C. Manfaat RUTAN dalam Peningkatan Perlindungan Hak Asasi Manusia
dalam Proses Peradilan Pidana
Harapan terhadap keberadaan Rumah Tahanan negara RUTAN dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana
bukanlah hal yang berlebihan. Dalam masa berlakunya hukum acara pidana HIR cukup banyak permasalahan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan penahanan,
antara lain masalah tempat tersangka ditahan penuh ketidakpastian dimana pihak keluarga sering tidak mengetahui dimana tersangka berada, demikian pula kondisi
tempat penahanan yang sangat memprihatinkan, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal itu Hulsman menulis bahwa :
Tempat penahanan dimana orang ditahan sambil menunggu disposisi pengadilan merupakan lembaga yang paling buruk perlengkapannya dan oleh
sebab itu penahanan bahkan lebih tidak dapat disetujui dibandingkan dengan perampasan kemerdekaan lainnya.
109
Keberadaan RUTAN dalam sistem peradilan pidana adalah salah satu hasil upaya pembaharuan hukum pidana formal sekaligus merupakan bagian tak
terpisahkan dari kelahiran KUHAP dalam mewujudkan peradilan pidana yang manusiawi. Adapun pembagian tugas dan tanggung jawab antara RUTAN dengan
instansi lainnya terhadap tahanan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, yakni Pasal 21 ayat 2, 3 dan 4 sebagai berikut;
109
M.L.Hc, Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Soedjono Dirdjosisworo, Saduran, Jakarta: CV. Rajawali, 1984, hlm. 164
Universitas Sumatera Utara
Pasal 21 2 tanggung jawab yuridis atas penahanan ada pada pejabat yang menahan
sesuai dengan tingkat pemeriksaan. 3 tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada kepala RUTAN
4 tanggung jawab atas perawatan kesehatan tahanan ada pada dokter yang ditunjukkan oleh Menteri
Permasalahan tentang pemanfaatan RUTAN dalam meningkatkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab bersama aparat dalam instansi yang dikemukakan di atas. Dengan demikian
pemanfaatan RUTAN itu pertama-tama tergantung pada sejauh mana aparat berwenang melakukan penahanan atau yang bertanggung jawab secara yuridis
mempunyai kemauan untuk memanfaatkan RUTAN itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan pemahaman aparat penegak hukum tersebut tentang kedudukan RUTAN itu
sendiri. Hukum acara pidana Indonesia keberadaan dan fungsi RUTAN telah diatur
dengan tegas baik dalam KUHAP maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1987 tentang pelaksanaan KUHAP. Secara lebih mendetail hal itu diatur dalam
beberapa Keputusan Menteri Kehakiman, antara lain dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Cara-cara Penempatan
Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara. Berdasarkan beberapa ketentuan mengenai RUTAN di atas dapat dikatakan
bahwa tersangka yang dikenakan penahanan rumah tahanan negara di RUTAN merupakan kewajiban bagi aparat yang melakukan penahanan apabila pada suatu
Universitas Sumatera Utara
tempat telah ada RUTAN. Hal itu dapat pula disimpulkan dari Pasal 19 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP ;
1 Di dalam RUTAN ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 22 ayat 1 KUHAP, maka sifat imperative penempatan tahanan rumah tahanan negara di RUTAN cukup jelas dan tegas :
Penjelasan Pasal 22 ayat 1 KUHAP : Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan,
penahanan dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa
di tempat lain. Hal itu berarti apabila di suatu tempat telah ada RUTAN, maka setiap
tersangka yang dikenakan penahanan harus segera dikirim ke RUTAN. Oleh institusi itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa RUTAN merupakan suatu institusi yang
berdiri sendiri dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan selayaknya mempunyai tempat tersendiri dalam bagan aliran proses peradilan pidana. Tanpa visi
demikian kita tidak akan dapat melihat struktur sistem peradilan pidana di Indonesia secara menyeluruh sesuai dengan KUHAP.
Selanjutnya, walaupun Pasal 22 ayat 1 KUHAP maupun pasal 19 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
menggariskan bahwa yang dimasukkan kedalam RUTAN adalah tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, namun dalam
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaannya ternyata penghuni RUTAN tidak terbatas pada tahanan saja tetapi juga narapidana.
Penerimaan narapidana dalam RUTAN adalah berdasarkan Petunjuk Teknis Menteri Kehakiman No. E.76.UM.01.06 Tahun 1986 tentang Perawatan Tahan di
Rumah Tahanan Negara Selain itu RUTAN juga berfungsi sebagai tempat atau saksi ahli disandera
oleh hakim karena menolak bersumpah atau berjanji Pasal 161 ayat 1 KUHAP : 1
Dalam hal saksi atau ahli tanpa menolak untuk bersumpah atau dimaksud dalam pasal 160 ayat pemeriksaan terhadapnya tetap dengan surat penetapan
hakim dikenakan sandera di rumah tahanan saksi untik alasan yang sah berjanji sebagaimana 3 dan ayat 4, maka dilakukan, sedangkan ia ketua
sidang dapat negara paling lama empat belas hari.
110
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditegaskan bahwa proses peradilan pidana di Indonesia, RUTAN mengemban berbagai fungsi, yaitu sebagai:
1. Pengelola tersangka terdakwa yang dikenakan penahanan oleh polisi, jaksa
dan hakim; dalam hal ini RUTAN melaksanakan fungsi penerimaan tahanan, pelayanan tahanan, pengeluaran tahanan dan pembebasan tahanan;
2. Tempat saksi dan atau saksi ahli disandera berdasarkan penetapan hakim
ketua sidang karena tidak mau bersumpah atau berjanji dalam persidangan; 3.
Unit pelaksana pembinaan pemasyarakatan terhadap narapidana yang dipidana penjara kurang dari satu tahun.
110
Selama ini sanksi terhadap saksi ayau ahli yang tidak bersedia mengucapkan sumpah atau janji padahal sumpah atau janji merupakan kewajiban undang-undang; Dengan adanya ketentuan pasal
161 KUHAP, maka sandera saat ini hanya dikenal dalam hukum acara pidana, sedangkan lembaga sandera dalam hukum acara menurut ketentuan pasal 209-223 HIR telah dinyatakan tidak dapat
dipergunakan lagi dengan Surat Agung RI Nomor. 2 Tahun 1964
Universitas Sumatera Utara
Dimasukkannya narapidana ke dalam RUTAN sebenarnya tidak mempunyai dasar hukum baik dalam KUHAP maupun dalam Peraturan Pemerintah No, 27 Tahun
1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Hal itu merupakan kebijaksanaan Menteri yang tertuang dalam Petunjuk Teknis Menteri Kehakiman. Dalam Petunjuk Teknis di atas
dijelaskan pertimbangan dimasukkannya narapidana ke RUTAN Klas I Medan adalah untuk kebutuhan teknis praktis semata yakni untuk keperluan pelaksanaan pekerjaan
rutin di RUTAN seperti memasak, memelihara kebersihan gedung, administrasi ringan, dan sebagainya, sedangkan pekerjaan tersebut tidak boleh dilakukan oleh
orang yang berstatus tahanan sesuai dengan asas praduga tak bersalah dimana tahanan tidak boleh dipekerjakan.
111
Narapidana di bawah satu tahun dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan akan merusak adminstrasi pembinaan narapidana.
112
111
Pasal 15 Peraturan Menteri Kehakiman No.M.04.UM.02.061983 tentang Perawatan Tahanan di RUTAN digariskan beberapa prinsip mengenai perawatan terhadap tahanan, yakni:
1. Tahanan tidak dikenakan wajib bekerja;
2. Tahanan boleh melakukan pekerjaan secara sukarela dengan izin dari
instansi yang menahan; 3.
Sarana kerja bagi tahanan yang dengan sukarela ingin bekerja, disediakan oleh RUTAN:
4. Bagi tahanan yang bekerja dapat diberi upah sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
112
Pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dapat dibagi atas empat tahapan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman No.M.02-PK.04.10 Tahun 1990 yang
didasarkan atas buah pikiran Suhardjo tentang pemasyarakatan sebagai tujuan pemenjaraan. Hal itu dikemukakan beliau dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu Hukum oleh
Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Keempat tahapan pembinaan tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap I, tahap admisi dan orientasi; dalam tahap ini disusun pedoman pembinaan bagi yang bersangkutan, dengan melakukan pengawasan maksimum security.
Tahap II, tahap pembinaan 13-22 masa pembinaan. Bila ada kemajuan sikap dan perilaku napi diberi kebebasan lebih banyak medium security.
Tahap III, ½-23 masa pemidanaan, dimana kepada narapidana diberi kesempatan melakukan asimilasi masyarakat diluar tembok penjara, dimana pengawasan bersifat
minimum security.
Universitas Sumatera Utara
Menurut logika berpikir simetris dari Mardjono Reksodiputro yang selengkapnya menyatakan :
Pendangan bahwa penyebutan “hak” selalu harus dibarengi dengan pengertian adanya “kewajiban” timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan
kewajiban itu adalah simetris. Yang keliru adalah kesimpulan hak dan kewajiban itu berada pada satu subyek individu yang sama. Dengan contoh:
kalau A mempunyai hak X, maka B mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan X tersebut, atau kalau A mempunyai kewajiban Y, maka B
mempunyai hak yang berkaitan dengan kewajiban Y itu. Hak asasi manusia termasuk hak warga negara melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki
oleh warga negara, sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang
mempunyai kekuasaan dan melindungi hak warga negara tersebut.
113
Tersangka menghabiskan sebagian besar masa penahanannya di kantor polisi, maka keadaan ini sama saja dengan masa berlakunya HIR sampai dengan 1981
yang justru ingin diubah dengan adanya KUHAP. Pengingkaran hak-hak tersangka oleh aparat negara tentu saja tidak sesuai dengan semangat prinsip proses hukum
yang adil yang mengajawantah dalam bentuk penghormatan hak-hak asasi tersangka dalam proses peradilan pidana.
Adapun alasan responden di tetap menahan tersangka di kantor polisi dan tidak segera mengirimnya ke RUTAN adalah karena pemeriksaan terhadap tersangka
belum selesai. Apabila tersangka langsung di kirim ke RUTAN akan menimbulkan
Tahap IV, 23 masa pidana, kepada napi diberikan cuti menjelang bebas atau pembebaan bersyarat dengan memperhatikan kemajuan narapidana dalam mengikuti proses
pembinaan.
113
Mardjono Reksodiputri, Pandangan Tentang Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Aspek Hak- Hak Sipil Dengan Perhatian Khusus pada Hak-Hak Sipil dan Politik dalam KUHAP Pembahasan
atas Mahkamah Agung RI, dalam Seminar Tentang Hak Asasi Manusia dalam konteks ASEAN, di DPR RI, Jakarta 15 Februari 1993, hlm. 3,
Universitas Sumatera Utara
kesulitan dan akan menambah beban kerja polisi bila sesewaktu dibutuhkan untuk kepentingan pengembangan pemeriksaan.
Menurut ketentuan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02- PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan NarapidanaTahanan ditegaskan
bahwa: Untuk keperluan pemeriksaan perkara oleh penyidik Polri atau Jaksa tidak
dibenarkan untuk membawa tahanannarapidana ke luar LapasRutanCabrutan, kecuali untuk keperluan rekontruksi atau sebagai saksi
di persidangan. Penyidik dapat melakukan pemeriksaan di dalam LapasRutanCabrutan setelah menunjukkan surat dari pejabat resmi yang
berwenang. Ketentuan di atas dinilai oleh kalangan di kepolisian sering menghambat
proses pemeriksaan tersangka sehingga untuk menghindarkan berbagai pembatasan tersebut tersangka tetap di tahan di kantor polisi sampai benar-benar selesai diperiksa.
Akibatnya adalah di rumah tahanan polisi para tahanan dicampurkan satu sama lain tanpa memperhitungkan efek negatif yang mungkin terjadi, bahkan tahanan wanita
dan anak ditempatkan dalam satu gedung dengan para pelaku tindak pidana lainnya. Hal ini selain bertentangan dengan rasa kemanusiaan juga secara yuridis bertentangan
dengan Pasal 29 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang menyatakan bahwa tahanan dipisahkan berdsarkan jenis
kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan. Masalah penempatan tahanan terutama wanita dengan pria merupakan
permasalahan yang sangat mendasar sehingga mendapat perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana tercantum dalam standart minimum rules for treatment
Universitas Sumatera Utara
of prisoners yang dengan tegas menghimbau agar tahana wanita sejauh mungkin dipisahkan lembaganya dengan tahanan pria. Pemisahan dimaksud bukan sekedar
pemisahan ruangan atau blok dalam satu lembaga melainkan pemisahan tempat dan pengelolaan.
Pada konteks ini keberadaan RUTAN semestinya telah memberikan kontribusi yang besar dalam upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan hak
asasi manusia dibandingkan pada masa berlakunya HIR. Tetapi kendalanya aparat penegak hukum terutama polisi masih belum memanfaatkan RUTAN sebagaimana
mestinya, sehingga kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia di rumah tahanan kepolisian masih sering terjadi. Sesuai dengan
keberadaan Polri sebagai salah satu unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI yang bertanggung jawab dengan sistem komando diperlukan adanya Petunjuk
Teknis dari Kapolri mengenai penempatan tahanan RUTAN agar aparat bawahan mempunyai motivasi yang kuat untuk melaksanakannya.
Disamping itu karena kebijakan di lapangan biasanya diserahkan kepada petugas lapangan dan tidak setiap saat mendapatkan pengawasan dari atasan, maka
yang paling penting adalah meningkatkan pemahaman dan penghayatan aparat tentang ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus dengan
landasan falsafah dan asas-asas yang dianut oleh KUHAP. Walaupun pendapat di atas tidak salah sama sekali, tetapi secara praktis membawa konsekuensi bahwa polisi
menilai pengiriman terdakwa yang dikenakan penahanan ke RUTAN bukan suatu
Universitas Sumatera Utara
kewajiban hukum, sehingga ia bebas kapan saja mengirimkan terdakwa yang ditahan di RUTAN.
Keadaan diatas berarti pengabaian hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana. Alasan bahwa menurut KUHAP masih dimungkinkan kantor kepolisian dapat
menjadi tempat penahanan tidak diterima karena di Medan telah berdiri RUTAN Klas I Medan. Disamping itu di RUTAN Klas I Medan disediakan ruangan yang
cukup luas dan memadai sebagai tempat pemeriksaan oleh aparat kepolisian dan kejaksaan namun ruangan itu tidak pernah dimanfaatkan.
Dari uraian diatas dikemukakan bahwa pada dasarnya keberadaan RUTAN dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah memberikan kontribusi yang besar
bagi peningkatan perlindungan harkat martabat manusia. Manfaat yang dicapai belum sebagaimana yang diharapkan, karena aparat penegak hukum yang bertanggung
jawab secara yuridis dalam pelaksanaan penahanan belum memanfaatkan keberadaan RUTAN sebagaimana mestinya.
D. Perlindungan HAM bagi Tersangka danatau Terdakwa Selaku Warga