, Bogor. (Skripsi). IPB. Bogor.

Yusuf, I.A. Memahami Focus Group Discussion (FGD). Maret 2011. 12 …….Desember 2012. bincangmedia.com.

Zebua. Focus Group Discussion. 8 November 2007. 12 Desember 2012. …….researchexpert.wordpress.com.