Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penulisan Tinjauan Pustaka

6 akan karakteristik kejawaannya maupun makna ajaran agama Katolik yang sudah tertuang dalam Injil.

B. Perumusan Masalah

Dalam rangka melihat karakteristik kejawaan dalam Gereja Ganjuran dari sudut pandang arsitektur bangunan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain: 1. Bagaimana latar belakang berdirinya Gereja Ganjuran? 2. Bagaimana karakteristik kejawaan Gereja Ganjuran sebelum gempa 2006? 3. Bagaimana karakteristik kejawaan Gereja Ganjuran pasca gempa 2006?

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan karya tulis ini, yaitu: 1. Mengetahui latar belakang berdirinya Gereja Ganjuran di tahun 1924. 2. Mengetahui bentuk-bentuk karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Ganjuran sebelum gempa tahun 2006. 3. Mengetahui macam-macam karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Diharapkan hasil dari penelitian ini akan dapat menambah ilmu, pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam bidang sejarah 7 arsitektur Gereja. Penelitian ini pun menjadi pengalaman tersendiri bagi penulis. Hasil penulisan skripsi juga berguna sebagai sumbangan pemikiran tentang studi sejarah gereja, khususnya arsitektur yang ada di Gereja Ganjuran. Skripsi ini pun dapat digunakan sebagai kajian lebih lanjut bagi institusi atau lembaga terkait, mahasiswa dan pihak lain yang membutuhkan.

E. Tinjauan Pustaka

Jika seseorang ingin menulis sejarah, maka pertama yang dibutuhkan adalah sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam skripsi ini antara lain buku karangan Djoko Soekiman berjudul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII - Medio Abad XX. 8 Buku ini menerangkan berbagai bentuk percampuran budaya masyarakat Indonesia dengan kebudayaan Eropa, khususnya Belanda. Kebudayaan yang bercampur tersebut dinamakan kebudayaan Indis. Ada beberapa aspek kebudayaan Indis, salah satunya yakni religi dan arsitektur. Hal itu tampak dalam karya Schmutzer yakni Gereja Ganjuran dan Candi Hati Kudus Yesus. Buku yang diterbitkan oleh Kantor Wali Gereja Indonesia, berjudul Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Wilayah-Wilayah Keuskupan Dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia Abad Ke-20, Jawa, Nusa Tenggara 9 membahas sejarah awal mula berkembangnya agama Katolik di beberapa daerah. Buku ini berisi, penyebaran misi di wilayah Jawa hingga Ende dan Larantuka di Nusa Tenggara. Diterangkan mulai dari mulai berkembangnya Keuskupan Agung 8 Djoko Soekiman, loc.cit. 9 Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Wilayah-Wilayah Keuskupan Dan Majelis Agung WaliGereja Indonesia Abad Ke-20, Jawa, Nusa Tenggara, MAWI, Lampiran-Lampiran, 1974, Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor WaliGereja Indonesia. 8 Semarang baik awal terbentuknya tahun 1940, misi Katolik di Jawa Tengah hingga perkembangan keuskupan lainnya di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Nusa Tenggara tahun 1970-an. Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia 10 , karangan Huub J.W.M. Boelaars, berbicara tentang proses terwujudnya pembangunan struktural dan budaya gereja-gereja setempat di Indonesia. Dalam buku ini diterangkan mengenai proses perubahan yang disebut Indonesianisasi sejak awal mula sejarahnya, yakni masa sekitar 1940 hingga 1990 di seluruh Nusantara. Kekristenan di Indonesia bukanlah produk lokal Indonesia, karena berasal dari luar negeri. Kekristenan ditanam di Nusantara pada abad-abad silam sebagai bibit, kemudian mengakar dan makin dewasa melalui berbagai proses, salah satunya adalah inkulturasi, pengungkapan iman Katolik dengan budaya Indonesia. Sejarah perkembangan Gereja Katolik di Indonesia juga termuat dalam buku berjudul Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 2 karangan Cornelis van De Ven. Selain perkembangan umat, dalam buku ini disajikan perkembangan inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia. Sumber berikutnya adalah buku berjudul Awal Mulanya Adalah Muntilan: Misi Jesuit Di Yogyakarta karangan Anton Haryono. 11 Buku ini mendeskripsikan sejarah penyebaran dan perkembangan misi agama Katolik di Yogyakarta pada tahun 1914 hingga tahun 1940. Di dalamnya juga terdapat data-data mengenai 10 Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, 2005, Yogyakarta : Kanisius. 11 Anton Haryono, op.cit., hlm. 11-20. 9 sejarah Gereja Ganjuran yang menggunakan inkulturasi sebagai suatu bentuk atau cara penyebaran agama Katolik. Kelima buku tersebut digunakan peneliti untuk membahas tentang awal mula penyebaran misi Katolik di Pulau Jawa. Buku-buku itu memaparkan bagaimana agama Katolik masuk ke Indonesia dengan disebarkan oleh orang- orang Katolik dari Belanda. Orang-orang Belanda tersebut adalah para biarawan Jesuit. Mereka menyebarkan agama Katolik dengan antusias sehingga karya- karyanya dapat berkembang seperti agama Katolik di Pulau Jawa sekarang ini. Sumber berikutnya berupa artikel karya C.H. Suryanugraha berjudul Candi Ganjuran: Seni Liturgis Budaya Jawa. Artikel ini dimuat dalam buku berjudul Rupa dan Citra, 12 menceritakan keunikan Candi Ganjuran yang dibangun untuk menunjukkan suatu bentuk inkulturasi yang kuat dalam agama Katolik dengan kebudayaan Jawa. Diterangkan pula mengenai inkulturasi dalam bentuk tata cara ibadah dan acara-acara keagamaan Katolik lainnya. Panitia pembangunan Gereja Ganjuran menerbitkan sebuah buku berjudul Ganjuran: Gereja Berkat Dan Perutusan. 13 Buku ini memberikan gambaran sejarah Gereja Ganjuran dari awal dibangun tahun 1924, peristiwa gempa Yogyakarta tahun 2006 hingga terbangunnya Gereja Ganjuran masa kini. Di dalamnya, banyak terdapat gambar atau foto dan sketsa-sketsa arsitektur gereja. Setiap bagian gereja masa kini dijelaskan makna filosofisnya yang kuat, perpaduan antara agama Katolik dan arsitektur Jawa. 12 C.H. Suryanugraha, Rupa dan Citra : Aneka Simbol dalam Misa, 2006, Bandung : SangKris. 13 Panitia Pembangunan Gereja Ganjuran, Ganjuran Gereja Berkat dan Perutusan : Pasca Gempa Bumi 27 Mei 2006, 2009, Yogyakarta. 10 Skripsi Lucia Esti Elihami berjudul Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Inkulturasi Sebagai Landasan Tumbuh Dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta 14 menjadi bagian penting dari penulisan skripsi ini. Di dalam skripsinya, Lucia Esti menjelaskan tentang sejarah keluarga Schmutzer hingga terbentuknya Ganjuran sebagai sebuah paroki besar di Yogyakarta. Ketiga sumber tersebut digunakan untuk membahas latar belakang berdirinya Gereja Ganjuran serta pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu ada berbagai bentuk inkulturasi agama Katolik dengan kebudayaan Jawa yang tampak pada Candi Hati Kudus Yesus, Ganjuran. Selain sumber-sumber yang membahas sejarah Gereja Katolik di Jawa, ataupun di Ganjuran, penulis juga memasukkan sumber-sumber lain tentang arsitektur. Buku-buku seperti ini dibutuhkan untuk menunjang pembahasan mengenai arsitektur masyarakat Jawa, antara lain: buku karangan H.J. Wibowo dkk. berjudul Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, 15 yang menjelaskan berbagai jenis rumah tradisional masyarakat Yogyakarta. Buku ini juga menerangkan macam-macam kegunaan atau fungsi yang terdapat dalam masing-masing bagian rumah tradisional Jawa. Buku lain adalah Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa 16 karya K.R Ismunandar. Buku ini menjelaskan mengenai joglo sebagai bangunan tradisional 14 Lucia Esti Elihami, “Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Inkulturasi Sebagai Landasan Tumbuh Dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta ”, 1995, Skripsi S1, Pendidikan Sejarah, USD. 15 H.J. Wibowo, dkk, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, 1998, Jakarta : CV. Pialamas Permai. 16 R. Ismunandar K, Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 1986, Semarang : Dahara Prize. 11 masyarakat Yogyakarta yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Termuat di dalamnya penjelasan tentang teknik pembuatan, makna tiap bagian bangunan, serta penggunaan simbol-simbol dalam aksesoris bangunan joglo. Wastu Citra: Pengantar Ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis karya Y.B. Mangunwijaya merupakan buku yang berisikan macam-macam bentuk arsitektur dunia beserta kosmologi dari masing-masing ruang yang dimiliki. Dalam buku ini dijelaskan beberapa filsafat terkait sejarah perkembangan arsitektur serta kosmologi arsitektur gereja yang ada di dunia. Dalam menyusun skripsi peneliti memanfaatkan juga tradisi lisan, yang diperoleh berdasarkan cerita-cerita dari keluarga peneliti yang tinggal di Ganjuran serta homili yang dilakukan oleh Romo G. Utomo, Pr. saat berkothbah dalam acara Prosesi Agung gereja Hati Kudus Tuhan Yesus tahun 2015. Data lain yang cukup bermanfaat juga didapatkan dari beberapa video mengenai sejarah Gereja Ganjuran. F. Landasan Teori Sebelum masuk pada pokok pembahasan, penulis perlu menguraikan beberapa konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini yakni mengenai konsep karakter kejawaan, arsitektur rumah Jawa, dan gereja Katolik. Hal ini bertujuan untuk memperjelas arti dari beberapa kata penting yang sering kali digunakan dalam pembahasan sehingga ada kesamaan pandang. Setiap kebudayaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 penciptaan batin akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Salah satu bentuk budaya yang ada di Indonesia yakni budaya Jawa. Budaya Jawa ini dianut oleh suku Jawa, baik yang menetap di Jawa ataupun di pulau yang berbeda. 17 Budaya Jawa yang melekat ini kemudian muncul sebagai karakter kejawaan. Dalam penulisan ini pengertian kejawaan merupakan kondisi budaya Jawa yang dihayati oleh masyarakat Jawa yang terlihat dari aspek-aspek kehidupan yang dijalani. Unsur kebudayaan yang dimiliki suku-suku di Indonesia berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Unsur kebudayaan masyarakat pada kesenian yang dapat dilihat dari seni kriya, seni pertunjukan, seni sastra dan seni lainnya. 18 Pada seni kriya ini tampak pada seni ukir dekoratif, dan seni arsitektur atau seni membangun sebuah bangunan tertentu. Kearifan lokal yang dimiliki oleh berbagai daerah tampak dari seni kriya dalam rupa arsitektur bangunannya. Kearifan lokal tersebut berasal dari sebuah tradisi, kondisi lingkungan, kondisi sosial, serta unsur-unsur terkait yang mempengaruhi bentuk suatu bangunan di suatu daerah tertentu. Pengertian arsitektur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dan sebagainya serta metode dan gaya rancang suatu konstruksi bangunan. 19 Bagi masyarakat dulu, arsitektur diungkapkan sebagai nilai yang melekat pada karya budaya mereka, yang di dalamnya tersirat idealisme dan perilaku mereka pada waktu itu. 20 17 http:id.wikipedia.orgwikiKejawen diunduh pada tanggal 20 Mei 2015 pukul 19.00. 18 H.B Hery Santosa, op.cit., hlm. 119. 19 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 20 Arya Ronald, 2012, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa, hlm. iii. 13 Dalam masyarakat Jawa dikenal berbagai bentuk bangunan rumah antara lain rumah bentuk kampung, rumah bentuk penggang, rumah limasan dan rumah joglo. Rumah joglo dan rumah limasan merupakan jenis rumah yang familiar di Jawa, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Gb. 1. Bentuk Rumah Joglo Sumber: www.google.com Gb. 2. Bentuk Rumah Limasan Tradisional Sumber: www.google.com 14 Rumah joglo umumnya dimiliki oleh orang-orang yang mampu. Hal itu karena untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lebih mahal. Masyarakat kalangan menengah ke bawah lazimnya tidak dapat membangun rumah tradisional jenis joglo tersebut. Selain harga bahan bangunannya yang mahal, bila rumah joglo tersebut mendapat kerusakan dan perlu diperbaiki, tetapi tidak boleh merubah dari bentuk semula. Sebab kalau dilanggar bisa menimbulkan pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah. 21 Rumah joglo merupakan bangunan yang sempurna bagi masyarakat Jawa. Bangunan ini memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis rumah tradisional masyarakat Jawa kebanyaka. Ciri umum bentuk bangunan joglo adalah penggunaan “blandar” bersusun yang disebut “blandar tumpangsari” 22 . Di bagian penyangga “blandar tumpangsari” terdapat empat buah tiang pokok yang terletak di ten gah yang disebut “soko guru”. Sebagai penyangga atau kerangka lainnya terdapat “sunduk”, berfungsi sebagai penyiku atau penguat bangunan agar tidak berubah posisinya. Oleh sebab itu letaknya pada ujung atas “saka guru” di bawah “blandar”. 23 Bangunan berukuran bujur sangkar ini mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Beberapa variasi bentuk bangunan joglo diantaranya: rumah joglo lawakan, rumah joglo sinom, rumah joglo jompongan, rumah joglo pangrawit, rumah joglo mangkurat, rumah joglo hageng, dan rumah joglo 21 R. Ismunandar K, op.cit., hlm. 93. 22 Blandar tumpangsari merupakan “blandar” bersusun ke atas dan semakin melebar. 23 H.J. Wibowo, dkk., op.cit., hlm. 54. 15 tinandhu. Perbedaan mendasar dari berbagai jenis joglo tersebut terdapat di atap bangunan empyak, brunjung, serta pengeret. 24 Selain rumah joglo, rumah limasan merupakan salah satu jenis rumah tradisional masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta D.I.Y yang dapat dibuat oleh berbagai kalangan masyarakat. Bentuk rumah limasan ini memiliki denah empatpersegi panjang dan dua buah atap kenjen atau cocor serta dua atap lainnya brunjung yang bentuknya jajaran genjang sama kaki. Kata limasan ini diamb il dari kata “lima-lasan”, yakni perhitungan sederhana menggunakan ukuran- ukuran : “molo” 3 meter dan “blandar” 5 meter. Tetapi bila “molo” berukuran 10 meter, maka “bladar” harus memakai ukuran 15 meter. 25 Kenjen atau cocor cenderung untuk berubah. Karena rumah limasan mengalami penambahan sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap emper, menimbulkan variasi baru dari rumah limasan kontemporer. Variasi bentuk rumah limasan antara lain: rumah limasan lawakan, rumah limasan gajah ngombe, rumah limasan gajah njerum, rumah limasan apitan, rumah limasan klabang nyander, rumah limasan pacul gowang, rumah limasan gajah mungkur, rumah limasan cere gancet, rumah limasan apitan pengapit, rumah limasan lambang emplok, rumah limasan semar tinandhu, rumah limasan traiumas lambang gantung, rumah limasan trajumas, rumah limasan sinom, dan rumah limasan lambang sari. 26 24 Ibid., hlm. 54-60. 25 Ibid., hlm. 43. 26 Ibid., hlm. 42-53. 16 Persamaan dari kedua jenis rumah tradisional Jawa tersebut, terdapat susunan ruangan yang biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruangan pertemuan yang disebut dengan pendhapa, ruang tengah atau disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dengan dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. 27 Dalam ruangan itu terdapat tiga buah kamar senthong yaitu senthong kiwa, senthong tengah petanen dan senthong kanan. Susunan ruangan rumah bentuk joglo lebih jelas dibandingkan dengan susunan ruangan rumah Jawa lainnya. Oleh karena itu rumah joglo tersebut 27 Ibid., hlm. 60. 4d a b c 1 2 3 4d 4d Gb. 3. Skema ruang rumah Limasan Sumber: Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa Keterangan : 1. Ruang depan 2. Ruang tengah 3. Ruang belakang a. Senthong kiwa b. Senthong tengah c. Senthong kanan 4. d. kamar tambahan Keterangan : 1. Pendhapa 2. Pringitan 3. Dalem a. Senthong kiwa b. Senthong tengah c. Senthong kanan Gb. 4. Skema ruang rumah Joglo masyarakat biasa Sumber: Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa 1 a b c 3 2 17 dikatakan sebagai rumah dengan tipe yang lengkap dan tepat bagi masyarakat Jawa. Ada dua jenis tipe rumah joglo berdasarkan status kepemilikan, pertama ialah rumah joglo milik orang biasa dan rumah joglo milik golongan bangsawan ningrat. Susunan ruang pada rumah bentuk joglo biasanya disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Jadi semakin banyak anggota keluarga itu, makin banyak ruangan yang dibutuhkan. Pada prinsipnya semua kamar dalam ruangan menghubungkan antara tiang yang satu dengan tiang lainnya dan tepat di bawah “blandar”. 28 Rumah yang dimiliki golongan bangsawan ningrat biasanya dibangun lebih lengkap. Di bagian depan rumah biasanya terdapat sebuah bangunan pendhapa yang berbentuk joglo terbuka, semakin ke dalam ada sebuah bangunan utama biasanya berbentuk limasan yang di dalamnya terdapat berbagai ruangan yang terdapat dalam rumah limasan pada umumnya. Di sebelah kiri kanan “dalem” ada bangunan kecil memanjang disebut dengan gandhok yang memiliki kamar-kamar. 28 Ibid., hlm. 61. Keterangan : 1. Pendhapa bangunan joglo dengan ruang terbuka 2. Pringitan 3. Dalem a. Senthong kiwa b. Senthong tengah c. Senthong kanan 4. Gandhok Gb. 5. Skema ruang rumah Joglo golongan ningrat Sumber: Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa a b c 1 2 3 4 4 18 Setelah sedikit memahami tentang yang dimaksud dengan kejawaan dan arsitektur rumah Jawa, perlu dipahami lagi mengenai yang dimaksud gereja dalam skripsi ini. Gereja merupakan persekutuan para orang beriman, 29 orang-orang yang percaya kepada Tuhan Allah atau kepada Kristus dan telah dibaptis secara Kristiani. Namun, pengertian Gereja tidak hanya dalam bentuk persekutuan umat melainkan juga kondisi fisiknya, yaitu bangunan, tempat berkumpulnya umat untuk melakukan ibadah. Bangunan gereja di Indonesia banyak yang menyerupai bangunan- bangunan rumah di Eropa, karena agama Katolik di Indoneisa pertama kali disebarkan oleh pastor-pastor Eropa. Pada masa awal perkembangan agama Katolik di Indonesia, bangunan gereja masih menggunakan tempat terbuka atau rumah-rumah orang yang sudah memeluk agama Katolik. Karena semakin banyak yang mulai memeluk agama Katolik, dibangunlah sebuah tempat khusus untuk mereka beribadat. Di pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur bentuk bangunan yang didirikan oleh orang-orang Belanda pada tahun 1920-an biasanya sudah ada perpaduan dengan arsitektur tradisional masyarakat lokal. Ciri khas bangunan Belanda seperti itu antara lain; 1 memiliki denah simetris, pilar di serambi depan dan belakang, 2 menggunakan tempelan batu kali pada tampak depan bangunan, 3 adanya tower pada bangunan gereja diganti dengan lonceng gereja, serta 4 memiliki ventilasi yang cukup besar. Sebagai tempat peribadatan, gereja yang 29 Konferensi Wali Gereja Katolik, Iman Katolik, 1996, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 332. 19 dibangun oleh orang-orang Belanda cenderung berbentuk simetris menyerupai salib † . Di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terdapat gereja- gereja tua yang dalam arsitektur mengalami perpaduan budaya Eropa dan Indonesia, antara lain 1 Gereja Puhsarang di Kediri tahun 1936 yang menyerupai gunung, 2 Gereja Tri Tunggal Maha Kudus di Bali tahun 1937 yang menyerupai pura, dan 3 Gereja Ganjuran di Yogyakarta tahun 1924. 30 Beberapa gereja tersebut memiliki arsitektur tradisional yang diterapkan dalam peribadatan agama Katolik. Bagi masyarakat Jawa, arsitektur gereja yang menyerupai rumah tradisional membuat mereka lebih nyaman dan lebih sakral dalam melakukan upacara religinya

G. Metode dan Pendekatan Penelitian