Survival of Freeze Dried Lactic Acid Bacteria Isolated from Breast Milk During Reconstitution and Their Ability to Compete with Cronobacter sakazakii

(1)

REKONSTITUSI DAN KEMAMPUANNYA UNTUK

BERKOMPETISI DENGAN Cronobacter sakazakii

DEDE SAPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Sintas Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Kering Beku Asal Air Susu Ibu Selama Rekonstitusi dan Kemampuannya untuk Berkompetisi dengan Cronobacter sakazakii“ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Dede Saputra


(3)

from Breast Milk During Reconstitution and Their Ability to Compete with

Cronobacter sakazakii. Under direction of LILIS NURAIDA and RATIH DEWANTI-HARIYADI

Powdered infant formula (PIF) is a fabricated food product whose nutrition is formulated to correspond to breast milk. Nowadays, some PIF manufacturers have supplemented PIF with probiotic bacteria. However, due to possible

Cronobacter spp. contamination, reconstitution at 70 oC is adviced thus it may also affect the viability of lactic acid bacteria (LAB). The objective of this study was to evaluate the survival of freeze dried LAB isolated from breast milk during

reconstitution and their ability to compete with Cronobacter sakazakii (C. sakazakii) in PIF. This study was conducted in 4 stages, i.e. (1) screening of

LAB isolates based on the survival during reconstitution at 50 oC; (2) competition of LAB isolates with C. sakazakii YRC3a; (3) evaluation of the LAB isolates on freeze drying process; and (4) competition of LAB isolates with C. sakazakii

YRC3a in PIF at various reconstitution temperatures.

Screening of LAB showed that all LAB isolates decreased in cell number after reconstitution at 50 oC. Based on the result of screening, 4 LABs were chosen i.e Lactobacillus rhamnosus (L. rhamnosus) R14, R21, R23, and R25 because the bacterial number decrease was lower. However, only L. rhamnosus

R21 and R25 were capable of inhibiting the growth of C. sakazakii YRC3a. Meanwhile, assessment of the LAB survival during freeze drying process showed insignificant reduction of cell number of L. rhamnosus R21 and R25. Competition of freeze dried L. rhamnosus R21 and R25 with C. sakazakii YRC3a during reconstitution in PIF at various reconstitution temperatures (50, 60, and 70 oC)

showed that the freeze dried LAB were able to suppress the number of

C. sakazakii YRC3a as the temperature increased. The result also showed that LAB isolates did not undergo significant cell reduction as the reconstitution temperature increased.


(4)

Beku Asal Air Susu Ibu Selama Rekonstitusi dan Kemampuannya untuk

Berkompetisi dengan Cronobacter sakazakii.Dibimbing oleh LILIS NURAIDA

dan RATIH DEWANTI-HARIYADI

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan alamiah yang baik untuk bayi, mudah dicerna, praktis, ekonomis dan memiliki komposisi zat gizi yang ideal, sesuai dengan kebutuhan dan pencernaan bayi. Pada kondisi tidak ada ASI, susu formula bubuk dapat digunakan sebagai pengganti ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Susu formula bubuk adalah susu yang diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI dan diproduksi secara fabrikasi.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat, menyebabkan beberapa industri penghasil susu formula bubuk melakukan berbagai upaya pengembangan produk. Salah satu upaya pengembangannya adalah melalui penambahan bakteri probiotik pada susu formula bubuk. Penggunaan bakteri probiotik pada susu formula didasarkan pada petimbangan bahwa bakteri probiotik memiliki kemampuan untuk menurunkan jumlah bakteri patogen dalam usus manusia. Isolat BAL asal ASI telah dilaporkan memiliki potensi sebagai probiotik.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa susu formula sering diasosiasikan sebagai media perantara kontaminasi bakteri patogen. Tidak menutup kemungkinan susu formula probiotik juga dapat mengalami kontaminasi oleh patogen. Kontaminasi bakteri patogen pada produk pangan dapat terjadi pada saat proses pengolahan, penanganan, dan pada saat praktek penyiapan susu formula di rumah tangga. Salah satu patogen berbahaya yang ditemukan pada produk susu formula adalah Cronobacter sakazakii (C. sakazakii).

Penggunaan bakteri probiotik baik kultur tunggal maupun campuran ke dalam susu formula bubuk diharapkan mampu mencegah pertumbuhan bakteri-bakteri patogen salah satunya C. sakazakii. Penelitian ini dimaksud untuk mengevaluasi sintas BAL kering beku asal ASI selama rekonstitusi dan kemampuanya untuk berkompetisi dengan C. sakazakii pada susu formula yang direkonstitusi.

Penelitian ini terdiri dari 4 tahap. Pada tahap 1, dipelajari sintas BAL asal ASI selama rekonstitusi pada suhu 50 oC. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan isolat BAL asal ASI yang memiliki ketahanan terhadap suhu rekonstitusi 50 ºC dan rekonstitusi suhu 27 oC sebagai kontrol. Pada tahap ini dilakukan analisis total BAL sebelum dan sesudah rekonstitusi dan selanjutnya dipilih 4 isolat BAL yang paling tahan terhadap suhu rekonstitusi.

Pada tahap 2, dipelajari kompetisi isolat BAL asal ASI dengan C. sakazakii

YRC3a. Tahap ini bertujuan untuk menapis isolat BAL asal ASI yang memiliki kemampuan berkompetisi dan menghambat pertumbuhan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula rekonstitusi. Pada tahap ini 4 isolat terpilih dari tahap 1 diikutsertakan pada uji kompetisi BAL dengan C. sakazakii YRC3a, kompetisi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 oC. Penghitungan masing-masing bakteri dilakukan pada ke-0 jam dan setelah kompetisijam ke-24. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Analisis perubahan pH pada jam ke-0 dan setelah jam


(5)

viabilitas BAL. Tahap ini bertujuan untuk melihat sintas isolat BAL yang paling tahan terhadap proses pengeringan beku. Sebelum proses pengeringan beku, dilakukan produksi biomassa sel BAL. Proses pengeringan beku melibatkan 2 jenis isolat terpilih pada tahap 2. Isolat terpilih pada tahap 2 diinokulasikan ke dalam medium MRSB selanjutnya dilakukan pemanenan sel dan disentrifugasi untuk mendapatkan sel biomassa basah. Uji viabilitas BAL sebelum pembekuan, setelah pembekuan, dan setelah pengeringan beku, dilakukan dengan penghitungan BAL menggunakan metode tuang pada media MRSA.

Pada tahap 4, dipelajari pengaruh kompetisi BAL dan C. sakazakii YRC3a pada berbagai suhu rekonstitusi susu formula bubuk yaitu 50, 60, dan 70 °C. Penelitian tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh BAL yang dikompetisikan dengan C. sakazakii YRC3a yang direkonstitusi pada suhu 50, 60, dan 70 °C selama hang time 0 sampai dengan 8 jam. Analisis terhadap perubahan pH, suhu, jumlah BAL dan C. sakazakii YRC3a dilakukan pada tahap ini. Penghitungan BAL dan C. sakazakii YRC3a dilakukan dengan metode tuang pada masing-masing media selektif. BAL dihitung pada media MRSA-AA dan C. sakazakii

YRC3a pada media TSAYE-SC. Penghitungan ini dilakukan pada hang time 0 hingga 8 jam.

Rekonstitusi pada suhu 50 oC menurunkan jumlah BAL dengan rata-rata antara 0,06-1,44 log (CFU/mL). Penurunan jumlah BAL yang terjadi pada seluruh isolat relatif kecil dan tidak signifikan (p-value <0,05). Dari hasil penapisan diketahui Lactobacillus acidophilus (L. acidophilus) A22 merupakan isolat yang mengalami penurunan jumlah log paling tinggi yaitu 1,44±0,01 log (CFU/mL), sedangkan isolat L. rhamnosus A27 mengalami penurunan jumlah log paling rendah yakni sebesar 0,06±0,04 log (CFU/mL). Berdasarkan penurunan jumlah log yang tidak berbeda nyata dengan L. rhamnosus A27 dan telah dilaporkan

menghambat EPEC K1.1.≥ 2 siklus log maka dipilih 4 isolatL. rhamnosus yakni R14, R21, R23, dan R25 dan diikutsertakan pada tahap selanjutnya.

Hasil kompetisi BAL dengan C. sakazakii YRC3a menunjukkan bahwa hanya isolat L. rhamnosus R21 dan R25 yang mampu menghambat pertumbuhan

C. sakazakii YRC3a. Isolat L. rhamnosus R21 mampu menghambat pertumbuhan

C. sakazakii YRC3a lebih besar yakni 2,82 log (CFU/mL), sedangkan isolat R25 menghambat sebesar 0,61 log (CFU/mL). Hasil berbeda ditunjukkan oleh isolat

R14 dan R23, dimana kedua isolat ini tidak menghambat pertumbuhan

C. sakazakii YRC3a. Pengukuran perubahan pH yang dilakukan pada set terpisah, pada jam ke-0 dan setelah jam ke-24 terlihat adanya penurunan nilai pH cukup rendah yakni mencapai 4,4.

Kultur BAL yang dikeringbekukan yaitu isolat R21 dan R25 memiliki viabilitas yang masih tinggi. L. rhamnosus R21 dan R25 mengalami penurunan jumlah total sel setelah pengeringan beku berturut-turut sebesar 0,97 dan 0,82 log (CFU). Penurunan jumlah total BAL disebabkan oleh proses pembekuan dan pengeringan, namun penurunan jumlah sel terbesar terjadi pada proses pengeringan.

Uji kompetisi C. sakazakii YRC3a dengan BAL L. rhamnosus R21 kering beku menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah C. sakazakii YRC3a berkisar


(6)

berkisar antara 0,57-0,90 log (CFU/mL) pada waktu dan suhu rekonstitusi yang sama dengan perlakuan sebelumnya.

Pada kompetisi BAL L. rhamnosus R21 kering beku dengan C. sakazakii

YRC3a terlihat bahwa pada 2 jam pasca rekonstitusi pada suhu 60 dan 70 °C

jumlah C. sakazakii YRC3a relatif konstan, tetapi pasca rekonstitusi pada suhu 50 °C terjadi kenaikan jumlah C. sakazakii YRC3a. Pengamatan serupa terjadi

untuk BAL L. rhamnosus R25 kering beku 2 jam pasca rekonstitusi pada suhu 50, 60, dan 70 °C, jumlah C. sakazakii YRC3a relatif konstan.

Pada 8 jam pasca rekonstitusi C. sakazakii YRC3a dengan L. rhamnosus

R21 kering beku pada suhu 60 dan 70 °C, menunjukkan terjadi kenaikan jumlah YRC3a berturut-turut sebesar 2,84 dan 3,40 log (CFU/mL) tetapi kenaikan jumlah YRC3a ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kenaikan C. sakazakii YRC3a, 8 jam pasca rekonstitusi tanpa adanya BAL; sedangkan pada penggunaan suhu

rekonstitusi 50 °C terjadi kenaikan jumlah C. sakazakii YRC3a yakni sebesar 4,89 log (CFU/mL) yang hampir sama dengan perlakuan tanpa adanya BAL yaitu

4,80 log (CFU/mL). Kompetisi BAL L. rhamnosus R21 dengan C. sakazakii

YRC3a dinilai cukup efektif menghambat pertumbuhan C. sakazakii YRC3a selama hang time. Uji kompetisi C. sakazakii YRC3a dengan BAL L. rhamnosus

R25 kering beku 8 jam pasca rekonstitusi pada suhu 50, 60, dan 70 °C, menunjukkan terjadi kenaikan jumlah C. sakazakii YRC3a berkisar antara 4,08-4,17 log (CFU/mL). Kenaikan ini hampir sama dengan perlakuan tanpa adanya BAL, berkisar antara 4,10-4,80 log (CFU/mL), sehingga kompetisi BAL isolat R25 kering beku dengan C. sakazakii YRC3a dinilai tidak efektif untuk menghambat pertumbuhan YRC3a.

Pada hasil kompetisi BAL L. rhamnosus R21 dan R25 dengan C. sakazakii

YRC3a, L. rhamnosus R21 dan R25 tidak mengalami kenaikan yang signifikan hingga hang time jam ke-8. Hal ini disebabkan oleh jumlah BAL telah mencapai populasi maksimum.

Pengukuran pH medium susu formula rekonstitusi yang dilakukan pada set terpisah selama hang time hingga 8 jam, terlihat adanya sedikit penurunan pH dari

7,7 menjadi 7,1. Nilai ini masih berada pada kisaran pH optimum tumbuhnya

C. sakazakii yakni 5,0 sampai dengan 9,0.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya tanpa izin IPB.


(8)

REKONSTITUSI DAN KEMAMPUANNYA UNTUK

BERKOMPETISI DENGAN Cronobacter sakazakii

DEDE SAPUTRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

(10)

Nama : Dede Saputra

NIM : F251090191

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M. Sc. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M. Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr


(11)

Puji dan syukur tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala anugerah, kekuatan dan karunia-Nya yang tak terhingga yang diberikan kepada penulis. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang setia mengikuti ajarannya sampai akhir zaman.

Tesis dengan judul “Sintas Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Kering Beku Asal Air Susu Ibu Selama Rekonstitusi dan Kemampuannya untuk Berkompetisi dengan Cronobacter sakazakii” merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku Ketua komisi pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis, bukan hanya kritikan dan saran dalam penelitian dan penulisan, namun pelajaran yang sangat berharga untuk menjadi pribadi yang lebih baik, disiplin, teliti, ikhlas dan sabar dalam memaknai hidup. Terima kasih atas segala nasihat, motivasi, kesabaran, dan kepercayaan yang telah Ibu berikan.

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc., selaku Anggota pembimbing yang telah bersedia membimbing penulis, memberi nasihat, saran, dan perbaikan disetiap kesalahan penulisan. Sungguh uluran tangan Ibu menjadi semangat bagi penulis untuk tetap optimis menjalani sebagian proses pembelajaran ini.

Prof. Dr. Winiati P. Rahayu, selaku penguji luar komisi yang telah bersedia meluangkan waktu dan pemikiran untuk menguji dan memberikan masukan yang sangat membangun karya ilmiah ini. Terima kasih untuk saran-saran yang sangat baik yang telah Ibu berikan untuk kesempurnaan tulisan ini.

Ungkapan terima kasih terdalam, penulis sampaikan kepada Ibunda dan Ayahanda, sungguh kalian adalah motivasi dan sumber inspirasi bagi ananda untuk terus belajar memaknai setiap proses kehidupan ini. Keluarga Besar atas segala dukungan, do’a, dan kasih sayang yang tulus, sungguh kalian adalah keluarga terbaik yang sangat berarti bagi hidup penulis.


(12)

Indonesia atas Pendanaan penelitian (a.n. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc.) melalui skema Hibah Pascasarjana.

Dr. Suliantari, Prof. Dr. Ir. Betty S. Jenie, Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, Dr. Harsi D. Kusumaningrum, Dr. Ir. Endang Prangdimurti, Dr. Nur Wulandari, dan Dr. Elvira Syamsir (Departemen ITP-FATETA IPB) atas semangat dan motivasi yang sangat berarti. Terima kasih kepada seluruh dosen-dosen IPN yang telah mengajarkan banyak ilmu kepada penulis, sungguh jasa Bapak/Ibu tidak akan terlupakan.

Keluarga Bpk. Ferdisar Adrian, MM (Ibu, Fasya, Farhan), Bpk Isep Ghojali (Ibu, Ridho, Nisa, Iki), Bpk. Dasep Soemantri (Ibu, Sargi, Arfi), Bpk. Djonifar (Ibu, Selena, Emyr), Ibu Tjitjih, Pak Hendra, Mba Reni, Kaka dan Azka, terima kasih atas motivasi, dukungan, dan bantuan yang sangat berarti sehingga penulis bisa menyelesaikan program Magister ini. Rani Anggraeni, S.Si, M.Si, Herlina

Hadisetiawati, STP, Rahmawati, M.Si, Mursalin, M.Si, Lula Nadia, M.Si, Fajri Ghojali, STP, MM, drh. Helmayeni Chandra, M. Ubit M. Adam, S.Pi,

Sahabat XL (Sigit, Warid, Elvi, Iboy, Irna, Tuko, Indra, Ella, Uu, Bach, Madong dan lainnya). Terima kasih atas saran dan motivasi yang sangat membangun, ketika penulis dihadapi banyak cobaan dan terima kasih atas persahabatan yang ditawarkan, sungguh persahabatan ini sulit untuk dilupakan.

Kristian Edo Zulfamy dan Evi Fratiwi terima kasih teramat tulus untuk setiap motivasi, semangat, dan dukungan kepada penulis untuk tetap terus optimis melangkah kedepan. Terima kasih karena tidak pernah lelah mendengarkan keluh-kesah penulis dan terus menjadi sumber inspirasi serta menjadi keluarga yang sangat baik ketika penulis sangat membutuhkan hal itu. Terima kasih teramat tulus juga penulis sampaikan kepada Handika Gilang Pramana Putra, S.Pi, Esa, Rhesa, Niswani, Mawaddah, Theorema, Nona, dan lainnya, terima kasih untuk kerja kerasnya yang sangat membantu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Laskar “Cronobacter sakazakii” yang sama-sama berjuang untuk mengungkap rahasia mikroba ini di laboratorium SEAFAST Center IPB (Larasati, Seftiono, Hamdani, dan Riyanti).


(13)

Widaningrum, Sritina, Rizky, Mba Yanne, Mba Tanti, Mba Indah, Rangga, Supri, Ihsan, dan Nandi (IPN angkatan 2009) persahabatan ini akan selalu terukir dalam prasasti hati kita. Kak Wilson, Bu Zita, Mba Dewi, Mba Rara, Kak Teti, Listika, Indah, Winda, Ranti Sam, Hasrul Vitor, Tata, Contardo, Desy, Icha, Sendy, Sagita Nindya, Dias, terima kasih atas persahabatan yang sangat indah. Terima kasih penulis sampaikan kepada Solid EVSE Travellers Marissa Chang, Vendryana Ayu, William Suhartono, Adi Indra, Septiyanni, Dimas Supriyadi, dan Annisa R. persahabatan kita tak kan lekang oleh waktu. Terima kasih kepada

Desty Gitapratiwi, STP, M.Si, Ibu Elly, Mba Hanna, Mba Ari, Mas Yerris, Mba Yuliasri, Bu Martianah, Bapak Misdi, Fitriyah, Pak Udin, Teh Eva, Bu Entin (almarhumah), Mba Erly, Mba Virna, Mas Marto, Teh Yuli, Pak Ade,

Abah, Mba Irin, Ria Chori, Ria, Mba Denny, Mba Sri, Vero, Iman S, Dini, Bu Rubiyah, Pak Wahid, Mba Vera, Pak Nana, Iman, A’ Heri, Untung, Adnan,

serta rekan-rekan lain di SEAFAST Center IPB, Lab ITP, MAKSI, Centium

Printing, dan 3 Mulia yang telah tulus membantu dan menerima penulis menjadi bagian dari kalian. Serta terima kasih untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012


(14)

Penulis dilahirkan di Toboh, Pariaman Sumatera Barat, sebagai putra keempat dari pasangan Bapak Joni dan Ibu Minang. Penulis mengawali pendidikan di SDN 41 Toboh pada tahun 1992 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMP Negeri 7 Sakarek Ulu dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001.

Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Pariaman. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus dan anggota FORMASIP periode 2009-2010. Pada tahun 2011/2012 penulis diberi kepercayaan menjadi Staf Pengajar di STMIPA Bogor, Pengajar Mandiri Bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada pelajar Sekolah Internasional di Bogor dan Jakarta. Pada tahun ajaran 2011/2012 penulis diberi kepercayaan menjadi Asisten Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Pangan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian, pelatihan, dan kegiatan seminar nasional diantaranya panitia Seminar dan Kongres Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia, Seminar Applied Microbial Genetic pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Sintas Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Kering Beku Asal Air Susu Ibu Selama Rekonstitusi dan Kemampuannya untuk Berkompetisi dengan Cronobacter sakazakii”, dibimbing oleh Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.


(15)

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik... 5

2.2 Pengeringan Bakteri Asam Laktat ... 9

2.3 Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu ... 12

2.4 Ketahanan Bakteri Asam Laktat Terhadap Pemanasan ... 14

2.5 Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) ... 15

2.6 Sumber Cronobacter spp ... 16

2.7 Ketahanan Cronobacter spp. Terhadap Suhu Tinggi dan Kekeringan ... 18

2.8 Susu Formula Bayi dan Proses Produksinya ... 19

2.9 Rekonstitusi Susu Formula ... 21

3. METODOLOGI ... 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Metode Penelitian... 24

a) Tahapan penelitian ... 24

b) Prosedur kerja ... 27

1) Penapisan BAL berdasarkan sintas selama rekonstitusi susu formula suhu 50 °C (Modifikasi Meutia 2008; Fitriyah 2011) ... 27


(16)

3) Sintas BAL terhadap proses pengeringan beku

(freeze-drying) (Puspawati etal. 2010) ... 29

4) Kompetisi BAL dan C. sakazakii YRC3 pada susu formula dengan berbagai suhu rekonstitusi (Modifikasi Fitriyah 2011).. 31

5) Metode Analisis ... 32

(a) Derajat keasaman pH (AOAC 1994) ... 32

(b) Perubahan suhu ... 32

(c) Penghitungan koloni (BAM 2001) ... 32

6) Analisis Data ... 33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Penapisan Bakteri Asam Laktat Berdasarkan Sintas Selama Rekonstitusi Susu Formula pada Suhu 50°C ... 35

4.2 Kompetisi Isolat BAL asal ASI dengan C. sakazakii YRC3a dalam Susu Formula Rekonstitusi ... 37

4.3 Sintas BAL Selama Proses Pengeringan Beku (freeze drying) ... 40

4.4 Kompetisi BAL dan C. sakazakii YRC3a pada Susu Formula dengan Berbagai Suhu Rekonstitusi ... 44

4.4.1 Pengaruh kompetisi BAL pada saat rekonstitusi ... 44

4.4.2 Pengaruh kompetisi BAL selama hang time ... 48

4.4.3 Pengaruh kompetisi BAL setelah hang time selama 8 jam ... 54

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1 Simpulan ... 57

5.2 Saran ... 58

DAFTARPUSTAKA ... 59


(17)

xvii

Halaman

1. Karakter tingkat adaptasi dan perkembangan Cronobacter spp.

parameter kisaran optimum ... 18 2. Batas maksimum cemaran mikroba untuk produk susu formula

bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi ... 21 3. Tahap penelitian, tujuan, dan hasil yang diharapkan ... 26 4. Ringkasan percobaan dari setiap tahap penelitian ... 27 5. Pengaruh suhu rekonstitusi 50 °C terhadap isolat

bakteri asam laktat ... 36 6. Jumlah dan penurunan C. sakazakii YRC3a pada uji kompetisi

dengan BAL L. rhamnosus ... 38 7. Sintas BAL L. rhamnosus R21 dan R25 setelah pengeringan beku ... 41 8. Penurunan jumlah C. sakazakii YRC3adan BAL L. rhamnosus R21

dan R25 kering beku perlakuan kompetisi dan kontrol (CFU/mL) ... 45 9. Jumlah dan penurunan C. sakazakii YRC3a pada kompetisi

BAL L. rhamnosus R21 dan R25 kering beku setelah hang time

selama 8 jam... 55 10.Jumlah dan penurunan BAL L. rhamnosus R21 dan R25 kering beku

pada kompetisi C. sakazakii YRC3a setelah hang time

selama 8 jam... 56


(18)

xviii

Halaman

1. BAL asal ASI (a) L. rhamnosus R14; (b) L. rhamnosus R21 ... 14

2. Proses pengolahan susu formula dengan tipe pengolahan pencampuran basah dari bahan baku basah dan kering ... 20

3. Diagram alir proses penelitian ... 24

4. Proses pembuatan biomassa basah ... 30

5. Proses pembuatan biomassa kering ... 30

6. Penurunan jumlah BAL dalam susu formula rekonstitusi pada suhu 50 °C dan penghambatan EPEC K1.1 ... 36

7. Penurunan jumlah BAL L. rhamnosus R21 dan R25 setelah pengeringan beku (freeze drying) ... 42

8. Pertumbuhan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula yang mengandung L. rhamnosus R21 (a) danR25 (b) setelah rekonstitusi suhu 50 oC ... 49

9. Pertumbuhan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula yang mengandung L. rhamnosus R21 (a) danR25 (b) setelah rekonstitusi suhu 60 oC ... 50

10.Pertumbuhan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula yang mengandung L. rhamnosus R21 (a) danR25 (b) setelah rekonstitusi suhu 70 oC ... 51


(19)

xx

Halaman

1. Pengaruh suhu rekonstitusi 50 °C terhadap isolat BAL ... 68

2. Kompetisi BAL asal ASI dengan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula rekonstitusi pada suhu 27 °C selama 24 jam ... 70

3. Perubahan nilai pH pada kompetisi BAL asal ASI dengan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula rekonstitusi ... 72

4. Pengeringan beku dan uji viabilitas BAL ... 72

5. Gambar persiapan dan proses pembuatan BAL kering beku ... 73

a) Proses penyalutan sel BAL dengan kriogenik laktosa ... 73

b) Produksi sel BAL pada medium MRSB ... 73

c) Proses pengeringan beku BAL ... 73

d) Kondisi pengaturan alat pada proses pengeringan beku BAL ... 74

e) Uji viabilitas BAL setelah pengeringan beku ... 74

6. Uji kompetisi BAL L. rhamnosus R21 dan R25 dengan C. sakazakii YRC3a . 75

a) Data kompetisi R21 vs YRC3a pada media MRSA-AA ... 76

b) Data kompetisi R25 vs YRC3a pada media MRSA-AA ... 79

c) Data kompetisi R21 vs YRC3a pada media TSAYE-SC ... 82

d) Data kompetisi R25 vs YRC3a pada media TSAYE-SC ... 85

e) Data kontrol R21 vs pada media MRSA-AA ... 88

f) Data kontrol R25 vs pada media MRSA-AA ... 90

g) Data kontrol YRC3a pada media TSAYE-SC ... 94

7. Jumlah awal BAL R21 sebelum rekonstitusi pada media MRSA ... 97

8. Jumlah awal BAL R25 sebelum rekonstitusi pada media MRSA ... 98

9. Jumlah awal C. sakazakii YRC3a sebelum rekonstitusi pada media TSA 99

10.Perubahan suhu pada susu formula rekonstitusi pada volume 20 mL selama 30 menit pertama ... 100


(20)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan ideal bagi bayi pada usia 6 bulan pertamanya (Baldeón et al. 2008). Pada kondisi tidak ada ASI, susu formula bubuk dapat digunakan sebagai pengganti ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Susu formula bubuk adalah susu yang dihasilkan secara fabrikasi untuk memenuhi keperluan asupan gizi bayi. Produk susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI (Breeuwer et al. 2003). Seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa industri penghasil susu formula melakukan berbagai upaya pengembangan produk. Upaya-upaya pengembangan produk yang telah dilakukan oleh industri diantaranya, menambahkan beberapa jenis nutrien bermanfaat untuk menunjang kualitas produk yang dihasilkan seperti; vitamin, PUFA, nukleotida, dan komponen lainnya sehingga produk yang dihasilkan menyerupai kualitas ASI (Carver 2003).

Dewasa ini beberapa industri penghasil susu formula bubuk juga melakukan upaya pengembangan produk dengan menambahkan bakteri probiotik pada susu formula. Penambahan bakteri probiotik dilakukan dengan pertimbangan, bakteri probiotik mampu menurunkan jumlah bakteri patogen dalam usus manusia, dengan dua hipotesa yaitu (a) sel BAL probiotik mampu mengganti posisi penempelan bakteri patogen di usus, dan (b) komponen antimikroba yang dimiliki BAL probiotik dapat menghambat bakteri patogen (Bernett et al. 1993). Hipotesis ini didukung oleh berbagai kajian yang menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba BAL terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Bernett et al. 1993).

Salah satu sumber bakteri probiotik adalah ASI. Nuraida et al. (2008) telah mengisolasi 87 isolat BAL asal ASI yang dilaporkan memiliki potensi sebagai probiotik dan aktivitas antimikrobial terhadap beberapa bakteri patogen seperti

Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus. Penelitian Hartanti (2010) juga menunjukkan bahwa isolat-isolat BAL asal ASI ini, memiliki kemampuan menghambat patogen E. coli entero patogenik (EPEC) K 1.1.


(21)

Bakteri probiotik umumnya ditambahkan pada susu formula dalam bentuk bubuk yang mengandung sel hidup dalam jumlah tinggi dan tahan lama. Probiotik bubuk tersebut dapat diperoleh melalui beberapa cara seperti pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying), dibekukan (freezing), dan dikeringkan dengan oven vakum (Fu & Etzel 1995; Nuraida et al. 1995; Harmayani et al. 2001). Dewasa ini proses pengeringan beku (freeze drying) dengan penambahan bahan kriogenik (penyalut) lebih dipilih menjadi alternatif terbaik dalam pengeringan bakteri probiotik, karena metode ini dapat mempertahankan viabilitas probiotik selama proses pengeringan beku dan selama penyimpanan (Gardiner et al. 2000; Desmond et al. 2001). Puspawati et al. (2010)

menunjukkan bahwa Pediococcus pentosaceus A16, Lactobacillus brevis, L. rhamnosus R21 yang dikeringbekukan dengan penyalut laktosa mengalami

sedikit penurunan jumlah bakteri yaitu masing-masing 1,24; 1,42 dan 2,13 log (CFU/g), walaupun demikian informasi efektivitasnya belum banyak dilaporkan.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa susu formula bayi sering diasosiasikan sebagai media perantara kontaminasi bakteri patogen. Tidak menutup kemungkinan susu formula probiotik juga dapat mengalami kontaminasi oleh bakteri-bakteri patogen. Kontaminasi bakteri berbahaya ini dapat terjadi pada saat proses pengolahan di industri, dan dapat juga terkontaminasi pada saat penanganan atau praktek persiapan susu formula di rumah tangga. Salah satu jenis

patogen berbahaya yang sering ditemukan pada produk susu formula adalah

C. sakazakii. Meutia (2009) berhasil mengisolasi beberapa jenis bakteri

C. sakazakii asal susu formula bayi dan makanan pendamping ASI yang beredar di Indonesia. Isolat YRC3a merupakan salah satu jenis yang berhasil diisolasinya dan dilaporkan memiliki nilai D50 sebesar 103,09-243,90 menit (Seftiono 2012).

WHO (2007) dan BPOM (2009) merekomendasikan penggunaan air suhu 70 °C untuk merekonstitusi susu formula untuk menginaktivasi C. sakazakii. Penggunaan suhu 70 °C dapat berpengaruh juga pada BAL atau probiotik yang sering ditambahkan pada susu formula. Penggunaan BAL atau probiotik yang tahan panas diharapkan dapat menghambat C. sakazakii selama rekonstitusi.


(22)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi sintas BAL kering beku asal ASI selama rekonstitusi dan kemampuannya untuk berkompetisi dengan

C. sakazakii pada susu formula bubuk. Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah: a) mempelajari sintas BAL asal ASI selama rekonstitusi susu formula pada

suhu 50 oC;

b) mempelajari kompetisi isolat BAL asal ASI dengan C. sakazakii YRC3a dalam susu formula rekonstitusi;

c) mempelajari pengaruh pengeringan beku (freeze drying) terhadap viabilitas BAL;

d) mempelajari pengaruh kompetisi BAL dan C. sakazakii YRC3a pada susu formula dengan berbagai suhu rekonstitusi yaitu 50, 60, dan 70 °C.

1.3 Hipotesis

Bakteri asam laktat (BAL) kandidat probiotik kering beku yang ditambahkan pada susu formula diduga memiliki ketahanan yang baik pada suhu rekonstitusi 70 °C dan karena itu dapat menghambat pertumbuhan C. sakazakii

pasca rekonstitusi susu formula.

1.4 Manfaat Penelitian

Menambah informasi sifat fungsional bakteri asam laktat kandidat probiotik yang yang berasal dari air susu ibu dalam meminimalkan atau menghambat bakteri C. sakazakii setelah rekonstitusi susu bubuk formula.


(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik

Bakteri asam laktat (BAL) pertama kali ditemukan oleh Pasteur, seorang profesor kimia di University of Lille. Pada tahun 1878, Lister melaporkan isolasi bakteri asam laktat asal susu yang tengik. Beberapa bakteri asam laktat dapat ditemukan juga pada saluran pencernaan manusia maupun hewan (Surono 2004). Bakteri asam laktat dan Bifidobacteria termasuk dalam kelompok bakteri baik bagi manusia dan umumnya memenuhi status Generally Recognized As Safe

(GRAS), yaitu dianggap aman bagi manusia. Kelompok bakteri ini tidak membusukkan protein, dan dapat memetabolisme berbagai jenis karbohidrat secara fermentatif menjadi asam laktat sehingga disebut bakteri asam laktat. Beberapa jenis bakteri asam laktat memiliki potensi sebagai bakteri probiotik.

Perhatian terhadap bakteri probiotik dimulai sejak tahun 1908, ketika Ellie Metchnikoff seorang ahli mikrobiologi dari Institut Pasteur di Perancis, menyarankan untuk mengonsumsi susu fermentasi agar berumur panjang. Pada tahun 1960 definisi probiotik juga digunakan pada pemberian pakan ternak yang disuplementasi dengan mikroba untuk membantu hewan ternak khususnya dalam saluran pencernaannya. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, pada tahun 1965 konsep probiotik sudah mulai dikenal pertama kali digunakan oleh Lily dan Stillwell. Istilah probiotik berasal dari bahasa Yunani yang berarti for life. Kemudian Fuller pada tahun 1989 mencoba memperbaiki definisi probiotik yang berasal dari kata probios yang berarti kehidupan, probiotik adalah suplemen mikroba hidup yang memberikan efek positif kepada manusia dan hewan dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Hingga tahun 1990, masih diperdebatkan apakah konsep probiotik itu fakta, fiksi, mitos atau suatu relitas. Tahun 1995 diakui, mulai memasuki era probiotik (Surono 2004). Definisi lain juga menjelaskan bahwa probiotik adalah makanan suplemen berupa mikroba hidup yang memiliki keuntungan kepada manusia khususnya dalam keseimbangan mikroflora usus (Shortt 1999; Fuller 1999). Sejalan dengan perkembangan zaman maka banyak dilakukan penelitian mengenai mekanisme probiotik yang menggunakan hewan percobaan untuk diekstrapolasikan pada manusia (Fuller 1999).


(24)

De Vrese & Schrezenmeir (2008), juga mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme potensial yang memiliki jumlah yang cukup untuk mencapai usus dalam keadaan aktif dan memberikan efek positif untuk kesehatan. Bakteri probiotik juga didefinisikan sebagai bakteri hidup dalam kultur tunggal atau campuran yang mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia (Salminen 1998). Probiotik adalah organisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberi manfaat bagi kesehatan (WHO 2001).

Probiotik yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria yaitu; (a) memberikan efek menguntungkan inangnya, (b) tidak patogenik dan tidak

toksik, (c) mengandung sejumlah besar sel hidup, (d) mampu bertahan dan melakukan kegiatan metabolisme dalam usus, (e) tetap hidup selama penyimpanan, (f) mempunyai sifat sensori yang baik, (g) diisolasi dari inangnya (De Vrese & Schrezenmeir 2008; Fuller 1989).

Bakteri asam laktat untuk dapat berfungsi sebagai probiotik harus memenuhi berbagai persyaratan sebagai berikut (Shortt 1999):

1) Tahan terhadap asam, terutama asam lambung yang memiliki pH antara 1,5-2,0 sewaktu tidak makan dan pH 4,0-5,0 sehabis makan, sehingga mampu

bertahan dan hidup lama ketika melalui lambung dan usus. Ketahanan probiotik terhadap asam lambung dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian yang menjelaskan bahwa bakteri ini dapat hidup pada kisaran pH yang sangat luas. Apabila bakteri ini masuk ke dalam saluran pencernaan manusia maka harus mampu bertahan pada pH asam lambung yaitu sekitar 3,5. Pada kondisi yang sangat asam membran sel bakteri akan mengalami kerusakan yang mengakibatkan hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K dan lemak dari sel, kerusakan ini akan menyebabkan kematian pada sel (Bender & Marquis 1987). Ketahanan Lactobacillus pada pH rendah terjadi karena (1) kemampuannya dalam mempertahankan pH internal lebih alkali daripada pH eksternal (2) mempunyai membran sel yang lebih tahan terhadap

kebocoran sel akibat terpapar pH rendah (Bender & Marquis 1986). Zavaglia et al. (1998) menguji daya tahan isolat klinis Bifidobacteria pada pH


(25)

Bifidobacteria masih hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih besar dari 1%.

2) Stabil terhadap garam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada pada bagian usus kecil. Empedu disekresikan ke dalam usus untuk membantu absorbsi lemak dan asam empedu yang terkonjugasi dan diserap dari usus kecil. Bakteri asam laktat mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap garam empedu yang berhubungan dengan kerusakan terhadap membran luar sel bakteri. Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel

Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000; Kusumawati 2002).

3) Memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin.

4) Mampu menempel pada sel usus manusia, faktor penempelan oleh probiotik merupakan syarat untuk pengkolonisasian, aktivitas antagonis terhadap patogen, pengaturan sistem daya tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan infeksi.

5) Tumbuh baik dan berkembang dalam saluran pencernaan, sebagai probiotik tentu saja kemampuan untuk tumbuh harus diperhatikan. Pada beberapa genus Bifidobacteria dan Lactobacillus dapat tumbuh baik pada saluran pencemaan tanpa adanya oksigen.

6) Koagregasi membentuk lingkungan mikroflora normal dan seimbang, koagregasi juga mencerminkan kemampuan interaksi antar kultur untuk saling menempel.

7) Aman digunakan oleh manusia. Uji secara in vivo merupakan salah satu indikator bahwa probiotik tersebut dapat dikonsumsi oleh manusia.

8) Tahan terhadap mikrobisida dan spermisidal vaginal. Sifat ini diperlukan untuk probiotik yang ditujukan untuk mengobati infeksi saluran urinovaginal. Bakteri asam laktat potensi probiotik memiliki mekanisme kerja mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel. Bakteri asam laktat melakukan kontak dengan sistem imun saluran usus melalui sel M atau sel folikel epitelium dari Peyer’s


(26)

bakteri asam laktat dengan sel M hanya menstimulasi respon imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel folikel epitel menstimulasi respon imun non spesifik atau peradangan meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik (Surono 2004).

Probiotik selain mempunyai efek modulasi flora normal saluran pencernaan, bakteri ini juga mampu berperan sebagai modulator sistem imun. Salah satu contohnya adalah Lactobacillus yang mampu meningkatkan fungsi imunitas seluler dan humoral (Vanderhoof 1999). Bakteri ini mampu menstimulasi sistem imun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, sel natural killer

(NK), monosit dan netrofil. Lactobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan hasil akhir meningkatkan produksi imunoglobulin.

Pada penerapanya agar dapat berfungsi sebagai probiotik pada berbagai produk fermentasi seperti susu fermentasi, yoghurt, kultur yoghurt, susu

acidophilus, kefir, kuyms jumlah bakteri BAL minimal sebesar 107 CFU/g (Codex 2003). The International Dairy Federation dalam laporannya menyebutkan bahwa jumlah minimal sel probiotik pada produk susu untuk dapat berperan dalam menigkatkan kesehatan pencernaan adalah 106 CFU/g sel per gram produk (Sultana et al. 2000), sehingga berdasarkan acuan ini, maka pada studi ini dilakukan penambahan BAL lebih banyak dengan perbandingan (108:103) antara BAL dengan C. sakazakii.

Isolat bakteri yang umum digunakan dalam probiotik adalah

L. acidophillus dan berbagai Bifidobacteria spp.,yang merupakan organisme yang dominan dalam usus kecil dan usus besar. Mikroba ini mempunyaiperanan dalam menghambat pertumbuhan mikroba patogen melalui produksi asam organik dan bakteriosin dan dengan dekonjugasi garam empedu. Saat ini sediaan probiotik yang adamengandung L. delbrueckii subsp bulgaricus, L. acidophilulus, L. casei, L. fermentum, L. plantarum, L. brevis, L. cellobiosus, L. lactis dan L. reuteri

(Fuller 1992). Bifidobacteria yang saat ini digunakan sebagai probiotik adalah

Bifidobacterium adolescentis, B. animalis, B. bifidum, B. infantis, B. longum dan B. thermophilus (Fuller 1992). Vinderola dan Reinheimer (2003) menyatakan bahwa L. delbrueckii subsp bulgaricus merupakan spesies starter asam laktat


(27)

dengan karakteristik probiotik terbaik diantara spesies starter yang dianalisis. Bakteri ini tahan terhadap asam lambung dan empedu dan menunjukkan nilai tinggi untuk aktivitas β-galactosidase.

Aplikasi probiotik pada produk pangan diantaranya dimanfaatkan untuk fermentasi beberapa produk pangan dan dilaporkan dapat mencegah kerusakan makanan baik oleh bakteri patogen serta bakteri perusak pangan (Budiana 1997). Kelompok bakteri probiotik juga lazim digunakan sebagai kultur starter baik pada pengolahan yoghurt, keju, atau proses fermentasi lainnya. Penggunaan BAL juga banyak digunakan karena memiliki sifat antimikroba baik sebagai anti bakteri maupun sebagai antimikotik (ldawati 1996; Ismail 2002). Sifat antimikroba tersebut dihasilkan oleh kemampuan BAL untuk menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Axelsson 1998). Selain itu bakteri probiotik dewasa ini sering dimanfaatkan oleh industri penghasil susu formula bubuk sebagai mikroba potensial untuk menghambat pertumbuhan patogen sehingga dapat ditambahkan dalam bentuk bubuk kering beku. Jenis bakteri probiotik yang telah dimanfaatkan untuk dikeringbekukan adalah B. lactis dan L. acidophillus

(Gerber 2011).

2.2 Pengeringan Bakteri Asam Laktat

Untuk mengawetkan kultur BAL yang mengandung sel hidup dalam jumlah tinggi dan tahan lama maka BAL dapat diawetkan dengan cara pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying), dibekukan (freezing), atau pengeringan dengan oven vakum (Fu dan Etzel 1995; Nuraida et al. 1995; Harmayani et al.2001).

Pengeringan beku atau liofilisasi adalah teknik pengeringan dimana produk dibekukan terlebih dahulu kemudian dengan menggunakan energi dalam bentuk panas dan pada tekanan yang rendah, kandungan air bahan yang berupa es akan diuapkan dengan cara sublimasi. Pengeringan beku merupakan pengeringan yang terbaik untuk mencegah terjadinya perubahan kimia dan meminimumkan kehilangan nutrien selama proses pengeringan berlangsung. Kultur kering beku mempunyai penampakan jernih, padat dan memiliki viabilitas sel yang baik. Pengeringan beku dapat mempertahankan bentuk kaku dari bahan yang


(28)

dikeringkan sehingga dapat menghasilkan produk kering yang berpori dan tidak berkerut.

Selama proses pengeringan beku, kandungan air bahan akan hilang sebanyak 90%, dan kandungan air bahan tidak berada pada fase cair sehingga dapat mencegah transpor zat-zat yang dapat larut dalam air dan memperkecil

terjadinya reaksi degradasi (King 1971 dalam Endry 2000). Terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan pada produk pangan yang

dikeringkan dengan pengeringan beku. Keunggulan produk yang dikeringkan melalui pengeringan beku adalah produk lebih kering, stabil, menempati volume yang kecil sehingga dapat menekan biaya penyimpanan dan pengiriman. Adapun kelemahanya adalah proses pengeringan beku membutuhkan biaya operasional mahal, biasanya diproduksi dalam skala besar. Produksi lambat atau rendah karena proses pengeringan beku biasanya dengan sistem batch dan pengeringan melalui sublimasi berjalan lambat (Jhonson & Etzel 1995).

Pengeringan beku dapat menyebabkan beberapa perubahan, diantaranya perubahan fisik, kimiawi maupun biokimia pada sel bakteri. Selama proses pembekuan kemungkinan terjadi kerusakan sel karena perbedaan sensitivitas untuk setiap jenis mikroba terhadap pembekuan, terbentuknya kristal es baik ekstraseluler maupun intraseluler. Kerusakan yang terjadi akibat proses pembekuan ini akan mengakibatkan perubahan morfologi sel, struktur sel, perubahan fungsi sel dan perubahan stabilitas genetik (Ray & Speck 1973). Kemampuan sel untuk bertahan selama pembekuan dipengaruhi oleh ukuran dan tipe sel, umur sel, permeabilitas membran sel, metode penyimpanan dan metode

thawing. Secara umum respon BAL terhadap pembekuan yaitu, BAL akan mensintesis senyawa-senyawa protein dan terjadinya perubahan komposisi asam lemak pada membran bakteri (Wang et al. 2005). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa proses pembekuan dapat mempengaruhi BAL yang dibekukan, seperti terjadinya perubahan rasio antara asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang dapat menentukan resistensi dari BAL terhadap pembekuan (Goldberg & Eschar 1977; Beal et al. 2001; Wang et al. 2005). Hal yang serupa telah dilaporkan oleh Murga et al. (2000), yang telah mengamati kenaikan C16:0 dan C18:2 pada L. acidopilus. Siuta dan Goulet (2001), menjelaskan bahwa


(29)

enkapsulasi L. acidophilus R0052 menyebabkan viabilitas sel dapat bertahan dari 9,l x 109 CFU menjadi 5,3 x 109 CFU pada hari ke 50 pada penyimpanan 40 °C

dengan kelembaban (RH) 75%. De Vrese dan Schrezenmeir (2008), dalam laporannya juga menyebutkan bahwa pengeringan probiotik melalui spray drying

dapat melindungi sel bakteri yang dikeringkan hingga suhu 70 °C.

Untuk dapat melindungi sel agar tetap hidup selama proses pengeringan beku, maka beberapa cara dapat dilakukan, yaitu melalui penambahan bahan pelindung (kriogenik) pada sel bakteri yang akan dikeringkan. Bahan pelindung adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan dinding sel dan membran sel, tetapi ada juga bahan yang hanya dapat menahan kerusakan membran sel. Bahan kriogenik sangat berperan penting dalam mencegah kerusakan akibat proses pengeringan ataupun pengeringan beku. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, menjelaskan bahwa bahan pelindung dapat mencegah terjadinya penurunan jumlah sel selama proses pengeringan, pengeringan beku atau pembekuan. Nasombat dan Sriwong (2000), mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa penggunaan Lyoprotective agents (9,1% b/b) jenis laktosa dapat mempertahankan kemampuan hidup bakteri

Lactococcus lactis sebesar 64,17±3,00% dan L. sakei sebesar 56,42 ± 2,35%. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Puspawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa pengeringan beku P. pentosaceus A16, Lactobacillus brevis, L. rhamnosus

R21 setelah disalut dengan kriogenik mengalami sedikit penurunan yaitu masing-masing 1,24; 1,42; dan 2,13 log CFU/g.

Laktosa merupakan salah satu jenis bahan pelindung atau kriogenik yang umum digunakan pada proses pengeringan beku. Laktosa merupakan golongan karbohidrat yang utama terdapat pada susu. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa.

Penggunaan laktosa sebagai bahan pelindung sudah banyak diaplikasikan. Hasil penelitian yang dilakukan Zamora et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan laktosa 12% sebagai bahan pelindung pada proses pengeringan beku dapat mempertahankan ketahanan L. murinus-PS85 yang selama penyimpanan pada suhu 20 °C selama 60 hari, mencapai 20% sedangkan pada suhu 5 °C sebesar 4%. Pada kultur Enterococcus raffinosus-PS7, penggunaan laktosa 12%


(30)

sebagai bahan pelindung mampu mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan pada suhu 5 °C sebesar 60%, sedangkan pada suhu 20 °C selama 60 hari dapat menyebakan penurunan sebesar 100%. Puspawati et al. (2010), juga mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa penggunaan laktosa sebagai pelindung pada proses freeze dried Pediococcus pentosaceus A16 dapat mengurangi penurunan jumlah bakteri ini, besarnya penurunan jumlah total bakteri akibat freeze dried sebesar 0,91 log CFU/g.

2.3 Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu

Bakteri asam laktat bersifat anaerob, aerotoleran, tahan asam, fermentatif, berbentuk batang dan bulat, habitatnya harus kaya nutrisi(fastidious), komposisi basa nitrogen DNA kurang dari 50 % mol G+C (Axelsson 2004; Adam & Moss 1995). Bakteri asam laktat secara alami dapat berasal dari saluran pencernaan manusia, produk-produk susu dan permukaan tanaman tertentu. Klasifikasi BAL menjadi beberapa genus didasarkan pada perbedaan morfologi, jenis fermentasi glukosa, perbedaan suhu pertumbuhan, produksi asam laktat, kemampuan untuk tumbuh pada konsentrasi garam tinggi dan toleransi terhadap asam, alkali, serta garam yang berbeda-beda. Pada pengklasifikasian beberapa genus baru, penambahan karakteristik seperti komposisi asam lemak dan sifat motil juga digunakan sebagai dasar. BAL terdiri dari dua bentuk yaitu kokus (Lactococcus,

Vagococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Aerococcus, Tetragenococcus,

Streptococcus, Enterococcus) dan batang (Lactobacillus, Carnobacterium,

Bifidobacterium). Bakteri dan Streptococcus secara tradisional digunakan sebagai kultur starter untuk fermentasi makanan dan minuman karena berkontribusi terhadap flavor dan aroma serta menghambat kerusakan (De Vuyst & Vandamme 1994).

ASI merupakan salah satu sumber BAL. Salminen et al. (2004), meneliti isolat B. bifidum (yang kemudian dikenal sebagai L. bifidus) di dalam ASI. Hal ini berkaitan dengan keberadaan N-acetylglucosamine sebagai faktor bifidus di dalam ASI, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan dapat menunjang pertumbuhan bakteri L. bifidus (Surono 2004).

Nuraida et al. (2008), mengisolasi BAL yang berasal dari ASI. Dari tiga puluh satu sampel ASI diperoleh 87 isolat macam kultur BAL. Melalui uji


(31)

fisiologis dan biokimia yang dilakukan pada uji identifikasi awal diperoleh 54 isolat yang teridentifikasi sebagai Lactobacillus homofermentatif, 18 isolat

teridentifikasi sebagai Lactobacillus heterofermentatif, 9 isolat teridentifikasi

sebagai Bifidobacteria, 1 isolat teridentifikasi sebagai Pediococcus, serta 6 isolat teridentifikasi sebagai Streptococcus. Bakteri asam laktat yang bersifat

heterofermentatif kurang baik untuk dikembangkan menjadi produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Hal ini disebabkan gas CO2 yang dihasilkan akan merusak tekstur produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Sehingga dalam pengujian ketahanan terhadap asam hanya BAL yang bersifat homofermentatif yang diikutsertakan.

Beberapa isolat yang diperoleh dari isolasi ASI ini adalah L. rhamnosus,

yang merupakan salah satu BAL yang banyak mengkolonisasi mukosa usus. Bakteri asam laktat jenis ini sangat stabil pada rentang suhu yang luas dan pada

berbagai tingkat pH. Pada penggunaanya L. rhamnosus sering sekali dikombinasikan dengan bakteri lain seperti L. acidopilus maupun L. casei untuk meningkatkan efisiensi kerja bakteri tersebut (Legowo 2007). Berdasarkan hasil penelitian Nuraida et al.(2008), isolat L. rhamnosus R21 asal ASI yang diperoleh memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi asam (pH 2) dimana terjadi penurunan log <1 dan juga tahan pada kondisi garam empedu 0,5% dengan penurunan jumlah bakteri sebesar 2,23 log CFU/g (Nuraida et al. 2008).

Selain isolat R21, isolat lain yang juga diperoleh oleh Nuraida et al.(2008),

asal ASI adalah L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14,

L. rhamnosus 25, L. rhamnosus R27 dan isolat R32, memiliki ketahanan hidup yang baik pada kondisi pH asam (pH 2 selama 5 jam) dan konsentrasi garam empedu sebesar 0,5% secara in vitro, serta isolat-isolat ini memiliki daya hambat terhadap Bacillus cereus, Salmonella thypii, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Hartanti (2010), juga melaporkan bahwa isolat-isolat asal ASI tersebut di

atas, mampu menghambat pertumbuhan enteropatogenik E. coli (EPEC) K1.1. > 2 log CFU/mL dengan jumlah EPEC 105 CFU/mL dan dapat menghambat

isolat Lactobacillus lainnya sebesar 106 CFU/mL, hal ini disebabkan oleh kemampuan isolat ini menghasilkan L-asam laktat dengan konsentrasi yang tinggi (Wang et al. 2005). Berikut di bawah ini visualisasi BAL pada Gambar 1.


(32)

(a) (b)

Gambar 1 BAL isolat asal ASI (a) L. rhamnosus R14; (b) L. rhamnosus R21

2.4 Ketahanan Bakteri Asam Laktat Terhadap Pemanasan

Pemanasan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kemampuan suatu bakteri untuk bertahan dan tumbuh. Proses pemanasan dapat mengakibatkan terjadinya pembentukan lubang atau pori pada membran sel bakteri. Panas juga sangat berkontribusi penting dalam menginaktifkan enzim-enzim dan ribosoma, yang pada akhirnya dapat menurunkan atau mereduksi aktivitas biologi bakteri yang terpapar sehingga dapat mengalami kematian (Tabatabaie & Mortazavi 2008). Ketahanan panas setiap mikroba berbeda-beda, hal ini sangat bergantung pada keragaman genetik yang dimiliki oleh masing-masing Isolat, jumlah sel, umur sel, kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan inokulum, air, lemak, garam dan faktor lainnya.

BAL merupakan bakteri yang mampu tumbuh pada suhu yang bervariasi.

Beberapa jenis BAL bersifat mesofilik dan termofilik, yaitu tumbuh pada suhu 5 dan 45 °C (Jay 2000). Niamsup et al.(2003), juga menjelaskan beberapa isolat

L. thermotolerans sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu yang tinggi, seperti

L. thermotolerans G35T dapat tumbuh pada suhu 50 °C dan L. thermotolerans lainnya yakni G12, G22 ,G43 dan G44 mampu tumbuh pada suhu 45 °C. Beberapa BAL juga bersifat termodurik artinya bakteri ini tahan terhadap suhu pasteurisasi, yaitu 72 °C selama 15 detik. BAL termodurik optimum tumbuh pada suhu 45 °C. BAL termodurik tidak harus tumbuh pada suhu tinggi. Beberapa jenis BAL termodurik diantaranya, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus (Fardiaz 1992; Helfrerich & Westhoff 1980).


(33)

Rizqiati et al. (2008), melakukan seleksi ketahanan panas BAL jenis

L. plantarum. Hasil yang diperoleh menunjukkan 10 isolat probiotik L. plantarum

yang diuji pada suhu pemanasan 100 °C selama satu menit menyebabkan terjadinya penurunan BAL sebesar 44-75%, sehinga yang tersisa hanya 25-56%.

2.5 Cronobacter spp. (Enterobacter sakazaki)

Cronobacter sakazakii merupakan bagian dari famili Enterobacteriaceae, genus Enterobacter dan secara biologis Cronobacter spp. merupakan bakteri yang

bersifat motil, tidak membentuk spora, Gram negatif, dan anaerob fakultatif. Genus baru Cronobacter spp. dikelompokkan berdasarkan karakterisasi molekuler

terhadap gen 16 sRNA, gen DNAG dan gluA ; uji biokimia (API 20E, ID 32E) dan α-glukosidase, pigmen kuning, dan pertumbuhannya pada media kromogenik (Iversen 2007).

Cronobacter spp. merupakan bakteri patogen oportunis yang dapat mengakibatkan infeksi pada bayi dan memiliki tingkat mortalitas yang tinggi (40-80 %). Bakteri ini dikenal mengontaminasi susu formula bubuk untuk bayi

dan beberapa isolatnya mampu bertahan sampai 2 tahun pada susu formula bubuk. Selain terdapat pada susu bubuk bayi, bakteri ini juga ditemukan mengontaminasi

berbagai macam produk makanan seperti sereal. Infeksi yang disebabkan

C. sakazakii mengancam seluruh kelompok usia namun bayi adalah kelompok usia yang paling rawan terserang infeksi. C. sakazakii mampu tumbuh pada rentang pH 5-10 dan konsentrasi NaCl hingga 7% (Iversen 2008). Bakteri ini dapat membelah dirinya sekitar 75 menit pada suhu 21 oC dalam susu formula

bayi yang direkonstitusi (Iversen 2003). Kandhai et al. (2006) menyatakan

C. sakazakii dapat tumbuh pada suhu rekonstitusi 8 dan 47 oC pada susu formula dengan menggunakan air steril.

C. sakazakii merupakan patogen yang dapat menyebabkan meningitis yaitu, infeksi dan inflamasi pada meninges atau lapisan penutup otak; sepsis adalah beredarnya bakteri pembentuk nanah atau toksinnya melalui sirkulasi darah yang dapat berada dalam darah atau jaringan; sedangkan brain cyst adalah munculnya kista pada otak. Van Acker et al. (2001) dan Hunter et al. (2008) melaporkan bahwa C. sakazakii dapat menyebabkan penyakit necrotizing enterocolitis (NEC). Adanya C. sakazakii memicu apoptosis pada sel epitelial usus atau Intestinal


(34)

Epithelial Cell (IEC) dan meningkatkan produksi interleukin-6 di dalam sel IEC-6 pada hewan percobaan (Hunter et al.2008).

Meskipun tidak ada bukti secara epidemiologis tentang dosis infeksinya, laporan Iversen dan Forsythe (2003) memperkirakan 1000 sel sebagai konsentrasi awal Cronobacter spp. yang dapat menyebabkan infeksi. Jumlah ini sama dengan

dosis infeksi bakteri patogen lain seperti Neiserria meningitis, E. coli O157, dan

L. monocytogenes 4b. Dosis infeksi C. sakazakii bervariasi tergantung pada respon bakteri ini terhadap stres, kondisi kesehatan inang, dan komponen pada makanan (Iversen & Forsythe 2003). Penderita imuno-compromised akan cepat terinfeksi dengan dosis lebih kecil jika dibandingkan dengan manusia sehat. Nazarowec-White dan Farber (1997) melaporkan bahwa C. sakazakii dapat menimbulkan infeksi pada mencit bila diinokulasikan sebanyak 105 CFU/mL secara oral dan sebanyak 103 CFU/mL secara interperitoneal. Muytjens et al.

(1988) dan Nazarowec-White dan Farber (1997) menyatakan laju pertumbuhan organisme ini dapat digunakan untuk menghitung waktu yang diperlukan untuk menggandakan diri (14 generasi) pada dosis infeksi (103 sel) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Suhu inkubasi yang digunakan yakni 10, 18, 21, dan 37 oC

dengan waktu penggandaan berturut-turut 13,6; 2,9; 1,3; dan 0,5 jam. Bakteri

C. sakazakii pada level yang rendah (≤0,36 sel/100 g) diduga tidak menyebabkan infeksi asalkan tidak ada penyimpangan suhu atau kontaminasi dalam preparasi.

Di Indonesia tidak ada laporan mengenai kasus infeksi yang disebabkan oleh

C. sakazakii.

2.6 Sumber Cronobacter sakazakii

Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai makanan termasuk keju, roti, tahu, teh asam, daging yang di-curing, minced beef, dan sosis. C. sakazakii juga ditemukan pada kamir roti dikarenakan bakteri ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorgum (Gassem 1999). Bakteri ini juga ditemukan pada biji padi (Cottyn et al. 2001). Sumber utama bakteri C. sakazakii yang terkait pada kasus-kasus infeksi pada bayi yang baru dilahirkan adalah dari makanan bayi dan susu formula, namun beberapa peneliti juga telah mengisolasinya dari berbagai sumber seperti lingkungan dan makanan lain, karena bakteri ini bukan merupakan bagian


(35)

dari flora normal manusia dan hewan, maka dimungkinkan bahwa tanah, air, dan sayur-sayuran merupakan sumber kontaminasinya pada makanan.

Susu formula bayi diasosiasikan sebagai sumber kontaminan bakteri

C. sakazakii penyebab infeksi pada bayi. Beberapa penelitian mutakhir telah dilakukan, seperti hasil penelitian Estuningsih et al. (2006) yang menjelaskan

bahwa dari 74 sampel makanan bayi di Indonesia dan Malaysia, ditemukan 35 sampel (47%) positif Enterobactericiae dan 10 sampel (13,5%) positif

mengandung C. sakazakii. Meutia (2009) juga berhasil mengisolasi 8 isolat

C. sakazakii dari 4 sampel susu formula bayi (n=25). Identifikasi dengan API 20E dan DNA sekuensing menunjukkan bahwa isolatnya memiliki kemiripan sebesar 92-97% dengan genom lengkap C. sakazakii ATCC BAA-894. Dewanti-Haryadi

et al. (2010), juga telah berhasil mengisolasi beberapa isolat yang diduga sebagai kelompok C. sakazakii, berdasarkan hasil identifikasi takson dan tingkat kemiripan isolat dengan program apiwebTM, dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 6 isolat yang diisolasi dari produk makanan bayi, maizena, dan bubuk coklat diantaranya DES c13, DES b10, DES b7a, DES d3 dan lainnya (Dewanti-Hariyadi et al. 2010). Selain itu C. sakazakii juga telah berhasil diisolasi dari sumber pangan jenis bumbu bubuk komersial dan produk bubuk lainnya (Hamdani 2012 in press).

Haryani et al. (2008) mengisolasi bakteri ini dari sumber makanan

ready-to-eat (street food) di Malaysia. Dari tujuh isolat diketahui enam isolat positif

C. sakazakii berdasarkan uji biokimiawi standar (API 20E) dan uji genetik dengan metode RAPD PCR finger printing. Isolat didapatkan dari lima lokasi berbeda di Malaysia yakni yang berasal dari kuah chutney, curry samosa, surimi lobster, kuih lapis, dan kuih koci.

Tiga puluh isolat C. sakazakii juga berhasil diisolasi dari tiga sumber yang berbeda di industri, yakni penyaring udara (24 isolat), lingkungan (3 isolat), dan produk bubuk (3 isolat) dengan metode Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE) (Mullane et al. 2008). Meskipun bakteri ini terdapat secara luas namun Muytjens dan Kollee (1990) tidak berhasil mengisolasi bakteri ini dari susu sapi mentah, ternak, tikus, padi-padian, kotoran burung, hewan peliharaan, permukaan air, tanah, lumpur, atau akar kayu (Iversen & Forsythe 2003).


(36)

2.7 Ketahanan C. sakazakii Terhadap Suhu Tinggi dan Kekeringan

Menurut Iversen dan Forsythe (2003) Cronobacter spp., dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas (6-47 oC). Kondisi optimum perkembangan bakteri ini berada pada kisaran suhu 37-44 oC, namun tidak termasuk dalam golongan tahan panas karena pada suhu 60 oC dapat mengalami kematian (Edelson et al. 2004). Karakteristik adaptasi dan berkembang bakteri ini menurut Food Safety Athority of Ireland, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakter tingkat adaptasi dan perkembangan C. sakazakii

Parameter Kisaran Optimum

Suhu untuk pertumbuhan 6- 45 °C 37-43 °C

Waktu generasi 0) saat suhu 22 °C 37-44 menit - D-value pada suhu 60 °C

(isolat Cronobacter spp. berasal dari PIF)

3,52-3,58 -

Keterangan : 0) Waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat populasi bakteri menjadi 2x lipat. Sumber: Iversen & Forsythe (2003)

C. sakazakii merupakan jenis bakteri yang mungkin terdapat pada makanan pendamping ASI, jenis patogen ini memiliki karakteristik yang kurang tahan terhadap panas namun beberapa galur bakteri ini memiliki ketahanan panas yang bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian nilai D56 pada berbagai isolat lokal asal susu formula, MP-ASI, dan lainnya seperti DESc13; DESb10; DESb7a; YRC3a; dan YRT2a yakni masing-masing 11,36; 5,48; 8,55; 4,10; dan 5,83 menit (Seftiono 2012).

Banyak faktor yang mempengaruhi ketahanan panas bakteri. Beberapa diantaranya yakni perbedaan galur, kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan dari inokulum, dan menstruum pemanasan (termasuk kadar lemak, total solid, dan total gula), metode yang digunakan, dan metodologi dalam recovery mikroba (Nazarowec-White & Farber 1997; Kim & Park 2007). Selain memiliki ketahanan terhadap panas, bakteri patogen ini juga memiliki kemampuan untuk bertahan pada kondisi kering. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa bakteri ini mampu bertahan pada kondisi kering selama 2,5 tahun pada susu bubuk formula.


(37)

2.8 Susu Formula Bayi dan Proses Produksinya

Susu formula bayi adalah susu yang dihasilkan secara fabrikasi untuk memenuhi keperluan asupan gizi bayi. Produk susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI (Breeuwer et al. 2003).

Proses pembuatan susu formula (Gambar 2) dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pencampuran kering (dry mixing), pencampuran basah (wet mixing) atau kombinasi keduanya. Proses pencampuran kering adalah proses pengolahan dimana seluruh bahan yang berbentuk kering (bahan baku dan bahan tambahan) dicampurkan dengan pencampur kering untuk mendapatkan produk akhir dengan tingkat homogenitas yang diinginkan. Kelebihan dari pencampuran kering adalah tidak adanya air yang terlibat dalam proses pengolahan sehingga lini proses dapat dijaga tetap kering dalam jangka waktu lama (BPOM 2011). Metode pencampuran kering memiliki kekurangan dari segi kualitas dan keamanannya karena semua bahan baku yang digunakan tidak memiliki ukuran partikel yang sama sehingga akan sangat sulit untuk menghasilkan pencampuran yang homogen (Heredia et al. 2009). Hal ini akan mempengaruhi kualitas nutrisi susu yang dihasilkan. Proses produksi susu formula dengan tipe pencampuran basah dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan dalam kondisi basah (pencampuran bahan baku dalam wujud cair, proses pasteurisasi, penambahan

ingredient yang sensitif terhadap perlakuan termal serta spray drying) (BPOM 2011). Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying, namun kontaminasi setelah perlakuan panas (post heat treatment contamination) seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik juga harus dipertimbangkan.

Kontaminasi bakteri C. sakazakii (Gambar 2) pada proses produksi susu dapat berasal dari faktor instrinsik dan ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu formula terpapar C. sakazakii pada tahapan pemrosesan susu formula, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas seperti, vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Kontaminasi ekstrinsikterjadi melalui peralatan, misalnya blender, sendok pada saat penyiapan susu formula.


(38)

Gambar 2 Proses pengolahan susu formula dengan tipe pengolahan pencampuran basah yang berasal dari bahan basah dan kering (CAC 2004)

Bahan baku basah (susu segar)

Bahan baku kering (premix vitamin atau BTP

Penerimaan di pabrik SOP Penyimpanan di gudang

Penimbangan bahan baku & BTP SOP

Pencampuran SOP

Homogenisasi SOP

Pasteurisasi

Evaporasi SOP

Penampungan sementara Pemindahan ke jalur pengeringan

Pengeringan dengan pengeringan semprot SOP Pendinginan

Aglomerasi SOP

Pengayakan

Pengisian ke dalam pengemas SOP Kemasan

Penghembusan dengan gas inert SOP N2 atau CO2

Penutupan kemasan Pemberian label atau kode Pengepakan ke dalam kemasan sekunder Penyimpanan sementara untuk konfirmasi hasil uji Susu formula


(39)

Selama proses produksi dan penyiapan susu formula bubuk ada kemungkinan terjadinya kontaminasi oleh bakteri-bakteri patogen seperti

Bacillus spp., Cronobacter spp., Salmonella spp., L. monocytogenes, Staphylococcus spp. dan Enterobacter spp. Sehingga diperlukan regulasi batas cemaran mikroba yang boleh terdapat dalam produk akhir. Indonesia mengatur batas cemaran mikroba produk susu formula bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi Peraturan Kepala Badan POM RI (2009) (Tabel 2). Tabel 2 Batas maksimum cemaran mikroba untuk produk susu formula bayi dan

formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi

No. Jenis mikroba Batas cemaran

1 ALT (30 °C, 72 jam) 1 x 104 koloni/mL

2 Enterobacteriaceae negatif/10 g*

3 Enterobacter sakazakii negatif/10 g**

4 Salmonella sp. negatif/25 g

5 Staphylococcus aureus 1 x 101 koloni/mL

6 Bacillus cereus 1 x 102 koloni/mL

Sumber: BPOM (2009)

2.9 Rekonstitusi Susu Formula Bayi

Rekonstitusi adalah proses persiapan susu formula atau makanan bayi yang berbentuk bubuk dengan cara mencampurkannya dengan air sehingga susu bubuk atau makanan bayi tersebut siap dikonsumsi. Pada saat melakukan praktek rekonstitusi ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, salah satunnya adalaha suhu rekonstitusi. Suhu rekonstitusi menjadi sangat penting bilamana pada produk pangan yang akan direkonstitusi ada kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba patogen yang dapat memberikan dampak serius terhadap kesehatan konsumen.

Suhu rekonstitusi merupakan salah satu faktor penting dalam mereduksi jumlah bakteri patogen berbahaya salah satu contonya adalah C. sakazakii yang dewasa ini banyak ditemukan pada makanan atau susu formula bubuk bayi. Efektivitas suhu rekonstitusi menjadi sangat penting dikaji untuk menentukan seberapa besar pengaruh suhu rekonstitusi untuk mereduksi bakteri-bakteri patogen yang mungkin mengontaminasi produk pangan.


(40)

Beberapa suhu rekonstitusi yang digunakan pada praktek di rumah tangga yakni 45, 50, 60, dan 70 oC. Beberapa penelitian telah menguji efektivitas beberapa suhu untuk merekonstitusi susu formula dan prroduk pangan lainnya diantaranya adalah suhu 50, 60, dan 70 oC. Pemilihan suhu rekonstitusi 50 oC didasarkan pada pertimbangan pola kebiasaan masyarakat Indonesia ketika menyeduh atau menyiapkan minuman hangat, termasuk susu formula dengan

Penggunaan suhu sekitar 50 oC ini dikenal dengan istilah suwam kuku. Suhu rekonstitusi 60 oC dipilih karena merupakan suhu rekonstitusi yang umum

digunakan pada praktek rekonstitusi di rumah tangga. Selain itu suhu rekonstitusi 60 oC sering digunakan pada beberapa penelitian uji inaktivasi patogen jenis

Cronobacter spp. Ogihara et al. (2009) pada penelitian uji ketahanan panas bakteri C. sakazakii menggunakan suhu 60 oC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu rekonstitusi 60 oC mampu menurunkan jumlah bakteri C. sakazakii

ATCC 29004 sebesar 0,37-1 siklus log. Selain itu penggunaan suhu rekonstitusi 60 oC ini dinilai lebih aman untuk menjaga kerusakan nutrien yang terkandung pada produk pangan, seperti yang dijelaskan oleh FAO/WHO (2004) bahwa penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan dan kerusakan nutrien komponen pangan lainnya, salah satunya adalah vitamin C yang terdapat pada produk pangan termasuk susu formula bubuk . Sementara itu, pemilihan suhu 70 oC pada penelitian ini didasarkan atas rekomendasi FAO/WHO (2004) dan BPOM (2009) tentang prosedur persiapan susu formula rekonstitusi. Suhu rekonstitusi 70 oC juga dinilai efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen berbahaya seperti laporan Meutia (2009) yang menyebutkan bahwa suhu rekonstitusi 70 oC dapat mengurangi jumlah sel C. sakazakii sebesar 2,74-6,72 log (CFU/mL).


(41)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Nopember 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium General Microbiology, Fermentation Microbiology, dan Kimia South East Asia for Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari, bahan utama meliputi isolat BAL (isolat lokal asal ASI) koleksi SEAFAST Center IPB, merupakan isolat BAL yang memiliki kemampuan menghambat E. coli entero patogenik K.1.1 (EPEC K.1.1) (Hartanti 2010) yaitu; Lactobacillus rhamnosus

A22, A23, A24, A27, A29, R14, R21, R23, R25, R27, R32, dan B16, serta memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi. Isolat Cronobacter sakazakii YRC3a asal susu formula (Meutia 2009).

Bahan uji yang digunakan adalah susu formula (Sufor) bayi dengan

komposisi nutrisi; karbohidrat (62 g/100g) protein (9,8 g/100g); lemak (22,5 g/100g), dan nutrisi lainnya (informasi komposisi diperoleh dari tabel pada

kemasan produk), akuades steril, air minum dalam kemasan steril. Media yang

digunakan yaitu de Mann Rogosa Sharpe Agar (MRSA) (Oxoid CM0361),

de Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid CM0359), yeast extract, Laktosa (Oxoid), Buffer 4 dan 7, buffer kalium dihidro posfat (KH2PO4), Druggan-Forsythe-Iversen (DFI) Agar (Oxoid, CM1055), Brain Heart Infusion (BHI) (Oxoid CM0225), Buffered Peptone Saline (BPS) (Oxoid CM0509), Tryptose Soy Agar (TSA) (Oxoid CM0131), Tryptose Soy Broth (TSB) (Oxoid CM0129), TSAYE-SC (yeast extract- sodium chloride), dan MRSA-AA (acetic acid).

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Freeze drier (Labconco Freezone6), pipet mikro (Finnpipette) berikut tip, vorteks (Vortex-Genie 2), Sentrifuse (Sorvall), inkubator (Incucell MMM-Group), termometer, Oven (Gallenhamp), Hot plate (Steroglass), pH Meter (Eutech pH meter 700), Autoklaf (ALP Model-40), dan alat analisis mikrobiologis standar lainnya.


(42)

3.3 Metode Penelitian

a) Tahapan penelitian

Tahap pelaksanaan penelitian dan ringkasan percobaan dapat dilihat dalam matriks di bawah ini (Gambar 3).

TAHAP 1

TAHAP 2

TAHAP 3

TAHAP 4

Gambar 3 Diagram alir proses penelitian

Rekonstitusi suhu 50 °C

4 isolat BAL palingtahan suhu rekonstitusi (T=50 °C)

11 isolat BAL asal ASI

(menghambat EPEC K1.1>1siklus log) (Hartanti 2010) Analisis:

Total BAL sebelum dan sesudah rekonstitusi

4 isolat BAL palingtahan suhu rekonstitusi (T=50 °C) Uji Kompetisi BAL & C.sakazakii

YRC3a pada susu formula

Analisis:

Total BAL sebelum dan sesudah kompetisi 24 jam; analisis pH 2 isolat BAL yang mampu berkompetisi dan

menghambat C.sakazakii YRC3a

BAL kering beku Isolat terpilih tahap 2

Produksi biomassa sel basah + kriogenik laktosa 10% (b/v)

Pembekuan

Biomassa sel (T= -22 °C) Analisis:

Total BAL sebelum dan sesudah pembekuan dan sesudah pengeringan beku Pengeringan beku kultur BAL

(T= -50 °C; P= 0,01 Mpa; t= 48 jam

BAL kering beku

Uji kompetisi BAL dan C.sakazakii YRC3a pada suhu rekonstitusi 50, 60 & 70 ºC selama hang time 0, 2, 4, 6 dan 8 jam pada susu formula;

a)

BAL; b) C.sakazakii YRC3a; dan c) BAL& C.sakazakii YRC3a

Analisis: Total BAL, C.sakazakii YRC3a, pH, dan suhu C.sakazakii YRC3a


(43)

Penelitian ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama bertujuan untuk menapis isolat BAL asal ASI yang memiliki ketahanan terhadap suhu rekonstitusi 50 ºC. Rekonstitusi dilakukan pada isolat BAL asal ASI yang telah disentrifugasi (biomassa sel bakteri). Pada tahap ini dilakukan analisis total BAL sebelum dan sesudah rekonstitusi. Selanjutnya dipilih 4 isolat BAL yang paling tahan suhu

rekonstitusi. Tahap kedua yaitu kompetisi isolat BAL asal ASI dengan

C. sakazakii YRC3a dalam susu formula rekonstitusi. Tahap ini bertujuan untuk menapis isolat BAL asal ASI yang memiliki kemampuan untuk berkompetisi dan menghambat pertumbuhan C. sakazakii YRC3a pada susu formula rekonstitusi. Pada tahap ini dilakukan penghitungan jumlah bakteri pada masing-masing media selektif; BAL media MRSA-AA dan C. sakazakii YRC3a pada media TSAYE-SC pada jam ke-0 dan setelah kompetisi jam ke-24. Analisis pH pada tahap ini juga dilakukan namun pada set yang terpisah.

Tahap ketiga mempelajari sintas BAL selama proses pengeringan beku (freeze-drying). Tujuan tahap ini adalah untuk melihat sintas isolat BAL yang paling tahan terhadap proses pengeringan beku (freeze drying). Pengeringan beku dilakukan pada dua isolat terpilih tahap 2. Pada tahap ini dilakukan analisis viabilitas BAL sebelum pembekuan, setelah pembekuan dan setelah pengeringan beku.

Penelitian tahap keempat adalah kompetisi BAL dan C. sakazakii YRC3a pada susu formula dengan berbagai suhu rekonstitusi yaitu 50, 60, dan 70 °C. Tahap keempat bertujuan untuk melihat kompetisi isolat BAL asal ASI yang telah dikering bekukan dengan C. sakazakii YRC3a selama hang time 0, 2, 4, 6, dan 8 jam. Pada tahap ini dilakukan penghitungan jumlah BAL dan C. sakazakii

YRC3a yang diinokulasikan pada susu formula. Penghitungan jumlah masing-masing bakteri dilakukan menggunakan media selektif BAL yaitu media

MRSA-Acetic acid dan C. sakazakii YRC3a pada media TSAYE-Sodium cloride

(perbandingan BAL dengan C. sakazakii YRC3a 108: 103). Analisis pH dan suhu dilakukan pada set terpisah.


(1)

Lampiran 6g

.

Data kontrol YRC3a pada media TSAYE-SC pada suhu rekonstitusi 60

o

C

Jam ke-

Suhu 60 oC

Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

Pengenceran ∑Koloni CFU/mL Log

CFU/mL Pengenceran ∑Koloni CFU/mL

Log

CFU/mL CFU/mL

Log CFU/mL

0

10 (0) TBUD

3.60x102 2.56

10 (0) TBUD

3.65x102 2.56 3.63x102 2.56

TBUD TBUD

10 (-1) 35 10 (-1) 40

37 33

10 (-2) 7 10 (-2) 4

7 3

2

10 (0) TBUD

7.00x102 2.85

10 (0) TBUD

5.40x102 2.73 6.20x102 2.79

TBUD TBUD

10 (-1) 77 10 (-1) 54

63 54

10 (-2) 6 10 (-2) 16

10 9

4

10 (-2) TBUD

1.97x105 5.29

10 (-2) TBUD

2.15x105 5.33 2.06x105 5.31

TBUD TBUD

10 (-3) 210 10 (-3) 202

185 228

10 (-4) 21 10 (-4) 10

15 9

6

10 (-3) TBUD

2.27x106 6.35

10 (-3) TBUD

2.28x106 6.36 2.26x106 6.36

TBUD TBUD

10 (-4) 216 10 (-4) 214

236 350

10 (-5) 25 10 (-5) 30

18 19

8

10 (-4) TBUD

4.60x106 6.66

10 (-4) TBUD

4.45x106 6.65 4.53x106 6.66

TBUD TBUD

10 (-5) 33 10 (-5) 32

59 57

10 (-6) 7 10 (-6) 7


(2)

Lampiran 6g

.

Data kontrol YRC3a pada media TSAYE-SC pada suhu rekonstitusi 70

o

C

Jam ke-

Suhu 70 oC

Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

Pengenceran ∑Koloni CFU/mL Log

CFU/mL Pengenceran ∑Koloni CFU/mL

Log

CFU/mL CFU/mL

Log CFU/mL

0

10 (0) 213

2.07x102 2.32

10 (0) 202

2.06x102 2.31 2.07x102 2.32

196 205

10 (-1) 26 10 (-1) 27

23 22

10 (-2) 1 10 (-2) 4

3 2

2

10 (0) TBUD

3.00x102 2.48

10 (0) TBUD

3.45x102 2.54 3.23x102 2.51

TBUD TBUD

10 (-1) 28 10 (-1) 32

32 37

10 (-2) 8 10 (-2) 2

2 1

4

10 (-1) TBUD

1.20x104 4.08

10 (-1) TBUD

1.06x104 4.03 1.13x104 4.06

TBUD TBUD

10 (-2) 117 10 (-2) 125

123 86

10 (-3) 14 10 (-3) 14

7 16

6

10 (-3) TBUD

8.75x105 5.94

10 (-3) TBUD

7.50x105 5.88 8.13x105 5.91

TBUD TBUD

10 (-4) 88 10 (-4) 75

87 75

10 (-5) 11 10 (-5) 9

10 7

8

10 (-4) TBUD

5.60x106 6.75

10 (-4) TBUD

6.05x106 6.78 5.83x106 6.77

TBUD TBUD

10 (-5) 68 10 (-5) 62

44 59

10 (-6) 9 10 (-6) 8


(3)

Lampiran 7

.

Jumlah awal BAL

L

.

rhamnosus

R21 sebelum rekonstitusi pada media MRSA

Suhu (°C)

Ulangan

Rata-rata

1 2

Pengenceran ∑Koloni CFU/mL Log

CFU/mL Pengenceran ∑Koloni CFU/mL

Log

CFU/mL CFU/mL

Log CFU/mL

50

10 (-5) TBUD

6.95x108 8.84

10 (-5) TBUD

6.70x108 8.83 6.93x108 8.83

TBUD TBUD

10 (-6) TBUD 10 (-6) TBUD

TBUD TBUD

10 (-7) 65 10 (-7) 67

74 67

60

10 (-6) TBUD

6.90x108 8.83

10 (-6) TBUD

6.70x108 8.82 6.80x108 8.83

TBUD TBUD

10 (-7) 67 10 (-7) 66

71 68

10 (-8) 7 10 (-8) 6

8 6

70

10 (-6) TBUD

6.65x108 8.82

10 (-6) TBUD

6.85x108 8.84 6.75x108 8.83

TBUD TBUD

10 (-7) 67 10 (-7) 62

66 75

10 (-8) 7 10 (-8) 3


(4)

Lampiran 8

.

Jumlah awal BAL

L

.

rhamnosus

R25 sebelum rekonstitusi pada media MRSA

Suhu (°C)

Ulangan

Rata-rata

1 2

Pengenceran ∑Koloni CFU/mL Log

CFU/mL Pengenceran ∑Koloni CFU/mL

Log

CFU/mL CFU/mL

Log CFU/mL

50

10 (-5) TBUD

6.95x108 8.84

10 (-5) TBUD

6.30x108 8.79 6.63x108 8.82

TBUD TBUD

10 (-6) 286 10 (-6) 321

294 326

10 (-7) 78 10 (-7) 69

61 57

60

10 (-5) TBUD

6.83x108 8.83

10 (-5) TBUD

6.50x108 8.81 6.67x108 8.82

TBUD TBUD

10 (-6) 264 10 (-6) 254

278 267

10 (-7) 75 10 (-7) 65

62 65

70

10 (-5) TBUD

6.25x108 8.79

10 (-5) TBUD

7.00x108 8.84 6.63x108 8.82

TBUD TBUD

10 (-6) 271 10 (-6) 266

258 255

10 (-7) 63 10 (-7) 78


(5)

Lampiran 9

.

Jumlah awal

C

.

sakazakii

YRC3a sebelum rekonstitusi pada media TSA

Suhu (°C)

Ulangan

Rata-rata

1 2

Pengenceran ∑Koloni CFU/mL Log

CFU/mL Pengenceran ∑Koloni CFU/mL

Log

CFU/mL CFU/mL

Log CFU/mL

50

10 (0) TBUD

4.30x103 3.63

10 (0) TBUD

4.40x103 3.63 4.40x108 3.64

TBUD TBUD

10 (-1) TBUD 10 (-1) TBUD

TBUD TBUD

10 (-2) 44 10 (-2) 44

42 44

60

10 (0) TBUD

4.10x103 3.61

10 (0) TBUD

4.00x103 3.60 4.10x103 3.61

TBUD TBUD

10 (-1) TBUD 10 (-1) TBUD

TBUD TBUD

10 (-2) 40 10 (-2) 40

41 40

70

10 (0) TBUD

5.65x103 3.75

10 (0) TBUD

5.50x105 3.74 5.53x108 3.75

TBUD TBUD

10 (-1) TBUD 10 (-1) TBUD

TBUD TBUD

10 (-2) 39 10 (-2) 55


(6)

Lampiran 10

.

Perubahan suhu pada susu formula rekonstitusi pada volume 20 mL selama 30 menit

Menit

ke-

Suhu (°C)

volume 20 mL

0

67

1

56

2

54

3

52

4

50

5

49

6

47

7

46

8

44

9

43

10

42

11

41

12

41

13

40

14

40

15

39

16

39

17

38

18

38

19

37

20

37

21

37

22

36

23

36

24

35

25

35

26

35

27

35

28

34

29

34