Pembahasan 1. Tingkat Spiritualitas Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
2. Pembahasan 2.1. Tingkat Spiritualitas Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
II A Wanita Tanjung Gusta Medan
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan menunjukkan bahwa mayoritas
responden berada pada tingkat spiritualitas tinggi 84,8. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Annisa, dkk 2011 pada 37 narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Palembang yang menyatakan bahwa sebanyak 16 narapidana 43,2 memiliki tingkat spiritualitas tinggi, 21
narapidana 56,8 memiliki tingkat spiritualitas sedang dan tidak ada narapidana yang memiliki tingkat spiritualitas yang rendah. Spiritualitas dapat
menjadi sumber koping dan sumber kekuatan bagi individu yang mengalami kesedihan, kesepian, dan kehilangan serta dapat mengurangi stress dalam
kehidupannya Koenig, et al, 1998 dalam Liwarti, 2013. Smith, et al dalam Lewia 2007 juga menegaskan bahwa spiritualitas dapat menjadi bentuk
dukungan sosial yang mencegah kerusakan konsep diri seseorang, mencegah peningkatan tekanan dari lingkungan dan dapat menjadi sumber strategi pada
problem-solving. Berdasarkan hal tersebut penulis berasumsi bahwa narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan
menggunakan spiritualitas sebagai sumber koping dan sumber kekuatan untuk menjalani kehidupan terutama selama dalam proses masa hukuman.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan sesuai dengan hak dan kewajiban narapidana berdasarkan UU No. 12 tahun
1995 juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat mempengaruhi spiritualitas narapidana. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain mengadakan
pengajian dipimpin oleh Ustad bagi yang beragama Islam dan kebaktian bagi yang beragama Kristen didampingi oleh pelayan gereja setiap harinya dan
kegiatan senam bersama antara petugas dan narapidana tanpa membeda- bedakan satu sama lain. Kebijakan lain yang dilaksanakan lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan adalah dengan memfasilitasi ruangan yang cukup nyaman bagi narapidana yang dikunjungi
keluarga dan menyediakan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan narapidana untuk mengisi waktu seperti perpustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki agama dan kepercayaan masing-masing. Potter Perry 2005 menyatakan
Agama sangat dapat membantu perkembangan spiritualitas seseorang. Hal ini dipertegas dengan pendapat Musgrave, Catherine F, et al 2002 yang
menyatakan bahwa keagamaan dan spiritualitas secara bersama- sama dapat memberikan gambaran tentang makna kehidupan dan menjadi sumber koping
dalam menghadapi masalah. Samyak 2012 juga menyatakan bahwa kegiatan dari komunitas keagamaan sangat efektif untuk mengurangi depresi,
mengurangi kecemasan, dan memberikan dampak yang positif. Berdasarkan hasil penelitian didapat mayoritas responden beragama Islam sebanyak 70
Universitas Sumatera Utara
88,6. Penelitian Fajriyah 2013 tentang peran agama Islam dalam narapidana muslim di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sidoarjo
mengemukakan bahwa agama Islam memiliki peran pada kehidupan narapidana,setelah mengikuti ajaran agama Islam secara detail para narapidana
mampu membentuk diri sendiri supaya memiliki akhlak yang lebih baik. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kakstein dan Tower
2009 yang menyatakan bahwa wanita lebih cenderung memliki ketertarikan pada kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun spiritual. Usia juga sangat
mempengaruhi tingkat spiritualitas narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A wanita Tanjung Gusta Medan yang mayoritas merupakan kelompok
usia 19-40 tahun atau berada pada tahap dewasa awal sebanyak 57 orang 72,2. Hal ini diperkuat dengan pendapat Fowler Keen 1985 yang
mengatakan bahwa pada tahap dewasa awal individu mengembangkan pemaknaan secara personal terhadap simbol-simbol dari agama, keyakinan atau
keimanan, pada tahap ini individu juga mulai membentuk kemandirian dalam hal komitmen, gaya hidup, dan sikap serta dalam tahap perkembangan identitas
diri dan membedakan pandangan dunia dengan yang lainnya. Penulis berasumsi
bahwa tingginya
spiritualitas narapidana
di Lembaga
Pemasyarakatan kelas II A wanita Tanjung Gusta Medan sangat dipengaruhi oleh agama dan usia narapidana.
Spiritualitas juga dapat dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya yang berkontribusi pada sikap, keyakinan, dan nilai individu Taylor,
Universitas Sumatera Utara
Lillis Le Mone 1997, dan Craven Himle 1996 dalam Hamid, 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden merupakan suka
jawa 40,5. Suku jawa memiliki karakter hidup bersahabat, bergotong royong, memiliki rasa berterimah kasih, saling berbagi dan memiliki kerakter
mengampuni serta menerima segala sesuatu sebagai takdirnya sehingga dengan karakter tersebut suku jawa dapat hidup dengan bahagia Wijayanti dan
Nurwianti, 2010. Faktor- faktor lain yang juga dapat mempengaruhi spiritualitas narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A wanita Tanjung
Gusta Medan adalah status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama vonis, lama menjalani vonis dan ada atau tidaknya riwayat penyakit.
2.2 Karakteristik Spiritualitas : Hubungan dengan Tuhan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan.
Hubungan dengan Tuhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A wanita Tanjung Gusta Medan mayoritas tinggi 94,9. Kebanyakan
orang yang sedang berada dalam kodisi stress atau sedang menghadapi masalah dalam kehidupannya akan mengingat TuhanNya serta menambah
pengalaman spiritualitasnya koenig et al, 1988 dalam Liwarti, 2013. Hal ini sesuai dengan penelitian Bastiar 2012 tentang Proses kualitas hidup
narapidana yang mendapat vonis hukuman mati di lembaga pemasyarakatan kelas I Surabaya yang menemukan bahwa keyakinan dan keberserahan diri
terhadap Tuhan membuat intropeksi diri menjadi individu yang lebih baik pada narapidana dan memampukan untuk memiliki sikap berpikir positif dalam
Universitas Sumatera Utara
memasrahkan diri dan yakin dengan kuasa Tuhan sehingga dapat menjalani dinamika kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini juga ditunjukkan
dengan jawaban responden yang mayoritas menyatakan selalu percaya dengan bantuan Tuhan mampu melewati masa-masa sulit ketika menjalani hukuman
67,1. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan selalu berdoa sembahyang mediatasi untuk mendapatkan
ketenangan 50,6. Hal ini sejalan dengan pendapat Piedmont 2001 menyatakan bahwa dengan berdoa individu dapat mengambil hikmah atas
kejadian yang dialami individu dan mampu menerima kondisi yang dijalani sehingga mampu bangkit dari keterpurukan. Shohib 2013 juga menegaskan
bahwa kegiatan berdoa dapat menetramkan jiwa manusia terlebih lagi pada saat terjadi kesusahan sehingga mempunyai semangat hidup dan sikap mental
positif menjalani kehidupan yang lebih baik. Hasil penelitian juga menunjukkan hal yang berbeda yaitu adanya responden yang menyatakan
tidak pernah 6,3 meningkatkan ibadah dengan membaca kitab suci dan tidak pernah 7,6 mengikuti kegiatan keagamaan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan pendapat sodhi et al 2014 yang menyatakan bahwa ketika mengalami kesulitan atau kesusahan individu dapat merasa kecewa dan tidak stabil dalam
hubungan dengan Tuhan sehingga mengabaikan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan yang dapat meningkatkan keterikatan hubungan dengan
Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Karakteristik Spiritualitas : Hubungan dengan Diri Sendiri Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung
Gusta Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan dengan diri sendiri narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta
berada pada tingkat tinggi 94,9. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Alim 2012 tentang kebermaknaan hidup narapidana wanita yang
menyatakan mayoritas narapidana berada pada level sedang, hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar narapidana mampu memaknai
kehidupannya, mempunyai tujuan hidup yang jelas, mampu menemukan kebahagian walaupun berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, dan
berpandangan positif terhadap segala yang terjadi dalam kehidupannya. Pulchalski 2004 dan Kozier, et al 1995 juga menyatakan bahwa makna
kehidupan dapat menjadikan individu merasa berharga dan berarti serta memiliki perasaan yang dekat dengan Tuhan, orang lain, dan alam sekitar,
dimana individu akan merasa terarah, memiliki keyakinan akan masa depan yang baik, dan menerima kasih sayang dari orang lain disekitarnya. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang mana mayoritas responden menyatakan selalu percaya akan memiliki masa depan yang baik walaupun sedang
menjalani hukuman 73,4 dan selalu memiliki pandangan bahwa kesulitaan yang dialami ketika menjalani hukuman merupakan pengalaman yang positif
untuk menjalani hidup yang lebih baik 55,7. Ardila 2013 dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitiannya tentang penerimaan diri narapidana juga mengatakan bahwa narapidana wanita pada umumnya memiliki penerimaan diri yang baik
dikarenakan wanita memiliki social skill yang membuat narapidana wanita dapat menjadikan pengalaman yang negatif menjadi pelajaran yang positif
dalam hidupnya.
2.4 Karakteristik spiritualitas : Hubungan dengan Orang Lain Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A wanita Tanjung
Gusta Medan.
Hasil penelitian hubungan dengan orang lain narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A wanita Tanjung Gusta Medan mayoritas berada
pada tingkat tinggi 83,5. Kozier, Erb, Blais Wilkinson 1995 menyatakan hubungan dengan orang lain dikatakan baik jika memiliki waktu
untuk berbagi pengetahuan, memiliki hubungan timbal balik atau dapat berbagi sumber, serta dapat memberikan penguatan tentang kehidupan. Jung, L,M dan
Jaehee Yi 2009 juga menambahkan bahwa dukungan sosial memberikan pengaruh penting dalam hubungan spiritualitas. Berdasarkan hasil penelitian
mayoritas sumber dukungan sosial responden berasal dari sesama narapidana, hal ini dapat ditinjau dari jawaban responden yang menyatakan bahwa
responden selalu membina hubungan yang baik dengan teman sekamar 74,7 dan responden 46,8 juga selalu berbagi cerita dengan orang
disekitarnya yang dipercaya dapat membimbing. Hal ini semakin diperkuatkan dengan pernyataan Bierstedt dalam Sunarto, 2004 yang menyakatan eratnya
Universitas Sumatera Utara
hubungan kelompok kemasyarakatan disebabkan karena adanya kesadaran persamaan diantara anggota kelompok, salah satunya adalah persamaan nasib
atau pengalaman hidup. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden menyatakan tidak pernah 12,7 dan jarang 26,6 mendapat penguatan
untuk menjalani kehidupan ketika keluarga kerabat teman mengunjungi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nusuantari 2007 tentang
hubungan dukungan sosial dengan tingkat stress narapidana di Rumah Tahanan Situbondo yang menemukan bahwa 95,7 keefektifan sumber dukungan sosial
narapidana berasal dari orang lain disekitar narapidana tersebut bukan dari keluarga. Bukhori 2012 juga menyatakan bahwa kurangnya dukungan
keluarga pada narapidana disebabkan karena adanya keluarga yang mengabaikan setiap keluhan dan pemarsalahan narapidana atau bahkan tidak
pernah mendapat kunjungan dari keluarga. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa responden menyatakan tidak pernah
10,1 dan jarang 19 merasa nyaman ketika keluarga datang mengunjungi. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa hubungan dengan
orang lain pada narapidana lebih didominasi oleh sesama narapidana. Hal ini disebabkan karena narapidana lebih memiliki banyak waktu untuk berbagi dan
adanya hubungan timbal balik akibat persamaan pengalaman diantara narapidana tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas
narapidana memiliki sikap mau memaafkan ataupun meminta maaf ketika terjadi perselisihan diantara narapidana 59,5. Kozier, Erb, Blais Wilkinson
Universitas Sumatera Utara
1995 menyatakan bahwa hubungan dengan dengan orang lain dapat dieksperesikan melalui kasih sayang dan sikap saling mengampuni
forgiveness.
2.5. Karakteristik spiritualitas : Hubungan dengan Alam Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan.
Hubungan dengan alam dikatakan harmonis bila memiliki sikap menghargai alam, berinteraksi dengan alam atau lingkungan melalui kegiatan
bertanam, berjalan-jalan di lingkungan dan mempunyai sikap melindungi alam Kozier, Erb, Blais Wilkinson ,1995. Berdasarkan hasil penelitian mayoritas
spiritualitas narapidana ditinjau dari hubungan dengan alam berada tingkat tinggi 70,9 dan mayoritas narapidana menyatakan bahwa narapidana selalu
menjaga dan melindungi lingkungan sekitar 57,0 dan berjalan-jalan mengelilingi Lembaga Pemasyarakatan sambil menikmati lingkungan 50,6.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Puchalski 2004 yang menyatakan bahwa kegiatan menikmati alam seperti berjalan-jalan menikmati alam dapat
menyelaraskan hubungan antara jasmani dan rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasan dalam kebutuhan spiritualitas. Hal yang
bertentangan juga didapat dari pernyataan responden yaitu mengenai menyediakan waktu untuk merawat tanaman dan hewan peliharaan, mayoritas
narapidana menyatakan tidak pernah 46,8 dan menyatakan jarang 21,5. Hal ini dapat terjadi karena pada peraturan Lembaga Pemasyarakatan
Universitas Sumatera Utara
narapidana memiliki tugas masing-masing sesuai yang ditetapkan pegawai Lembaga Pemasyarakatan, salah satunya adalah merawat tanaman dan hewan
peliharaan dan setiap narapidana wajib melakukan tugasnya sesuai dengan yang ditetapkan Lembaga Pemasyarakatan.
Universitas Sumatera Utara
51