Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana

BAB II PELAKSANAAN PENAHANAN DAN

PELAYANAN PERAWATAN TAHANAN

A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana

Istilah penahanan, asosiasi orang pemikiran biasanya tertuju pada tindakan aparat penegak hukum dalam mencabut kemerdekaan orang lain yang disangka dituduh melakukan suatu tindakan pidana. Walaupun dalam arti luas istilah penahanan sebenarnya tidak hanya dikenal dalam hukum acara pidana tetapi dipergunakan juga diluar konteks hukum acara pidana. Dalam dinas militer misalnya dikenal “penahanan dalam dinas keprajuritan” PDK yang merupakan istilah resmi dari “perpanjangan dari masa dinas aktif” bagi para prajurit ABRI pangkat kolonel ke atas yang telah mencapai usia maksimum dinas ABRI, tetapi masih dibutuhkan dalam tugas-tugas keprajuritan. 26 Hukum acara pidana KUHAP penahanan merupakan salah satu upaya paksa di antara lima upaya paksa, yakni penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Dikatakan sebagai upaya paksa karena biasanya dilaksanakan dengan cara menggunakan kekerasan atau kekuasaan paksa. Cara-cara menggunakan paksaan dan atau kekerasan dalam proses pidana dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1 memasuki ruang; 2 langkah-langkah yang 26 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 Tentang Administrasi Prajurit ABRI 24 Universitas Sumatera Utara dapat diterapkan pada benda; 3 langkah-langkah yang dapat diterapkan pada manusia, dalam bentuk pembatasan kemerdekaan, yaitu penangkapan dan penahanan. 27 Disamping sebagai salah satu instrument penegak hukum pidana, perlu diingat bahwa pada hakekatnya penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak sengsara dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. 28 Kitab undang-undang hukum pidana suatu tindakan penahanan dapat pula menjadi suatu tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum delapan tahun penjara sebagaimana diancam dalam beberapa pasal KUHP yang mengancam pidana bagi tindakan penahanan orang secara tidak sah atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu dengan keluarnya KUHAP No. 8 Tahun 1981 aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana harus lebih berhati-hati dan selektif dalam melaksanakan penahanan. Berbagai persyaratan maupun prosedur yang telah ditentukan secara normative harus dipenuhi dan dipatuhi. KUHAP adalah untuk mengatur perilaku dan tindakan para penegak hukum. Ibarat suatu permainan, KUHAP diciptakan agar para penegak hukum yang 27 L. Hc. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Perbandingan Hukum, op.cit., hlm. 56 28 Luhut M. Pangaribuan, Penahanan Pada Dasarnya Merampas Kemerdekaan, Artikel, Suara Pembaharuan; Jakarta: 15 September 1994. Hlm. 7. Universitas Sumatera Utara bermain itu tidak bermain kayu yang mengakibatkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia. 29 Pelaksanaan penahanan ini, KUHAP benar-benar diuji apakah bisa membina sikap aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat martabat manusia. 30 Perlu pula dikemukakan, bahwa membicarakan penahanan erat kaitannya dengan penangkapan, sebab pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penangkapan dan sebaliknya tindakan penahanan selalu diikuti dengan penahanan. Dalam kehidupan sehari-hari orang awam sering menganggap bahwa penahanan sama dengan penangkapan karena pada dasarnya penangkapan dan penahanan merupakan perampasan hak asasi seseorang untuk waktu tertentu. Pada masa berlakunya HIR dikenal istilah penangkapan sementara yang jangka waktunya Dikatakan demikian karena dalam pelaksanaan penahanan terbuka kemungkinan yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena tersangka ditempatkan dibawah kekuasaan aparat yang melakukan penahanan terisolir dari masyarakat umum. Tidak saja hak asasi kemerdekaan manusia yang dapat dilanggar tetapi mungkin pula terjadinya peenyiksaan fisik, pemerasan ekonomi, teror mental, bahkan kematian tersangka, dimana hal itu tidak terjadi bila tersangka tidak dikenakan penahanan. 29 J. E. Sahetapy, Quovadis Hukum Pidana? Artikel, Media Indonesia, Jakarta: 12 Agustus 1995, hlm.3. 30 Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994, hlm.59. Universitas Sumatera Utara 20 hari Pasal 27 HIR. Bagi polisi penangkapan dan penahanan adalah bagian dari wewenang yang sangat penting , sebagaiman ditulis A.C. Germann et al., “Both arrest and detention can certainly form a necessary and proper of police operations”. 31 Pandangan yang mempersamakan penangkapan dan penahanan sebenarnya kurang tepat, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian maupun konsekuensi yang diakibatkannya, 32 Selanjutnya dalam memahami konsep penahanan dalam peradilan pidana perlu dipahami beberapa model yang bekerja dalam proses peradilan pidana. Menurut L. Packer bekerjanya proses peradilan pidana dapat dijelaskan melalui dua buah model, yaitu “crime control model” dan “due process model”. walaupun sebenarnya pemahaman demikian sebenarnya bukan tanpa dasar. Keduanya merupakan pranata hukum yang berbeda baik dalam teknis pelaksanaan serta syarat-syaratnya maupun konsekuensi hukumnya. 33 Sistem yang bekerja pada”crime control model” didasarkan pada prinsip bahwa penekanan jumlah kejahatan merupakan fungsi utama peradilan pidana. Kegagalan fungsi ini merupakan gangguan terhadap ketertiban umum dan kebebasan. Tetapi kedua model itu hanyalah sekedar “normative models” yang membantu kita dalam menganalisis bekerjanya proses peradilan pidana sehari-hari. 31 A. C. Germann, et al, “Introduction To Law Enforcement And Criminal Justice”, Springfield-Illionis USA: Charles C. Thomas Publisher. 32 Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang Ada dalam KUHAP, Bandung : Alumni, 1982, hlm.26. 33 L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford California 1968, hlm.153 Universitas Sumatera Utara Untuk mencapai tujuan demikian ini, proses criminal harus dilakukan secara efisien, segala rintangan prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pelaksanaan proses criminal harus disingkirkan. Proses peradilan pidana diibaratkan seperti ban berjalan, dimana masing-masing petugas penegak hukum berdiri pada posisinya sendiri. Dalam hal ini proses peradilan pidana merupakan suatu proses penyaringan dan dalam tiap- tiap tahap dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat rutinitas. Keberhasilan pertama- tama diukur sesuai dengan tindakan keberhasilan penyeleasaian kasus demi kasus untuk mencapai tujuan yaitu mengurangi atau menanggulangi kejahatan. Demikian “crime control model” didasarkan pada doktrin “Presumption of guilt” dimana dengan doktrin tersebut diyakini bahwa sejumlah besar perkara pidana dapat ditangani secara efisien. Penyidik telah berkeyakinan akan kesalahan seseorang, maka tahap-tahap proses berikutnya harus dianggap sebagai formalitas belaka. Hasil-hasil penyidikan telah dianggap cukup mengumpulkan semua fakta dan bukti dan proses di muka persidsangan dianggap tidak mungkin memunculkan fakta dan bukti-bukti yang baru yang penting. Packer menegaskan bahwa “preumption of innocence”. Kedua konsep tersebut memang berbeda, tetapi tidak berlawanan. 34 Perbedaan tersebut menurut penjelasan Reksodiputro dapat dicontohkan dengan perbedaan antara atas dengan kiri dimana atas dan kiri adalah dua konsep yang berbeda, tetapi bukan merupakan dua konsep yang berlawanan. 35 34 Ibid, hlm.161. Untuk memahami perbedaan kedua konsep tersebut, orang harus dapat membedakan antara 35 Mardjono Reksodiputro, materi ceramah. Dalam perkuliahan Sistem Peradilan Pidana, Angkatan XI Program Pascasajana Ilmu Hukum. UI, 1993. Universitas Sumatera Utara dua macam kesalahan-kesalahan nyata factual guilt dan kesalahan menurut hukum legal guilt. Dengan suatu contoh Packer memberikan ilustrasi: seseorang dengan sebuah senjata dengan disajikan banyak orang telah melakukan pembunuhan. Ketika polisi datang ia langsung menyerahkan diri. Orang tersebut mengaku menembak korban dengan disajikan oleh saksi-saksi, apakah terhadap orang terseebut masih berlaku prinsip “presumption of innocence? Bukan begitu maksudnya, kata Packer, itu bukan merupakan kesalahannya melakukan pembunuhan legal guilt, ia harus diperlakukan seolah-olah tidak bersalah. 36 Prinsip “presumption of innocence” merupakan intruksi kepada aparat penegak hukum untuk tidak menghiraukan prinsip “presumption of guilt” terhadap tersangka. Artinya terlepas dari kesalahan-kesalahan nyata factual guilt, maka terhadapnya harus tetap diberlakukan seolah-olah tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan kesalahannya menurut hukum legal guilt. Berbeda dengan “crime control model” yang menekankan pada efisiensi dan penghindaran terhadap segala prosedur yang dapat menghambat proses kriminal, maka “due process model” lebih menekankan pada jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangan penguasa. Kekuasaan menurut “due process model” selalu dapat disalahgunakan untuk menindas seorang individu maka kekuasaan ituharus dikontrol dan diawasi. Efisiensi maksimal berarti 36 Packer, The Limits of The Criminal Sanction, op, cit, hlm 161. Universitas Sumatera Utara tirani maksimal. Dalam rangka membatasi tindakan sewenang-wenang dari aparat, maka “due process model” sangat menekankan asas “preumption of innocence”. 37 Crime control model peradilan pidana bekerja seperti ban berjalan, maka pada “due process model” proses peradilan pidana bekerja seperti melewati batas-batas pada lari gawang. Masing-masing gawang dirancang untuk mengarahkan tersangka pada proses lebih lanjut. Untuk memenuhi prosedur yang ditentukan sesuai dengan undang-undang merupakan hal yang sangat penting. Kesalahan dalam prosedur penangkapan atau penahan misalnya akan berakibat pada keabsahan proses pemeriksaan. Due process model proses kriminalitas kelihatan berjalan agak lamban, walaupun demikian diharapkan dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang oleh aparat negara terhadap tersangka, sehingga setiap tindakan penguasa itu harus dapat dikontrol dan diawasi. Untuk itu sebagaimana dianut oleh “due process model” dianjurkan adanya konsep “presumption of innocence”. Apapun juga kompetensi untuk menetapkan adanya suatu fakta tentang suatu kesalahan, maka kesalahan berdasarkan hukum legal guilt lewat suatu peradilan tetap merupakan bukti terakhir. 38 Perkembangannya sistem peradilan pidana yang mendasarkan pada “adversary sistem” baik yang bercorak ”crime control model” maupun “due process model” mendapatkan kritik. Salah seorang yang mengkritik dan mengajukan 37 Ibid., hlm. 166. 38 Ibid., hlm. 166. Universitas Sumatera Utara alternative adalah Jhon Griffithst. 39 Adversary model proses criminal bekerja atas dasar anggapan bahwa pelaku tindak pidana adalah musuh masyarakat dan dengan demikian ia harus disingkirkan, maka menurut “family model” pelaku tindak pidana adalah bagian dari suatu keluarga, jika ia melakukan kesalahan harus diingatkan terlebih dahulu. Tindakan terhadap pelaku tindak pidana bukan berupa pengasingan dari pergaulan masyarakat tetapi mengingatkan atas dasar cinta kasih sesama hidup atas dasar Saling menguntungkan. Menurutnya apapun bentuk dari ”adversary model”, tetap merupakan sistem pertempuran antara dua kepentingan yang berlawanan. Oleh karena itu Griffithst mengajukan model ketiga yang disebutnya “family model” model kekeluargaan. Menurut Griffithst, dalam suatu keluarga mungkin terjadi seorang anggota keluarga melakukan kesalahan dimana terhadap anggota keluarga yang bersangkutan tetap diberi sangsi tersebut tidak boleh menjadikan ia sebagai orang jahat, melainkan agar anggota keluarga tersebut mampu mengendalikan dirinya dan setelah diberi sangsi anggota keluarga yang melakukan kesalahan tetap berada dalam lingkupan kasih saying keluarga. 40 Menurut “crime control model”, penangkapan dan penahanan serta pembinaan harus dilakukan sebisa mungkin atau sebanyak mungkin. Packer menulis bahwa “the model, in order to operate succesfull, must produce a high rate of apprehension and conviction” 41 39 Jhon Griffithst, Ideologi in Criminal Procedural or A Third Model of The Criminal Processil, The Yale Law Journal, Volume 79, Number 3, January 1970 hlm.367-368. . Dengan demikian salah satu indikasi 40 Ibid, hlm. 171-172. 41 Packer, The Limits of The Criminal Sanction, op, cit. hlm.159. Universitas Sumatera Utara keberhasilan sistem peradilan pidana menurut ideology “crime control model” adalah banyaknya jumlah penahanan yang dilakukan oleh aparat berwenang. Penahanan harus dilakukan segera setelah penangkapan, tanpa harus membuang-buang waktu dan biasanya penahanan itu dilakukan oleh polisi. Menurut “crime control model” penahanan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah tersangka mempunyai kesempatan membuat cerita yang tidak benar dan untuk mencegah campur tangan orang lain yang dapat mempengaruhi kerja sama tersangka dengan polisi. 42 Sistem nilai yang membuat pra anggapan tersangka atau terdakwa dianggap penjahat dan penahanan perlu segera dilakukan sesudah penangkapan yang sah dalam “crime control model” adalah untuk keperluan praktis agar peradilan pidana sebagai suatu ban berjalan itu dapat bergerak maju dengan cepat. Bila diberi kebebasan terdapat resiko terssangkaterdakwa tidak muncul di pengadilan tepat pada waktunya. Bahkan untuk para pelanggar hukum, pemula dan orang yang kelihatannya tidak mungkin mengulangi tindak pidana, menurut “crime control model” masih ada alasan yang baik agar penahanan tetap dilakukan dalam arti tidak diberikan “pretrial liberty”. Selanjutnya nilai-nilai yang bekerja dalam “due process model” dalam hal penahanan pertama-tama harus lebih dahulu ada “probable cause” bukti-bukti yang kuat sebelum dilakukan tindakan penahanan. Tersangka dibawa ke pengadilan sesegera mungkin tanpa melakukan penundaan yang tidak penting untuk segera 42 Ibid, hlm.175 Universitas Sumatera Utara disidangkan oleh hakim. Tersangka berhak menguji keabsahan penangkapan dan penahanannya termasuk ada tidaknya “probable cause”. Menurut pandangan “due process mode” dikemukakan bahwa “it is never proper for the police to hold a suspect for the purpose of integration or investigation”. Oleh karena itu terhadap tersangka harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan kebebasan misalnya dengan penagguhan penahanan bail. 43 Pandangan Sahetapy KUHAP mendapat ide dan mengemban amanat dari undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan Kehakiman agar proses peradilan pidana dilaksanakan dengan landasan penganyoman. Sahetapy mengemukakan lebih tepat untuk mempergunakan apa yang disebutnya dengan “model penganyoman”. Selanjutnya walaupun telah ada suatu “probable cause” penahanan ini harus dibatasi sedapat mungkin. Dalam kasus Miranda V. Arizona, hakim berpendapat bahwa polisi tidak boleh melakukan interogasi terhadap seseorang dalam tahanan sampai ia diberitahu tentang hanknya untuk diam dan ia berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Apabila dikaitkan dengan due model dalam proses peradilan pidana yang dikemukakan Packer, maupun model kekeluargaan yang diajukan Griffithst, maka proses peradilan pidana menurut KUHAP tidak dapat digolongkan dalam “crime control model”, “due process model” ataupun “family model”. 44 43 Ibid, hlm 190-191 Dengan demikian dalam proses peradilan pidana 44 Model Penganyoman sebagai model yang dianut KUHAP dikemukakan oleh Sahetapy dalam beberapa tulisan antara lain ”Pendayagunaan Sistem Kamtibmas dalam Tertib Hukum dan Tertib Sosial”. Makalah pada Diskusi Hukum, Integrated Criminal Justice System. Yogyakarta: Juli 1990, Universitas Sumatera Utara penganyoman diberikan baik terhadap masyarakat public, korban tindak pidana maupun terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Penulis setuju atas pendapat tersebut sebab dengan adanya menghayati dan menempatkan diri sebagai penganyom masyarakat, maka aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan tidak akan keluar dari kerangka proses hukum yang adil. Adapun pengertian penahanan itu sendiri pertama-tama dapat dilihat dalam pasal 1 butir 21 KUHAP sebagai berikut :` Pasal 1 butir 21: Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Substansi ketentuan pasal 1 butir 21 KUHAP dapat dilihat bahwa pelaksanaan harus memenuhi tiga unsur elemen, bila tidak dipenuhi maka suatu tindakan bukan penahanan atau paling tidak bukan penahanan yang menurut hukum acara pidana. Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan surat perintah oleh penyidik dan penuntut umum dan dengan penetapan oleh hakim. 2. Menurut hal-hal dan tata cara yang diatur dalam KUHAP 3. Tersangkaterdakwa ditempatkan disuatu tempat tertentu. Penahanan sebagai suatu upaya paksa yang pelaksanaannya dengan menggunakan kekerasan itu perlu dan diatur dalam undang-undang dan mengapa hal. 18. Lihat pula Sahetapy, Hukum dalam Konteks Sosial Politik dan Budaya, Artikel, Analisis CSIS, Tahun XXII No. 1 Januari-Februari 1993, hlm. 55. Universitas Sumatera Utara seseorang ditahan sedang yang lain tidak? Pembicaraan mengenai hal ini berkaitan dengan dasar pemikiran atau rasional dari tindakan penahanan. Sebagaimana telah disinggung dalam bab terdahulu, banyak pemikiran atau pandangan mengenai hal ini. Banyak alasan yang dikemukakan dan dirumuskan baik oleh para ahli maupun oleh para pembuat undang-undang sebagai justifikasi atas keberadaan lembaga penahanan ini, masing-masing bertolak dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Misalnya ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang itu tidak disukai. 45 Selamanya penahanan itu atas inisiatif aparat penegak hukum, adakalanya tersangka meminta sendiri untuk kepentingan keamanan diri pribadi. Tetapi apakah ia ditahan atau sekedar diamankan tentu tergantung surat perintah yang dikeluarkan. Permadi melakukan hal yang sama ketika menjadi tersangka dalam kasus penghinaan agama beberapa waaktu yang lalu. Andi Hamzah mengemukakan bahwa dalam beberapa kondisi dapat terjadi penahanan dengan alasan demi kepentingan tersangka sendiri. Pasal 20 KUHAP dapat dilihat bahwa dasar pemikiran atau alasan perlunya penahanan yaitu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan hakim di sidang pengadilan maupun mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 21 ayat 4 yaitu: 45 Wawancara dengan Kalitbang LBHI Cabang di Jakarta Timur tanggal 11 Februari 1995, mengemukakan bahwa dewasa ini dalam praktek proses kriminal ada tendensi bahwa seseorang ditahan adalah karena kebebasannya tidak disukai. Ada kalanya dalam kasus yang sama bahkan tersangkanya lebih pantas ditahan, ternyata tidak dikenakan penahanan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan perlakuan untuk itu menurut beliau terutama daktor nonjudisial. Universitas Sumatera Utara 1. Tersangka atau terdakwa melarikan diri 2. Tersangka atau terdakwa merusak menghilangkan barang bukti atau 3. Tersangka atau terdakwa mengulangi melakukan tindakan pidana. Bertolak dari rumusan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dasar pemikiran perlunya keberadaan upaya paksa penahanan ini adalah untuk: 1. Kepentingan pemeriksaan peradilan pidana 2. Memelihara ketertiban umum, mencegah diulangnya tindak pidana atau oleh tersangka atau terdakwa Dalam visi siapa lebih luas bila dikaitkan dengan adanya perkembangan pemikiran bahwa pengamanan masyarakat mulai dipandang tergantung dari perbandingan narapidana secara dini dari pada, penggunaan kekerasan dan peningkatan keamanan dalam lembaga secara maksimum, maka tidak terlebih bila dikatakan bahwa asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina, warganya untuk menjadi lebih baik tidak hanya sekedar untuk kepentingan pemeriksaan perlindungan masyarakat secara represif.

1. Proses Penerimaan, Pendaftaran, dan Penempatan Tahanan di RUTAN