Perkembangan Asas Praduga Tidak Bersalah APIB dan Asas

B. Perkembangan Asas Praduga Tidak Bersalah APIB dan Asas

Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Beberapa dokumen historis telah mengisyaratkan tentang Hak Asasi Manusia, pada umumnya, dan khususnya APKDH dan APTB. Isyarat bahwa manusia atau setiap orang memiliki persamaan kedudukan dalam hukum dan dianggap tidak bersalah dikonkritisasi pula di dalam dokumen historis lainnya yaitu Magna Carta 1215 dan Habeas Corpus AAct 1678 di Inggris, serta di Perancis dituangkan dalam declaration des droits de ilhomme et du citoyen 1789 yang diilhami declaration of independence 1776 di Amerika. Magna Carta 1215 yang dianggap sebagai “embrio penegakan” hak asasi manusia yang dikenal pada dewasa ini mengisyaratkan persamaan kedudukan di dalam hukum equality before the law dapat disimpulkan dari Pasal 38 dan Pasal 40. Dari Pasal 38 dapat disimpulkan bahwa “setiap orang dijamin oleh hukum” free men guaranteed “law of the land”. Pada tahun 1946, dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dibentuk “Commision on Human Rights”. Komisi bertugas merumuskan HAM yang meliputi hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hasil kerja Komisi diumumkan pada tanggal 10 Desember 1948 dalam”Universal Declaration of Human Rights”. Dapat disimpulkan bahwa hak asasi masnusia itu meliputi hak-hak sipil dan politik civil and political rights dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya economic, social and cultural rights. Dan apabila hak-hak tersebut dijabarkan lebih lanjut, HAM itu meliputi: Universitas Sumatera Utara 1. Hak-hak asasi pribadi atau “the personal rights”, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya; hak-hak asasi ekonomi atau “the property rights”, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjual serta memanfaatkannya; 2. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau yang biasa disebut “the rights og legal equality”; hak-hak pemerintahan, hak dipilih memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, hak mendirikan partai politik dan sebagainya; 3. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “the social and cultural rights”, misalnya, hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya 4. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan [erlindungan atau “the procedural rights”, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya. 83 Meneliti berbagai HAM di atas, ternyata bahwa APKDH dan APTB merupakan hak asasi yang penting untuk diperhatikan. Pada hakikatnya, hak asasi sipil dan politik mempunyai sifat melindungi individu terhadap penyalahgunaan oleh pihak penguasa. Dengan demikian, untuk melaksanakan hak asasi dan politik cukup untuk mengatur pemerintah melalui perundang-undangan. 84 Setelah melalui perkembagan dan perjuangan yang memakan waktu sangat panjang, akhirnya pada tahun 1948 lahirlah UDHR Universal Declaration of Human Rights, di dalamnya dimuat tentang APKDH atau “equality before the law” EBL, pada pasal 7 APTB atau “Presumption of Innocence” POI dan pasal 11. 1. Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Supomo sebagai seorang pembela hukum adat yang sangat gigih yang memandang bahwa individu tiada berarti kecuali ia hidup dalam masyarakatnya. 83 Dardji Darmodihardj Cs., Santiaji, Pancasila, Usaha Nasional, 1981, hlm. 80-81. 84 Ibid Universitas Sumatera Utara Dalam hubungan individu dan masyarakat, masyarakat yang lebih penting. Bertolaj dari pandangan itulan Supomo sebagai ketua Panitia kecil Penyusun UUD 1945 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, menyusun rumusan kurang memuat hak-hak asasi dalam pasal UUD tersebut walaupun dalam Pembukaan penuh dengan mutiara HAM. Memang pada waktu itu penyusun UUD dan pendiri Republik Indonesia ini tidak berkehendak terlalu mengagungkan HAM. Pada waktu itu mereka membenci individualism, liberalisme, kolonialisme, imperialism. Para penyusun UUD tersebut berkehendak bahwa mereka menyusun UUD berdasarkan asas kekeluargaan suatu asas yang sama sekali bertolak belakang dengan paham individualism liberalisme. Soekarno sebagai tokoh sentral pada masa itu berkata: “Saya minta menangisi kepada tuan-tuan an nyonay-nyonya, buanglah sama sekali paham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan “rights of the citizen” sebagai yang dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya. Kita mengkehendaki keadailan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa manusia bukan hanya mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak member suara, mengadakan persidangan dan berapat, jika misalnya tidak ada sosiale rechtvaarddigheid yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tidak mengisi perut yang mati kelaparan? Grondwet yang berisi “droit des momme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan kelaparan orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkan tiap-tiap paham individualisme dan liberalism dari padanya”. 85 Begitu pula Supomo berpendapat : “Tapi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita 85 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada sistem peradilan pidana Indonesia, Op. cit, hlm. 45. Universitas Sumatera Utara menerima akan menganjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu, UUD kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistem kekeluargaan. Tidak bisa kita masukkan dalam UUD beberpa pasal tentang bentuk menurut aliran- aliran yang bertentangan. Misalnya dalam UUD kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali memasukkan, di kemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak sewenang-wenang”. 86 Berlainan dengan itu, Moh. Hatta berkata : “sebab ini ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepadanya, misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengekuarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formuleringnya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada panitia kecil. Tetapi tanggungan ini perlu menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat”. 87 Sependapat dengan Hatta, Yamin mengemukakan : “supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam UUD seluas- luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya dan seterusnya, dapatlah saya memajukan beberapa alasan pula, selain dari pada saya dimajukan beberapa alasan pula, selain dimajukan oleh anggota yang terhormat Drs. Moh. Hatta tadi. Segala Constitusion lama dan baru diatas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya UUD Dai Nippon, Republik Filipina dan republic Tiongkok. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalism, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan yang harus diakui dalam UUD”. 88 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa : “Kekeliruan orang yang berpendapat bahwa karena UUD 1945 disusun lebih dahulu dari Universal Declaration of Human rights, maka kurang memuat HAM karena pada waktu itu telah ada Declaration of Independence and 86 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 194. Djakarta, Op.cit, hlm.115. 87 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. cit, hlm. 46. 88 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Op.cit, hlm.115. Universitas Sumatera Utara Declaration Des droit de Phomme et du Citoyen yang dapat diajukan bahan bagi penyusun pasal-pasal tentang HAM yang lengkap”. 89 Mencermati KRIS 1949 UUDS 1950, yang lengkap memuat HAM, sementara Supomo juga menjadi anggota delegasi RI ke Konfrensi Meja Bundar 1949 di Den hag yang menyusun KRIS 1949 tersebut. Karena itu, masih merupakan tanda Tanya, apakah jukda UUD 1945 disusun setelah UUDHR Tahun 1948 tersebut juga hanya 7 buah pasal saja yang memuat HAM. Namun, yang penting mengenai hak asasi ini ialah pelaksanaannya, bukan yang tertulis muluk-muluk di atas kertas. Pengalaman menunjukkan bahwa pemerintahan Orde lama dan Orde baru HAM yang terkadang di dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sama sekali tidak dijalankan. Pidato Presiden Republik Indonesia di muka sidang MPR 1990 telah menekankan pula perlunya dikembangkan hak-hak asasi di Indonesia ini. Dikatakan dalam pidato tersebut : “Di tahun-tahun yang akan datang tugas bersama kita adalah memelihara stabilitas nasional yang dinamis itu, dengan makin mengembangkan prakarsa dan kreatifitas serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, kitaperlu mengembangkan hak-hak asasi. Konsep hak asasi yang kita anut adalah penjabaran dari sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila. Konsep hak asasi manusia yang kita anut bertitik tolak dari keluhuran martabat manusia secara menyeluruh, disamping martabat seorang demi seorang”. 90 Perubahan sosial social change yang sangat cepat akibat modernisasi yang secara timbal-balik juga mengandung perubahan kultur cultur change pada masa itu dirasakan sebagai suatu yang mengejutkan, karena ketidak siapan negara-negara 89 Ibid. 90 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. cit, hlm. 48 Universitas Sumatera Utara berkembang. Dampaknya adalah timbulnya berbagai keresahan sosial social unrest, baik dalam kaitannya dengan hubungan antara warganegara dan penguasa, antara warganegara maupun warga dengan masyarakat. 91 Batasan HAM bersifat universal sebagai those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings tenyata tidak mudah dioperikan secara global, karena penuh dengan muatan-muatan politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum dan sebagainya. Yang jelas adalah bahwa HAM tersebut tidak dapat berkembang dan mendayagunakan kualitas, intelegensi, bakat dan hati nuraninya serta memenuhi kebutuhan baik material maupun spiritual. 92 Menurut Muladi bahwa dalam kehidupan nasional, issue tentang HAM cukup menyentak, lebih-lebih dengan dibentuknya Komisi hak-hak asasi manusia Komnas HAM pada tahun 1993 dengan segala kinerjanya melalui “quick reaction team” yang mengubah kebiasaan-kebiasaan masa lalu, mendemonstrasikan independensi yang mulai diragukan, mendukung usaha pemerintah untuk menegakkan aparatur Selanjutnya, dikatakan bahwa dalam konteks sosial, pelanggaran HAM tidak hanya merupakan tragedi individual, tetapi dapat menciptakan pula keresahan sosial dan politik. Pada akhirnya, hak-hak ini dapat memicu kekerasan dan konflik dalam masyarakat dan antar negara. Dalm hal ini, kalimat pertama dalam Piagam PBB menyatakan bahwa “respect for human rights and human diqnity is the foundation of freedoms, justice and peace in the world”. 91 Muladi, Op. cit., hlm.65. 92 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang bersih dan berwibawa. Disadari betapa di dunia ini dan di Indonesia belum ada penafsiran kolektif yang terpadu tentang hakikat HAM, mendeteksi betapa di negara ini masih banyak terjadi pelanggaran HAM gross violation of human rights. Pelaksanaan HAM di Indonesia memerlukan koordinasi antara berbagai unsur, meyakini bahwa citra Indonesia di mata dunia international juga bergantung kepada sosialisasi HAM di negeri ini, menyadari bahwa persoalan – persoalan HAM di Indonesia masih sangat luas baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak-hak untuk berkembang rights to development 93 dan sebagainya. 2. Dasar Falsafah HAM di Indonesia Undang-undang dasar 1945 menjamin tegaknya negara hukum Indonesia sebgaimana diisyaratkan dalam penjelasan dan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kemudian, apabila dihubungkan dengan teori atau paham negara hukum,tampaknya UUD 1945 menjamin pula bahwa Indonesia bukan hanya sekedar negara hukum dalam arti formal atau dalam arti sempit, melainkan negara hukum dalam arti material atau arti luas. Kesimpulan ini dipertegas oleh alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : “kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut 93 Muladi, Op. cit., hlm.74 Universitas Sumatera Utara melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial………”. 94 Dengan demikian, keterlibatan negara dalam semua sektor kehidupan dan penghidupan dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum itu mutlak perlu. Pada dasarnya,terdapat tiga pandangan atau falsafah yang berpengaruh atau memberi corak khas terhadap teori atau paham HAM, ialah falsafah liberalistic, kolektifistik dan integralistik. Untuk bangsa Indonesia, Pancasila yang merupakan pandangan hidup memandang bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai jika dikembangkan hubungan yang selaras dan seimbang antara individu dengan lingkungannya, antara duniawi dan ukhrowi. Hubungan yang selaras, serasi dan seimbang atau harmonis itu sifatnya tidak bersifat netral melainkan dijiwai nilai-nilai kelima sila dari Pancasila sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh. 95 Apabila pola pandangan Pancasila ini dihubungkan dengan ketiga falsafah diatas, tampaknya pola pandang Pancasila sejalan dengan falsafah integralistik tersebut. Hal ini dikatakan oleh Soepomo, 96 “Suatu Negara Integralistik dapat memenuhi semangat kebatinan, struktur kerohanian dari Bangsa Indonesia yang mempunyai sifat persatuan hidup dan keseimbangan fahir dan batin. Negara yang dimaksud imengakui dan menghormati adanya golongan-golongan dalam masyarakat yang nyata. Akan tetapi, segala orang dan segala golongan akan insyaf kepada kedudukannya sebagai bagian organic dari sebagai berikut : 94 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. cit, hlm. 51 95 Lihat Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Bina Aksara, 1983,hlm.59- 60. 96 Soepomo, tepetik dalam Albert Hasibun, Konsep Integralistik antara Hegel dan Hatta. KOMPAS 20 Oktober 1986, juga lihat Padmo Wahjno, Op. cit, hlm.33. Universitas Sumatera Utara negara dan seluruhnya yang berkewajiban menegakkan persatuan dan harmoni antar segala bagian-bagian itu dan kemudian tidak aka nada pertentangan……….”. Demikian pula keselarasan antara falsafah Pancasila dengan falsafah integralistik dilukiskan oleh soediman Kartohadiprodjo sebagai berikut: “Pancasila berjiwa kekeluargaan dan gotong royong tidak berpangkal pada individu yang dilahirkan bebas dan merddeka, melainkan pada “Kesatuan dalam Perbedaan, perbedaan dalam kesatuan”. 97 Suatu pandangan tentang tempat individu dalam pergaulan hidup yang digambarkan dengan terang dengan “ora sanak ora kadang, yang mati melu kelangan” atau “bukan anak bukan kerabat, tetapi kalau mati turut kehilangan. Manusia dilihatnya selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup. Manusia ini ditakdirkan Tuhan untuk hidup bersama-sama dengan sesamanya, yang diperlengkapi dengan alat-alat yang diperlukan Sila Pertama, Kedua dan Ketiga dengan jalan musyawarah Sila Keempat dan untuk hidupbahagia, suatu kelompik manusia bangsa berorganisasi dalam negara. 98 Beranjak dari pemikiran itu, Pancasila merupakan dasar falsafah yang memberi corak dan warna terhadap implementasi hak asasi manusia Indonesia, seperti dikonstalasi Mochtar Kusumaatmadja: “Manusia Indonesia perlu di samping sadar akan kewajibannya juga mengetahui hak-haknya sebagai perorangan dan anggota masyarakat. Sengaja disebutkan di sini sebagai perorangan dan anggota masyarakat karena di satu pihak seseorang itu baru berarti di dalam penampilannya sebagai individu. Sebaliknya, 97 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. cit, hlm. 52 98 Soedirrian Kartohardiprodjo, Kumpulan Karangan, PT. Pembangunan, 1966, hlm.178-179. Universitas Sumatera Utara seseorang itu hanya dapat merealisasikan potensi dan bakatnya dalam masyarakat sehingga ia tidak pula lepas dari kewajibannya sebagai anggota masyarakat”. 99 Pernyataan diatas menunjukkan implementasi HAM harus senantiasa dikaitkan dengan kewajiban asasi sebagai bagian dari masyarkat. Oleh karena itu, hak dan kewajiban asasi manusia di Indonesia adalah dwi-tunggal, demikian ditegaskan oleh Kuntjo Purbopranoto. 100 HAM yang dilandasi falsafah integralistik dalam Pancasila itu bermuara pada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana terkandung dalam sila Pertama. Dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa bagi orang yang beragama tentulah dalam bermasyarakat lebih mengutamakan kewajiban bagi umat manusia, baik sebgai orang biasa maupun sebagai pejabat, mengutamakan kewajiban akan mendatangkan kesenantausaan serta perdamaian, demikian menurut Bismar Siregar. 101 Negara hukum Indonesia mengenal dan menjamin HAM yang bukan ekspresi individualisme atau kolektivitisme. HAM di Indonesia adalah dalam keseimbangan dengan kewajiban asasinya sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, atas dasar pola pandang Pancasila tersebut, sikap hidup Bangsa Oleh karena itu, penggunaan HAM di Indonesia harus diimbangi dengan kewajiban asasi, sehingga hak dan kewajiban asasi merupakan dwitunggal. 102 99 Mochtar Kusumaatmadja, Manusia dan Pembangunan, Individu dan Masyarakat Harus Sama-sama Berkembang, SINAR HARAPAN, 2 Agustus 1986. Indonesia, adalah bahwa “ 100 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik Indonesia PN Pradnya Paramita dh JP. Wolter Jakarta, 1960, hlm.28. 101 Lihat Buku I Bidang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Bahan Pelengkap Penataran P-4. 102 Buki I, Bahan Pelengkap Penatanan P-4, BP-7 Pusat. Universitas Sumatera Utara a. Kepentingan pribadi tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran kewajiban masyarakat; dan b. Kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya. Adalah logis, apabila bagi masyarakat Indonesia perumusan HAM merupakan hak dan kewajiban asasi yang dwi-tunggal, sebab atas dasar pola Pancasila yang integralistik itu tidak dapat dipikirkan seseorang individu terlepas dari individu lain seperti yang terjadi pada masyarakat Barat. Demikian pula, dalam hubungan ini Soediman Kartohadiprojo menegaskan bahwa: “Negara kita berdasarkan pikiran lain, ialah Pancasila. Pancasila berjiwa kekeluargaan dan gotong royong tidak berpangkal pada individu yang dilahirkan bebas dan merdeka, melainkan pada”Kesatuan dalam Perbedaan; Perbedaan dalam Kesatuan”. Suatu pandangan tentang tempat individu dalam pergaulan hidup yang digambarkan dengan terang ”ora sanak ora kadang, yen mati melu kalangan”. Manusia dilihatnya selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup, manusia ini ditakdirkan Tuhan untuk hidup bersama dengan sesama manusia, yang diperlengkapi dengan alat-alat yang diperlukan sila Pertama, Kedua dan Ketiga. Untuk menunaikan kodratnya manusia ingin hidup dengan bahagia sila Kelima dengan jalan musyawarah sila Keempat dan untuk hidup bahagia, suatu kelompok manusia bangsa berorganisasi dengan negara”. 103 Karena konsekuensi pola pandang Pancasila itu, penggunaan HAM di Indonesia tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan kewajiban asasi atau dengan perkataan lain tidak dapat digunakan secara mutlak, tetapi pada kenyataannya mustahil sedemikian, sebab seperti dikemukakan oleh Marbangun Hardjowirogo 103 Soedirman Karohadiprodjo, Op. cit, hlm 178-179. Universitas Sumatera Utara bahwa; “Penghayatan masing-,masing hak tersebut tidak bisa sepenuhnya, oleh karena dibatasi oleh hak-hak orang lain atau hak-hak pemerintah”. 104 Pendapat Marbangun Hardjowirogo di atas ternyata diperkuat lagi oleh Padmo Wahjono yang menyatakan bahwa : “Hanya secara teoritis kita dapat membayangkan hak asasi manusia yang mutlak, tanpa memerlukan perumusan dalam hubungannya dengan masyarakat. 105 “Meskipun rumusan pembatasan tersebut mencerminkan pangkal tolak dualistickonfrontatif karena ada sesuatu yang dimiliki seseorang dan ada yang akan mengurangi dan membatasi hak tersebut, tetapi pembatasan tersebut dalam arti untuk mendapatkan keseimbangan atau keserasian”. Pembatasan itu dimaksudkan untuk menjaga keselarasannya, keserasian dan keseimbangan antara hak asasi yang dimiliki seseorang dengan hak asasi orang lain atau hak asasi negara seperti dikatakan Padmo Wahjono: 106 Untuk mendapatkan keseimbangan dan keserasian itulah, hak asasi harus diimbangi dengan kewajiban asasi. Dengan perkataan lain, dalam HAM di Indonesia secara implisit terkandung kewajiban asasi. Mengingat teori konstitusi dan demokrasi serta mengingat Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, hukumlah yang harus menjadi “rambu-rambu pembatas” itu, yang menjadi “aturan permainan” bagi penggunaan HAM di Indonesia. Atas dasar hukum itu pula, negara yang dipersonifikasi oleh pemerintah sebagai organ eksekutif mempunyai kewenangan untuk melakukan tidakan pembatasan. Meskipun demikian, kewenangan itu pun harus jelas, artinya dalam keadaan negara yang bagaimanakah pemerintah dapat 104 Marbangun Hardiowigoro, Hak-Hak Manusia, Yayasan Indayu, Jakarta, hlm.7. 105 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Asas Hukum, Ghalia Indonesi 106 Ibid. Universitas Sumatera Utara menjalanjkan tindakan pembatasan tersebut serta harus dijaaga pula jangan sampai tindakan pembatasan tersebut menjadikan hilangnya HAM. Oleh karena itu, pembatasan tersebut pertama-tama harus terikat dengan keadaan negara, apakah negara dalam keadaan biasa normal atau dalam keadaan luar biasa abnormal. Negara dalam keadaan biasa yaitu pada saat sistem pemerintahan demokratis berjalan mulus, sedangkan dalam keadaan luar biasa adalah negara dalam keadaan darurat, misalnya perang, terjadinya pemberintakan, bencana alam dan sebagainya. Dalam keadaan luar biasa itulah kiranya kemungkinan negara pemerintah dapat melakukan kewenangan khusus untuk melakukan tindakan pembatasan terhadap implementasi HAM. Atau dengan perkataan lain, negara dapat membebaskan dirinya dari kewajiban untuk penegakan dan menghormati hak nindividu. Pada dasarnya, terdapat tiga pandangan atau falsafah yang berpengaruh dan memberikan corak terhadap paham HAM, ialah falsafah liberalistic, kolektivistik dan integralistik. Untuk bangsa Indonesia, Pancasila yang merupakan pandangan hidup, memandang bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai jika dikembangkan hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara individu dengan lingkungannya, dijiwai oleh nilai-nilai dari Pancasila sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh. Berdasarkan pemikiran tersebut, Pancasila merupakan dasar falsafah yang memberi corak dan warna terhadap implementasi hak asasi manusia HAM di Indonesia. Sehubungan dengan pandangan tersebut, menunjukkan bahwa implementasi HAM harus selalu dihubungkan dengan kewajiban asasi sebagai Universitas Sumatera Utara bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, hak dan kewajiban asasi manusia di Indonesia merupakan dwi-tunggal. Disertai dengan dasar pola pandang Pancasila, sikap hidup bangsa Indonesia adalah, kepentingan pribadinya tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran dan kewajiban masyarakat, kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya. Bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum, sehingga hukumlah yang harus menjadi “rambu-rambu pembatas” bagi penggunaan HAM di Indonesia. Bahwa dasar falsafah HAM di Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum serta bertumpu pada Pancasila. Karena itu, segala hukum yang berlaku dengan tujuan mewujudkan, ketertiban untuk kesejahteraan masyarakat, semuanya harus berdasarkan HAM yang bermula dan digali dari falsafah Pancasila, yang mengutamakan hak dan kewajiban yang akan mendatangkan perdamaian bagi seluruh masyarkat. Mengingat Pancasila sebagai dasar falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, berarti negara hukum Indonesia dijiwai Pancasila. Demikian pula sebagai konsekuensi suatu negara hukum, keberadaan dan perlindungan hak asasi manusia dicantumkan dalam UUD 1945 yaitu Pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal31, pasal 33 dan pasal 34, serta setelah perubahan amandemen kedua UUD 1945 ditambah pasal 28A sampai dengan 28J. Pencantuman pasal-pasal tentang HAM dan UUD 1945, selain senafas dengan jiwa negara hukum juga sebagaimana diisyaratkan dalam penjelasan UUD 1945 ialah menurut hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat Universitas Sumatera Utara demokratis yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem politik yang mendasari negara hukum Indonesia yang dijiwai Pancasila itu ialah demokrasi, yaitu demokrasi Pancasila. Oleh karena itu, pola pandang Pancasila ini memberikan corak dan warna terhadap HAM serta implementasinya di Indonesia, ialah selaras dan seimbang. APKDH yang tersurat dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 , sebagai HAM, dalam implementasinya harus pula dengan pola pandang Pancasila tersebut. Dengan demikian, implementasi APKDH berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 merupakan hak bagi setiap orang tanpa ada perbedaan. Sejalan dengan semangat reformasi, perwujudan isyarat Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 tentang APKDH, implementasinya harus terwujud di dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini antara lain undang-undang yang mengatur proses peradilan pidana. Produk hukum dalam bidang hukum pidana meliputi pembentukan, pelaksanaan dan perkembangan hukum pidana baik formil maupun materil harus senantiasa dilaksanakan dengan baik dan konsekuen. Penegakan hukum dalam proses; pemeriksaan dan peradilan pidana mulai dari tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan harus berlaku sama bagi setiap orang yang terlibat. APKDH berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 harus konsekuen dilaksanakan. Demikian pula dalam penjabaran APTB pada sistem peradilan pidana, menurut penulis hubungan keduanya harus harmonis, sejalan dalam menegakkan HAM tersangka dan terdakwa. Universitas Sumatera Utara 3. Hak Asasi Manusia yang Belum Diatur dalam UUD 1945 Apabila dihubungkan dengan pendapat Rochmat Soemitro 107 a. Hak mendapatkan bantuan hukum, lebih-lebih dalam perkara pidana sejak saat orang dituduh melakukan tindak pidana; dalam makalanya pada seminar Hukum Nasional ke- IV menyebutkan hak asasi lainnya yang tidak disebutkan dalam UUD 1945, sebagaimana berikut: b. Hak atas kemerdekaan diri pribadi, untuk ini diperlukan perlindungan terhadap penahanan tanpa alasan, penculikan. Tiada seorang jua pun dapat ditangkap, ditahan selain atas perintah penguasa yang berhakmengeluarkan perintah semacam itu, dengan disertai alasan- alasan yang tepat; c. Hak mendapat perlindungan atas segala siksaan, penganiayaan dan lain sebagainya; d. Tiada seorangpun dapat diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusan perseorangan, keluarganya; e. Hak atas perlindungan kehormatannya serta nama baiknya; f. Hak untuk hidup damai, dan tiada seorangpun dapat mengganggu tempat kediamanrumah seseorang g. Hak mendapat istirahat dan libur bagi pegawai sipil dan militer, buruh dan para pekerja lainnya. pencabutan hak milik untuk kepentingan umum, harus dapat bertentangan dengan norma-norma keadilan dan harus mendapatkan ganti rugi yang layak; h. Hak untuk mengajukan pengaduan kepada penguasa; i. Hak atas rahasia surat-surat, hubungan kawat dan telepon. Sensor tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. 108 Selain hal-hal tersebut di atas, HAM lainnya yang belum diatur dalam UUD 1945, yang merupakan hak asasi yang penting ialah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan terdakwa. 107 Rochmat Soemitro, Mahkamah Seminar Hukum Nasional ke-IV tentang UUD 1945. 108 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. cit, hlm. 60 Universitas Sumatera Utara

C. Manfaat RUTAN dalam Peningkatan Perlindungan Hak Asasi Manusia