x Buku Profil Pertanahan Provinsi D.I Yogyakarta 2015 – Kementerian PPNBappenas
c.
Sengketa Waris
, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan
d.
Jual Berkali-Kali
, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli
kepada lebih dari 1 orang. e.
Sertipikat Ganda
, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah
lebih dari 1. f.
Sertipikat Pengganti
, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas
tanah pengganti g.
Akta Jual Beli Palsu
, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya akta jual beli palsu
h.
Kekeliruan Penunjukkan Batas
, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah
ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan Penunjukkan batas yang salah.
i.
Tumpang Tindih
, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya
tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya. j.
Putusan Pengadilan
, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai Putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak
atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
10. Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan
a.
Kriteria K1:
penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa
b.
Kriteria K2:
penerbitan surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah, Pembatalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau
perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan
c.
Kriteria K3:
pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain
disetujui oleh pihak yang bersengketa d.
Kriteria K4:
pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara
di Pengadilan e.
Kriteria K5:
pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk
kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.
11. Sertifikat Tanah
Sertifikat tanah adalah surat bukit hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah Wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun dan hak Tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan
xi Buku Profil Pertanahan Provinsi D.I Yogyakarta 2015 – Kementerian PPNBappenas
12. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B
Bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan nasional
13. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian
pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
+,-,.,-,01-,2345678-+1,-9,::-,0
BAB I
PENDAHULUAN
| 1 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENGANTAR
“Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”
__ UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 __ Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia, beserta pengelolaannya, menjadi
konsentrasi pemerintah sejak disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar hukum negara ini, dibuat. Pemanfaatan ini ditujukan tidak lain untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia dan negara, dalam hal ini, berperan sebagai fasilitator sekaligus regulator untuk membagi agar sumber daya tersebut dapat terus terjaga
pemanfaatannya. Hak penguasaan oleh negara ini diatur lebih lanjut dalam pasal 2 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA yang
menyatakan bahwa hak menguasai dari negara yaitu i Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut; ii Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan iii Menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Selain hak menguasai oleh negara, hak menguasai tersebut dapat dimiliki
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum Pasal 4 ayat 1 UUPA. Dari kutipan dari pasal 4 ayat 1 UUPA ini, menjadikan
kandungan yang terdapat didalam bumi seperti air, dan kekayaan alam lainnya, memiliki nilai ekonomi, investasi dan
multiplier effect
, yang mampu meningkatkan kesejahteraan orang-perorangan, tidak lagi bagi kesejahteraan rakyat secara luas. Akibatnya, banyak
timbul permasalahan yang sangat umum terjadi saat ini, seperti konflik antar masyarakat, sengketa kepemilikan dan lain sebagainya, sehingga amanat UUD pasal 33 ayat 3 diatas
tidak dapat dicapai sepenuhnya. Indonesia memiliki cukup banyak sumber daya yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, salah satunya adalah tanah. Tanah atau
agraria
berasal dari beberapa bahasa. Istilah
agraria
berasal dari kata ‘
akker
’ Bahasa Belanda, ‘
agros
’ Bahasa Yunani berarti tanah pertanian,
‘agger’
Bahasa Latin berarti tanah atau
| 2 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
sebidang tanah,
‘agrarian’
Bahasa Inggris berarti tanah untuk pertanian Santoso, Urip. 2009:1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, agraria berarti 1 urusan
pertanian atau tanah pertanian, 2 urusan pemilikan tanah. Urip Santoso dalam bukunya yang berjudul
Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah
juga menyebutkan beberapa pengertian tanah menurut para ahli, seperti Andi Hamzah yang menyebutkan bahwa Agraria
adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan diatasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan
diatasnya, dimana yang ada di dalam tanah seperti batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah seperti tanaman dan bangunan. Terminologi tanah atau permukaan bumi
yang disetarakan dengan sebutan “agraria” tidak lepas dari pola hidup masyarakat Indonesia yang notabenenya bergerak di sektor pertanian, dimana masyarakat mengolah
apa saja yang ada di atas permukaan bumi dan menghasilkan keuntungan darinya. Mengacu pada amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 diatas, segala kekayaan yang
dimiliki oleh Indonesia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara. Pengelolaan ini menjadi salah satu poin penting untuk dapat mencapai cita-cita pasal 33
yaitu untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, yang saat ini terjadi adalah masih ada beberapa kasus terkait pengelolaan asset negara dalam hal ini
tanah yang membawa dampak cukup besar terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Sebagai contoh, konflik dan sengketa tanah adat, kepemilikan hak atas tanah, kurangnya
lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain sebagainya. Di Provinsi Bali, tepatnya di Desa Temukus Kabupaten Buleleng, terdapat konflik dan sengketa tanah adat,
dimana tanah kuburan karang rumpit desa ini di klaim oleh orang-perorangan. Selain klaim tanah, juga terdapat sengketa tanah warisan seperti yang terjadi di Kabupaten Tabanan. Hal
ini juga terjadi di kota-kota besar lainnya, dari Aceh hingga Papua, yang memiliki permasalahan terkait pengelolaan pertanahan lainnya, seperti tersendatnya pelaksanaan
redistribusi tanah, kurang optimalnya pelayanan pertanahan dan tidak adanya jaminan hukum atas tanah. Hal ini tidak hanya membawa dampak materil tetapi juga sistem moril
yang dapat mempengaruhi interaksi antar masyarakat di suatu wilayah. Penjabaran terkait permasalahan pengelolaan pertanahan diatas perlu adanya tindak
lanjut sehingga hal ini dapat diminimalisir. Namun tidak semua stakeholder mampu memahami bagaimana kondisi
real
dilapangan sehingga sering kali kebijakan yang dibuat malah tidak dapat sepenuhnya di implementasikan. Perlu adanya suatu dokumen berupa
buku profil pertanahan yang mampu menjelaskan bagaimana kondisi-kondisi terkait pengelolaan pertanahan yang ada di tiap-tiap provinsi di Indonesia yang disajikan dapat
berupa data angka maupun deskriptif yang mudah dipahami seluruh pembacanya. Selain
| 3 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
itu, buku ini nantinya harus mampu menjadikan dasar pengambilan keputusan di bidang pengelolaan pertanahan kedepannya, sehingga akan sesuai antara yang terdapat
dilapangan dengan apa yang nantinya akan direncanakan.
1.2 ISU-ISU PERTANAHAN DI INDONESIA
Dari penjelasan latar belakang di atas, ada beberapa poin penting yang masuk kedalam substansi pembahasan profil pertanahan ini, yaitu sebagai berikut:
a. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Stelsel Negatif
Kekuatan hukum kepemilikan hak masyarakat oleh tanah ini erat kaitannya dengan masih dianutnya sistem pendaftaran negatif bertendensi negatif stelsel negatif oleh Negara
Indonesia. Sistem pendaftaran tanah negatif bertendensi negatif artinya walaupun seseorang memiliki tanda bukti pemilikan hak atas tanahnya dalam bentuk sertifikat hak
atas tanah yang mempunyai kekuatan hukum, masih memiliki peluang untuk dipersoalkan oleh pihak lain yang mempunyai alasan bukti hukum yang kuat bisa dalam bentuk sertifikat
dan alat bukti lainnya melalui sistem peradilan hukum tanah di Indonesia. Hal ini karena tidak adanya kejelasan antar batas-batas tanah sehingga mampu menjadi suatu objek
sengketa tanah yang baru Limbong, 2012: 96. Selain itu, pemerintah juga belum memiliki dasar pendataan yang kuat untuk membuktikan tiap-tiap kepemilikan hak atas tanah
tersebut, dan dapat diselesaikan apabila faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepastian hukum hak atas tanah dapat diperbaiki, seperti cakupan peta dasar pertanahan, jumlah
bidang bersertifikat, penetapan kepastian batas kawasan hutan dan non hutan untuk menghindari pemanfaatan lahan di kawasan hutan, penyelesaian kasus pertanahan serta
penetapan batas tanah adatUlayat.
b. Kesejahteraan Rakyat dan Ketimpangan Kepemilikan Tanah
Access Reform
dan
Asset Reform
.
Ketimpangan kepemilikan tanah dan kesejahteraan rakyat ini berkaitan dengan akses masyarakat terhadap tanah, dimana dari luas wilayah darat nasional di luar kawasan hutan
sebesar 65 juta Ha, hanya 39,6 Ha yang dikuasai oleh petani. Hal ini menjadi salah satu tolak ukur, apabila semakin berkurang lahan garapan petani, maka akan berdampak pada
ketersediaan pangan nasional. Dalam negara agraris, tanah menjadi media produksi yang sangat penting dimana baik-buruknya penghidupan rakyat tergantung pada keadaan dan
ketersediaan lahan pertanian. Data dari Kementerian pertanian bahwa Indonesia ada kemungkinan mengalami defisit lahan pertanian seluas 730.000 Ha apabila hal ini tidak
ditangani, dan akan terus meningkat menjadi 2,21 juta Ha pada tahun 2020, dan mencapai 5,38 Ha pada tahun 2030. Beberapa langkah upaya penangganan untuk hal ini sudah
dilakukan oleh beberapa Kementerian lembaga, seperti salah satunya adalah BPN dengan
| 4 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
program pembaharuan agraria Reforma Agraria. Konsep pembaharuan agraria pada hakekatnya adalah konsep
Landreform
yang dilengkapi dengan konsep
access reform
dan
asset reform
. Konsep
Landreform
dalam hal ini adalah penataan kembali struktur penguasaan kepemilikan tanah yang lebih adil, konsep
access reform
berkaitan dengan penataan penggunaan atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai dengan
penataan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah perdesaan, dan
asset reform
berkaitan dengan kekuatan hukum yang berpihak pada rakyat luas.
c. Pelayanan Pertanahan Yang Belum Optimal
Penyebab belum optimalnya pelayanan pertanahan adalah masih kurangnya jumlah pegawai juru ukur pertanahan yang tersedia di tiap Kanwil BPN. Sebagai contoh di Kanwil
BPN DIY, jumlah pegawai pertanahan yang dimiliki pada tahun 2013 adalah 503 orang dengan proporsi pegawai non juru ukur sebanyak 436 orang, sedangkan pegawai juru ukur
berjumlah 67 orang. Hal ini dirasa belum mencukupi untuk mampu melakukan pelayanan pertanahan secara optimal seperti pelayanan pengukuran bidang tanah, penerbitan sertifikat
dan pelayanan terkait pertanahan lainnya. Untuk Kanwil BPN DIY sendiri, volume pekerjaan pengukuran bidang tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi DIY setiap harinya ±170
bidang. Idealnya, petugas juru ukur setiap harinya menyelesaikan 1-2 bidang tanah, sehingga dari perbandingan ini, jumlah yang dibutuhkan adalah 85 orang. Jumlah ini jelas
kurang apabila dilihat di lapangan jumlah pegawai pertanahan yang dimiliki hanya 67 orang. Hal serupa juga terjadi di Kanwil BPN Provinsi Bali yang memiliki pegawai pertanahan
berjumlah 642 orang dengan perbandingan antara jumlah pegawai non-juru ukur sebanyak 553 orang, dan 89 orang pegawai juru ukur. Jumlah ini masih kurang, mengingat pada
beberapa wilayah di Bali memiliki topografi atau medan yang cukup sulit sedangkan pengukuran yang harus dilakukan per tahunnya tidak sedikit. Kegiatan pelayanan
pengukuran rata-rata pertahun sebanyak 51.214 bidang sedangkan kemampuan tiap pegawai juru ukur maksimal 2 dua bidang perhari. Dari kemampuan atau kapasitas yang
dimiliki, pertahun dengan jumlah pegawai yang tersedia Kanwil BPN hanya mampu melayani pengukuran sebanyak 42.720 bidang. Angka tersebut jelas berada di bawah rata-
rata kegiatan pengukuran tanah yang harus dilakukan oleh BPN Provinsi Bali. Hal ini lah yang harus diperhatikan sehingga pelayanan pertanahan kepada masyarakat dapat
dilakukan dengan lebih optimal.
d. Jaminan Ketersediaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Tanah merupakan salah satu aset dan modal dasar bagi kegiatan pembangunan, dimana hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah sebagai
| 5 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
media pembangunannya. Namun, saat ini, dimana pembangunan terus meningkat sedangkan tanah yang tersedia tidak berubah, menjadikan kegiatan pembangunan menjadi
terhambat dimana pembebasan tanah menjadi berlarut-larut sehingga memperpanjang masa pembangunan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah membuat peraturan
perundang-undangan, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Perpres Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perubahan Perpres 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Umum serta peraturan terkait lainnya. Peraturan ini menyelesaikan permasalahan kepastian dari Kerangka waktu
pengadaan tanah maksimal, namun peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah tadi secara umum karena
dalam peraturan tersebut, proses pengadaan tanahnya diserahkan kembali kepada tiap instansi yang membutuhkan tanah. Hal ini lah yang perlu diantisipasi, karena apabila tidak
dilakukan pengadaan tanah melalui pembebasan lahan, maka akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, dimana harga tanah yang terus naik dan cenderung tidak dapat
dikendalikan, akan berdampak pada biaya pembangunan infrastruktur untuk pemenuhan pelayanan dasar masyarakat yang menjadi mahal akibat naiknya komponen harga atas
tanah tersebut.
e. Konflik Tanah Adat Ulayat
Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, sedangkan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Namun, saat ini banyak terjadi konflik atas tanah adat Ulayat
1
, karena masih banyak tanah adat Ulayat di Indonesia ini yang belum terdaftarkan secara hukum yang dibuktikan dengan sertifikat hak
atas tanah atau masih berupa pengakuan para pemangku adat. Jadi apabila ada konflik di atas tanah adat Ulayat tersebut, akan mengalami kesulitan dalam penyelesaiannya, karena
tidak adanya batas yang jelas antara tanah adat Ulayat dengan tanah diluar tanah adat, dan sering terjadi konflik. Seperti yang terjadi di Bali, dimana tanah adat yang merupakan tanah
1
Konflik Tanah Adat Ulayat yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang
belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain Limbong, 2012: 85
| 6 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
kuburan di klaim oleh orang-perorangan. Penjelasan batas tanah adat Ulayat ini perlu dilakukan di tiap daerah sehingga akan memudahkan untuk penerbitan sertifikat hak atas
tanah dan memiliki kepastian hukum.
1.3 TUJUAN DAN METODE
Buku profil pertanahan ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai isu-isu di bidang pertanahan dengan menyajikan data-data terkait kondisi saat ini untuk tiap-tiap
bagian yang akan dibahas, serta memberikan ulasan singkat terkait isu-isu pertanahan yang diangkat. Sehingga harapannya akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan atau
acuan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan pertanahan di Indonesia kedepannya. Metode yang digunakan dalam penyusunan buku ini adalah melalui
pengumpulan data sekunder yang didapat dari literatur seperti buku-buku yang telah dicantumkan pada bagian daftar pustaka serta data primer yang didapat dari penyebaran
kuesioner kepada tiap-tiap Kanwil BPN yang tersebar di seluruh Indonesia.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Buku ini disusun kedalam 6 enam bab yang secara garis besar terurai sebagai berikut. Bab 1 satu adalah Pendahuluan yang merupakan Pengantar umum dari profil
pertanahan ini. Dalam Pengantar ini, pembaca diharapkan akan mampu memahami amanat UUD pasal 33 ayat 3 dan UUPA yang merupakan peraturan dasar yang mengatur tentang
agrariatanah sumber daya, dan akan mampu memahami beberapa isu terkait pengelolaan pertanahan di Indonesia. Bab 2 dua, yaitu Peraturan Perundang-Undangan terkait
Pertanahan, menampilkan kaitan-kaitan antar isu pertanahan yang ada di Indonesia dengan peraturan-peraturan pertanahan yang sudah ada. Selanjutnya, Bab 3 tiga adalah Data dan
Informasi Pertanahan yang menjelaskan secara rinci data-data yang didapat dari kanwil- kanwil BPN RI terkait pengelolaan pertanahan. Bab 4 empat terkait Ulasan Data dan
Informasi Pertanahan sebagai kompilasi serta penjelasan data-data, lanjutan dari Bab ke-3. Lalu, Bab 5 lima yaitu Isu Spesifik Pertanahan yang akan menjelaskan mengenai isu-isu
yang ada di tiap daerah terkait pengelolaan pertanahan, seperti konflik tanah adat, sengketa tanah dan lainnya, dan Bab 6 enam memaparkan proyek-proyek pertanahan yang pernah
dilaksanakan untuk melihat
lesson learned
dari implementasi tiap proyek yang pernah dijalankan hingga tahun 2013.
+,-,.,-,01-,2345678-+1,-9,::-,0
BAB II
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
BIDANG PERTANAHAN
| 7 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
BAB II
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG PERTANAHAN
Dasar yuridis negara Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 amandemen ketiga yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum,” menempatkan hukum kedalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya sehingga dapat menciptakan kehidupan yang demokratis dan kesejahteraan masyarakatnya.
Demikian halnya untuk pengelolaan sumber daya tanah yang berada dalam kekuasaan negara. Ada beberapa peraturan atau regulasi yang mengatur tentang pengelolaan tanah di
Indonesia, yang dimulai dari tingkat peraturan tertinggi yaitu UUD 1945, Undang-Undang hingga peraturan Kepala BPN RI. Pada bagian ini, akan dibahas secara khusus peraturan
perundang-undangan mengenai pengelolaan pertanahan di Indonesia yang disesuaikan dengan isu pertanahan terkait.
2.1 KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH
Kepastian hukum atas tanah, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, berhubungan dengan masih digunakannya sistem pendaftaran atas tanah secara negatif oleh pemerintah
Indonesia. Hal ini didukung dengan belum adanya dasar pendataan yang baik, yang dimiliki oleh pemerintah, seperti ketersediaan peta dasar pertanahan, batas kawasan hutan,
sertifikat hak atas tanah dan lainnya. Mengenai sistem pendaftaran tanah secara negatif atau stelsel negatif, sudah diatur didalam peraturan perundang-undangan seperti di UU
Nomor 51960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA, dan PP No. 241997 tentang Pendaftaran Tanah.
a. UU No. 5 Tahun 1970 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 4 ayat 1, menyatakan:
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”
Pasal 5, menyatakan:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
| 8 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 19 ayat 1 dan 2, menyatakan:
1 “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.” 2 “Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
a. Pengukuran perpetaan dan pembukaan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 20 ayat 2, menyatakan:
“Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”
Pasal 28 ayat 3, menyatakan:
“Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”
Pasal 35 ayat 2, menyatakan:
“Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”
b. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Pasal 3, menyatakan:
“Pendaftaran tanah bertujuan a Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun
dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”
Pasal 4 ayat 1, menyatakan:
“Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas
tanah.”
Pasal 15 ayat 1, menyatakan:
“Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 dimulai dengan pembuatan peta dasar pertanahan”
Pasal 20 ayat 1, menyatakan:
|
9
Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
“Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 18 diukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar
pendaftaran.”
Pasal 32 ayat 1 dan 2, menyatakan:
1 “Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
2 “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila
dalam waktu 5 lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”
Dari penjelasan dan jabaran pasal per pasal, maka dapat ditarik suatu benang merah atau kesimpulan dari isi yang mendukung isu yang diangkat dalam buku profil pertanahan
ini, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1 Sintesa Pasal-Pasal Terkait Kepastian Hukum Atas Tanah
No. Substansi
Sumber
1.
Pemberian Hak Atas Tanah: Hak menguasai atas tanah dapat diberikan kepada mereka, baik orang-
perorangan maupun bersama-sama serta badan hukum UU No. 5 Tahun
1970 Pasal 4
2.
Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah: - Untuk menjamin kepastian hukum atas tanah yang dimiliki, perlu di
adakan pendaftaran tanah yang terdiri dari pengukuran perpetaan dan pembukaan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-
hak yang dimaksud, serta pemberian surat-surat tanda bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah, sebagai alat pembuktian kepemilikan.
- Pendaftaran tanah ini juga bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah
dan untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pendataan
terhadap bidang-bidang
tanahkeperluan tertib administrasi UU No. 5 Tahun
1970 dan PP No. 24 Tahun 1997
3.
Peta Dasar Pertanahan: Peta dasar pertanahan dibutuhkan dalam kegiatan pendaftaran tanah,
PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 20
| 10 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
No. Substansi
Sumber
dan untuk dapat menunjukkan batas-batas bidang tanah secara presisi. Sumber: Analisa Penyusun, 2015
2.2 KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KETIMPANGAN KEPEMILIKAN TANAH
Salah satu amanat UUD pasal 33 ayat 3 menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir pengelolaan dan pemanfaatan segala kekayaan sumber daya negara, termasuk
sumber daya tanah. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah ini diatur dan dikelola oleh pemerintah melalui pemberian hak-hak atas tanah. Namun, saat ini tidak semua orang
mempunyai akses yang sama terhadap tanah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hanya 6,09 dari keseluruhan wilayah daratan yang dimiliki oleh petani. Selain itu, lahan
pertanian yang semakin menurun setiap tahunnya dikhawatirkan akan membawa dampak pada kebertahanan pangan untuk waktu yang akan datang. Mengenai hal ini, ada beberapa
peraturan yang mengatur tentang pengelolaan agraria, pemanfaatan tanah negara untuk kegiatan reforma agraria yang mendukung isu ini. Berikut peraturan perundang-
undangannya:
a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Pasal 13 ayat 1, menyatakan:
“Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya.”
b. UU No. 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Pasal 1 ayat 1, menyatakan:
“Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau
kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan.”
c. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pasal 29 ayat 3, menyatakan:
“Pengalihan fungsi lahan non-pertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c terutama dilakukan terhadap
Tanah Terlantar dan tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
| 11 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
d. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Pasal 2, menyatakan:
“Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak
pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaannya”
Pasal 15 ayat 1, menyatakan:
“Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat 1 didayagunakan untuk
kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.”
e. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Pasal 22 ayat 1, menyatakan: “Dalam rangka menyelenggarakan penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan yang
meliputi a pelaksanaan Inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; b penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan; c penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.”
Dari penjelasan dan jabaran pasal per pasal, maka dapat ditarik suatu benang merah atau kesimpulan dari isi yang mendukung isu yang diangkat dalam buku profil pertanahan
ini, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.2 Sintesa Pasal-Pasal Terkait Kesejahteraan Rakyat
dan Ketimpangan Kepemilikan Tanah No.
Substansi Sumber
1. Kesejahteraan Rakyat:
- Penggunaan dan pemanfaatan atas tanah diusahakan dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
- Salah satu upaya peningkatan kesejahteraan rakyat adalah seperti pengalihan fungsi lahan-lahan non-pertanian yang bersumber dari
tanah-tanah terlantar menjadi LP2B, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengelola.
UU No. 5 Tahun 1960 dan UU
No.41 Tahun 2009
2. Ketimpangan Kepemilikan Tanah:
- Sebagai upaya pemerataan kepemilikan hak atas tanah, pemerintah melakukan berbagai upaya yang sudah tercantum dalam kegiatan
UU No. 56 PRP Tahun 1960, PP
No.11 Tahun
| 12 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
No. Substansi
Sumber
reforma agraria. - Program-program penatagunaan tanah yang dilaksanakan, meliputi
pelaksanaan IP4T, penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut
fungsi kawasan serta penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan RTRW ini dilakukan
sebagai
salah satu
upaya pemerintah
mendata dan
mengimplementasikan nya sehingga setiap masyarakat memiliki kesempatan dan akses yang sama terhadap tanah dan pemanfaatan
tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam RTRW yang telah disusun.
- Penguasaan tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain,
jumlah luasnya tidak boleh melebihi batas maksimum yang ditetapkan. 2010, dan PP
No,16 Tahun 2004
Sumber: Analisa Penyusun, 2015
2.3 PELAYANAN PERTANAHAN
Peraturan yang mengatur mengenai pelayanan pertanahan ini diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan.
Pasal 3, menyatakan:
“Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan meliputi: a. Pelayanan Pengaduan dan Informasi Kasus Pertanahan;
b. Pengkajian Kasus Pertanahan; c. Penanganan Kasus Pertanahan;
d. Penyelesaian Kasus Pertanahan; dan e. Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum.”
Secara umum, pada Peraturan Kepala BPN telah diatur segala bentuk pelayanan pertanahan beserta tata cara dan ketentuan yang berlaku.
2.4 JAMINAN KETERSEDIAAN
TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
Berikut adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai penyediaan tanah untuk kepentingan umum.
a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 18, menyatakan:
|
1
Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”
b. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 3; 10; 13; 18 ayat 2; 19 ayat 6; 20 ayat 1 dan 2; 21 ayat 5; 23 ayat 1, 2, dan 3; 24; 28 ayat 2; 29 ayat 2, 4 dan 5; 37 ayat 1; 38 ayat 1, 2, 3,
dan 4; 47 ayat 1 mengenai kerangka waktu tiap tahapan pengadaan tanah bagi pembangunan.
c. Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 8; 11 ayat 2; 14 ayat 1; 27 ayat 1; 29 ayat 2; 31 ayat 2; 34 ayat 2;
39; 46 ayat 2, 3; 48 ayat 2. Isinya kerangka waktu
Secara umum, peraturan perundang-undangan yang ada hanya mengatur mengenai Kerangka waktu seperti yang terdapat pada UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 71 tahun
2012. Untuk penyediaan tanahnya, dikembalikan ke masing-masing pihak yang membutuhkan tanah tersebut. Inilah yang harus diperhatikan mengingat urgensinya saat
ini. Berikut adalah sintesa dari tiap-tiap pasal:
Tabel 2.3 Sintesa Pasal-Pasal Terkait Jaminan Ketersediaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum No.
Substansi Sumber
1. Jaminan Ketersediaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum: - Hak-hak atas tanah dapat dicabut sewaktu-waktu dengan memberikan
ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. - Besar nilai transaksi ganti rugi merupakan kesepakatan antara
pemegang hak atas tanah dan yang membutuhkan. - Belum adanya ketentuan kerangka waktu atau lamanya proses ganti
rugi, proses ini masih ditangung oleh pihak yang membutuhkan. - Pemerintah masih mencanangkan adanya suatu lembaga berupa Bank
Tanah sebagai lembaga yang menyimpan atau mencadangkan tanah- tanah sehingga dapat menekan harga tanah yang setiap tahunnya
cenderung naik. UU No. 5 Tahun
1960, UU No.2 Tahun 2012 dan
PP No. 71 Tahun 2012
Mengenai Bank Tanah tidak
tercantum dalam UU dan PP yang
dijadikan sebagai sumber
Sumber: Analisa Penyusun, 2015
| 14 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
2.5 TANAH ADAT
Peraturan yang mengatur mengenai tanah dan hukum adat Ulayat ini diatur dalam UUPA dan Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
a. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Pasal 5, menyatakan:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria”
b. Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Pasal 2 ayat 2, menyatakan:
“Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : a terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang menguasai dan menerapkan ketentuan- ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; b terdapat tanah Ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan c terdapat tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut”
Pasal 4 ayat 1, menyatakan:
“Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan : a oleh warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat
didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria; b oleh Instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.”
| 15 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
Pasal 5 ayat 2, menyatakan:
“Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan
membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas- batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.
c. Peraturan Menteri Agraria dan Tata RuangKepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu
Pasal 1 ayat 1, menyatakan:
“Hak Komunal atas Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Komunal, adalah hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milik bersama atas tanah yang
diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.”
Pasal 2 ayat 1, menyatakan:
“Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya.”
Pasal 4 ayat 1, menyatakan:
“Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan dalam bentuk Hak Komunal.”
Pasal 15, menyatakan:
“Hak komunal yang diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat yang telah didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 2, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya
dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, sesuai ketentuan dalam peraturan perundang- undangan dan kesepakatan para pihak.”
Dari penjelasan dan jabaran pasal per pasal, maka dapat ditarik suatu benang merah atau kesimpulan dari isi yang mendukung isu yang diangkat dalam buku profil pertanahan
ini, yaitu sebagai berikut Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sintesa Pasal-Pasal Terkait Konflik Tanah Adat
No. Substansi
Sumber
1.
Penjelasan hukum agraria di Indonesia Hukum agraria yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat
UU No. 5 Tahun 1960
2.
Syarat masih terdapatnya hak ulayat masyarakat hukum adat: - Ada sekelompok orang adat
- Terdapat tanah ulayat PERMEN Agraria
No.5 Tahun 1999 pasal 2
| 16 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
No. Substansi
Sumber
- Terdapat tatanan hukum adat.
3.
Penguasaan Bidang tanah ulayat dan jaminan hukum: - Tanah ulayat dapat dimiliki oleh orang perorangan masyarakat hukum
adat yang bersangkutan dengan ketentuan hukum adatnya yang berlaku, dan dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah menurut UUPA;
dan dapat dimiliki oleh Instansi Pemerintah, badan hukum atau perorangan diluar masyarakat adat yang bersangkutan, dengan hak
atas tanah sesuai UUPA, setelah tanah tersebut dilepas oleh masyarakat adat setempat.
- Tanah ulayat masyarakat hukum adat, apabila diperlukan dapat dinyatakan dalam peta dasar pertanahan dengan menggambarkan
batas-batasnya sehingga lebih kebal hukum. PERMEN Agraria
No.5 Tahun 1999 pasal 4
dan pasal 5
4.
Hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat:
Hak komunal yang diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat yang telah didaftarkan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya
dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dan kesepakatan para
pihak.
PERMEN ATRBPN No.9
Tahun 2015 Pasal 1 dan
Pasal 15 Sumber: Analisa Penyusun, 2015
+,-,.,-0-1023456,,+,789:;=-+0,-?,-,1
BAB III
DATA DAN IN R
A I
PERTANAHAN PR IN I
DI Y GYAKARTA
| 17 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
BAB III
DATA DAN INFORMASI PERTANAHAN PROVINSI D.I.YOGYAKARTA
Provinsi D.I.Yogyakarta yang merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia, memiliki luas 317.413 Ha. Provinsi ini, memiliki 4 Kabupaten dan 1 Kota dimana 4
Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo dan Sleman. Sedangkan 1 satu kota yang terdapat di Provinsi ini adalah Kota Yogyakarta, atau biasa
disebut sebagai ibukota Provinsi D.I.Yogyakarta. Secara geografis, D.I.Yogyakarta terletak di koordinat 8
o
30’ – 7
o
20’ LS 109
o
40’ – 111
o
0’ BT. Kabupaten terluas terdapat di Kabupaten Gunungkidul dengan luas wilayah sebesar 147.533 Ha atau 46,5 dari luas total provinsi
D.I.Yogyakarta. KabupatenKota kedua terluas terdapat di Provinsi Sleman, dengan luas wilayah sebesar 57.598 Ha atau seluas 18,1. Sedangkan luas wilayah terkecil terdapat di
Kota Yogyakarta dengan luas wilayah 3.340 Ha atau sebesar 1,05. Berikut adalah diagram yang menunjukkan luas wilayah administrasi per kabupatenkota di Provinsi D.I.Yogyakarta.
Sumber: BPN Provinsi D.I.Yogyakarta, 2014
Diagram III.1 Luas Wilayah Administrasi KabupatenKota di Provinsi D.I.Yogyakarta Ha
51,299
147,533 3,340
57,374 57,598
Bantul Gunungkidul
Kota Yogyakarta Kulonprogo
Sleman
| 18 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
Mengenai penggunaan tanah di Pro
v
insi
D
I.
Y
ogyakarta, dari luas wilayah total pr
o v
insi sebesar 317.413 Ha, dibagi kedalam 2 dua bagian penggunaan tanah, yaitu kawasan hutan dan kawasan non-hutan. Untuk luas kawasan hutan di Pro
v
insi
D
I.
Y
ogyakarta hanya seluas 6.022 Ha, sedangkan untuk kawasan Non-Hutan, baik dim
a
aatkan sebagai lahan terbangun seperti permukiman, perdagangan dan lainnya, seluas 311,121 Ha. Untuk
L
P2B yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyelamatkan lahan pertanian pangan di
D
I.
Y
ogyakarta, belum dibagi secara mendetail mengingat lahan yang terbatas. Berikut adalah diagram yang menunjukkan pembagian
penggunaan tanah di Pr
o v
insi
D
I.
Y
ogyakarta.
Sumber: BPN Provinsi D.I.Yogyakarta
Diagram III.2 Penggunaan Tanah di Provinsi D.I.Yogyakarta Ha
3.1 Peta Dasar Pertanahan
Peta dasar merupakan peta yang berisi unsur-unsur yang telah diketahui letak secara pasti dan digunakan dalam pembuatan peta-peta tata guna tanah. Peta dasar pertanahan ini
diperlukan agar semua serti ikat hak atas tanah yang telah dikeluarkan, dapat
terdokumentasikan dalam bentuk peta dasar, yang dapat berman
a
at untuk monitoring dan kegiatan terkait pertanahan lainnya. Selain itu, ketersediaan peta dasar pertanahan ini
merupakan salah satu upaya mengubah sistem penda taran tanah di Indonesia yang semula
menganut sistem penda taran tanah secara negati
stelsel negati , menjadi sistem
p a
taran tanah secara positi .
C a
kupan peta dasar pertanahan di Pro
v
insi
D
I.
Y
ogyakarta, dari luas wilayah total, yang sudah terpetakan seluas 198.000 Ha, sedangkan yang belum terpetakan adalah seluas 119.143 Ha.
D
ari total wilayah yang sudah terpetakan,
dari wilayah tersebut sudah terdigitasi. Ini membuktikan bahwa pro
v
insi
D
I.
Y
ogyakarta sudah mulai menuju sistem penda taran tanah secara positi
sehingga hak-
6,022
311,121
Kawasan Hutan Kawasan Non-Hutan
| Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
hak milik atas tanah yang dimiliki oleh tiap-tiap pemegang hak tanah tersebut diakui oleh hukum. Berikut adalah bagan ketersediaan cakupan luas peta dasar pertanahan di Provinsi
D.I.Yogyakarta hingga akhir tahun 2013.
S
mber: B
P
Provinsi D.I.Yogyakarta
,
014
K
erangan: Data menyebutkan angka 0. Angka dibagan didapat dari pengurangan antara luas
w
ilayah provinsi dengan cakupan luas yang sudah terpetakan.
Gambar 3.1 Bagan Ketersediaan Cakupan Luas Peta Dasar Pertanahan
di Provinsi D.I.Yogyakarta Tabel 3.1
Luas Cakupan Peta Dasar Pertanahan Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun s.d 2003-2013
No. Tahun
Peta Dasar Pertanahan Belum Memiliki
Peta Dasar Sudah
Terdigitasi Ha Belum
Terdigitasi Ha 1.
s.d 2003
2. 2004
3.
2
4.
2
5. 2007
6. 2008
7. 2009
8. 2010
100.000
9. 2011
20.000
10. 2012
38.000
11. 2013
40.000
S
mber: B
P
Provinsi D.I.Yogyakarta
,
014
Luas Wilayah Provinsi
317.143 Ha
Sudah Memiliki Peta Dasar
198.000 Ha
Belum Memiliki Peta Dasar
119.143 Ha
Sudah Terdigitasi
198.000 Ha
Belum Terdigitasi
0 Ha
| 20 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
Cakupan peta dasar pertanahan di Provinsi D.I.Yogyakarta, hingga akhir tahun 2013, yang sudah terdigitasi sebesar 198.000 Ha dan yang belum terdigitasi sebesar 0 Ha. Apabila
dibandingkan secara agregat, ketersediaan peta ini baru mencakup 62,3 dari luas wilayah Provinsi D.I.Yogyakarta. Cakupan ini masih kurang dengan standar minimal suatu wilayah
untuk dapat berubah dari sistem pendaftaran atas tanah secara negatif menuju positif, dimana mengharuskan ketersediaan cakupan peta dasar yang mencapai 80 dari luas
wilayah.
Sumber: BPN Provinsi D.I.Yogyakarta, 2014
Diagram III.3 Persentase antara Cakupan Peta Dasar Pertanahan dengan
Luas Wilayah Provinsi D.I.Yogyakarta
Berbeda dengan peta dasar yang digunakan sebagai dasar penerbitan sertifikat hak atas tanah, peta tematik digunakan untuk menampilkan informasi-informasi pertanahan
tertentu. Peta tematik yang dikeluarkan oleh BPN D.I.Yogyakarta dibedakan kedalam 3 tiga jenis, yaitu peta zona nilai tanah, peta sosial-ekonomi dan peta penggunaan tanah.
Untuk peta zona nilai tanah, sudah mulai dipetakan sejak tahun 2008, yang pada saat itu, hanya terpetakan seluas 812 Ha. Hingga akhir tahun ini, sudah terpetakan seluas 318.580
Ha. Peta sosial-ekonomi yang diterbitkan oleh BPN, seluas 15.028,89 Ha, dan 0 Ha untuk penggunaan tanah, atau dengan kata lain peta tersebut belum dikeluarkan hingga akhir
tahun 2013.
62.43 0.00
37.57
Sudah Terdigitasi Ha Belum Terdigitasi Ha
Belum Memiliki Peta Dasar
| 21 Buku Profil Pertanahan Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2015 – Kementerian PPN Bappenas
Tabel 3.2 Luas Cakupan Peta Tematik Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2003-2013
No. Tahun
Zona Nilai Tanah
Sosial- Ekonomi
Penggunaan Tanah
1. s.d 2003