Arsitektur Bangunan Gereja Ganjuran

45

BAB III KEJAWAAN GEREJA GANJURAN

SEBELUM GEMPA 2006

A. Arsitektur Bangunan Gereja Ganjuran

Inkulturasi pada dasarnya adalah pengungkapan iman yang begitu dalam lewat berbagai kebudayaan yang dimiliki. 1 Berbeda dengan akulturasi, inkulturasi sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman Gereja ke dalam suatu budaya tertentu, sehingga penghayatan ini tidak dapat diungkapkan lewat unsur-unsur kebudayaan setempat, melainkan juga menjadi suatu kekuatan yang memperbaharui kebudayaan tersebut. 2 Perbedaan itu pertama-tama terletak pada hubungan antara Gereja dengan sebuah budaya tertentu tidak sama dengan kontak antar-budaya. Gereja lebih berkaitan dengan penyebaran agama Katolik dan hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu. Dengan inkulturasi yang dilaksanakan oleh Gereja, berarti Gereja itu telah belajar dalam kebudayaan setempat. Inkulturasi Gereja terlahir setelah adanya penyebaran agama Katolik misi penyebaran ke penjuru dunia seperti yang tertulis dalam kitab suci agama Kristiani. Para murid Yesus mengajarkan sekaligus menyebarkan iman mereka kepada orang lain yang memiliki kebudayaan serta kepercayaan lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh pastor-pastor Jesuit yang berasal dari Belanda ke Indonesia. 1 Hubertus Muda, Inkulturasi, 1992, Flores: Pustaka Misionalia Candraditya. 2 Lusia Esti Elihami, Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Inkulturasi Sebagai Landasan Tubuh Dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta, Skripsi S1, Pendidikan Sejarah, USD, 1995, hlm. 21. 46 INKULTURASI DALAM ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK BUDAYA RELIGIUS Masyarakat Setempat Arsitektur Setempat BUDAYA BARAT Dalam Agama Katolik Arsitektur Gotik Gb. 13. Inkulturasi dalam Arsitektur Gereja Katolik Pastor-pastor Jesuit yang menyebarkan agama Katolik di Indonesia kerap mengalami beberapa benturan dengan budaya-budaya lokal masyarakat Indonesia. Mereka harus menyesuaikan ajaran agama Katolik dengan kebudayaan masyarakat sekitar. Hal itu tertulis juga di Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes. Dalam dokumen Gaudium et Spes dijelaskan mengenai makna kebudayaan dalam artian umum. Kebudayaan dibutuhkan oleh masyarakat hampir di seluruh penjuru dunia untuk kemajuan diri mereka. Salah satu hasil dari kebudayaan yaitu religi atau agama. Dengan demikian agama Katolik harus mampu menjawab tantangan dengan kebudayaan tersebut. Jawaban dari tantangan tersebut yakni inkulturasi tata peribadatan Katolik dengan kebudayaan setempat, yaitu kebudayaan Jawa. Di Ganjuran, pelaku utama kegiatan inkulturasi agama Katolik dengan kebudayaan setempat adalah keluarga Schmutzer. Josef Schmutzer jauh-jauh hari telah membuat disain bangunan gereja hendak dibuatnya. Maket dan disain bangunan yang dirancang menghadap ke Barat dengan bagian altar gereja berada di sisi Timur. 3 Gereja menghadap Barat dan altar berada di sisi Timur juga memiliki arti yang digagas oleh Josef Schmutzer. Ia berpendapat bahwa manusia 3 Adi Santosa, Transformation Of The Ganjuran Church Complex: A Typological Study, Penelitian Interior Design Department, 2012, Petra Christian University. 47 memiliki banyak dosa dan berada dalam kesengsaraan, sehingga manusia harus berjuang atau menghadap ke Timur untuk mendapatkan sebuah kebangkitannya yang baru dan suci kembali. Dalam sebuah video dokumenter karya Peter Johan yang berjudul Candi Ganjuran: Tanah Para Terjanji Sebuah Dokumenter, Gb. 14. Sketsa awal disain bangunan gereja karya Ir. Julius Schmutzer Sumber: www.google.com Gb. 15. Maket awal disain bangunan Gereja Ganjuran Sumber: Video Dokumenter ”Candi Ganjuran Tanah Terjanji” 48 dijelaskan bahwa dahulunya di bagian altar gereja terdapat sebuah rel yang dibuat agar altar gereja dapat digeser apabila mengalami renovasi atau pelebaran gereja. Tidak diketahui secara pasti berapa panjang dan jarak rel yang dibuat tersebut. Seperti bangunan-bangunan Indis lainnya, gereja karya keluarga Schmutzer mengambil contoh bentuk rumah kampung. Di dalam bangunan gereja terdapat beberapa tiang utama yang terbuat dari kayu jati. Tinggi tiang penyangga atau yang masyarakat Jawa kenal sebagai saka guru tesebut sepanjang 3 meter. Jumlah saka guru pada bangunan gereja ada 12 buah dengan 6 saka guru pada setiap sisinya. Sama seperti ke-12 sekolah yang dibuat keluarga Schmutzer, ke-12 tiang tersebut bagi Schmutzer diibaratkan sebagai 12 Rasul Yesus 4 yang menjadi penyebar sekaligus penyokong Yesus dalam mewartakan imannya kepada seluruh dunia. Gb. 16. Disain kerangka bangunan Gereja Ganjuran. Sumber: Adi Santosa, Transformation Of The Ganjuran Church Complex: A Typological Study Selain Ir. Julius Schmutzer, ia juga memperkerjakan seorang arsitek bangunan Hindia-Belanda yang terkenal bernama Th. van Oyen, karya-karya 4 Wawancara dengan Bapak Siwi, tanggal 7 November 2015, jam 9.30, dikuatkan oleh Ibu Theresia Sutrisniyati. 49 besar seperti Gereja Katedral di Semarang. 5 Bentuk kampung yang digunakan pada bangunan gereja Ganjuran dianggap lebih cocok dengan kondisi jemaat yang terus berkembang pada saat itu. Bentuk ini mudah diperluas dengan memanjangkan gedung ke Barat ke depan ataupun ke Timur ke belakang altar gereja. Dalam adat Jawa bangunan limasan boleh dimodivikasi ataupun boleh direnovasi tanpa mengubah struktur bangunannya, berbeda dengan rumah adat joglo. Dengan kata lain, Schmutzer memahami betul alasannya membangun gereja dalam bentuk rumah adat Jawa yakni bangunan limasan. Th van Oyen sebagai arsitek bangunan menambahkan beberapa aksen ataupun ciri bangunan Indis di masa itu. Aksen-aksen tersebut berupa penggunaan batu kali pada tembok depan gereja dengan tinggi 1,5 meter dan ide pemasangan tower pada bagian depan gereja yang nantinya akan digunakan sebagai tempat lonceng gereja. Pada bangunan Indis, penggunaan batu kali yang dipasang di depan tembok bangunan lebih difungsikan untuk memperkokoh konstruksi tembok bangunan gereja. Arsitek van Oyen setelah selesai membangun gereja Ganjuran, semakin terkenal karena karya-karyanya dalam pembuatan gereja yang 5 Sejarah Katedral: Pelayanan Dan Karya 3, diakses dari http:www.katedralsemarang.or.id index.phpprofilesejarah39-sejarah-katedral-pelayanan-dan-karya-3, pada tanggal 12 Agustus 2015, pukul 19.22. Gb. 17. Arsitek Gereja Ganjuran Th. van Oyen Sumber: www.google.com 50 bernuansakan Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil karyanya yang tidak kalah penting bagi perkembangan gereja Katolik di Jawa yakni pembangunan Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci atau yang biasa dikenal sebagai Gereja Katedral Semarang yang dibangun tahun 1927. Bagian atas gereja yang dirancang oleh Schmutzer dan Th. van Oyen menggunakan kayu tipis yang dicat putih. Dengan ventilasi gereja yang tinggi serta plafon yang berwarna terang menambah pencahayaan dalam Gereja. Selain Gb. 18. Plafon gereja yang berwarna putih menambah pencahayaan ruang gereja Sumber: www.google.com menambah pencahayaan bagian dalam bangunan serta penyekat antara atap dan bagian bawah, plafon triplek yang berwarna putih mudah dirawat serta mempermudah sirkulasi udara dalam ruangan. Sedangkan atap yang dipakai dalam bangunan gereja Ganjuran merupakan jenis atap pelana. Bentuk atap ini dipilih karena dianggap paling aman dan mudah pemeliharaannya apabila terjadi kebocoran. Atap pelana ini terdiri atas dua bidang miring yang ujung atasnya 51 bertemu ada satu garis yang biasa disebut sebagai bubungan. Sudut kemiringan atap ini antara 30 sampai 45 derajat. Gb. 19. Gereja Ganjuran yang menggunakan atap pelana. Sumber: Adi Santosa, Transformation Of The Ganjuran Church Complex: A Typological Study Selain mudah dipelihara, penggunaan atap pelana yang kerap dijumpai pada bangunan tradisional Jawa karena curah hujan di Indonesia cukup besar. Air hujan yang jatuh di permukaan atap harus cepat disalurkan ke tanah. Untuk itu dibutuhkan kemiringan bidang atap yang cukup besar, yaitu 30 o . Dengan ini, diharapkan, air hujan dapat langsung dibuang dari permukaan atap melalui talang horisontal. Talang ini terpasang di sepanjang bibir permukaan bidang atap. Gereja yang berada di dekat kompleks pabrik gula tersebut semakin sering dipadati jemaat. Mengingat bangunan itu adalah bangunan gereja dan masyarakat sekitar Ganjuran memilik rumah yang cukup jauh dengan gereja, kemudian Schmutzer mendapat beberapa masukan dari berbagai pihak setelah gereja tersebut diberkati dan diresmikan menjadi tempat ibadah. Masukan tersebut berupa penambahan lonceng gereja seperti halnya bangunan gereja di Eropa. Penambahan lonceng tersebut berfungsi sebagai pengingat waktu berdoa seperti 52 doa malaikat Tuhan angelus yang dilaksanakan tiap jam 06.00, 12.00 dan 18.00, serta menjadi tanda bahwa misa atau ekaristi gereja telah dimulai. Penambahan tower yang dijadikan tempat lonceng gereja dirancang dan diletakkan di atas pintu masuk gereja. Setahun setelah pemberkatan gereja oleh Mgr. A. van Velsen, bangunan gereja direnovasi dengan diberikan sebuah lonceng yang didatangkan khusus dari Belgia. Lonceng gereja tersebut dinamai Elisabeth, sesuai dengan nama ibu mereka. Gb. 20. Bagian depan gereja yang terdapat lonceng Elisabeth Sumber: www.google.com Setelah gereja Ganjuran selesai dibangun, di sana dibentuk sebuah stasi yang dikepalai oleh Pastor Henri van Driessche. Setelah Pastor Henri van Driessche meninggal pada tahun 1934, kepemimpinan gereja mulai dilakukan pergantian. Pergantian kepemimpinan yang pernah ada di Ganjuran antara lain diketuai oleh Pastor Strater, Pastor Djajaseputra, Pastor Koch, dan Pastor Versteegh. Pastor-pastor asli Belanda yang membaktikan hidupnya di Ganjuran, didampingi oleh para katekis berasal dari orang pribumi, antara lain: Raden Mas PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 Purwodiwirjo, Raden Mas Atmosatoto, Raden Mas Prawiromandjojo dan Raden Mas Adisusanto. Para ketekis biasanya memberi masukan kepada para pastor yang kurang begitu memahami orang Jawa yang tinggal di Ganjuran. Di tahun 1934-lah Ganjuran memiliki seorang pastor pribumi yang menetap di sana, yakni Pastor Albertus Soegijapranata, S.J., seorang anak didik dari Pastor van Lith di Muntilan yang kemudian akan menjadi orang Jawa pertama yang menjabat sebagai Vikaris Apostolik Semarang Uskup. Gb. 21. Mgr. van Velsen, keluarga Schmutzer beserta misdinar seusai pemberkatan gereja Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani Selama para pastor Belanda dan katekis Jawa melayani jemaat di Ganjuran, jemaat Ganjuran semakin berkembang. Namun, perkembangan tersebut tidak diiringi dengan perkembangan bangunan gereja. Sembilan tahun setelah ditahbiskan menjadi seorang imam, Soegija ditunjuk dan diangkat menjadi uskup. Selama menjadi uskup di Semarang, ia kerap datang ke Ganjuran untuk memimpin misa prosesi. Selepas memimpin prosesi di Ganjuran di tahun 1942, ia 54 mengusulkan untuk melakukan perluasan gereja ke arah Barat sepanjang 15 meter, dilengkapi balkon tempat koor. 6 Setelah perluasan yang dipelopori oleh Mgr. Alb. Soegijapranata, S.J. tahun 1942, secara perlahan perluasan dilakukan oleh beberapa pastor kepala yang bertugas di Ganjuran. Di tahun 1959 perluasan bangunan diprakarsai oleh Romo Sontobudoyo, yakni bangunan limasan ke samping kanan dan kiri. Dengan demikian dibangunlah sayap selatan dan utara sebagaimana tampak dalam wujudnya sampai tahun 2006. 7 Dengan ditambahnya sayap pada sisi utara dan selatan, bangunan gereja menyerupai salib dengan bagian kepala di sisi timur. Pada tahun 1967, Romo Strommesand, S.J. menambahkan beberapa bangunan di ruang sebelah Timur gereja, yakni sakristi, kantor paroki dan ruang misdinar. 8 Ia juga merintis pembangunan Gereja Stasi Tambran sebagai perluasan Gereja di daerah Bantul serta memprakarsai pengadaan perangkat gamelan pelog. Pembangunan ruang di sisi Timur semakin memudahkan para pastor serta misdinar untuk menyiapkan misa, hal itu dikarenakan sebelumnya mereka menyiapkan misa serta menyimpan alat-alat liturgi di pastoran gereja. Romo Gregorius Utomo Pr. Sebagai putra daerah Ganjuran mulai berkarya di tahun 1991. Ia memprakarsai pemasangan jendela jendela pada dinding sayap gereja agar dapat dibuka pada hari raya, mengingat perluasan gereja hampir tidak mungkin dilakukan lagi. Ditahun yang sama, ia juga memprakarsai pengadaan perangkat gamelan slendro. Di sisi lain, Romo Utomo Pr., menggali lagi nilai- 6 Panitia Pembangunan Gereja Ganjuran Pasca Gempa, Ganjuran Gereja Berkat dan Perutusan: Pasca Gempa Bumi 27 Mei 2006, 2009, Yogyakarta, hlm. 26. 7 Ibid. 8 Ibid. 55 nilai budaya tradisional yang sudah mengakar dan terus berkembang di tanah Ganjuran. Romo Utomo menjadi pemrakarsa candi Hati Kudus Ganjuran sebagai tempat ziarah Hati Kudus se Nusantara. Atas dasar itulah kini kompleks gereja Ganjuran dinamakan sebagai kawasan Mandala Tyas Dalem. Di tahun 1995 mulai dilaksanakannya pembangunan kompleks peziarah kepada Hati Kudus Tuhan Yesus HKTY di kompleks Candi Ganjuran. Pada akhirnya, tahun 2000 konbloksasi halaman candi sebagai bukti pengembangan kompleks ziarah tersebut terselesaikan.

B. Ornamen Kejawaan Bangunan Gereja