Adherence properties of lactic acid bacteria isolated from breast milk

(1)

 

STUDI PENEMPELAN BAKTERI ASAM LAKTAT

ASAL AIR SUSU IBU (ASI)

DHENOK ANGGRAENI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu (ASI) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Dhenok Anggraeni


(3)

 

ABSTRACT

DHENOK ANGGRAENI. Adherence Properties of Lactic Acid Bacteria Isolated from Breast Milk. Under direction of LILIS NURAIDA and RATIH DEWANTI HARIYADI.

Probiotics are live microorganism that will exert beneficial effect to the host when ingested in sufficient amounts. The ability to adhere to intestinal epithelial cells is a prerequisite for probiotic action. The aim of this study was to identify the adherence properties of nine lactic acid bacteria isolated from breast milk which are potential as probiotic (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16). This study was conducted in three stages i.e. (1) the evaluation of adherence method on mucus of broiler and rat intestine (2) the evaluation of adherence properties that consist of hydrophobicity, autoaggregation, adhesion to rat intestinal cells, and adhesion to the surface of rat intestine and (3) the competition of adhesion between LAB and EPEC which included competition, exclusion, displacement, and observation of the bacteria adherence on the surface of rat intestine used SEM.

The use of rat intestine gave better result in showing the adhesion ability of LAB tested than mucus of broiler. The exposure of rat intestine in suspension of LAB raised the total number of LAB which indicated the attachment of LAB isolates while reducing the total number of E. coli which indicated competition between LAB and indigenous E. coli on the surface of rat intestine. All of nine LAB isolates tested have low autoaggregation ability due to their hydrophobicity. There were only three LAB isolates that adhered to rat intestinal cells, they were A27, B16, and R23. However, all LAB isolates adhered to the surface of rat intestine. The most adhesive LAB was A27 followed by B16, R14, and R23. The degree of adherence of LAB was strain specific and affected by the type of adherence medium. The competition test showed that the LAB isolates tested were able to compete with EPEC. The adhesion of the LAB isolates affected by the number of LAB, the higher the number of LAB the higher the number of adhering bacteria. The exclusion and displacement test showed that the LAB isolates tested were likely able to attach well on the surface of rat intestine. R23 isolate was not able to be excluded by EPEC while B16 isolate was slightly excluded. Both LAB isolates were not able to displace EPEC. The observation of adherence using SEM showed bacilliform of bacteria on the surface of rat intestine that have been incubated with LAB R14, R23, B16, and A27.


(4)

 

RINGKASAN

DHENOK ANGGRAENI. Studi Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air

Susu Ibu. Dibimbing oleh LILIS NURAIDA dan RATIH DEWANTI

HARIYADI.

Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat menguntungkan kesehatan inangnya. Untuk mendapatkan status sebagai probiotik, mikroorganisme harus melalui pengujian sesuai standar WHO yaitu; identifikasi galur dan spesies organisme, karakterisasi sifat probiotik melalui uji in vitro, kajian keamanan, serta studi in vivo menggunakan subjek hewan dan manusia. Uji in vitro bertujuan untuk mendapatkan landasan ilmiah yang kuat atas keseluruhan proses seleksi bakteri probiotik. Aspek pengujian in vitro meliputi uji ketahanan terhadap asam lambung, ketahanan terhadap garam empedu, penempelan terhadap mukus dan atau sel epitel manusia (termasuk galur sel khusus misalnya Caco-2), aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen potensial, kemampuan untuk mengurangi penempelan patogen pada permukaan, serta aktivitas hidrolase garam empedu.

Salah satu sumber isolat probiotik adalah air susu ibu (ASI). ASI merupakan sumber isolat probiotik karena mengandung glikoprotein dan bifidogenic factor berupa N-acetylglucosamine yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri asam laktat, khususnya Bifidobakteria. Sepuluh spesies BAL asal ASI (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16) telah dilaporkan memiliki ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu serta kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen sehingga berpotensi sebagai probiotik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat penempelan BAL yang meliputi sifat autoagregasi, sifat hidrofobitas, penempelan pada sel epitel usus tikus, dan kemampuan kompetisi penempelan antara BAL dan EPEC. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium South East Asian Food and Agriculture Science dan Technology (SEAFAST) Center IPB kampus IPB Darmaga, Bogor pada bulan Juli 2009 – Mei 2010.

Studi penempelan BAL dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah evaluasi metode pengujian sifat penempelan BAL pada mukus broiler dan usus tikus. Tahap yang kedua adalah pengujian sifat penempelan BAL yang meliputi penempelan BAL pada permukaan usus tikus, uji autoagregasi, uji hidrofobisitas, uji penempelan BAL pada sel epitel usus tikus, dan penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Autoagregasi BAL diketahui melalui pengamatan secara visual dan kuantitatif menggunakan spektrofotometer. Sifat hidrofobisitas BAL diketahui dengan melihat penempelannya pada berbagai pelarut. Usus tikus yang digunakan berasal dari tikus galur Sprague –Dawley yang berumur 2 bulan. Bagian usus yang dipakai dalam uji penempelan ini adalah usus halus karena jumlah total bakteri pada sepanjang usus halus tidak berbeda nyata (p>0.05). Tahap yang ketiga adalah uji kompetisi antara BAL dengan bakteri patogen


(5)

 

(EPEC K11) yang meliputi kompetisi penempelan BAL pada permukaan usus tikus, pengaruh jumlah inokulum BAL, uji eksklusi, uji displacement, dan pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Pada uji kompetisi ada tiga perlakuan yaitu potongan usus yang dipaparkan pada BAL saja (106 cfu/ml), potongan usus yang dipaparkan pada EPEC saja (106 cfu/ml), dan potongan usus yang dipaparkan pada BAL dan EPEC secara bersamaan (jumlah BAL dan EPEC sama yaitu 106 cfu/ml). Pada uji jumlah paparan, perlakuan yang diberikan sama seperti pada uji kompetisi dengan dua macam konsentrasi BAL yaitu 106 cfu/ml dan 108 cfu/ml. Pada uji eksklusi dan displacement ada empat perlakuan yaitu potongan usus yang dipaparkan pada BAL saja, potongan usus yang dipaparkan pada EPEC saja, potongan usus yang dipaparkan pada BAL kemudian pada EPEC, dan potongan usus yang dipaparkan pada EPEC kemudian pada BAL. Pengamatan BAL yang menempel pada permukaan usus dilakukan dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope).

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan usus tikus lebih baik daripada mukus broiler sebagai model penempelan BAL. Mukus broiler tidak memberikan hasil yang baik karena lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus dan juga lama waktu pelepasan mukus yang menempel pada dinding tabung ependorf tidak memberikan pengaruh yang nyata. Selain itu, penempelan BAL relatif sama baik pada mukus maupun pada dinding tabung ependorf. Sementara itu, hasil penelitian penempelan BAL pada permukaan usus tikus menunjukkan adanya kenaikan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus setelah dipapar BAL yang mengindikasikan terjadinya penempelan BAL pada permukaan usus tikus.

Hasil uji hidrofobisitas menunjukkan bahwa semua bakteri yang diuji bersifat hidrofilik karena afinitasnya yang rendah terhadap xylene. Pengamatan autoagregasi secara visual menunjukkan bahwa menunjukkan autoagregasi dari sembilan BAL yang diuji relatif rendah karena zona bening yang terbentuk sedikit. Hal ini didukung oleh hasi uji kuantitatif yang menghasilkan nilai autoagregasi pada semua kultur BAL yang diuji antara 4.13% - 39.10%. Kemampuan agregasi tertinggi dimiliki oleh R23 (39.10%) kemudian diikuti oleh B13, B16, B10, R14, dan A15. Autogregasi terendah dimiliki oleh A29 dan R26. Sifat autoagregasi BAL yang diuji relatif rendah karena sifatnya yang hidrofilik. Pada uji penempelan BAL pada sel epitel usus tikus terlihat adanya penempelan yang pada A27, B16, dan R23. Sedangkan isolat BAL A15, A29, B10, B13, R14, dan R26 tidak menunjukkan adanya penempelan. Isolat R23 yang memiliki autoagregasi paling tinggi mampu menempel dengan baik pada sel epitel usus. Pengujian penempelan BAL pada permukaan usus tikus menunjukkan adanya peningkatan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus. Kenaikan jumlah BAL ini antara 0.1 cfu/cm2 – 0.9 cfu/cm2. BAL yang memiliki potensi penempelan yang paling baik adalah A27 kemudian diikuti oleh B16, R14, dan R23. Paparan BAL asal ASI juga mampu menurunkan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus, kecuali pada B10. Penurunan total E. coli ini mengindikasikan adanya kompetisi antara BAL dengan E. coli indigenus pada permukaan usus tikus.

Hasil uji kompetisi menunjukkan BAL yang diuji mampu berkompetisi dengan EPEC. Penambahan jumlah inokulum BAL dari 106 cfu/ml menjadi 108 cfu/ml mampu meningkatkan penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Kenaikan jumlah BAL yang menempel yang tetap tinggi pada potongan usus yang dipapar pada campuran BAL dan EPEC, uji eksklusi, dan uji displacement


(6)

 

menunjukkan bahwa keempat BAL yang diuji mampu menempel dengan baik walaupun ada EPEC. BAL yang diuji mampu bertahan pada permukaan usus tikus tetapi tidak mampu menggantikan EPEC yang menempel pada permukaan usus tikus. Hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan adhesin BAL dan EPEC serta masih adanya tempat untuk menempel pada permukaan usus. Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan pada permukaan usus yang dipapar dengan BAL R14, R23, B16, dan A27 terlihat adanya bakteri yang berbentuk batang yang diindikasikan sebagai BAL yang dipaparkan. Jumlah bakteri berbentuk batang pada R23 dan A27 lebih banyak daripada R14 dan B16.


(7)

 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

 

STUDI PENEMPELAN BAKTERI ASAM LAKTAT

ASAL AIR SUSU IBU (ASI)

DHENOK ANGGRAENI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

 


(10)

 

Judul Tesis : Studi Sifat Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu Nama : Dhenok Anggraeni

NRP : F251070201 Program Studi : Ilmu Pangan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan

 

Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

   


(11)

 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dan penyusunan karya tulis ini dapat terlaksana karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu di rumah atas segala doa dan kerja keras yang tiada henti demi keberhasilan studi penulis

2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku ketua komisi pembimbing atas segala waktu, pikiran, dan saran yang diberikan selama proses pembimbingan

3. Dr. Ir. Ratih Dewanti, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas segala waktu, pikiran, dan saran yang telah diberikan

4. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSc atas kesediannya sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis

5. SEAFAST Center IPB atas segala bantuan dana penelitian dan fasilitas yang diberikan selama penelitian

6. Dr. dr. Sri Budiarti dari Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, atas kesediaan untuk memberikan koleksinya berupa isolat E. coli Enteropatogenik K11 (EPEC K11) sebagai bakteri uji pada penelitian ini

7. Niken, Tinuk, Inke, dan seluruh keluarga atas doa dan semangat yang diberikan diberikan selama ini

8. Hana, Lilin, Sofah, Yeris, Mbak Ari, dan semua staf PAU dan SEAFAST CENTER atas masukan dan bantuan yang diberikan

9. Teman-teman IPN 2007, seluruh dosen dan staf Program Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

10. Teman-teman kos Ramadhan dan Humairoh atas segala canda tawa yang diberikan sehingga penulis dapat bangkit dari segala keputus asaan


(12)

 

11. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuan sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Mei 2010


(13)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 20 Desember 1983 dari ayah Budiono dan ibu Kemisah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai masa belajar di SDN Bandungrejo II, kemudian di SLTPN 1 Kutoarjo, dan SMU 1 Purworejo. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007-2008, penulis bekerja di SEAFAST CENTER IPB sebagai asisten riset. Dan pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB.  Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis menyelesaikan tesisnya dengan judul Studi Sifat Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu.


(14)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. ... P ENDAHULUAN ... 1

A. ... L ATAR BELAKANG ... 1

B. ... P ERUMUSAN MASALAH ... 3

C. ... T UJUAN PENELITIAN ... 4

D. ... M ANFAAT PENELITIAN ... 5

II. ... TI NJAUAN PUSTAKA ... 6

A. ... M IKROBIOTA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA ... 6

B. ... P ROBIOTIK ... 11

C. ... B AKTERI ASAM LAKTAT PADA AIR SUSU IBU ... 24

D. ... E PEC (Enteropathogenic Escherichia coli) ... 27

III. ... M ETODE PENELITIAN ... 30

A. ... T EMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 30


(15)

 

B. ... B

AHAN DAN PERALATAN ... 30

C. METODE PENELITIAN ... 30

1. Evaluasi Metode Pengujian Sifat Penempelan BAL pada Mukus Broiler dan Usus Ayam ... 31

2. Pengujian Sifat Penempelan BAL ... 34

3. Kompetisi Penempelan BAL dan EPEC ... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

A. E VALUASI METODE PENGUJIAN SIFAT PENEMPELAN BAL PADA MUKUS BROILER DAN USUS AYAM... 39

1. Penempelan BAL pada Mukus Broiler ... 39

2. Penempelan BAL pada Permukaan Usus Tikus ... 42

B. ... P ENGUJIAN SIFAT PENEMPELAN BAL ... 46

1. ... Uj i Hidrofobisitas ... 46

2. ... Uj i Autoagregasi ... 47

3. ... Pe nempelan BAL pada Sel Epitel Usus Tikus ... 50

4. ... Pe ngaruh Paparan BAL Asal ASI Terhadap Jumlah Total BAL dan Total E. coli pada Permukaan Usus Tikus ... 52

C. ... K OMPETISI PENEMPELAN BAL DAN EPEC ... 54

1. ... K ompetisi Penempelan BAL dan EPEC pada Permukaan Usus Tikus ... 54 2. ... Pe


(16)

 

Usus Tikus terhadap Kemampuan Penempelannya dan Kemampuan Kompetisinya dengan EPEC ... 57 3. ... Uj

i Eksklusi dan Displacement ... 60 4. ... Pe

ngamatan Penempelan BAL pada Permukaan Usus Tikus

Menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) ... 62 V... K

ESIMPULAN DAN SARAN ... 64 1. ... K

ESIMPULAN ... 64 2. ... S

ARAN ... 65 DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN ... 73


(17)

 

Taebl 1. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri pada usus manusia dan tikus (dalam log cfu/ml isi usus) ... 24


(18)

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Contoh bakteri asam laktat dari air susu ibu ... 27

Gambar 2. Diagram alir tahapan penelitian sifat penempelan BAL asal ASI ... 31

Gambar 3. Usus tikus yang digunakan dalam uji paparan BAL terhadap mikrobiota permukaan usus tikus ... 33

Gambar 4. Pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL yang menempel setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 60 menit (A), 90 menit (B), dan 120 menit (C) ... 40

Gambar 5. Pengaruh lama inkubasi pada lapisan mukus terhadap persentase penempelan dengan waktu ekstraksi 90 menit (A),120 menit (B), dan 150 menit (C) ... 41

Gambar 6. Pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan terhadap persentase penempelan BAL A29 dan A15 ... 42

Gambar 7. Konsentrasi bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon ... 44

Gambar 8. Pengaruh waktu paparan BAL terhadap jumlah BAL permukaan usus tikus ... 45

Gambar 9. Afinitas BAL terhadap kloroform, etil asetat, dan xylene ... 47

Gambar 10. Pembentukan zona bening yang menunjukkan autoagregasi pada BAL setelah inkubasi selama 24 jam ... 48

Gambar 11. Persentase autoagregasi BAL asal ASI ... 49

Gambar 12. Penempelan BAL pada sel epitel usus tikus ... 51

Gambar 13. Sel epitel usus babi ... 51

Gambar 14. Pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL (A) dan total E. coli (B) pada usus tikus ... 53

Gambar 15. Pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada usus tikus ... 55

Gambar 16. Pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus ... 58


(19)

 

Gambar 17. Pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus ... 59 Gambar 18. Pengaruh paparan B16 terhadap perubahan jumlah total BAL dan

E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement ... 60 Gambar 19. Pengaruh paparan R23 terhadap perubahan jumlah total BAL dan

E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement ... 61 Gambar 20. Hasil pengamatan penempelan BAL pada permukaan usus


(20)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 60 menit ... 73 Lampiran 2. Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan

BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 90 menit ... 73 Lampiran 3. Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan

BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 120 menit ... 73 Lampiran 4. Penghitungan pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan

terhadap persentase penempelan BAL A29 dan A15...74 Lampiran 5. Penghitungan pengaruh konsentrasi mukus broiler pada

penempelan A15...74 Lampiran 6. Penghitungan jumlah total bakteri pada permukaan di sepanjang

usus halus, sekum, dan kolon...75 Lampiran 7. Penghitungan jumlah total BAL pada permukaan di sepanjang

usus halus, sekum, dan kolon...75 Lampiran 8. Penghitungan jumlah total E. coli pada permukaan di sepanjang

usus halus, sekum, dan kolon...76 Lampiran 9. Hasil analisis ragam jumlah total bakteri pada permukaan di

sepanjang usus halus, sekum, dan kolon...76 Lampiran 10. Hasil penghitungan pengaruh waktu paparan terhadap jumlah

BAL pada permukaan usus tikus...77 Lampiran 11. Hasil analisis ragam pengaruh waktu paparan terhadap jumlah

BAL pada permukaan usus tikus...77 Lampiran 12. Hasil analisis ragam hidrofobisitas BAL...78 Lampiran 13. Hasil analisis ragam kemampuan autoagregasi BAL...79 Lampiran 14. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...80 Lampiran 15. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...81 Lampiran 16. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap


(21)

 

Lampiran 17. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...83 Lampiran 18. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...84 Lampiran 19. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI dan

kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...85 Lampiran 20. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi

antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...86 Lampiran 21. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI dan

kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...87 Lampiran 22. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...88 Lampiran 23. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum B16 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...89 Lampiran 24. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...90 Lampiran 25. Hasil analisis ragam uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...91 Lampiran 26. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum R23 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...92 Lampiran 27. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...93


(22)

 

Lampiran 28. Hasil penghitungan pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...94 Lampiran 29. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus...95 Lampiran 30. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total total BAL pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement...96 Lampiran 31. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total total BAL pada uji eksklusi dan

displacement...97 Lampiran 32. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement...98 Lampiran 33. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total E.coli pada uji eksklusi dan

displacement...99  


(23)

 

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat menguntungkan kesehatan inangnya (FAO/WHO 2002). Produk probiotik dapat berupa bakteri kering beku¸ tablet¸ kapsul¸ serta produk fermentasi susu seperti yoghurt dan susu manis acidophillus (Salminen et al. 2004). Jumlah sel mikroba hidup yang harus terdapat pada produk probiotik masih menjadi perdebatan, tetapi umumnya sebesar 106-108 cfu/ml (Tannock 1999).

Probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, Gram negatif, khamir atau kapang. Namun, mikroba-mikroba yang umum digunakan dalam pembuatan minuman dan makanan probiotik terutama berasal dari kelompok bakteri asam laktat (BAL). BAL sering digunakan sebagai probiotik karena kebanyakan galurnya tidak patogen. Selain itu, kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik (Rolfe 2000). Probiotik didominasi oleh Lactobacillus dan Bifidobacterium. Kedua genus tersebut tersebut dianggap aman karena telah digunakan sebagai starter dalam industri susu sejak beberapa abad yang lalu dan telah memperoleh status GRAS (GenerallyRecognized as Safe) (O’Sullivan 2006).

Usaha pencarian bakteri probiotik dilakukan dengan melakukan isolasi dari berbagai sumber yang meliputi makanan fermentasi, hewan, manusia, ataupun dari koleksi kultur yang sudah ada (O’Sullivan 2006). Prinsip seleksi bakteri probiotik meliputi aspek keamanan, fungsional, dan teknologi. Aspek keamanan mencakup asal bakteri, sifat resistensi antibiotiknya, dan sifat dekonjugasi garam empedu. Bakteri yang dianggap aman harus berasal dari manusia (human origin), tidak resisten terhadap antibiotik, dan tidak mendekonjugasi garam empedu (Saarela et al. 2000).

Aspek fungsional dalam seleksi bakteri probiotik meliputi ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu, kemampuan menempel pada sel epitel saluran pencernaan, mampu menstimulasi sistem imun, mampu melawan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella, dan Helicobacter pylori,


(24)

 

serta bersifat antimutagenik dan antikarsinogenik. Sedangkan aspek teknologi yang harus dipenuhi meliputi viabilitas selama proses, stabilitas selama proses dan penyimpanan, serta memiliki sifat sensori yang baik (Saarela et al. 2000).

Isolat manusia biasanya diperoleh dari feses dan air susu ibu (ASI). Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi beberapa galur Lactobacillus yang berpotensi sebagai probiotik dari sampel feses manusia, antara lain L. casei, Lactobacillus paracasei, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus zeae, L. gasseri L. crispatus, dan L. johnsonii (Morelli 2000). Evanikastri (2003) juga telah berhasil mengisolasi 17 isolat BAL dari feses bayi. ASI merupakan sumber isolat probiotik karena mengandung glikoprotein dan faktor bifidogenik berupa N-acetylglucosamine yang dapat menunjang pertumbuhan BAL, khususnya Bifidobakteria (Salminen et al. 2004). Bifidobacterium ditemukan pertama kali pada tahun 1889 oleh Tissier sebagai bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang meminum ASI (Holzapfel 2006). Kelebihan lain yang dimiliki probiotik dari ASI adalah penerimaan konsumen yang lebih baik daripada probiotik yang berasal dari sumber lain (hewan, feses) (Morelli 2000).

Potensi dan keunggulan ASI tersebut dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan isolasi bakteri probiotik. Nuraida et al. (2008) telah mengisolasi 87 isolat bakteri asam laktat (BAL) dari sampel ASI yang berasal dari 31 ibu yang baru melahirkan. Untuk mendapatkan status sebagai probiotik, isolat-isolat tersebut harus diuji sesuai dengan standar WHO.

Dalam pedoman pengujian sifat probiotik yang diterbitkan oleh FAO/WHO (2002) terdapat beberapa tahapan untuk menentukan sifat probiotik yaitu identifikasi galur dan spesies organisme, karakterisasi sifat probiotik melalui uji in vitro, kajian keamanan, serta studi in vivo menggunakan subjek hewan dan manusia. Uji in vitro merupakan tahapan yang bertujuan untuk mendapatkan landasan ilmiah yang kuat atas keseluruhan proses seleksi bakteri probiotik. Aspek pengujian in vitro yang harus dipenuhi adalah uji ketahanan terhadap asam lambung, ketahanan terhadap garam empedu, penempelan terhadap mukus dan atau sel epitel manusia (termasuk galur sel khusus misalnya Caco-2), aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen potensial, kemampuan untuk mengurangi penempelan patogen pada permukaan, serta aktivitas hidrolase garam empedu.


(25)

 

Uji ketahanan terhadap asam dan garam empedu berfungsi untuk menyeleksi apakah isolat bakteri dapat melewati paparan asam dan garam empedu untuk mencapai lokasi target yang diinginkan yaitu usus. Selanjutnya bakteri tersebut harus dapat menempel dan mengkolonisasi dinding usus inang untuk mencapai efek terapi biologis yang diinginkan.

Tidak semua isolat ASI yang tahan terhadap asam juga tahan terhadap garam empedu. Karena bakteri probiotik sedianya memiliki ketahanan terhadap asam dan garam empedu, maka isolat bakteri asam laktat yang dipilih untuk diikutsertakan dalam studi penempelan secara in vitro ini adalah isolat-isolat yang memperlihatkan ketahanan yang baik terhadap kedua barrier tersebut. Isolat BAL yang dipilih adalah isolat yang total penurunan jumlah selnya akibat asam (pH 2) dan penurunan jumlah selnya akibat garam empedu (oxgall 0.5%) kurang dari 3 log cfu/ml. Isolat ASI yang memenuhi kriteria tersebut berjumlah 10 isolat, yaitu isolat L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16.

Sepuluh isolat tersebut mampu bertahan dengan baik pada pH rendah (pH 2) dengan penurunan kurang dari 1 unit log. Isolat L. rhamnosus R26, B10 dan B16 mempunyai ketahanan yang baik pada garam empedu dengan penurunan sebesar 0-1 unit log. Sedangkan isolat A15, A27, A29, R14, R21, R23, dan B13 mengalami penurunan sebesar 1-2.5 unit log sehingga bersifat agak tahan terhadap garam empedu. Uji penghambatan terhadap E. coli menunjukkan bahwa isolat A15, B10 dan B16 memiliki aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap E. coli. Aktivitas penghambatan tertinggi terhadap Salmonella typhimurium dimiliki oleh isolat A15. Sedangkan isolat A16 memiliki aktivitas penghambatan yang paling kuat terhadap Staphylococcus aureus (Nuraida et al. 2008).

B. PERUMUSAN MASALAH

Sebanyak 87 isolat BAL yang berasal dari ASI telah diuji ketahanannya terhadap asam, garam empedu, dan aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen potensial. Dari ketiga jenis uji tersebut diperoleh sepuluh spesies BAL yang berpotensi sebagai probiotik yaitu L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L.


(26)

 

rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16. Untuk memenuhi standar pengujian probiotik secara in vitro dari FAO/WHO (2002) maka pada penelitian ini dilakukan uji penempelan pada mukus dan sel epitel serta kemampuannya untuk mengurangi penempelan patogen pada permukaan. Sedangkan uji ketahanan terhadap spermisida tidak dilakukan karena tidak ditujukan untuk aplikasi pada saluran reproduksi.

Metode yang paling mendekati untuk mempelajari penempelan BAL adalah menggunakan potongan usus manusia. Tetapi metode ini sangat sulit diaplikasikan karena terbatasnya sampel, memerlukan penanganan yang cepat, dan masih dipertanyakan keetisannya. Oleh karena itu berkembang penggunaan kultur sel (Caco-2, HT-29, dan HT-29 MTX) dan juga hewan percobaan (Matijasic et al. 2003). FAO/WHO (2002) telah mensyaratkan penggunaan mukus dan atau sel epitel dari manusia dan juga kultur sel sebagai media uji penempelan BAL. Akan tetapi penggunaan kultur sel memerlukan peralatan laboratorium, media, kemampuan peneliti yang sangat baik, dan juga biaya yang tinggi (Schmid et al. 2006). Oleh karena itu, pada penelitian ini uji penempelan BAL dilakukan pada mukus broiler, sel epitel usus tikus, dan pada permukaan usus tikus dengan bakteri EPEC K11 (Escherichia coli K11) sebagai model patogenik. Nitisinprasert et al. (2006) berhasil menggunakan mukus broiler sebagai media penempelan BAL. Fuller (1975) dan Fuller (1978) menggunakan sel epitel usus ayam sedangkan Wadstrom et al. (1987) menggunakan sel epitel usus babi sebagai model penempelan BAL. Pada penelitian ini, usus tikus diharapkan dapat menjadi alternatif dalam studi penempelan BAL.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat penempelan BAL. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat autoagregasi, sifat hidrofobitas, dan kemampuan kompetisi penempelan antara BAL dan EPEC pada permukaan usus tikus.


(27)

 

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah untuk tersedianya isolat BAL indigenus yang memenuhi persyaratan WHO sebagai bakteri probiotik.


(28)

 

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. MIKROBIOTA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA

Saluran pencernaan manusia dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar yang panjangnya dapat mencapai 16 kaki (Groff & Groper 2000). Mikrobiota di dalam saluran pencernaan manusia jumlahnya mencapai lebih dari 1014 mikroorganisme dengan sekitar 1000 spesies. Akan tetapi hanya sekitar 30−40% dari seluruh spesies yang mendominasi 95% populasi (Ray & Bhunia 2008).

Sedangkan di dalam usus manusia terdapat sekitar 100 spesies yang disebut dengan mikrobiota usus. Berat keseluruhan bakteri-bakteri tersebut dapat mencapai 1−1,5 kg atau 1/50 sampai 1/60 berat tubuh orang dewasa. Mikrobiota usus dapat tumbuh pada kondisi anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tertentu dari sistem pencernaan manusia (Yughuci et al. 1992). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi bagi epitel usus, dan perlindungan atas inang terhadap serangan bakteri merugikan (Harish & Varghese 2006).

Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri atas 3 jenis yaitu mikrobiota, mucosal barrier, dan sistem imun lokal (Bourlioux et al. 2002). Pada dasarnya usus terdiri atas usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang duodenum kurang lebih 0.3 m, sedangkan panjang jejunum dan ileum sekitar 2.7 m. Pada duodenum terjadi sekresi dari hati, empedu, dan pankreas. Usus halus merupakan tempat utama proses pencernaan dan penyerapan zat gizi (Groff & Groper 2000).

Manusia mulai memiliki mikrobiota pada saluran pencernaan sejak dilahirkan dari kandungan. Janin hidup dan tumbuh dalam kondisi steril dalam kandungan. Janin akan terekspos oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroba kulit ibunya, dan lingkungan setelah dilahirkan (Brassart & Schiffrin 2000). Selain itu, mikrobiota pada saluran percernaan juga terbentuk dari


(29)

 

makanan yang masuk. Saliva merupakan sumber utama masuknya bakteri ke dalam lambung. Bakteri tersebut berasal dari gigi, gusi, jaringan mulut, bersama dengan makanan dan objek lain, yang meliputi Streptococci, Veiilonella, Fusobacteria, Lactobacilli, Bacteroides, Bifidobacteria, Staphylococci, dan khamir (Mitsuoka di dalam Wood 1999).

Saliva membawa bakteri-bakteri tersebut masuk ke dalam lambung. Kondisi pH lambung pada saat istirahat di bawah 3 sehingga tidak ada bakteri yang tumbuh. Akan tetapi pada saat makanan masuk akan terjadi kenaikan pH lambung yang memungkinkan terjadinya proliferasi bakteri (Rowland 1988). Jumlah bakteri yang ada di dalam lambung kurang dari 103/ml isi lambung (Mitsuoka di dalam Wood 1999). Bakteri Gram positif fakultatif seperti Lactobacilli dan Streptokoki paling umum ditemukan di dalam isi lambung. Jumlah bakteri yang diisolasi antara 101−102/ml isi lambung (Fuller 1992).

Kemudian selama proses pencernaan, isi lambung masuk ke dalam usus halus bersama dengan hasil sekresi dari pankreas dan empedu yang meliputi bikarbonat (untuk menetralisir asam lambung), empedu (untuk emulsifikasi lemak), dan enzim pencernaan lainnya seperti proteinase, lipase, dan sakaridase (Rowland 1988). Bakteri-bakteri yang mampu bertahan dari asam lambung dan garam empedu kemudian akan berkembang dengan pesat pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu transit di kolon yang lama (54−56 jam) memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu, di kolon terdapat nutrisi yang berasal dari sisa makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), serta metabolit bakteri yang dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002).

Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan manusia normal adalah Lactobacillus, Enterococcus, Bacteriodes, Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora. Pada bagian jejunum kelima kelompok tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102−103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian ileum mulai terjadi pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar


(30)

 

102 cfu/g (kelompok Gram positif) sampai 105 cfu/g (Lactobacillus dan Enterococcus) (Salminen & Wright 1998).

Beberapa jenis BAL yang mendominasi lambung dan usus adalah Lactococcus, Lactobacillus spp., Leuconostoc dan Bifidobacterium (Lambert & Hull 1996). Jumlah Lactobacillus spp. di dalam lambung adalah 101−103 cfu/ml. Jumlah Lactobacillus spp. terus meningkat setelah mencapai duodenum (102−104 cfu/ml) dan sampai di jejunum dan ileum sekitar 104−106 cfu/ml. Jumlah BAL di dalam kolon bervariasi mulai dari 105−1010 cfu/ml dan didominasi oleh Bifidobacterium spp. (Holzapfel 2006).

Sisa makanan yang tidak diserap oleh usus halus kemudian menuju ke usus besar atau kolon. Kolon merupakan ekosistem yang sarat dengan kolonisasi mikrobiota yang dapat mencapai 50 genera bakteri sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000). Jumlah di dalam kolon dapat mencapai 106−107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides. Sedangkan jumlah bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides (109 cfu/g) (Salminen & Wright 1998).

Mikrobiota usus dibagi menjadi bakteri indigenus (autochtonous) dan transient (allochtonous). Bakteri indigenus mampu menempel pada sel usus, sedangkan tipe transient hanya melewati usus saja atau ada yang mampu mengkolonisasi sementara (temporer) pada tempat dimana bakteri bakteri indigenus spesifik telah menghilang karena faktor-faktor lingkungan (misal antibiotik). Di antara mikrobiota indigenus, beberapa spesies Lactobacillus pada jejunum dan ileum dan Bifidobacterium pada usus besar dipercaya memiliki efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan manusia (Ray & Bhunia 2008).

Menurut Fuller (1992), mikrobiota indigenus adalah campuran yang kompleks dari populasi bakteri yang mengkolonisasi pada satu daerah tertentu dan tidak dipengaruhi oleh intervensi medis atau eksperimental atau penyakit. Saluran pencernaan bukan merupakan habitat yang homogen bagi bakteri indigenus karena perbedaan komposisi pada masing-masing bagian.


(31)

 

Pada dasarnya ada 4 mikrohabitat pada saluran pencernaan yaitu:

1. Permukaan sel epitel; penempelan bakteri pada sel epitel biasanya dibantu oleh organel khusus seperti fimbriae

2. Lumen pada usus;

3. Lapisan dalam gel mukus pada crypt ileum, sekum, dan kolon; organisme yang menempel biasanya motil dan berbentuk spiral misalnya Borriella dan Treponema dengan kemampuan menembus media viskous seperti gel mukus 4. Gel mukus yang melapisi epitelium sepanjang saluran pencernaan

Menurut Deplancke dan Gaskin (2001), epitelium pada saluran pencernaan dilapisi oleh pelindung berupa gel mukus yang dominan tersusun dari glikoprotein mucin yang disintesis oleh sel goblet. Lapisan gel mukus merupakan struktur integral pada usus yang berfungsi untuk proteksi, lubrikasi, dan transport antara luminal contents dan epitelial lining. Lapisan ini merupakan tempat pertama perlawanan inang terhadap bakteri yang masuk ke saluran pencernaan.

Bahan penyusun mukus adalah glikoprotein yang disebut mucin. N-acetylglucosamine, N-acetylgalactosamine, fucose, and galactose adalah 4 oligosakarida utama penyusun mucin. Rantai oligosakarida mucin biasanya diakhiri oleh sialic acid atau gugus sulfat yang bertanggung jawab pada sifat polianionik pada pH netral. Mucin diklasifikasikan ke dalam subtipe netral dan asam. Mucin netral dominan pada mukosa lambung sedangkan mucin asam terdapat pada epitelium usus halus dan dominan pada usus besar (Deplancke & Gaskin 2001).

Ketebalan gel mukus berbeda-beda di sepanjang usus. Di dalam perut lapisan mukus dapat mencapai 450 µm, pada kolon ketebalan mukus meningkat secara bertahap mulai dari bagian naik usus besar dan mencapai 285 µm pada rektum. Sementara itu, usus halus dilapisi mukus tipis yang diskontinyu (Deplancke & Gaskin 2001).

Keberadaan mukus menguntungkan bagi bakteri dalam usus terutama untuk kolonisasi karena menyediakan nutrisi yang cukup bagi bakteri. Oligosakarida mucin merupakan sumber karbohidrat dan peptida, dan nutrisi eksogenik termasuk vitamin dan mineral juga terdapat dalam matriks mukus. Bakteri yang mampu mengkolonisasi mukus dapat menghindari pelepasan via


(32)

 

sifat hidrokinetik usus. Hal ini berlaku pada bakteri komensal dan bakteri patogen (Deplancke & Gaskin 2001).

Penempelan bakteri pada mukus sangat penting untuk kolonisasi sementara dan merupakan syarat bagi probiotik untuk dapat mengontrol keseimbangan mikrobiota usus. Lapisan mukosa pada usus berfungsi untuk melindungi dari mikroorganisme tertentu tetapi sekaligus juga menyediakan tempat penempelan, sumber nutrisi, dan matriks sebagai tempat proliferasi bakteri. Mukus memiliki reseptor yang mirip dengan reseptor pada sel epitel di mana bakteri dapat menempel. Mukus terus-menerus dikeluarkan ke dalam lumen dan segera diganti oleh mukus baru yang dikeluarkan oleh sel goblet. Hal ini yang menyebabkan kolonisasi pada mukus hanya bersifat sementara (Juntunen et al. 2001).

Peranan mikrobiota usus dapat dibagi dua yaitu yang aktivitasnya menguntungkan dan merugikan. Bifidobacteria, Lactobacillus spp. dan Eubacteria hanya memiliki aktivitas menguntungkan sedangkan Clostridium perfringens, Veillonella spp., dan Proteus spp. hanya memiliki efek merugikan. Beberapa bakteri usus memiliki sifat menguntungkan maupun merugikan. Contohnya adalah Bacteroides, Streptococcus spp., Escherichia coli, serta Enterococcus (Yughuchi et al. 1992).

Bakteri yang merugikan dalam usus dapat menghasilkan senyawa-senyawa karsinogen, toksin, NH3, H2S, amin, serta fenol. Berbagai pengaruh

buruk yang dapat ditimbulkannya adalah penyakit-penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan kekebalan, kanker, hipertensi, dan sebagainya (Yughuchi et al. 1992).

Sedangkan bakteri asam laktat sebagai salah satu mikrobiota normal manusia mempunyai peran yang menguntungkan bagi kesehatan manusia yaitu untuk mencegah infeksi usus yang diakibatkan oleh bakteri enterik patogen dan infeksi pada saluran urogenital, mencegah intoleransi laktosa dan pertumbuhan kanker/tumor usus, dan untuk menstimulasi sistem imun dan gerakan usus (Yuguchi et al. 1992).

Keseimbangan mikrobiota usus sangat dipengaruhi oleh interaksi mikroba yang ada di dalamnya dengan cara membentuk ekosistem dengan inangnya.


(33)

 

Komponen ekosistem yang ada pada usus meliputi (1) komponen biotik; yaitu mikroba indigenus dan transient, serta sel epitelium gastrointestinal yang membatasi biotop, (b) komponen abiotik; yaitu jenis diet, dan (3) komponen indigenus; meliputi saliva, sekresi atau ekskresi lambung, pankreas, hati, dan usus, termasuk enzim, hormon, mukus, garam empedu, urea, immunoglobulin, peptida, dan komponen lain. Semua komponen tersebut berinteraksi untuk menjaga kesehatan inang. Jika keseimbangan terganggu maka ekosistem menjadi tidak stabil (Raibaud di dalam Fuller 1992).

Pada manusia dewasa yang sehat, mikrobiota usus berada dalam keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Komposisi mikrobiota usus berubah seiring meningkatnnya umur seseorang. Pada bayi, Bifidobacterium spp. merupakan bakteri yang paling dominan. Pada saat bayi disapih, beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroidaceae, Eubacterium, dan Peptococcaceae mulai tampak dan akhirnya menjadi dominan. Bifidobacterium spp. akan semakin menurun jumlahnya sedangkan Clostridium perfringens, Escherichia coli, Streptococcus spp., serta Lactobacillus semakin meningkat jumlahnya (Mizutani 1992).

B. PROBIOTIK

Probiotik adalah makanan atau minuman yang mengandung mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan bagi yang mengkonsumsinya dengan cara meningkatkan keseimbangan mukosa usus (Oewehand et al. 1999). Beberapa manfaat konsumsi bakteri probiotik bagi kesehatan manusia menurut Schmid et al. (2006) adalah:

1. Konsumsi probiotik tertentu diketahui dapat mencegah dan meringankan diare khususnya yang disebabkan oleh rotavirus atau akibat konsumsi antibiotik. 2. Stimulasi sistem imun; beberapa studi menunjukan bahwa bakteri probiotik

dapat meningkatkan imunitas bawaan (innate immunity) maupun imunitas adaptatif (acquired immunity) dengan meningkatkan fagositosis dan aktivitas sel pembunuh alami (natural killer cell), mengubah profil sitokinin, dan meningkatkan jumlah immunoglobulin.


(34)

 

3. Penyakit radang usus (Inflamatory bowel disease-IBD); terdapat bukti yang menunjukan bahwa probiotik memiliki potensi terapi bagi penderita IBD. Studi klinis menunjukan bahwa probiotik efektif untuk meringankan infeksi pada bagian usus, seperti ulcerative colitis dan Chron’s disease.

4. Sindrom iritasi usus (Irritable bowel syndrome-IBS); hasil yang bervariasi didapatkan dari percobaan mengenai efek probiotik terhadap penyakit ini, meskipun demikian kemungkinan besar di masa depan probiotik dapat dikembangkan lebih sebagai agen pencegahan, bukan untuk penyembuhan. 5. Intoleransi laktosa; kultur bakteri (kultur yoghurt maupun kultur probiotik)

diketahui dapat meningkatkan daya cerna laktosa. Penderita intoleransi laktosa kesulitan mencerna laktosa karena konsentrasi enzim β–galaktosidase (enzim pemecah laktosa) dalam sistem pencernaannya terlalu rendah. Kultur bakteri yogurt atau kultur probiotik mampu melepaskan β-galaktosidase pada usus halus sehingga mendukung pencernaan laktosa.

6. Alergi; bakteri asam laktat tertentu disamping dapat memberi efek stimulasi imun diketahui juga dapat menurunkan respon immuninflamatory pada penderita yang hipersensitif terhadap susu. Probiotik juga telah diketahui memiliki manfaat yang baik dalam mencegah atopic eczema pada bayi.

7. Kanker; beberapa kajian mengindikasikan angka kejadian kanker kolorektal yang lebih rendah dengan konsumsi produk fermentasi susu yang mengandung lactobacilli atau bifidobakteria meskipun secara tidak langsung. Sebuah studi di Jepang juga menunjukan bahwa kebiasaan mengkonsumsi bakteri asam laktat dapat menurunkan resiko kanker kandung kemih.

8. Infeksi saluran pernapasan; terdapat sedikit penurunan kejadian infeksi saluran pernapasan dan pemberian antibiotik pada kelompok anak yang mengkonsumsi susu yang mengandung L. rhamnosus GG selama tujuh minggu. Meskipun demikian masih perlu dukungan data yang lebih kuat untuk memastikan potensi probiotik melawan/mencegah infeksi saluran pernapasan. 9. Mengurangi tingkat keparahan konstipasi, memperbaiki frekuensi pergerakan

usus dan konsistensi feses.

10. Infeksi saluran urogenital; konsumsi susu fermentasi yang mengandung bakteri probiotik menunjukan penurunan resiko infeksi saluran kencing


(35)

 

berulang (recurrence) pada sebuah studi yang melibatkan kelompok penderita infeksi saluran kencing akut dan kelompok kontrol.

11. Infeksi Helicobacter pylori; kolonisasi mukosa lambung oleh Helicobacter pylori diketahui berhubungan dengan radang lambung, infeksi lambung (gastric ulcer), karsinoma lambung, dan tumor jaringan limfe (limfoma). Studi terhadap manusia telah mengkonfirmasi kemampuan beberapa galur probiotik untuk menghambat Helicobacter pylori.

12. Tingkat kolesterol; Meskipun belum menunjukan hasil yang meyakinkan, beberapa studi memperlihatkan adanya efek penurunan kolesterol LDL atas konsumsi probiotik.

Menurut Salminen et al. (2004) beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh probiotik adalah (1) bersifat nonpatogenik mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, aktif dalam kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi pada usus halus, (2) mampu tumbuh, melakukan metabolisme dengan cepat dan terdapat jumlah yang tinggi dalam usus, (3) mampu melakukan kolonisasi pada beberapa bagian saluran usus untuk sementara, (4) memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan, (5) mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan mampu hidup selama kondisi penyimpanan.

Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung yang sangat rendah (sekitar 2.5) (Jacobsen et al. 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2008) menunjukkan bahwa sepuluh isolat yang akan digunakan dalam penelitian ini (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16) memiliki ketahanan terhadap asam yang baik dengan penurunan kurang dari 1 unit log pada pH 2.5.

Isolat BAL dari dadih yang berhasil diisolasi oleh Elida (2002) (Lactobacillus bervis ae4, Stertococcus lactis subsp. Diacetylactis abk1, Leuconosyoc mesenteroides abk1, dan Leuconostoc paramesenteroides dk7) memiliki ketahanan terhadap asam antara 70-90% dengan penurunan sebesar 1


(36)

 

log dari jumlah awal 108 cfu/ml. Sedangkan isolat BAL dari tempoyak mempunyai ketahanan yang lebih rendah yaitu sebesar 40% pada pH 2.5 (Wirawati 2002).

Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi. Dari 17 isolat ternyata terdapat 13 yang mengalami penurunan jumlah koloni kurang dari 1 unit log/ml (paling resisten), sedangkan 4 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah koloni antara 1.5−3.5 unit log/ml (resisten). Selain itu, BAL yang terdapat pada yogurt-yogurt tradisional ternyata tidak mampu bertahan hidup hingga usus halus. Menurut Hull et al. (1992), bakteri-bakteri yang bukan berasal dari saluran pencernaan lebih sensitif terhadap pH lambung, garam empedu, lisozim, dan senyawa antimikroba. Bakteri-bakteri ini digunakan secara luas pada produk fermentasi susu.

Jacobsen et al. (1999) menguji ketahanan 47 isolat BAL dari berbagai sumber pada pH 2.5. Dari 47 isolat tersebut hanya 29 isolat yang mampu bertahan pada pH 2.5 dan tidak ada satupun yang mampu tumbuh setelah inkubasi 4 jam. Sedangkan hasil penelitian Zavaglia et al. (1998) menunjukkan bahwa 11 dari 25 isolat klinis Bifidobacteria yang diuji pada pH 3.0 selama 1 jam berhasil hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih dari 1%.

Toleransi BAL terhadap asam disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar akan merugikan karena translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu, gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut.

Setelah probiotik berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan sehingga ketahanan BAL terhadap garam empedu juga sangat penting. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah tumbuh dalam MRSA yang ditambah 0.3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam


(37)

 

empedu sebesar 0.3% merupakan konsetrasi yang kritikal untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu.

Nuraida et al. (2008) melaporkan bahwa isolat L. rhamnosus R26, B10, dan B16 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu dengan penurunan sebesar 0−1 log. Sedangkan isolat A15, A27, A29, R14, R21, R23, dan B13 mengalami penurunan sebesar 1−2.49 unit log sehingga bersifat agak tahan terhadap garam empedu.

Hasil penelitian Wirawati (2002) menunjukkan bahwa isolat BAL asal tempoyak relatif tahan terhadap garam empedu, yaitu antara 34.8−100%. Sedangkan Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis bakteri asam laktat terhadap garam empedu 0.5%. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus G1 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu kemudian disusul berturut-turut oleh F1, G2, M, Kk, Nkp, En6, K, F2, dan Ae1 (penurunan log 1.0 cfu/ml). Sementara itu, Lactobacillus N merupakan isolat yang paling sensitif terhadap 0.5% garam empedu.

Hasil penelitian Kusumawati (2002) menunjukkan bahwa ketahanan isolat BAL yang diisolasi dari makanan fermentasi asal Indonesia sangat tergantung pada galurnya. Pada konsentrasi 1%, Lactobacillus acidophilus FNCC 116 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.73 unit log/ml dan pada konsentrasi 5% Lactobacillus plantarum To 22 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.68 unit log/ml, di mana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa galur yang lain. Hasil penelitian Ngatirah et al. (2000) juga menunjukkan ketahanan BAL terhadap garam empedu tergantung pada jenis galurnya.

Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000; Kusumawati 2002). Hal ini disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim β-galaktosidase terhadap garam empedu, sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel. Bila permeabilitas membran sel meningkat maka banyak materi intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bila hal ini berlangsung terus-menerus akan menyebabkan lisis sel bakteri. Menurut Smet et al. (1995), beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase, BSH). Enzim


(38)

 

ini mampu mengubah sifat garam empedu sehingga menjadi tidak bersifat racun bagi BAL.

Selain ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu, kemampuan penempelan dan kolonisasi merupakan syarat penting bagi bakteri probiotik. Menurut Harish dan Varghese (2006), probiotik dapat mempengaruhi kesehatan inang melalui penempelan dan kolonisasi bakteri pada usus, menekan pertumbuhan atau penempelan/invasi epitel oleh bakteri patogen dan produksi senyawa antimikroba, meningkatkan fungsi perintang saluran cerna, mengatur transfer antigen dari diet, dan stimulasi imunitas mukosa dan sistemik inang

Ray dan Bhunia (2008) juga menyebutkan bahwa organisme probiotik harus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel epitel saluran pencernaan, berkompetisi dengan bakteri patogen enterik yang menempel pada sel epitel saluran pencernaan, tahan dan mampu melakukan multiplikasi pada saluran pencernaan tanpa mengganggu keseimbangan mikrobiota normal, memproduksi metabolit yang bersifat antibakteri, koagregasi, membentuk mikrobiota normal saluran pencernaan, dan aman bagi inang. Sampai saat ini, sesuai dengan kriteria evaluasi tersebut ada 5 galur Lactobacilli yang efektif sebagai probiotik yaitu (1) L. acidophilus NCFM, (2) L. casei Shirota, (3) L. casei CRL431, (4) L. rhamnosus GG, dan (5) L. reuteri MM53.

Penempelan mikroorganisme pada permukaan epitel merupakan tahap inisiasi patogenesis yang sangat penting pada proses terjadinya infeksi pada saluran pencernaan. Kemampuan penempelan yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terkikisnya bakteri akibat sekresi inang dan pergerakan lumen (Gibson et al. 1997). Penempelan BAL pada sel epitel usus sangat dibutuhkan untuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mencegah eliminasi karena gerakan peristalsis usus, dan memungkinkan terjadinya kompetisi yang menguntungkan (Kos et al. 2003).

Kolonisasi adalah keadaan di mana populasi bakteri pada saluran pencernaan jumlahnya stabil sepanjang waktu tanpa perlu penambahan bakteri secara periodik baik melalui pemberian secara oral atau dengan cara lain. Kolonisasi berarti bahwa bakteri yang berkolonisasi mampu melakukan


(39)

 

multiplikasi pada saluran pencernaan dengan laju yang sama pada saat pengujian secara fisik (Fuller 1992).

Kemampuan kolonisasi sangat diperlukan terutama ketika saat pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Antibiotik dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota usus dan menurunkan resistensi kolonisasi sehingga memungkinkan pertumbuhan bakteri patogen enterik seperti Clostridium difficile (Schmid et al. 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi penempelan bakteri pada permukaan usus yaitu:

1. Adhesin

Adhesin pada bakteri dapat berupa protein atau nonprotein. Adhesin akan mengenali permukaan epitel spesifik, intestinal mukus, atau struktur interselular. Adhesin pada bakteri akan menempel pada reseptor adhesin yang ada pada membran epitel sel usus. Reseptor adhesin dapat berupa protein atau glikoprotein. Reseptor pada permukaan usus tersebut akan memerangkap bakteri ke dalam mukus (Ballongue 2004).

Adhesin berupa protein misalnya fimbrial adhesin yang terdapat pada E. coli (CFA I, CFA II, K88, dan K99) (Gibson et al. 1997). Bifidobacteria juga menempel pada jaringan tepi melalui protein yang mirip adhesin (Gibson et al. 1997). Wadstrom dan Ljungh (2006) juga menyebutkan bahwa protein pada permukaan sel diketahui menjadi perantara penempelan berbagai macam BAL pada mukus. Hasil penelitian Rojas et al. (2002) menunjukkan pada Lactobacillus fermentum 104R, protein yang berperan dalam pengikatan mukus adalah protein permukaan 29-kDa.

Adhesin non protein misalnya polisakarida ekstraselular pada B. infantis (Gibson et al. 1997). Tannock (1990) juga menyimpulkan bahwa Lactobacillus menempel pada dinding usus melalui zat ekstra seluler yang mengandung polisakarida, protein, lipid dan asam lipoteikoat.

2. Hidrofobisitas

Zavaglia et al. (1998) menyebutkan bahwa sifat penempelan bakteri dipengaruhi oleh sifat hidrofobisitasnya. Sifat hidrofobisitas menunjukan kecenderungan bakteri untuk saling menempel. Semakin tinggi sifat


(40)

 

hidrofobisitasnya maka semakin besar kecenderungan mikroba tersebut untuk saling menempel.

Wadstrom dan Ljungh (2006) menyebutkan bahwa mekanisme penempelan bakteri pada permukaan epitel melibatkan interaksi hidrofobik dan muatan serta pengikatan reseptor spesifik. Beberapa BAL yang diuji mengalami koagregasi dengan sel bakteri lain dari galur yang sama maupun dengan sel bakteri dari spesies lain. Mekanisme ini dapat memfasilitasi terjadinya penempelan, misalnya pada mukus. BAL juga mampu mengikat molekul matriks ekstraseluler (ECM- extra cellular matrix molecules) seperti kolagen, fibronektin, dan vitronektin yang mungkin terlepas dari epitel menuju lapisan dan komponen mukus. Gibson et al. (1997) juga menyebutkan bahwa penempelan Bifidobacteria pada sel epitel usus dipengaruhi oleh adanya interaksi hidrofobik yang dibantu dengan adanya asam lipoteikoat.

Sherman et al. (2009) menyebutkan Lactobacillus helveticus R0052 memiliki permukaan sel yang hidrofobik sehingga mampu berikatan dengan permukaan sel inang secara tidak spesifik, termasuk membran apical microvillus sel epitel. Selain itu, probiotik ini juga memiliki lapisan protein yang tebal yang mampu menempel pada sel epitel.

Penelitian tentang sifat hidrofobisitas yang dilakukan oleh Evanikastri (2003) dan menunjukkan hasil yang berbeda. Isolat klinis yang bersifat hidrofilik (Lactobacillus F1, G1, K dan Lactococcus Kk, Mk, Nkk, Nkp, Ael, Enl) dan hidrofobik (Lactobacillus N, M, G3, G4, F3, G2, dan F2) memiliki kemampuan yang sama untuk menempel pada permukaan stainless steel (Evanikastri 2003). Sedangkan hasil penelitian Wirawati (2002) menunjukkan bahwa sifat hidrofobisitas tidak berpengaruh pada penempelan bakteri. Isolat BAL dari tempoyak yang diuji mampu menempel pada permukaan stainless steel walaupun hidrofobisitasnya rendah.

3. Agregasi

Mekanisme lainnya yang diketahui berhubungan dengan sifat penempelan bakteri adalah sifat agregasinya. Beberapa galur bakteri diketahui tumbuh membentuk gumpalan atau partikel seperti pasir. Galur-galur yang memiliki sifat agregasi umumnya bersifat hidrofobik dan menunjukan hasil yang baik dalam


(41)

 

evaluasi kemampuan bertahan hidup dan keberlangsungannya dalam saluran pencernaan (Morelli & Callegari 2006).

Sifat agregasi bakteri terdiri atas autoagregasi dan koagregasi. Autoagregasi adalah kemampuan bakteri untuk menempel dengan sesamanya (satu jenis), sedangkan koagregasi adalah kemampuan bakteri untuk menempel (membentuk agregat) dengan bakteri jenis lain. Autoagregasi pada beberapa galur probiotik diperlukan untuk menempel pada permukaan sel epitel usus. Sedangkan sifat koagregasi mampu membentuk barrier yang dapat mencegah kolonisasi bakteri patogen (Kos et al. 2003)

Faktor yang mempengaruhi agregasi Lactobacillus sp. adalah aggregating promoting factor (APF). Protein ini juga juga terlibat secara tidak langsung dalam proses sintesis peptidoglikan, eksopolisakarida, asam lipoteikoat, dan asam teikoat (Jankovic et al. 2003).

4. Asal isolat

Asal isolat juga diketahui mempengaruhi sifat penempelan bakteri pada permukaan. Kajian yang dilakukan oleh de Ambrosini et al. (1999) memperlihatkan bahwa isolat L. casei yang diisolasi dari manusia menunjukan sifat penempelan yang baik pada sel epitel usus tikus secara in vitro, sedangkan isolat L. casei yang diperoleh dari produk susu tidak menunjukkan sifat penempelan yang baik.

Salminen et al. (1993) melaporkan bahwa L. rhamnosus GG yang merupakan isolat klinis, dapat mengkolonisasi saluran usus manusia dan menempel lebih kuat jika dibandingkan dengan Lactobacillus maupun Streptococcus yang digunakan sebagai kultur stater dalam industri susu. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Todoriki et al. (2001) bahwa galur Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan mempunyai kemampuan menempel lebih baik dibandingkan galur Lactobacillus yang diisolasi dari hasil fermentasi.

Akan tetapi, Farida (2005) melaporkan hasil yang berbeda. Isolat yang berasal dari produk berbasis susu (SK2 dan SK3) dan dari produk nabati (WT1 dan WT2) memiliki kemampuan untuk menempel yang lebih tinggi daripada isolat klinis (FS1) pada permukaan stainless steel.


(42)

 

Penempelan bakteri pada permukaan usus juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Pada saat makanan memasuki usus maka mukosa usus akan mengeluarkan cairan yang berfungsi untuk mencegah kolonisasi pada mukosa. Pergerakan usus juga dapat mencegah terjadinya kolonisasi. Oleh karena itu, mikrobiota normal yang tersebar pada permukaan usus sebagian besar meliputi bakteri transient (Rowland 1988).

Raibaud (1992) menyatakan adanya barrier effect yang menghambat penempelan bakteri pada permukaan usus. Barrier effect ini terbentuk secara bertahap mulai dari lahir sampai terjadi keseimbangan mikrobiota usus. Spesies bakteri yang pertama mengkolonisasi jumlahnya sangat sedikit sehingga dapat ditekan oleh bakteri lain yang masuk. Setelah terjadi keseimbangan maka mikrobiota yang ada akan mampu melawan bakteri eksogen yang masuk. Barrier effect ini sangat penting untuk mencegah infeksi pada usus. Tetapi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti antibiotik dan diet.

Mikrobiota normal yang berada pada permukaan sel mukosa mempunyai sifat penempelan yang lebih tinggi daripada bakteri pembusuk dan patogen. Bila mikrobiota normal berhasil menempel pada permukaan sel mukosa maka bakteri ini akan mengkolonisasi seluruh permukaan usus sehingga dapat mencegah bakteri pembusuk dan patogen menempel dan merusak usus (Jay 1996).

Mikrobiota indigenus membentuk colonization resistance sebagai perlindungan dari kolonisasi mikroba patogenik pada usus seperti Clostridium difficile, C. botulinum, E. coli, Salmonella, Shigella,Pseudomonas, dan Candida albicans. Mekanisme perlindungan yang diberikan adalah melalui kompetisi nutrisi, metabolit toksik dan kondisi lingkungan, serta kompetisi daerah penempelan terutama pada mukosa (Hentges 1992). Nousianen et al. (2004) juga menyebutkan BAL yang menempel pada sel epitel akan mampu berkompetisi dengan patogen. Pada awalnya BAL akan tumbuh dengan lambat tetapi kemudian setelah mencapai dinding usus akan melakukan kolonisasi. Jika BAL mampu berikatan dengan reseptor adhesin pada permukaan sel epitel maka bakteri patogen yang tadinya menempel akan terlepas dan digantikan oleh BAL.

Beberapa hasil uji menunjukkan kemampuan bakteri probiotik dalam berkompetisi dengan bakteri patogen. Hasil penelitian Lee et al. (2003)


(43)

 

menunjukkan kemampuan kompetisi, eksklusi, dan displacement dari L. casei Shirota dan L. rhamnosus GG pada mukosa usus manusia dan permukaan sel Caco-2. Bakteri patogen yang digunakan adalah 8 galur Escherichia coli dan Salmonella spp. Derajat penghambatan terhadap patogen tergantung pada galurnya. Proses kompetisi diawali dengan penempelan L. rhamnosus GG pada permukaan mukosa melalui interaksi hidrofobik, kemudian terjadi kompetisi pada reseptor spesifik yang mengikat bakteri gastrointestinal. Jika bakteri gastrointestinal sudah lepas dari reseptor maka L. rhamnosus GG akan segera menggantikannya. Akan tetapi jika afinitas bakteri gastrointestinal terhadap reseptor lebih tinggi maka ia tidak akan lepas.

Lee dan Puong (2002) menguji kompetisi antara lactobacilli dengan delapan bakteri gastrointestinal pada glikoprotein mucin manusia dan pada permukaan sel Caco-2. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lactobacilli mampu berkompetisi dengan bakteri gastrointestinal dan kemampuan kompetisinya sangat tergantung pada jenis galur. Perbedaan kemampuan kompetisi lactobacilli kemungkinan dipengaruhi oleh afinitas adhesin pada permukaan sel bakteri pada reseptor yang bersifat stereo-spesifik.

Gibson et al. (1997) menyebutkan adanya kolonisasi lactobacilli pada mukosa usus manusia. Penelitian dilakukan dengan menguji 19 galur lactobacilli dengan dosis tertentu pada sup oatmeal pada 13 relawan. Biopsi jejunum menunjukkan jumlah lactobacilli meningkat sementara jumlah streptokoki dan klostridia menurun pada permukaan mukosa selama pemberian oatmeal. Penurunan yang signifikan juga terlihat pada populasi anaerob dan enterobakteria pada mukosa rektal. Bakteri yang diuji adalah L. casei subsp rhamnosus, L. plantarum, L. reuteri, dan L. agilis yang diisolasi dari mukosa rektal.

Pada penelitian ini diamati kemampuan kompetisi BAL asal ASI dengan bakteri patogen EPEC K11. EPEC merupakan penyebab utama diare di negara berkembang terutama pada bayi dan anak-anak. Bakteri ini mengekskresikan protease sebagai salah satu vaktor virulennya yang mampu merusak sel epitel mukosa usus dan mengakibatkan gangguan pada sistem pengeluaran cairan pada traktus digesti. Mereka ditransmisikan secara langsung atau tidak langsung melalui perantara manusia (Ray & Bhunia 2008). Gejala yang umum dari infeksi


(44)

 

EPEC adalah gastroenteritis, diare berair, muntah, dan demam ringan. Gejala ini dapat muncul dalam waktu 3 jam jika jumlah bakteri yang masuk mencapai 106 -109 sel (Ray & Bhunia 2008).

Meskipun sekarang penelitian banyak dikembangkan ke arah studi penempelan probiotik, tetapi peranan penempelan dalam fungsi probiotik masih diperdebatkan. Kemampuan penempelan probiotik pada permukaan usus dan kolonisasi pada saluran pencernaan banyak disarankan sebagai syarat bagi bakteri probiotik. FAO/WHO (2002) juga mensyaratkan adanya uji penempelan pada sel epitel manusia. Hal ini karena bakteri yang menempel diharapkan mampu bertahan lebih lama pada saluran pencernaan sehingga meningkatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan inang. Penempelan memberikan interaksi dengan permukaan mukosa sehingga memfasilitasi kontak dengan GALT untuk membantu efek lokal dan sistemik dari sistem imun. Selain itu, bakteri yang menempel diharapkan mampu berkompetisi dengan bakteri patogen. Eksklusi bakteri patogen oleh bakteri asam laktat telah dilihat menggunakan Caco-2 dan HT-29-MTX (Saarela et al. 2000).

Penelitian tentang sifat penempelan probiotik dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Penelitian secara in vitro dilakukan dengan menggunakan kultur sel asal manusia (misalnya Caco-2 dan HT-29) dan mukus yang diisolasi dari usus manusia (Matijasic et al. 2003). Kultur sel Caco-2 dan HT 29 berasal dari tumor manusia yang telah mengalami diferensiasi secara morfologis dan fungsional, serta memiliki karakteristik enterosit dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks penempelan bakteri secara in vitro adalah PH, adanya ion kalsium, jumlah kultur bakteri yang digunakan, adanya supernatan, dan umur bakteri (Morelli 2000).

Penempelan probiotik sangat tergantung pada jenis galur dan media penempelan. Galur yang menempel pada sel Caco-2 belum tentu menempel pada mukus dengan baik (Saarela et al. 2000). L. bulgaricus dan L. lactis ssp. Cremoris yang diisolasi dari produk susu mampu menempel dengan baik pada mukus walaupun tidak dapat mengkolonisasi usus manusia. Galur yang menempel dengan baik pada kultur sel seperti L. rhamnosus GG, L. johnsonnii LJ1, L. bulgaricus juga menempel dengan baik pada mukus kemungkinan karena


(45)

 

reseptornya sama. Sedangkan Propionibacterium freudenreichii ssp. Shermanii JS dan L. rhamnosusu LC-705 menempel dengan baik pada sel Caco-2 tetapi sangat rendah penempelannya pada mukus (Ouwehand et al. 1999).

Reproducibility studi penempelan secara in vitro sangat lemah (terutama pada laboratorium yang berbeda) sehingga menyulitkan interpretasi hasil (Saarela et al. 2000). Pernyataan ini didukung oleh Morelli (2000) yang menyatakan belum ada standarisasi metode penggunaan kultur sel sehingga sulit untuk membandingkan hasilnya. Uji penempelan L. rhamnosus GG menggunakan sel Caco-2 menghasilkan nilai yang berbeda yaitu 125 sel/100 sel Caco-2 (Tumuola & Salminen 1998) dan 1612.9 sel/100 sel Caco-2 (Lee et al. 2000).

Uji penempelan secara in vivo dilakukan pada hewan percobaan dan juga pada manusia. Menurut Tannock (1999), model hewan percobaan yang dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh BAL terhadap inangnya belum tersedia sampai saat ini. Hewan konvensional bukan alat yang memuaskan karena telah memiliki mikrobiota normal dan dikandangkan dengan kondisi mikrobiologis yang tidak konstan. Sedangkan germ-free animal hanya dikolonisasi oleh satu atau beberapa jenis bakteri saja. Walaupun menyediakan kondisi lingkungan mikrobiologis yang tertentu, tetapi tidak menyediakan kondisi yang realistik dimana untuk memeriksa pengaruh mikroba pada inangnya karena absennya mikroflora kompleks, biokimia, fisiologi, dan immunologi pada saluran pencernaan yang abnormal dibandingkan dengan hewan konvensional. Selain itu, populasi mikroba abnormal dalam jumlah besar dan distribusinya dalam saluran pencernaan tidak normal karena faktor regulator yang diakibatkan oleh mikroflora konvensional tidak ada. Uji dengan hewan percobaan telah dilakukan pada tikus, mencit, kelinci, ayam, babi, dan anjing.

Bakteri yang mampu menempel dengan baik pada permukaan usus tikus juga harus diuji lagi penempelannya pada manusia karena adanya perbedaan struktur epitel usus dan juga perbedaan jenis dan jumlah bakteri di dalam usus. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri pada usus manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel 1.


(46)

 

Tabel 1. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri pada usus manusia dan tikus (dalam log cfu/ml isi usus) (Rowland 1988)

Jenis bakteri Bagian usus halus yang dekat dengan lambung Bagian usus halus yang dekat dengan sekum Usus besar Manusia Tikus Manusia Tikus Manusia Tikus

Bacteroides -3* 5-6 5-7 6-8 8.5* 7-9

Bifidobacteria - 5-7 5-7 6-8 6.6 8-9

Lactobacili - 6-7 3-6 6-7 6.4 8-9

Enterobacteriaceae -4* 3-5 3-4 3-5 6.9 5-7

Streptococci -6* 4-5 - 2-6 7.0 5-7

Fusobacteria -2* - - - 8.3* -

Clostridia - - - -6*

Keterangan : * belum tentu ada pada setiap individu

Uji in vivo pada manusia dilakukan cara pengambilan sampel feses dan dengan biopsi. Pada uji biopsi, L. rhamnosus GG terbukti mampu menempel pada bagian menurun usus besar. Akan tetapi uji pada manusia sangat mahal dan terbatas jumlah sampelnya, terutama untuk uji biopsi masih dipertanyakan keetisannya (Saarela et al. 2000).

Kesesuaian hasil uji penempelan probiotik secara in vitro dan in vivo juga masih menjadi perdebatan. Hasil uji in vitro yang menunjukkan penempelan yang baik belum tentu akan menunjukkan hasil yang sama pada uji in vivo (Matijasic et al. 2003). Fuller (1978) menyebutkan bahwa galur Lactobacillus yang memiliki indeks penempelan tinggi (22%) pada sel tembolok ayam ternyata kemampuan kolonisasinya secara in vivo lebih rendah daripada galur yang indeks penempelannya rendah (2%). L. rhamnosus GG yang telah terbukti memiliki kemampuan kolonisasi pada saluran pencernaan juga memiliki kemampuan menempel yang lebih rendah daripada lactococcus dari produk susu secara in vitro (Morelli 2000).

C. BAKTERI ASAM LAKTAT PADA AIR SUSU IBU

Bakteri asam laktat (BAL) mempunyai ciri tipikal Gram positif, tidak membentuk spora, katalase negatif, sama sekali tidak mempunyai sitokrom, non-aerobik tetapi aerotoleran, tahan terhadap asam, dan menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir utama dalam fermentasi gula. Klasifikasi terbaru


(47)

 

menggolongkan BAL ke dalam 12 genus, yaitu Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella (Salminen et al. 2004).

Bakteri asam laktat diklasifikasikan menurut tipe fermentasi asam laktat yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri homofermentatif melakukan fermentasi homolaktat karena hanya menghasilkan asam laktat sebagai produk fermentasinya, sedangkan bakteri heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi asam asetat, etanol dan karbondioksida. Bakteri asam laktat yang tergolong homofermentatif misalnya Leuconostoc dan beberapa species Lactobacillus. Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif adalah Streptococcus, Pediacoccus dan beberapa spesies Lactobacillus (Fardiaz 1992).

Bakteri asam laktat memproduksi asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi untuk menghambat beberapa mikroorganisme lain (Ouwehand & Verterlund 2004). BAL telah dikonsumsi sejak lama dalam bentuk produk fermentasi yang mengindikasikan sifat nonpatogen dan tidak membentuk senyawa toksik. BAL telah lama digunakan dalam industri pangan karena sifatnya yang mikroaerofilik dan aerotoleran hanya memerlukan proses fermentasi yang sederhana, mampu tumbuh dengan cepat, dapat memfermentasi berbagai substrat yang relatif murah, dapat mensekresi protein, dan dapat mengekspresikan protein homolog dan heterolog (De Vuyst & Vandamme 1994).

Bakteri asam laktat umumnya dihubungkan dengan habitat yang kaya nutrisi seperti berbagai macam produk atau bahan pangan (susu, daging, minuman dan sayur-sayuran), tetapi beberapa juga merupakan anggota mikrobiota normal mulut, usus, dan vagina mamalia (Axelsson 2004). Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi bakteri asam laktat pada air susu ibu (ASI) yang kaya akan nutrisi.

ASI merupakan cairan putih segar yang keluar dari kelenjar mamae seorang ibu sesaat setelah melahirkan bayi (Siregar 2004). ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolaktin dan oksitoksin setelah kelahiran bayi. ASI yang


(48)

 

keluar pertama yang berwarna kuning kental disebut kolostrom. Kolostrom keluar sejak hari pertama ibu melahirkan sampai hari ketujuh (bisa juga sampai hari ke-10). Kolostrom ini bertanggungjawab terhadap populasi mikrobiota dalam usus bayi karena mengandung faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan dapat menunjang pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus (Surono 2004). ASI juga mengandung laktoferin, yaitu protein yang berikatan dengan zat besi sehingga dapat menunjang pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen tertentu, seperti Staphylococcus aureus dan E. coli (Salminen et al. 2004).

ASI merupakan faktor utama dalam inisiasi dan perkembangan mikrobiota dalam saluran pencernaan bayi karena merupakan sumber mikroorganisme yang kontinyu selama beberapa minggu setelah lahir. Bayi yang mengkonsumsi ASI 800 ml/hari akan memasukkan sekitar 105−107 bakteri komensal. Komposisi bakteri pada ASI sama dengan bakteri yang ditemukan pada feses bayi (Martin et al. 2005).

Salah satu BAL yang ditemukan di dalam ASI adalah Bifidobacteria bifidum (yang kemudian dikenal sebagai Lactobacillus bifidus) (Ballongue 2004). Menurut Mitsuoka (1989) bifidobakteria merupakan genus yang dominan pada mikrobiota bayi yang diberi ASI¸ sedangkan bayi yang diberi susu formula memilki mikrobiota yang lebih beragam meliputi Bifidobakteria dan beberapa mikroba aerobik dan anaerobik.

Isolasi BAL dari ASI yang dilakukan oleh Martin et al. (2005) juga berhasil mendapatkan dua isolat Lactobacillus gasseri dan satu isolat L. fermentum yang berpotensi sebagai probiotik. Hasil pengujian tersebut menunjukkan potensi probiotik isolat L. gasseri dan L. fermentum mempunyai kemiripan dengan produk komersial.

Nuraida et al. (2008) juga telah mengisolasi beberapa BAL dari ASI yang berpotensi sebagai probiotik. Dari tiga puluh satu sampel ASI diperoleh 87 isolat macam kultur BAL. Dari 87 isolat tersebut, 10 spesies BAL (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L.


(49)

 

rhamnosus B16) memiliki ketahanan yang baik terhadap asam lambung dan garam empedu serta mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen.

Lactobacillus rhamnosus R26 Lactobacillus rhamnosus R14

Lactobacillus rhamnosus R23 Lactobacillus rhamnosus B16 Gambar 1. Contoh bakteri asam laktat dari air susu ibu

D. EPEC (Enteropathogenic Escherichia coli)

Escherichia coli termasuk genus Escherichia dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran lebar 1.1-1.5 µm dengan panjang 2.0-6.0 mikron, terdapat dalam bentuk berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non motil (Buchanan & Gibbons 1974).

Pada tahun 1995, di Second International Symposium of EPEC di Brasil, EPEC didefinisikan sebagai Escherichia coli penyebab diare yang memproduksi karakteristik histopatologi yang dikenal sebagai attaching and effacing (A/E) pada sel usus dan tidak memproduksi toksin shiga, shiga-like, atau verocytoxins. EPEC terdiri atas dua jenis yaitu tipikal dan nontipikal. EPEC tipikal pada manusia memiliki plasmid virulen yang dikenal sebagai EAF (EPEC adherence factor)


(1)

 

 

Lampiran 28. Hasil penghitungan pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah

total

E. coli

pada permukaan usus tikus

Perlakuan

Konsentrasi BAL yang dipaparkan

106 cfu/ml 108 cfu/ml ulangan n cfu/ cm2 log

cfu/cm2

rata-rata perubahan total E. coli

ulangan n cfu/ cm2 log cfu/cm2

rata-rata perubahan total E. coli kontrol 1 2 1363.64 3.1

2.9

1 2 190.48 2.3

2.8 2 2 318.18 2.5 2 2 857.14 2.9

3 2 1395.45 3.1 3 2 1285.71 3.1 dipapar

dengan BAL

1 2 159.09 2.2

2.0 -0.9

1 2 70.00 1.8

1.4 -1.4 2 2 109.09 2.0 2 2 10.00 1.0

3 2 77.27 1.9 3 2 25.00 1.4 dipapar

dengan EPEC

1 2 722727.27 5.9

6.0 3.1

1 2 743243.24 5.9

6.1 3.3 2 2 790909.09 5.9 2 2 2481981.98 6.4

3 2 1677272.73 6.2 3 2 1342342.34 6.1 dipapar

dengan BAL dan EPEC

1 2 1113636.36 6.0

6.1 3.2

1 2 2031531.53 6.3

6.3 3.5 2 2 936363.64 6.0 2 2 2612612.61 6.4


(2)

 

Lampiran 29. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang

dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah

total

E. coli

pada permukaan usus tikus

ANOVA perubahan_totalEcoli

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 79.005 5 15.801 278.841 .000

Within Groups .680 12 .057

Total 79.685 17

perubahan_totalEcoli Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = .05

1 2 3

10E8-BAL 3 -1.4000

10E6-BAL 3 -.8667

10E6-EPEC 3 3.1000

10E6-BAL&EPEC 3 3.2333

10E8-EPEC 3 3.3333

10E8-BAL&EPEC 3 3.5000

Sig. 1.000 1.000 .080

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.


(3)

 

 

Lampiran 30. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total total BAL pada usus tikus pada uji eksklusi

dan

displacement

BAL

 

perlakuan ulangan n cfu/ cm2 log

cfu/cm2 rata-rata

perubahan total BAL

R23

 

kontrol 1 2 94090.91 5.0

5.1 2 2 115909.09 5.1

3 2 174090.91 5.2 dipapar

dengan BAL

1 2 1295454.55 6.1

6.2 1.1 2 2 1945454.55 6.3

3 2 1477272.73 6.2 dipapar

dengan EPEC

1 2 130454.55 5.1

5.2 0.1 2 2 162727.27 5.2

3 2 165000.00 5.2 dipapar

BAL kemudian dipapar EPEC

1 2 1355000.00 6.1

6.2 1.1 2 2 2240000.00 6.4

3 2 1205000.00 6.1 dipapar

EPEC kemudian dipapar BAL

1 2 1645000.00 6.2

6.2 1.1 2 2 1090000.00 6.0

3 2 1580000.00 6.2

B16

 

kontrol 1 2 64545.45 4.8

4.9 2 2 85909.09 4.9

3 2 103181.82 5.0 dipapar

dengan BAL

1 2 2245454.55 6.4

6.3 1.4 2 2 1818181.82 6.3

3 2 1863636.36 6.3 dipapar

dengan EPEC

1 2 82272.73 4.9

4.9 0.0 2 2 80000.00 4.9

3 2 64090.91 4.8 dipapar

BAL kemudian dipapar EPEC

1 2 1109090.91 6.0

6.1 1.2 2 2 2000000.00 6.3

3 2 1200000.00 6.1 dipapar

EPEC kemudian dipapar BAL

1 2 2222727.27 6.3

6.4 1.5 2 2 2372727.27 6.4


(4)

 

Lampiran 31. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total total BAL pada uji eksklusi dan

displacement

ANOVA perubahanBAL

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 7.020 7 1.003 89.138 .000

Within Groups .180 16 .011

Total 7.200 23

perubahanBAL Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = .05

1 2 3 4

B16-EPEC 3 -.0333

R23-EPEC 3 .0667

R23-EPEC lalu BAL 3 1.0333

R23-BAL lalu EPEC 3 1.1000 1.1000

R23-BAL 3 1.1000 1.1000

B16-BAL lalu EPEC 3 1.2333

B16-BAL 3 1.4333

B16-EPEC lalu BAL 3 1.4333

Sig. .265 .477 .163 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.


(5)

 

 

Lampiran 32. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total

E. coli

pada uji eksklusi dan

displacement

BAL

 

perlakuan

ulangan n cfu/ cm2 log cfu/cm2

rata-rata perubahan total E.coli

R23

 

kontrol 1 2 150.00 2.2

1.9 2 2 50.00 1.7

3 2 50.00 1.7 dipapar

dengan BAL

1 2 50.00 1.7

0.6 -1.3 2 2 0.00 0.0

3 2 0.00 0.0 dipapar

dengan EPEC

1 2 75909.09 4.9

4.7 2.8 2 2 28181.82 4.4

3 2 42272.73 4.6 dipapar

BAL kemudian dipapar EPEC

1 2 709090.91 5.9

5.4 3.5 2 2 595454.55 5.8

3 2 43636.36 4.6 dipapar

EPEC kemudian dipapar BAL

1 2 1963636.36 6.3

6.2 4.3 2 2 2095454.55 6.3

3 2 990909.09 6.0

B16

 

kontrol 1 2 95.00 2.0

1.6 2 2 140.00 2.1

3 2 5.00 0.7 dipapar

dengan BAL

1 2 85.00 1.9

0.6 -1.0 2 2 10.00 0.0

3 2 20.00 0.0 dipapar

dengan EPEC

1 2 427272.73 5.6

4.8 3.2 2 2 30454.55 4.5

3 2 20909.09 4.3 dipapar

BAL kemudian dipapar EPEC

1 2 181818.18 5.3

5.1 3.5 2 2 52727.27 4.7

3 2 187727.27 5.3 dipapar

EPEC kemudian dipapar BAL

1 2 34545.45 4.5

4.6 3.0 2 2 51818.18 4.7


(6)

 

Lampiran 33. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap

perubahan jumlah total

E.coli

pada uji eksklusi dan

displacement

ANOVA perubahan_totalEcoli

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 96.603 7 13.800 32.313 .000

Within Groups 6.833 16 .427

Total 103.436 23

perubahan_totalEcoli Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = .05

1 2 3

R23-BAL 3 -1.3333

B16-BAL 3 -.9667

R23-EPEC 3 2.7333

B16-EPEC lalu BAL 3 2.9333

B16-EPEC 3 3.2000 3.2000

B16-BAL lalu EPEC 3 3.5000 3.5000

R23-BAL lalu EPEC 3 3.5333 3.5333

R23-EPEC lalu BAL 3 4.3000

Sig. .502 .194 .075

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.