Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Rumah Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)

(1)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I MEDAN)

TESIS

Oleh :

DAULAT JHON FERY PURBA 077005139

*

*

S

E K O L A H

FAKULTAS PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN

DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI

MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA

(Studi di RUTAN Klas I Medan)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DAULAT JHON FERY PURBA 077005139/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)

Nama Mahasiswa : Daulat Jhon Fery Purba Nomor Pokok : 077005139

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Chainur Arrasjid, SH)

A n g g o t a

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

A n g g o t a

(Syafruddin S. Hasibuan, SH,MH,DFM)

Dekan

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Tanggal Lulus : 18 Agustus 2011


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Chainur Arrasjid, SH

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH,MH,DFM 3. Dr. Hamdan, SH, MH


(5)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba A B S T R A K

Penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) juga disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara; mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan dan untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan.

Ternyata keberadaan Rumah Tahanan negara (RUTAN) dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana bukanlah hal yang berlebihan. Pelaksanaan penahanan, responden yang seluruhnya merupakan aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga perlindungan HAM terjadi.

Masih banyaknya hambatan dan kendala yang menjadi penghalang terlaksananya perlindungan HAM dan pelayanan tahanan diantaranya yaitu; kurangnya sarana dan prasarana untuk memberikan pelayanan kepada tahanan, cthnya: kurangnya sarana olahraga, jarangnya datang pemuka-pemuka agama ke RUTAN dll; masih rendahnya


(6)

tingkat pendidikan petugas RUTAN sehingga kemungkinan besar dapat menyebabkan pelanggaran HAM di RUTAN; sudah merupakan tradisi RUTAN bahwa yang namanya tahanan harus “dididik” dan “dibina”. Pengertian “dididik” dan “dibina” ini sering disalahartikan sebagai didikan dan binaan dengan cara kekerasan.


(7)

ARREST AND IMPRISONMENT OF SERVICES IN CONJUNCTION WITH THE ENFORCEMENT OF HUMAN RIGHTS AT HOME STATE

PRISONERS

(Case in RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba

ABSTRACT

Detention is a deprivation of liberty or deprivation of others are uncomfortable one (passion) and will bring legal consequences as well as a broad sociological good for the person detained or his family because of its excessive ie people who are not legally guilty, but society has deemed guilty . Guidance to prisoners (including prisoners) are also adjusted to the principles contained in Pancasila, the Constitution 45 and the minimum standard rules which all reflected in the 10 correctional principles.

Directions prisoner care services, coaching and guidance you need to do is to fix the officer's behavior for the purpose of fostering citizen auxiliaries can be achieved. The common goal is to enable them to become Indonesia's human good and useful, and participate fully in national development. Guidance activities can only be followed by inmates is voluntary and short-term nature. This study aims to determine the implementation of the detention and custody services in the criminal justice process for the accused were detained in house state inmates; know the protection of Human Rights in the implementation of detention in prisons Class one field and to identify obstacles and constraints faced by RUTAN Class one field in an effort to improve human rights protection, especially in the implementation of detention.

It turned out that the existence of the state prison (detention center) in the treatment increased a more just and humane criminal justice process is not excessive.Implementation of the detention, the respondents who are all officers apparatus RUTAN Class one Field argues that the issue of human rights exaggerated and considered that respect for and protection of human rights has not become a major consideration for staff officers in the execution of duties and responsibilities when custody is in the crease. Protection of human rights that occurred in RUTAN Class one field is still not as expected. Due to the many things that do not support so that the protection of human rights occurred.


(8)

There are still many barriers and obstacles that hinder the implementation of human rights protection and custody services among which: the lack of facilities and infrastructure to provide services to prisoners, for example, lack of sports facilities, lack of religious leaders came to the crease, etc.; the low level of education so that officers Rutan is likely to cause human rights violations in prisons; RUTAN is already a tradition that the name detainees must be "educated" and "nurtured". Definition of "educated" and "scouted" is often misinterpreted as educated and assisted by violent means.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan atas segala Kasih yang telah diberikanNya serta juga kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang “PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I MEDAN)”. Tesis ini dibuat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapatkan gelar magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyususan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc(CTM),Sp.A(K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,SH,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum


(10)

4. Bapak Prof. Chainur Arrasjid, SH, selaku Pembimbing Utama serta Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mendorong penulis dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

5. Bapak Dr. Hamdan, SH, MH dan Ibu Dr. Marlina, SH, MH selaku penguji, terima

kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.

6. Bapak Kepala Rutan Klas I Medan Thurman S M Hutapea BcIP, SH, M Hum

yang telah memberikan penulis tempat penilitian.

7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang telah menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan selalu mendoakan penulis. Salam bahagia penulis haturkan kepada isteri tercinta dan anak-anak tersayang atas kerelaan waktu yang tersita dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis segera menyelesaikan studi.

Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup damai dan tenteram.

Puji Tuhan

Hormat Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Daulat Jhon Fery Purba

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 06 Juli 1969

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar RK. St. Thomas 1, Lulus Tahun 1982

2. Sekolah Menengah Pertama RK St. Thomas 1, Lulus Tahun 1985

3. Sekolah Menengah Atas Kristen 2, Lulus Tahun 1988

4. Fakultas Hukum Universitas Katholik St. Thomas, Lulus Tahun 1996

5. Fakultas Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Kerangka Konsepsional ... 20

G. Metode Penelitian ... 20

1. Pendekatan Masalah ... 21

2. Sumber Data ... 21

3. Pengumpuan Data ... 23

4. Analisa Data ... 23

BAB II PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 24

A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana ... 24

1. Proses Penerimaan, Pendaftaran, dan Penempatan Tahanan di RUTAN ... 37

2. Orang-orang yang diterima di Rutan ... 44

B. Potensi Rutan Dalam Melakukan Pelayanan Tahanan ... 45


(13)

BAB III PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI TAHANAN DAN

NARAPIDANA DI RUTAN KLAS I MEDAN ... 66

A. Konsep Hak Asasi Manusia ... 66

B. Perkembangan Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum ... 71

C. Manfaat RUTAN Dalam Peningkatan Pelrindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana ... 87

D. Perlindungan HAM bagi Tersangka dan/atau Terdakwa Selaku Warga Binaan di RUTAN Klas I Medan ... 97

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENINGKATAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA ... 103

A. Pelaksanaan Upaya Paksa Penahanan ... 103

B. Kendala Yang Dihadapi Oleh Petugas RUTAN ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 125


(14)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba A B S T R A K

Penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) juga disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara; mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan dan untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan.

Ternyata keberadaan Rumah Tahanan negara (RUTAN) dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana bukanlah hal yang berlebihan. Pelaksanaan penahanan, responden yang seluruhnya merupakan aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga perlindungan HAM terjadi.

Masih banyaknya hambatan dan kendala yang menjadi penghalang terlaksananya perlindungan HAM dan pelayanan tahanan diantaranya yaitu; kurangnya sarana dan prasarana untuk memberikan pelayanan kepada tahanan, cthnya: kurangnya sarana olahraga, jarangnya datang pemuka-pemuka agama ke RUTAN dll; masih rendahnya


(15)

tingkat pendidikan petugas RUTAN sehingga kemungkinan besar dapat menyebabkan pelanggaran HAM di RUTAN; sudah merupakan tradisi RUTAN bahwa yang namanya tahanan harus “dididik” dan “dibina”. Pengertian “dididik” dan “dibina” ini sering disalahartikan sebagai didikan dan binaan dengan cara kekerasan.


(16)

ARREST AND IMPRISONMENT OF SERVICES IN CONJUNCTION WITH THE ENFORCEMENT OF HUMAN RIGHTS AT HOME STATE

PRISONERS

(Case in RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba

ABSTRACT

Detention is a deprivation of liberty or deprivation of others are uncomfortable one (passion) and will bring legal consequences as well as a broad sociological good for the person detained or his family because of its excessive ie people who are not legally guilty, but society has deemed guilty . Guidance to prisoners (including prisoners) are also adjusted to the principles contained in Pancasila, the Constitution 45 and the minimum standard rules which all reflected in the 10 correctional principles.

Directions prisoner care services, coaching and guidance you need to do is to fix the officer's behavior for the purpose of fostering citizen auxiliaries can be achieved. The common goal is to enable them to become Indonesia's human good and useful, and participate fully in national development. Guidance activities can only be followed by inmates is voluntary and short-term nature. This study aims to determine the implementation of the detention and custody services in the criminal justice process for the accused were detained in house state inmates; know the protection of Human Rights in the implementation of detention in prisons Class one field and to identify obstacles and constraints faced by RUTAN Class one field in an effort to improve human rights protection, especially in the implementation of detention.

It turned out that the existence of the state prison (detention center) in the treatment increased a more just and humane criminal justice process is not excessive.Implementation of the detention, the respondents who are all officers apparatus RUTAN Class one Field argues that the issue of human rights exaggerated and considered that respect for and protection of human rights has not become a major consideration for staff officers in the execution of duties and responsibilities when custody is in the crease. Protection of human rights that occurred in RUTAN Class one field is still not as expected. Due to the many things that do not support so that the protection of human rights occurred.


(17)

There are still many barriers and obstacles that hinder the implementation of human rights protection and custody services among which: the lack of facilities and infrastructure to provide services to prisoners, for example, lack of sports facilities, lack of religious leaders came to the crease, etc.; the low level of education so that officers Rutan is likely to cause human rights violations in prisons; RUTAN is already a tradition that the name detainees must be "educated" and "nurtured". Definition of "educated" and "scouted" is often misinterpreted as educated and assisted by violent means.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Pengganti HIR, perhatian terhadap hak asasi manusia di Indonesia dijunjung tinggi, karena seseorang yang dianggap telah melanggar hukum tidak lagi diperlakukan sebagai obyek semata melainkan harkatnya sebagai manusia (subyek) sangat diperhatikan sehingga proses beracara yang menangani pelanggar hukum dirasakan lebih manusiawi, sesuai dengan asas didalam hukum semua manusia di mata hukum diperlakukan sama tanpa kecuali. Rumusan KUHAP salah satu permasalahan mengenai penahanan tetap aktual dibicarakan, karena berhubungan erat dengan hak asasi manusia. Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengandung tentang perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dan hal ini merupakan batas-batas bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai dengan tujuan KUHAP yang lebih baik, yang memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Walaupun batas-batas wewenang telah digariskan didalam KUHAP, namun penerapannya dalam praktek sering menyimpang, baik pada tahap penyidikan hingga putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan reaksi dan kritik keras dari korban kejahatan maupun dari masyarakat terhadap prilaku negatif aparat penegak hukum.


(19)

Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan sehingga terkadang pelaku justru menjadi residivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan sosial disamping penerapan sanksi pidana.1

Dewasa ini perlakuan adil dan manusiawi di berbagai bidang kehidupan khususnya dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu perhatian sekaligus merupakan tuntutan dan dambaan masyarakat, maka segala daya dan upaya akan dilakukan untuk mendapatkan keadilan adalah hal yang sangat hakiki.

Menurut negara hukum, keadilan itu dihadapkan dan diperoleh dari bentuk penerapan hukum yang layak, oleh karena itu tidak mengherankan bila rakyat Indonesia berpendapat bahwa tugas paling penting dan mendesak dilakukan pemerintah dewasa ini adalah meningkatkan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian membicarakan masalah prinsip proses hukum yang adil dalam proses peradilan pidana menjadi salah satu topik yang sangat relevan saat ini.

Penekanan pada masalah penahanan, karena penahanan merupakan salah satu upaya paksa yang dikenal dalam hukum cara pidana yang sangat erat bersinggungan dengan masalah hak asasi manusia. Menurut Hulsman, penahanan itu merupakan

1

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal

Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008) Hlm. v


(20)

lembaga paling penting diantara beberapa lembaga penggunaan paksaan dalam

hukum acara pidana2. Dikatakan demikian karena setiap penahanan akan

mengakibatkan hilangnya kemerdekaan manusia dalam waktu yang cukup lama sebelum ia dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dan tetap. Apalagi kebebasan itu dipandang merupakan salah satu dari hak yang dipandang sangat asasi. Tanpa jaminan akan kemerdekaan manusia tidak akan dapat mengembangan potensi dirinya secara wajar sebagai manusia dalam kualitasnya yang utuh secara jasmani dan rohani, sebagai individu maupun makhluk sosial.3

Yahya Harahap mengemukakan bahwa setiap yang namanya penahanan berarti perampasan kemerdekaan dan kebebasan manusia, nilai-nilai kemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan serta menyangkut nama baik dan pencemaran kehormatan diri pribadi manusia.4

2

L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Saduran oleh Soedjono D. (Jakarta : Rajawaqli, 1984) Hlm. 79

Di Indonesia UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76 (selanjutnya disebut KUHAP) yang oleh bangsa Indonesia pada awalnya dianggap sebagai karya agung. Banyak alasan yang dikemukakan oleh para ahli maupun praktisi sebagai justifikasi keberadaan lembaga penahan ini , masing-masing bertolak

3

Sutandyo Wignyosoebroto, Hak-hak Manusia dan Konstituante, Artikel Kompas 19 Agustus 1996, hlm. 11. Menurut Agus Salim : Kebebasan itu berarti masing-masing dapat menurut kehendaknya dan menurut kehidupan tertentu yang dipilihnya dalam masyarakat. Bachtiar Agus Salim,

Hukum PIdana – Beberapa Catatan Penintetiaire Pecht di Negeri Belanda dan di Indonesia (Jakarta

Timur : Fakultas Hukum USU, 1976) Hlm. 51

4

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Jilid I (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993) Hlm. 41


(21)

dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang tidak disukai. Bangsa Indonesia sebagaimana ditegaskan Mardjono Reksodiputro, apabila dilihat dari substansi KUHAP dapat dikatakan merupakan pengakuan pembuat Undang-undang Indonesia bahwa “due process of law” (proses hukum yang adil atau layak) merupakan sikap batin dari KUHAP.5

Prinsip proses hukum yang adil yang mengejawantahkan dalam asas-asas penegakan hukum di dalam KUHAP merupakan penjabaran dari asas pengayoman dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara tahun 1970 No. 74. Hal itu berarti bahwa latar belakang pentingnya penahanan sebagai salah satu upaya paksa yang penting dalam proses peradilan pidana, adalah dalam konteks pengayoman bagi masyarakat umum (publik), korban tindak pidana dan juga bagi tersangka/terdakwa itu sendiri.

Bertolak dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina warganya termasuk mereka yang masuk ke dalam proses peradilan pidana.

6

Disamping penahanan sebenarnya dikenal suatu upaya paksa lainya yang juga merupakan perampasan kemerdekaan manusia, yakni penangkapan. Walaupun tidak mesti, tetapi pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan pengangkapan, dan sebaliknya tindakan penangkapan selalu diikuti dengan

5

Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesai. (Jakarta : 1994) Hlm. 15

6

Sahetapy mengemukakan bahwa asas pengayoman merupakan jiwa dari hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam beberapa pasal dalam UU No. 14 Tahun 1970. J.E Sahetapy, “Hukum dalam Konteks Sosial Politik dan Budaya”. 11 Analisis, Tahun XXII No. 1 Januari – Februari 1993. Hlm. 54


(22)

penahanan. Pada dasarnya baik penangkapan atau penahanan sama-sama merupakan perampasan hak asasi kebebasan seseorang untuk waktu tertentu.

Fokus perhatian pada penahanan dalam kaitannya dengan penerapan prinsip proses hukum yang adil adalah disamping untuk pembatasan ruang lingkup pembahasan juga karena mengingat walaupun penangkapan juga pengekangan terhadap kebebasan manusia tetapi jangka waktunya maksimum hanya satu hari, sedangkan penahanan dalam jangka waktu mencapai 400 hari bahkan dapat mencapai 700 hari dalam Pasal 29 KUHAP, sehingga dapat dipandang sebagai kewajiban

warga negara untuk membantu pengamanan dalam negeri.7

KUHAP No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai persyaratan pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur terlebih-lebih kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan kerugian moril dan materil baik bagi diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan penderitaan yang telah dialaminya.

Setelah KUHAP berusia lebih dari dua dasawarsa, banyak hal telah terjadi, terutama yang berkenaan dengan tindakan penahanan yang tidak sesuai dengan prinsip proses hukum yang adil yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan.

7

Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, (Surakarta : Sebelas Maret University Press, 1994) Hlm. 65


(23)

Beberapa kasus aktual yang menjadi pembicaraan masyarakat sebagaimana diundangkan dalam berbagai media massa, antara lain penahanan anak usia 9 tahun selama 52 hari dalam kasus pencurian burung senilai Rp. 10.000,- di Yogyakarta (Kompas, 26 Juli 1995). Kelebihan masa penahanan Hia selama 81 hari di Jakarta Timur (Kompas, 15 Juli 1995), Polisi mengembalikan tersangka sudah menjadi mayat (Harian Waspada, Jakarta Timur, tgl. 15 Februari 1995). Beratnya menangguhkan penahanan dalam kasus pencurian lima buah silet (Kompas, 01 Juli 1995), Dilepas setelah disiksa hingga cacat (Fajar, 26 Maret 1996), Penganiayaan hingga luka berat terhadap tersangka di Polsek Pondok Bambu Jakarta Timur (Media Indonesia, 14 Agustus 1989). Sedangkan kasus yang berkaitan dengan fungsi Rumah Tahanan Negara (RUTAN), antara lain terlihat dalam gugatan praperadilan terhadap RUTAN Klas IIA Jakarta Timur Tahun 1989 karena tidak dilepaskan demi hukum walaupun masa penahanannya telah habis (Putusan PN Jakarta Timur No. 05/Pid.Pra/1991/ PN JKT). Kasus Subekti Ismaun yang telah menyalahgunakan ijin berobat untuk pergi bersantai ke daerah Puncak Bogor, dan lain sebagainya.

Berbagai kasus di atas menggambarkan kepada kita betapa perlunya upaya untuk lebih meningkatkan pemahaman dan penerapan prinsip proses hukum yang adil sehingga tidak akan menimbulkan jatuhnya korban-korban baru tidak saja sekedar korban dari kejahatan tetapi juga korban peradilan. Sahetapy menulis bahwa korban yang dewasa ini begitu hangat dikasak kusukkan secara terselubung adalah korban peradilan, yang dimaksudkan peradilan di sini yaitu mulai dari proses pemeriksaan dan atau penahanan dikepolisian sampai diserahkan kepada Lembaga


(24)

Pemasyarakatan.8 Oleh karena itu tidak berlebihan bila Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menaruh perhatian serius terhadap masalah penahanan ini khususnya

Prisoners under Arrest or A Waiting Trial atau tahanan yang sedang menunggu

pemeriksaan di depan pengadilan.9

Pelaksanaan penahanan ini terbuka kemungkinan yang lebih luas untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik karena kurangnya ketrampilan dan pemahaman aparat maupun karena kelalaian. Disamping karena kurangnya ketrampilan dan pemahaman akan hak asasi manusia sebagai inti dari prinsip proses hukum yang adil, terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktek pelaksanaan penahanan juga karena Undang-undang tidak tuntas mengaturnya sampai mendetail, sehingga dalam banyak hal diserahkan kepada praktek dan kebiasaan. Yang semestinya tidak boleh menyimpang dari rumusan Undang-undang dan prinsip perlindungan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh KUHAP.10

Upaya jaksa sistem Hukum Pidana kerap diwujudkan dalam bentuk pengekangan kemerdekaan/kebebasan atau penahanan. Penahanan adalah peristiwa yang luar biasa, sebab tiap-tiap penangkapan dan atau penahanan harus tunduk kepada perlindungan hak kemerdekaan individu. Prinsip keadilan dalam negara hukum tidak boleh dipisahkan dari proses politik pemerintah yang berdasarkan

8

JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai .(Bandung : Alumni) Hlm. 24

9

“Standard Minimum for The Trearment of Prisoners and Prosedures for The Effective

Implementation of The Rules”. Disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada Tanggal 31 Juli

1957. (New York : Department of Public Information

10

Andi Hamzah, Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek Penahanan, Dakwaan –


(25)

kepada hak kemerdekaan individu, keadilan dan aturan perundang-undangan.11

Alasan tidak menghambat tugas penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti yang akan digunakan untuk mendakwanya. Pada kondisi seperti ini, terdakwa tidak mempunyai kemampuan untuk membela dirinya ketika polisi menyiksanya baik secara fisik maupun mental. Pembicaraan mengenai masalah yang berkaitan dengan fungsi dan peranan Rumah Tahanan Negara (RUTAN), yakni suatu lembaga baru tempat pelaksanaan penelitian menurut hukum acara pidana Indonesia (KUHAP No. 8 Tahun 1991) yang baik dikenal dalam “HIR” Staatsblad Tahun 1941 No. 44. Keberadaan RUTAN sebagai suatu subsistem peradilan pidana adalah hal yang menggembirakan, karena menunjukkan adanya “political will” untuk memenuhi tuntutan akan lebih terjaminnya penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Disamping itu dapat dikoordinasikan suatu kegiatan yang diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pribadi tahanan itu sendiri. Bagian kegiatan menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan disebut sebagai pelayanan tahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan.

Polisi sebagai bagian dari pemerintah/eksekutif berwenang untuk menangkap dan menahan seorang tersangka.

Akhirnya permasalahan pelaksanaan penahanan dalam penelitian ini dititik beratkan pada tahap pemeriksaan pendahuluan, mengingat walaupun tahap ini bukan

11

Suriatmadja, Penangkapan dan Penahanan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976. Hlm. 3


(26)

merupakan tahap yang dominan dalam sistem peradilan pidana,12 namun pelaksanaan penahanan merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan, bahkan polisi dan jaksa merupakan unsur yang kritis didalam keadilan dan amat besar pengaruhnya terhadap siapa akan dilakukan penahanan dan penuntutan.13 Berbuat salah dalam bertindak atau mereka malas dalam bertindak, maka niscaya keadilan akan gagal ditegakkan.14 Dari uraian yang dikemukakan di atas penulis tertarik mengambil judul : ”Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakkan Hak Asasi Manusia Di Rumah Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut diatas dengan ini penulis mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses

peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara?

2. Bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan

penahanan di RUTAN Klas I Medan?

3. Bagaimana Hambatan yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya

meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan?

12

Menurut Reksodiputro, Sesuai dengan KUHAP tahap ajudikasi harus diberi peran dominan dalam seluruh proses peradilan pidana.

13

Loebby Logman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) Hlm. 91

14


(27)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman tentang permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan

dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara

2. Untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam

pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan

3. Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN

Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan

D. Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis mempunyai harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik maupun dunia praktis sebagai berikut :

1. Secara Teoritis.

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan penahanan dan penegakan hak Asasi Manusia.


(28)

Memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan acuan untuk mahasiswa dan praktisi serta instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung jawab dan kehati-hatian dalam melakukan pelayanan terhadap tahanan sehingga tidak sampai timbul pelanggaran Hak Asasi Manusia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada disekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Khususnya Fakultas Hukum, ternyata belum ditemukan judul mengenai Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Dirumah Tahanan Negara ( Studi di Rutan Klas I Medan ). Dari beberapa judul tesis yang ada seperti “ Pelaksanaan Perlindungan Hak-Hak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian “ Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Tahanan dan Narapidana”. Penulis ketahui bahwa topik dan permasalahannya sangat berbeda dengan judul tesis yang penulis angkat. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Pengertian yang sederhana penahanan merupakan tindakan menghentikan kemerdekaan seseorang, sedangkan kemerdekaan itu adalah hak


(29)

asasi manusia ; KUHAP merupakan undang-undang hukum acara pidana yang sangat menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia, karena itu KUHAP memberikan pembatasan waktu lamanya penahanan dapat dilakukan, dan jika batas waktu itu dilampaui maka pejabat yang melakukan penahanan harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari rumah tahanan negara demi hukum.15

Landasan penahanan meliputi dasar hukum, keadaan, serta syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan penahanan antara yang satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang kepada unsur yang lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan penahanan kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi sebagai tindakan yang tidak sah (Ilegal). Misalnya yang terpenuhi hanya unsur landasan hukum atau yang sering juga dinamakan landasan unsur objektif, tetapi tidak didukung unsur keperluan atau yang disebut unsur subjektif, serta tidak dikuatkan unsur syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, penahanan yang seperti itu lebih bernuansa “ Kejaliman “ dan kurang berdimensi relevansi dan urgensi.16

Perintah penahanan terhadap tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana, selain didasarkan pada bukti (alat bukti yang sah) yang

15

Martiman Prodjohamidjojo, SH , Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984) hal. 18

16

M. Yahya Harahap, SH. , Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika , 2009) hal. 165


(30)

cukup, harus didasarkan pula pada persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu :17

− Dasar Hukum / Dasar Objektif

Tindakan penahanan yang dapat dikenakan terhadap tersangka / terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut maka tidak setiap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dilakukan tersebut diluar ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP.

− Dasar Kepentingan / Dasar Subjektif

Berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar objektif, maka tindakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga didasarkan pada kepentingan (keperluan) yaitu untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan penuntutan dan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan (pasal 20 KUHP), serta didasarkan pula pada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1 KUHAP).

17

Dr. H.M.A. Kuffal, SH. , Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, (Malang : UMM Press, 2004) hal. 71 - 72


(31)

Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang lapas ditempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan tersebut dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System. Perawatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas atau ditempat tertentu bertujuan antara lain untuk :18

1. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun

pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan.

2. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan

yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau

3. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan

dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.

Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan pada hak kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan harus

18

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999, Tentang Syarat-syarat dan Tata Cara


(32)

dilakukan sesuai dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan tingkat proses pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib mengikuti program-program perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak bersifat memaksa. Kewajiban tersebut semata-mata untuk memberikan manfaat yang menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik.

Darwan Prinst19

Berkenaan dengan hak asasi manusia, praduga tak bersalah diprioritaskan sebagai langkah awal bagi semua standar dibidang penahanan praajudikasi. Orang-orang yang belum dihukum atas kejahatan yang dituduhkan dijamin hak nya atas perlakuan yang berbeda sesuai dengan status mereka sebagai orang-orang yang belum dihukum oleh pasal 10 (2) (a)

, mengemukakan hak-hak tersangka/terdakwa yang diatur dalam KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia, akan tetapi oleh karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak memberi peluang atas pelanggaran hak-hak tersangka/ terdakwa. Namun demikian sebagaimana bagusnya suatu undang-undang pelaksanaanya tetap ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya. Sebagaimana diungkapkan adanya peraturan yang baik dengan pelaksanaan yang tidak baik maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.

19

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidanan dalam Praktik, (Jakarta : Djambatan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, 1998) hal. 5


(33)

Kovenan tentang hak-hak sipil dan politik. Interprestasi komite hak asasi manusia berkomentar bahwa berdasarkan praduga tak bersalah beban pembuktian mengenai tuduhan ada pada penuntut umum dan tertuduh harus diragukan kesalahannya, sampai dengan dapat dibuktikan tuduhan tanpa keraguan yang mendasar. Salah satu artikel dari Suterland “Detention Before

Trial” tentang alternatif institusi penahanan masa kini ada menyebutkan

bahwa 20

“Persons a waiting from should be separated from convicted criminals, ordinanly authorities believe that this could be best accomplished by maintaining/convicted prisoners in one institution and detained person in another”.

“Bahwa orang-orang yang menunggu proses pemeriksaan pengadilan seharusnya ditempatkan terpisah dari pelaku kriminal yang sudah dihukum. Bahwa tiap pemerintah harusnya mempercayai hal ini dilakukan sebaik mungkin untuk menempatkan para napi dalam satu institusi dan orang tahanan pada institusi yang lain”.

Orang-orang terpenjara adalah sekalian orang-orang yang dimasukkan dalam penjara atas dasar suatu surat perintah yang sah dari yang berwajib (polisi, jaksa, hakim) dan untuk golongan ini sering disebut sebagai “Penghuni” , sedangkan orang-orang tahanan adalah mereka yang ditahan oleh karena tuduhan/disangka melanggar hukum dan ditempatkan dalam “Penjara” sambil menunggu proses persidangan. Pembahasan teori labeling menekankan pada dua hal yaitu :

20

Sutherland, Donald EH, R. Cressey, Praciple of Criminology, Smith Edition, (New York : JB Liponcot Company, 1960) hal. 370


(34)

1. Menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan pengaruh serta efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dengan adanya label

akan menimbulkan perhatian masyarakat disekitarnya memperhatikannya secara terus menerus yang akhirnya orang yang terlabel tersebut akan menjalani stigma pemberian masyarakat.

Citra punitif atau gambaran suatu penderitaan orang terpenjara ini diuraikan oleh Gresham M. Sykes dalam artikelnya sebagai berikut : 21

1. Loss of Liberty (hilang kemerdekaan bergerak), kesakitan ini

dirasakan sebagai tutupnya kemungkinan yang tidak hanya untuk bebas karena dikurung dalam penjara, akan tetapi secara moril dan spiritual juga tidak bebas.

2. Loss of Autonomi, kesakitan yang dirasakan sebagai kehilangan

hak untuk mengatur diri sendiri, karena harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku. Akibatnya adalah orang akan menjadi kehilangan kepribadian.

3. Loss of Goods and Services, yaitu hilangnya hak untuk

memiliki barang-barang pribadi dan kebiasaan untuk dilayani. 4. Loss of Heteroseksual, adalah kehilangan hubungan dengan

lawan jenis, karena tidak memungkinkan untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Sebagai akibat dari itu sering timbul perbuatan homo seksual atau lesbian.

5. Loss of Security, dimaksudkan sebagai hilangnya rasa aman.

Kesakitan ini dirasakan sebagai kekhawatiran dan kecemasan terhadap sesama orang tahanan, karena keterasingan rasa curiga dengan orang yang baru dikenal. Irwin dan Cressey mengemukakan adanya “Subcultures” yang

21


(35)

berbeda dalam kehidupan di balik tembok penjara, yang pertama, disebut sebagai “Convict Subcultures”22

Asas equality before the law yang mengandung pengertian bahwa setiap orang sama dan sejajar di mata hukum tanpa memperdulikan status sosial, profesi atau segala hal lain yang melekat dalam diri orang ketika orang itu melakukan suatu kejahatan pada praktik penegakan hukumnya sungguh sulit diwujudkan. Asas equal treatment yakni perlakuan ketentuan hukum yang sama terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan dan tidak memberikan peluang kemudahan terhadap orang yang lain dengan alasan-alasan yang tidak patut dan tidak logis, juga pada praktiknya tidak semudah kita mengucapkan. Dan asas presumtion of innocent yang menjadi prinsipnya dalam penegakan hukum acara pidana yang pada prinsipnya adalah penghormatan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa/terpidana tanpa mengenyampingkan proses penegakan hukum semestinya dan berbagai aspek konsekuensi logisnya, pada praktiknya menjadi alat pertahanan buat pejabat pelaku kejahatan untuk menghindari proses tindakan-tindakan hukum seperti penahanan yang sah di mata hukum dan tindakan defensif ketika rakyat menggugat posisi status sosialnya.

Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektivikasi hukum pidana atau tidak menghadirkan efek keadilan didalam masyarakat maka hukum dan

22


(36)

penegakannya yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk (entry

point) bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat

hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar diciptakan negara itu sendiri. Pada titik ini bukan saja pantas masyarakat pada umumnya dan individu pada khususnya kembali menggunakan cara-cara hukum rimba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan disekelilingnya. Bila ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi premanisme oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis dikota-kota besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan dibeberapa daerah sampai aksi pemboman dilokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak sadar telah disemai oleh negara.

Banyak orang menggugat nilai keadilan yang dihasilkan dari penegakan hukum dan penjatuhan sanksi secara individual yang kadang melebihi suatu ukuran nilai kemanusiaan yang beradap karena hanya bersandar pada prinsip pembalasan. Orang juga mempertanyakan nilai keadilan yang diciptakan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya yang bukan saja gagal memenuhi prinsip pembalasan yang mengandung sifat nestapa terhadap pelaku kejahatan tapi juga gagal mencapai prinsip prevensi umum yakni menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat jahat dan menjadikan masyarakat pada umumnya taat pada hukum.


(37)

Keadilan sebagai orientasi substansial dari hukum pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan justru oleh hukum itu sendiri ketika hukum masuk pada bagian yang sifatnya prosedural. Bagian dimana hukum diasumsikan suka hati bukan lagi dalam konteks diskresi yang bersifat kepatutan oleh masing-masing penegak hukumnya.

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan

satu sama lain untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena.23

a. Pelayanan adalah suatu bentuk perbuatan yang membuat seseorang

merasa aman dan terlindungi dari segala pengaruh dari luar yang membuatnya tidak aman.

Kerangka konsep sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

b. Penegakan adalah membuat segala sesuatu menjadi adil

c. RUTAN adalah Rumah Tahanan Negara dimana ini merupakan

tempat warga binaan yang harus mendapatkan binaan atau dengan kata lain hukuman dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.

G. Metode Penelitian

Permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut. Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan disaat pemulaan penelitian

23

Ronnyh Kountur, Metode Penelian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta : PPM, 2007). Hlm. 85


(38)

tetapi juga dipergunakan diakhir penelitian.24

1. Pendekatan Masalah

Oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Metode penelitian yang penulis pergunakan melalui pendekatan Yuridis Normatif, dimaksudkan untuk mengkaji, menguji dan menelaah masalah penahanan dan pelayanan penahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk melihat bagaimana penerapan upaya paksa penahanan dan pembinaan tahanan tersebut dalam proses peradilan pidana sehari-hari sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia.

2. Sumber Data

Data Yuridis Normatif bersumber dari data sekunder yang meliputi :

a) Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan sistem pemasyarakatan dan peraturan pelaksanaan tugas pemasyarakatan yang meliputi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, kitab undang-undang hukum pidana, undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan, keputusan menteri kehakiman

24


(39)

Nomor : M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Cara-cara penempatan perawatan tahanan dan tata tertib Rumah Tahanan Negara.

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti buku yang berkaitan dengan penahanan, jurnal, majalah, kertas kerja, dan makalah, berbagai arsip, dokumen dan hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini serta pendapat para ahli yang dilengkapi dengan data primer berupa hasil wawancara dengan instansi terkait dan laporan berkala dari berbagai instansi penegak hukum.

c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum penunjang yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan data sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.25 Data Yuridis Empiris bersumber dari data primer yang diperoleh melalui studi lapangan.

25

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998) hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu


(40)

3. Pengumpulan Data

Data sekunder sebagai sumber data yuridis normatif dikumpulkan melalui studi pustaka (library research) yaitu untuk memperoleh bahan data primer dan data sekunder sehubungan dengan penahanan.

Data primer sebagai sumber data yuridis empiris dikumpulkan melalui studi lapangan (field research) dengan cara wawancara mendalam (dept interview) kepada informan :

a) Petugas RUTAN Klas I Medan sesuai dengan jabatan yang ada

dirumah tahanan tersebut yaitu Kepala Rutan, Kepala Seksi, Petugas registrasi dan kepala blok. Dengan harapan akan dapat mencakup permasalahan yang ada di Rutan.

b) Tahanan di rutan yang perkaranya belum diajukan ke pengadilan

negeri.

4. Analisa Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini baik data primer atau data sekunder dianalisa secara kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.


(41)

BAB II

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN PERAWATAN TAHANAN

A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana

Istilah penahanan, asosiasi orang pemikiran biasanya tertuju pada tindakan aparat penegak hukum dalam mencabut kemerdekaan orang lain yang disangka / dituduh melakukan suatu tindakan pidana. Walaupun dalam arti luas istilah penahanan sebenarnya tidak hanya dikenal dalam hukum acara pidana tetapi dipergunakan juga diluar konteks hukum acara pidana. Dalam dinas militer misalnya dikenal “penahanan dalam dinas keprajuritan” (PDK) yang merupakan istilah resmi dari “perpanjangan dari masa dinas aktif” bagi para prajurit ABRI pangkat kolonel ke atas yang telah mencapai usia maksimum dinas ABRI, tetapi masih dibutuhkan dalam tugas-tugas keprajuritan.26

Hukum acara pidana (KUHAP) penahanan merupakan salah satu upaya paksa di antara lima upaya paksa, yakni penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Dikatakan sebagai upaya paksa karena biasanya dilaksanakan dengan cara menggunakan kekerasan atau kekuasaan paksa. Cara-cara menggunakan paksaan dan atau kekerasan dalam proses pidana dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) memasuki ruang; (2) langkah-langkah yang

26


(42)

dapat diterapkan pada benda; (3) langkah-langkah yang dapat diterapkan pada manusia, dalam bentuk pembatasan kemerdekaan, yaitu penangkapan dan penahanan.27

Disamping sebagai salah satu instrument penegak hukum pidana, perlu diingat bahwa pada hakekatnya penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah.28

Kitab undang-undang hukum pidana suatu tindakan penahanan dapat pula menjadi suatu tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum delapan tahun penjara sebagaimana diancam dalam beberapa pasal KUHP yang mengancam pidana bagi tindakan penahanan orang secara tidak sah atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu dengan keluarnya KUHAP No. 8 Tahun 1981 aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana harus lebih berhati-hati dan selektif dalam melaksanakan penahanan. Berbagai persyaratan maupun prosedur yang telah ditentukan secara normative harus dipenuhi dan dipatuhi. KUHAP adalah untuk mengatur perilaku dan tindakan para penegak hukum. Ibarat suatu permainan, KUHAP diciptakan agar para penegak hukum yang

27

L. Hc. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Perbandingan Hukum, op.cit., hlm. 56

28

Luhut M. Pangaribuan, Penahanan Pada Dasarnya Merampas Kemerdekaan, Artikel, Suara Pembaharuan; Jakarta: 15 September 1994. Hlm. 7.


(43)

bermain itu tidak bermain kayu yang mengakibatkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.29

Pelaksanaan penahanan ini, KUHAP benar-benar diuji apakah bisa membina sikap aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing

kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat martabat manusia.30

Perlu pula dikemukakan, bahwa membicarakan penahanan erat kaitannya dengan penangkapan, sebab pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penangkapan dan sebaliknya tindakan penahanan selalu diikuti dengan penahanan. Dalam kehidupan sehari-hari orang (awam) sering menganggap bahwa penahanan sama dengan penangkapan karena pada dasarnya penangkapan dan penahanan merupakan perampasan hak asasi seseorang untuk waktu tertentu. Pada masa berlakunya HIR dikenal istilah penangkapan sementara yang jangka waktunya Dikatakan demikian karena dalam pelaksanaan penahanan terbuka kemungkinan yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena tersangka ditempatkan dibawah kekuasaan aparat yang melakukan penahanan terisolir dari masyarakat umum. Tidak saja hak asasi kemerdekaan manusia yang dapat dilanggar tetapi mungkin pula terjadinya peenyiksaan fisik, pemerasan ekonomi, teror mental, bahkan kematian tersangka, dimana hal itu tidak terjadi bila tersangka tidak dikenakan penahanan.

29

J. E. Sahetapy, Quovadis Hukum Pidana? Artikel, Media Indonesia, Jakarta: 12 Agustus 1995, hlm.3.

30

Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), hlm.59.


(44)

20 hari (Pasal 27 HIR). Bagi polisi penangkapan dan penahanan adalah bagian dari wewenang yang sangat penting , sebagaiman ditulis A.C. Germann et al., “Both

arrest and detention can certainly form a necessary and proper of police operations”.31

Pandangan yang mempersamakan penangkapan dan penahanan sebenarnya kurang tepat, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian maupun

konsekuensi yang diakibatkannya,32

Selanjutnya dalam memahami konsep penahanan dalam peradilan pidana perlu dipahami beberapa model yang bekerja dalam proses peradilan pidana. Menurut L. Packer bekerjanya proses peradilan pidana dapat dijelaskan melalui dua buah model, yaitu “crime control model” dan “due process model”.

walaupun sebenarnya pemahaman demikian sebenarnya bukan tanpa dasar. Keduanya merupakan pranata hukum yang berbeda baik dalam teknis pelaksanaan serta syarat-syaratnya maupun konsekuensi hukumnya.

33

Sistem yang bekerja pada”crime control model” didasarkan pada prinsip bahwa penekanan jumlah kejahatan merupakan fungsi utama peradilan pidana. Kegagalan fungsi ini merupakan gangguan terhadap ketertiban umum dan kebebasan.

Tetapi kedua model itu hanyalah sekedar “normative models” yang membantu kita dalam menganalisis bekerjanya proses peradilan pidana sehari-hari.

31

A. C. Germann, et al, “Introduction To Law Enforcement And Criminal Justice”, (Springfield-Illionis USA: Charles C. Thomas Publisher).

32

Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang Ada dalam KUHAP, (Bandung : Alumni, 1982), hlm.26.

33


(45)

Untuk mencapai tujuan demikian ini, proses criminal harus dilakukan secara efisien, segala rintangan prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pelaksanaan proses criminal harus disingkirkan. Proses peradilan pidana diibaratkan seperti ban berjalan, dimana masing-masing petugas penegak hukum berdiri pada posisinya sendiri. Dalam hal ini proses peradilan pidana merupakan suatu proses penyaringan dan dalam tiap-tiap tahap dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat rutinitas. Keberhasilan pertama-tama diukur sesuai dengan tindakan keberhasilan penyeleasaian kasus demi kasus untuk mencapai tujuan yaitu mengurangi atau menanggulangi kejahatan.

Demikian “crime control model” didasarkan pada doktrin “Presumption of

guilt” dimana dengan doktrin tersebut diyakini bahwa sejumlah besar perkara pidana

dapat ditangani secara efisien. Penyidik telah berkeyakinan akan kesalahan seseorang, maka tahap-tahap proses berikutnya harus dianggap sebagai formalitas belaka. Hasil-hasil penyidikan telah dianggap cukup mengumpulkan semua fakta dan bukti dan proses di muka persidsangan dianggap tidak mungkin memunculkan fakta dan bukti-bukti yang baru yang penting. Packer menegaskan bahwa “preumption of

innocence”. Kedua konsep tersebut memang berbeda, tetapi tidak berlawanan.34

Perbedaan tersebut menurut penjelasan Reksodiputro dapat dicontohkan dengan perbedaan antara atas dengan kiri dimana atas dan kiri adalah dua konsep

yang berbeda, tetapi bukan merupakan dua konsep yang berlawanan.35

34

Ibid, hlm.161.

Untuk memahami perbedaan kedua konsep tersebut, orang harus dapat membedakan antara

35

Mardjono Reksodiputro, materi ceramah. Dalam perkuliahan Sistem Peradilan Pidana, Angkatan XI Program Pascasajana Ilmu Hukum. UI, 1993.


(46)

dua macam kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt) dan kesalahan menurut hukum

(legal guilt). Dengan suatu contoh Packer memberikan ilustrasi: seseorang dengan

sebuah senjata dengan disajikan banyak orang telah melakukan pembunuhan. Ketika polisi datang ia langsung menyerahkan diri. Orang tersebut mengaku menembak korban dengan disajikan oleh saksi-saksi, apakah terhadap orang terseebut masih berlaku prinsip “presumption of innocence? Bukan begitu maksudnya, kata Packer, itu bukan merupakan kesalahannya melakukan pembunuhan (legal guilt), ia harus diperlakukan seolah-olah tidak bersalah.36

Prinsip “presumption of innocence” merupakan intruksi kepada aparat penegak hukum untuk tidak menghiraukan prinsip “presumption of guilt” terhadap tersangka. Artinya terlepas dari kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt), maka terhadapnya harus tetap diberlakukan seolah-olah tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan kesalahannya menurut hukum (legal guilt).

Berbeda dengan “crime control model” yang menekankan pada efisiensi dan penghindaran terhadap segala prosedur yang dapat menghambat proses kriminal, maka “due process model” lebih menekankan pada jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangan penguasa. Kekuasaan menurut “due process model” selalu dapat disalahgunakan untuk menindas seorang individu maka kekuasaan ituharus dikontrol dan diawasi. Efisiensi maksimal berarti

36


(47)

tirani maksimal. Dalam rangka membatasi tindakan sewenang-wenang dari aparat,

maka “due process model” sangat menekankan asas “preumption of innocence”.37

Crime control model peradilan pidana bekerja seperti ban berjalan, maka pada “due process model” proses peradilan pidana bekerja seperti melewati batas-batas

pada lari gawang. Masing-masing gawang dirancang untuk mengarahkan tersangka pada proses lebih lanjut. Untuk memenuhi prosedur yang ditentukan sesuai dengan undang-undang merupakan hal yang sangat penting. Kesalahan dalam prosedur penangkapan atau penahan misalnya akan berakibat pada keabsahan proses pemeriksaan.

Due process model proses kriminalitas kelihatan berjalan agak lamban,

walaupun demikian diharapkan dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang oleh aparat negara terhadap tersangka, sehingga setiap tindakan penguasa itu harus dapat dikontrol dan diawasi. Untuk itu sebagaimana dianut oleh “due process model” dianjurkan adanya konsep “presumption of innocence”. Apapun juga kompetensi untuk menetapkan adanya suatu fakta tentang suatu kesalahan, maka kesalahan berdasarkan hukum (legal guilt) lewat suatu peradilan tetap merupakan bukti terakhir.38

Perkembangannya sistem peradilan pidana yang mendasarkan pada “adversary sistem” baik yang bercorak ”crime control model” maupun “due process

model” mendapatkan kritik. Salah seorang yang mengkritik dan mengajukan

37

Ibid., hlm. 166.

38


(48)

alternative adalah Jhon Griffithst.39

Adversary model proses criminal bekerja atas dasar anggapan bahwa pelaku

tindak pidana adalah musuh masyarakat dan dengan demikian ia harus disingkirkan, maka menurut “family model” pelaku tindak pidana adalah bagian dari suatu keluarga, jika ia melakukan kesalahan harus diingatkan terlebih dahulu. Tindakan terhadap pelaku tindak pidana bukan berupa pengasingan dari pergaulan masyarakat tetapi mengingatkan atas dasar cinta kasih sesama hidup atas dasar Saling menguntungkan.

Menurutnya apapun bentuk dari ”adversary

model”, tetap merupakan sistem pertempuran antara dua kepentingan yang

berlawanan. Oleh karena itu Griffithst mengajukan model ketiga yang disebutnya

“family model” (model kekeluargaan). Menurut Griffithst, dalam suatu keluarga

mungkin terjadi seorang anggota keluarga melakukan kesalahan dimana terhadap anggota keluarga yang bersangkutan tetap diberi sangsi tersebut tidak boleh menjadikan ia sebagai orang jahat, melainkan agar anggota keluarga tersebut mampu mengendalikan dirinya dan setelah diberi sangsi anggota keluarga yang melakukan kesalahan tetap berada dalam lingkupan kasih saying keluarga.

40

Menurut “crime control model”, (penangkapan) dan penahanan serta pembinaan harus dilakukan sebisa mungkin atau sebanyak mungkin. Packer menulis bahwa “the model, in order to operate succesfull, must produce a high rate

of apprehension and conviction”41

39

Jhon Griffithst, Ideologi in Criminal Procedural or A Third Model of The Criminal

Processil, The Yale Law Journal, (Volume 79, Number 3, January 1970) hlm.367-368.

. Dengan demikian salah satu indikasi

40

Ibid, hlm. 171-172.

41


(49)

keberhasilan sistem peradilan pidana menurut ideology “crime control model” adalah banyaknya jumlah penahanan yang dilakukan oleh aparat berwenang.

Penahanan harus dilakukan segera setelah penangkapan, tanpa harus membuang-buang waktu dan biasanya penahanan itu dilakukan oleh polisi. Menurut

“crime control model” penahanan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk

mencegah tersangka mempunyai kesempatan membuat cerita yang tidak benar dan untuk mencegah campur tangan orang lain yang dapat mempengaruhi kerja sama tersangka dengan polisi.42

Sistem nilai yang membuat pra anggapan tersangka atau terdakwa dianggap penjahat dan penahanan perlu segera dilakukan sesudah penangkapan yang sah dalam

“crime control model” adalah untuk keperluan praktis agar peradilan pidana sebagai

suatu ban berjalan itu dapat bergerak maju dengan cepat. Bila diberi kebebasan terdapat resiko terssangka/terdakwa tidak muncul di pengadilan tepat pada waktunya. Bahkan untuk para pelanggar hukum, pemula dan orang yang kelihatannya tidak mungkin mengulangi tindak pidana, menurut “crime control model” masih ada alasan yang baik agar penahanan tetap dilakukan dalam arti tidak diberikan “pretrial

liberty”.

Selanjutnya nilai-nilai yang bekerja dalam “due process model” dalam hal penahanan pertama-tama harus lebih dahulu ada “probable cause” (bukti-bukti yang kuat) sebelum dilakukan tindakan penahanan. Tersangka dibawa ke pengadilan sesegera mungkin tanpa melakukan penundaan yang tidak penting untuk segera

42


(50)

disidangkan oleh hakim. Tersangka berhak menguji keabsahan penangkapan dan penahanannya termasuk ada tidaknya “probable cause”.

Menurut pandangan “due process mode” dikemukakan bahwa “it is never

proper for the police to hold a suspect for the purpose of integration or investigation”. Oleh karena itu terhadap tersangka harus diberikan kesempatan untuk

mendapatkan kebebasan misalnya dengan penagguhan penahanan (bail).43

Pandangan Sahetapy KUHAP mendapat ide dan mengemban amanat dari undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan Kehakiman agar proses peradilan pidana dilaksanakan dengan landasan penganyoman. Sahetapy mengemukakan lebih tepat untuk mempergunakan apa yang disebutnya dengan “model penganyoman”.

Selanjutnya walaupun telah ada suatu “probable cause” penahanan ini harus dibatasi sedapat mungkin. Dalam kasus Miranda V. Arizona, hakim berpendapat bahwa polisi tidak boleh melakukan interogasi terhadap seseorang dalam tahanan sampai ia diberitahu tentang hanknya untuk diam dan ia berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Apabila dikaitkan dengan due model dalam proses peradilan pidana yang dikemukakan Packer, maupun model kekeluargaan yang diajukan Griffithst, maka proses peradilan pidana menurut KUHAP tidak dapat digolongkan dalam “crime

control model”, “due process model” ataupun “family model”.

44

43

Ibid, hlm 190-191

Dengan demikian dalam proses peradilan pidana

44

Model Penganyoman sebagai model yang dianut KUHAP dikemukakan oleh Sahetapy dalam beberapa tulisan antara lain ”Pendayagunaan Sistem Kamtibmas dalam Tertib Hukum dan Tertib


(51)

penganyoman diberikan baik terhadap masyarakat (public), korban tindak pidana maupun terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Penulis setuju atas pendapat tersebut sebab dengan adanya menghayati dan menempatkan diri sebagai penganyom masyarakat, maka aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan tidak akan keluar dari kerangka proses hukum yang adil.

Adapun pengertian penahanan itu sendiri pertama-tama dapat dilihat dalam pasal 1 butir 21 KUHAP sebagai berikut :`

Pasal 1 butir 21:

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Substansi ketentuan pasal 1 butir 21 KUHAP dapat dilihat bahwa pelaksanaan harus memenuhi tiga unsur elemen, bila tidak dipenuhi maka suatu tindakan bukan penahanan atau paling tidak bukan penahanan yang menurut hukum acara pidana.

Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan surat perintah oleh penyidik dan penuntut umum dan dengan

penetapan oleh hakim.

2. Menurut hal-hal dan tata cara yang diatur dalam KUHAP

3. Tersangka/terdakwa ditempatkan disuatu tempat tertentu.

Penahanan sebagai suatu upaya paksa yang pelaksanaannya dengan menggunakan kekerasan itu perlu dan diatur dalam undang-undang dan mengapa

hal. 18. Lihat pula Sahetapy, Hukum dalam Konteks Sosial Politik dan Budaya, Artikel, Analisis CSIS, Tahun XXII No. 1 Januari-Februari 1993, hlm. 55.


(52)

seseorang ditahan sedang yang lain tidak? Pembicaraan mengenai hal ini berkaitan dengan dasar pemikiran atau rasional dari tindakan penahanan.

Sebagaimana telah disinggung dalam bab terdahulu, banyak pemikiran atau pandangan mengenai hal ini. Banyak alasan yang dikemukakan dan dirumuskan baik oleh para ahli maupun oleh para pembuat undang-undang sebagai justifikasi atas keberadaan lembaga penahanan ini, masing-masing bertolak dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Misalnya ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang itu tidak disukai.45

Selamanya penahanan itu atas inisiatif aparat penegak hukum, adakalanya tersangka meminta sendiri untuk kepentingan keamanan diri pribadi. Tetapi apakah ia ditahan atau sekedar diamankan tentu tergantung surat perintah yang dikeluarkan. Permadi melakukan hal yang sama ketika menjadi tersangka dalam kasus penghinaan agama beberapa waaktu yang lalu. Andi Hamzah mengemukakan bahwa dalam beberapa kondisi dapat terjadi penahanan dengan alasan demi kepentingan tersangka sendiri. Pasal 20 KUHAP dapat dilihat bahwa dasar pemikiran atau alasan perlunya penahanan yaitu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan hakim di sidang pengadilan maupun mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 21 ayat 4 yaitu:

45

Wawancara dengan Kalitbang LBHI Cabang di Jakarta Timur tanggal 11 Februari 1995, mengemukakan bahwa dewasa ini dalam praktek proses kriminal ada tendensi bahwa seseorang ditahan adalah karena kebebasannya tidak disukai. Ada kalanya dalam kasus yang sama bahkan tersangkanya lebih pantas ditahan, ternyata tidak dikenakan penahanan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan perlakuan untuk itu menurut beliau terutama daktor nonjudisial.


(53)

1. Tersangka atau terdakwa melarikan diri

2. Tersangka atau terdakwa merusak menghilangkan barang bukti atau

3. Tersangka atau terdakwa mengulangi melakukan tindakan pidana.

Bertolak dari rumusan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dasar pemikiran perlunya keberadaan upaya paksa penahanan ini adalah untuk:

1. Kepentingan pemeriksaan peradilan pidana

2. Memelihara ketertiban umum, mencegah diulangnya tindak pidana atau oleh

tersangka atau terdakwa

Dalam visi siapa lebih luas bila dikaitkan dengan adanya perkembangan pemikiran bahwa pengamanan masyarakat mulai dipandang tergantung dari perbandingan narapidana secara dini dari pada, penggunaan kekerasan dan peningkatan keamanan dalam lembaga secara maksimum, maka tidak terlebih bila dikatakan bahwa asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina, warganya untuk menjadi lebih baik tidak hanya sekedar untuk kepentingan pemeriksaan perlindungan masyarakat secara represif.


(54)

Penetapan tahanan yang baru masuk di RUTAN dilakukan oleh anggota regu jaga yang sedang bertugas di pintu utama atau pintu gerbang. Kegiatan dipintu utama atau pintu gerbang dalam menerima tahanan adalah:

a) Mempersilahkan pengawal atau yang mengantar tahanan disertai tahanan

yang bersangkutan keruang tunggu I yang khusus dipergunakan untuk menerima tahanan; selanjutnya diminta untuk mengisi buku tamu yang khusus dipergunakan untuk keperluan mengantar tahanan baru.

b) Meneliti kembali sah tidaknya surat perintah/penetapan penahanan serta

jumlah tahanan baru

c) Mencocokkan nama dan jumlah tahanan baru dengan surat perintah/

penetapan penahanan yang sah dengan disaksikan oleh pengawal.

d) Menyerahkan surat-surat dan tahanan baru tersebut kepada kepala regu

jaga

Setelah itu, Kepala Regu Jaga menerima surat-surat dan tahanan baru diruang tunggu II, kemudian melakukan kegiatan :

a) Meneliti kembali sah tidaknya surat perintah/penetapan penahanan serta

jumlah tahanan baru

b) Mencocokkan nama dan jumlah tahanan baru disaksikan oleh pengawal

c) Melakukan penggeladaan terhadap barang atau uang yang dibawa dan

badan tahanan, disaksikan oleh pengawal. Penggeledahan tahanan wanita dilakukan oleh pegawai wanita dan dalam hal tidak ada pegawai wanita, bisa dimintakan istri pegawai.

d) Membuat berita acara penggeledahan dan menandatanganinya bersama

pengawal dan tahanan yang bersangkutan

e) Mengantar pengawal dan tahanan baru ke unit pendaftaran.

Kegiatan Kepala Unit Pendaftaran setelah menerima surat-surat dan tahanan baru serta isi catatan barang/uang yang dibawa dan yang diperoleh dari hasil penggeledahan badan yang terdapat pada Berita Acara Penggeledahan:


(55)

a. Meneliti dan mencocokkan surat perintah/penetapan penahanan dan isi catatan barang/uang yang dibawa dari hasil penggeledahan badan yang terdapat dalam Berita Acara Penggeledahan

b. Meneliti kembali ada tidaknya surat perintah/penetapan penahanan (dari penyidik, penuntut umum atau hakim) tentang:

1) Nomor dan tanggal penahanan

2) Nama dan tanda tangan yang menahan

3) Cap Instansi yang menahan

Setelah meneliti sebagaimana dimaksud pada surat perintah/penetapan penahanan dan telah diyakini kebenarannya, memerintahkan agar tahanan berikut barang –barang yang dibawa dan diperbolehkan dari hasil penggeledahan, untuk dihadapkan guna keperluan pencocokkan lebih lanjut.

Hal-hal yang dinyatakan kepada tahanan yang disaksikan oleh pengawal. a. Dari surat perintah/penetapan:

1) Nama alias bin

2) Umur dan tanggal lahir

3) Tempat kelahiran

4) Jenis kelamin

5) Kewarga negaraan

6) Tempat tanggal lahir terakhir (alamat orang tua, wali)

7) Agama


(56)

9) Tindak pidana yang dituduhkan/pasal 10)Lama ditahan

11)Nama penahanan (penyidik, penuntut umum atau hakim yang

menahan)

12)Tanggal diterima atau didaftarkan di RUTAN

13)Penahanan sebelumnya

14)Masih ada perkara lain atau tidak

b. Dari isi catatan barang/uang yang dibawa dan yang diperoleh dari hasil penggeledahan badan yang terdapat dalam Berita Acara Penggeledahan

1) Nama dan jumlah barang

2) Uang logam, uang kertas, mata unag dengan jumlahnya

3) Surat-surat atau barang-barang berharga

Setelah itu, menyerahkan tahanan baru kepada regu jaga untuk memeriksakan kesehatannya ke Balai Pengobatan atau Rumah Sakit RUTAN. Hasil pemeriksaan kesehatan dituangkan dalam Beritan Acara Pemeriksaan Kesehatan:

1. Semua hasil penelitian dan pencocokan dituangkan dalam Berita Acara

Penerimaan Tahanan dan setelah ditanda tangani oleh Kepala Unit Pendaftaran atas nama Kepala RUTAN serta pengawal selanjutnya lembar pertama diserahkan kepada pengawal dan diberitahukan bahwa pengawal dapat meninggalkan RUTAN


(57)

a. Mencatat data surat/penetapan penahanan pada daftar (buku pendaftaran) sesuai dengan golongan tahanan yangbersangkutan

b. Mencatat barang-barang pada daftar/buku pencatatan barang titipan

dan menyimpan ditempat yang sesuai dengan jenis barang c. Membuat cap sidik jari :

1) Sepuluh jari lengkap pada kartu daktiloskopi (untuk dikirimkan

kepada Direktorat Pidanda Direktorat jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman)

2) Tiga jati tengah tangan kiri pada surat perintah/penetapan

penahanan dan daftar/buku pendaftaran sesuai dengan penggolongan

d. Mengambil photo hitam putih tahanan, dari bagian muka, samping kiti dan kanan dan menempelkannya pada daftar/buku pendaftaran.

e. Memusnahkan barang-barang terlarang atau berbahaya atau

menyerahkannya kepada pihak yang berwenang dan dibuatkan Berita Acaranya

f. Barang-barang terlarang yang berupa pakaian, perhiasan, senjata tajam disimpan di RUTAN atau diserahkan kepada keluarganya. Penyerahan langsung kepada keluarganya disaksikan oleh tahanan yang bersangkutan dan dibuatkan Berita Acara. Sedangkan penyerahan tidak langsung wajib dibuatkan tanda bukti pengiriman dalam rangkap dua masing-masing untuk RUTAN dan tahanan yang bersangkutan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu baik yang tinjauan kepustakaan maupun analisis atas data dan fakta yang ditemukan dalam penelitian, maka sampailah penulis pada bagian kesimpulan tesis ini yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut;

1. Pelaksanaan penahanan yang Aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN.

2. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga pelrindungan HAM terjadi.

3. Terdapat banyak hambatan dan juga kendala dalam melaksanakan perlindungan HAM dan pelayanan tahanan, yaitu: (1) kurangnya sarana dan prasarana untuk memberikan pelayanan kepada tahanan, cthnya: kurangnya sarana olahraga, jarangnya datang pemuka-pemuka agama ke RUTAN dll. (2) masih rendahnya tingkat pendidikan petugas RUTAN sehingga kemungkinan besar dapat menyebabkan pelanggaran HAM di RUTAN. (3) sudah merupakan tradisi RUTAN bahwa yang namanya


(2)

tahanan harus “dididik” dan “dibina”. Pengertian “dididik” dan “dibina” ini sering disalahartikan sebagai didikan dan binaan dengan cara kekerasan.

B. Saran

1. Perlu dilakukan pembinaan yang berkelanjutan terhadap aparat petugas RUTAN untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan isi ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia serta pelayanan dan perawatan tahanan

2. Pemerintah perlu segera menanggulangi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana, berupa:

a. Memfungsikan pengawasan internal secara selektif di dalam instansi penegak hukum

b. Meningkatkan pemanfaatan metode penyelidikan ilmiah dalam pemeriksaan perkara pidana

c. Menetapkan sanksi terhadap aparat yang menyalahgunakan kekuasaan atau lalai dalam mengetahui prosedur dan persyaratan penahanan yang telah ditentukan

3. Setiap aparat petugas RUTAN harus bersikap manusiawi dan adil kepada setiap tahanan tidak dibeda-bedakan baik dari segi ras, suku, warna kulit, dan agama.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A.

BUKU

Andi Hamzah, Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek Penahanan, Dakwaan – Requisitoi, Jakarta, Rieka Cipta, 1994.

Bahrudin Soejobroto, Polisi dan Sistem Pemasyarakatan, Prasarana dalam Pemasyarakatan Bandung, 1975.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998. Dardji Darmodiharjo Cs, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional,1981.

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Jakarta, Djambatan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, 1998.

G.J. Wolhof, Pengantar Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Timun Mas, NV, 1955.

H.M.A. Kuffal, SH, Penerapan KUHAP dalam praktek Hukum, Malang : UMM Press, 2004

Ida Bagus Mantra dan Kasto, Penentuan Sampel, dalam Masri Singarimbun. Sofyan Efendi, `Metode Penelitian Survey, Editor Jakarta : LP3ES, 1981.

JE Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Bandung, Alumni, 1981.

Johannes Andenaes, Punishment and deterrence, dalam Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni 1985.

Kuntjoro Purbopranoto,Hak-hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960.

L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Saduran oleh Soedjono D. Jakarta, Rajawali, 1994

Loebby Logman, Pra – Peradilan di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008.


(4)

Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994.

M.L.Hc, Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Soedjono Dirdjosisworo, Saduran, Jakarta : CV Rajawali,1984.

Marbangun Hardiowirogo, Hak-hak Manusia, Yayasan Idayu, 1981

Martiman Prodjohamidjojo, SH, Penangkapan dan Penahanan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984.

Mien Rukmini, Perbandingan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Persamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT, Alumni Bandung, 2003.

Mochtar Kusumaatmadja, Manusia dan Pembangunan, Individu dan Masyarakat Harus Sama-sama Berkembang, Sinar Harapan, 1986.

M. Yahya Harahap, SH, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung Alumni, 1992.

Myra A. Harris, Legrkal Reseacrch 10, New York, Prentice Hall, 1997.

Philipus M. Hardjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasar Asas Hukum, Ghalia Indonesia,1983 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodoligi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1988

Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta : PPM, 2007.

Sanusi .A. Has. Dasar-dasar Penologi, Jakarta : Rasanta, 1994


(5)

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1992.

Soedjono, D, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni Bandung, 1982 Soerjono Soekamto, Ratih Lestarini, Sosiologi dan Penyimpangan (Howard S.

Becker, Seri Pengertian Sosiologi), Jakarta : Rajawali Press, 1988

Soerjono Soekamto dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, cet. 2 Ghalia Indonesia , Jakarta 1986.

Sudarto, hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : sinar Baru, 1983. Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, Surakarta : Sebelas Maret University Press,1994. Sutomo Surtiatmodjo, Penangkapan dan Penahanan di Indonesia, Jakarta : Pradnya

Paramita, 1976.

Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang ada dalam KUHAP, Bandung : Alumni, 1992.

Sutherland, Donald EH,R, Cressey, Praciple of Criminology, Smith Edition, New York : JB Liponcot Company, 1960.

B

MAKALAH, MAJALAH DAN JURNAL

Luhut. M. Pangaribuan, Penahanan Pada Dasarnya Merampas Kemerdekaan, Arikel, Suara Pembaharuan, Jakarta 15 September 1994.

Mardjono Reksodiputro, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia : Akademi Ilmu Pemsyarakatan Menghadapi Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Makalah dalam Rangka Dies Natalis XXVII Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta 24 Desember 1992, Mengemukakan bahwa dalam tahun 1990-an dan 1970-an dilakukan usaha-usaha di pejara Amerika Serikat untuk secara Lebih besar dan ilmiah melakukan tehnik-tehnik “therapheatic” dalam pembinaan narapidana.

Romli Atmasasmita, 1998, Perspektif Pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan 1995 Dalam Era globalisasi. Makalah Seminar: Pemberdayaan Potensi Sumber Daya di Lembaga Pemasyrakatan/ Rumah Tahanan Negara Menghadapi Era Globalisasi, Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan


(6)

Tehnologi, diselenggarakan atas Kerjasama Kanwil Dep.keh Jateng FH UNDIP-PW IKA AKIP Jateng, Semarang Yayasan Pangudi Utama, 1989. Standard Minimum For The Treatment of Prisoners and Prosedures for The Effective

Implemantation” Disetujui oleh Dewan Ekonomi Sosial PBB ada tanggal 31 juli 1957, New York: Departement Of Public Information.

Sutandyo Wignoyosoebroto, :Hak-Hak Manusia dan Konstituante”, Artikel Komoas, 19 Agustus 1996, Menurut Agus Salim Kebebasan itu berarti masing-masing dapat menurut kehendaknya dan menurut kehidupan tertentu yang dipilihnya dalam masyarakat. Bactiar Agus Salim, Hukum Pidana- Beberapa Catatan Penintetiare recht di Negeri Belanda dan Indonesia. Jakarta Timur: Fakultas Hukum USU,1976.

T. Mulyadi Lubis, Hak-Hak Manusia di Indonesia, Beberapa Catatan terpetik lewat Majalah Hukum dan Keadilan Edisi 10, November- Desember 1997.

C.

Republik Indonesia Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

_________,Kitab Undang – Hukum pidana ( KUHP )

_________,Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

_________, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Perundang- Undang Departemen Kehakiman Dan HAM, Jakarta 2004.

_________, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

_________, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan.