Perubahan Undang-Undang Pers Ketidakprofesionalan Wartawan

Ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan terhadap wartawan. Baik itu yang terjadi karena unsur kesengajaan maupun yang tidak disengaja. Tindak kekerasan yang terjadi karena unsur kesengajaan biasanya terkait dengan isi berita yang dibuat oleh wartawan. Misalnya saja dalam hal peliputan yang bersifat kontroversial yang menyangkut masalah isu korupsi, pada kondisi seperti ini wartawan akan banyak menghadapi tantangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan aibnya terbongkar. Selain itu tindakan anarkis yang menimpa wartawan juga disebabkan ketidakpuasan narasumber terhadap isi berita yang dibuat. Untuk menunjukkan ketidakpuasannya itu banyak dari mereka yang melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap wartawan. Salah satunya dengan melakukan penyerbuan terhadap kantor media massa yang bersangkutan. Peristiwa penyerbuan dengan mengerahkan masa terhadap kantor media massa tampaknya menjadi kebiasaan baru bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan pers. Dalam aksinya, mereka tidak hanya sekedar memprotes pemberitaan dari media tersebut, tak jarang juga disertai dengan aksi pengrusakan dan penyerangan terhadap para wartawan. Padahal dalam buku Himpunan Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang ada kaitannya Dengan Media Massa, setiap orang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan pers Cetak, Elektronika agar menggunakan hak jawab maupun jalur hukum bukan dengan melakukan tindakan “Main Hakim Sendiri”

2. Perubahan Undang-Undang Pers

Perubahan UU Pers manakala ketentuan yang diakomodir dalam peraturan Dewan Pers ini telah cukup baik namun lemah dalam penegakannya, maka Universitas Sumatera Utara antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam peraturan tersebut menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah satu cara adalah dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam perubahan UU Pers, sebuah proses yang dalam sudut pandang hukum ketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Jika aspirasi ini berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan profesi wartawan akan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir kekerasan dan kecelakaan yang menimpa wartawan. Serangkaian tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap wartawan yang ditujukan untuk melindungi wartawan misalnya, nantinya tidak lagi digantungkan semata pada kebaikan hati maupun kesepakatan yang kerapkali bercorak ‘David dan Goliath’, akan tetapi lebih kepada topangan sanksi pidana oleh negara yang tak mengenakkan lagi menjerakan. Dukungan segenap insan jurnalistik dalam mendorong ke arah proses perubahan UU Pers yang lebih fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi hal yang harus ada, terlebih mengingat bahwa dalam perspektif hukum kritis, upaya ini sangat boleh jadi akan mengundang ‘perlawanan’ terutama dari para pemodal media.

3. Ketidakprofesionalan Wartawan

Pemicu kekerasan ini kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Masyarakat terprovokasi dengan kerja jurnalistik yang bombastik, tidak akurat, jauh dari realita, maupun terlalu mencampuri privasi seseorang. Universitas Sumatera Utara Terlepas dari persoalan di atas, tulisan ini pula meyakini bahwa kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Pernyataan Dewan Pers Nomor 06P- DPIV2011 Tentang Penyelesaian Masalah antara Global TV dan Ahmad Dhani seolah mengonfirmasi keterkaitan antara profesionalisme wartawan dan kekerasan terhadap jurnalis. Terungkap dalam pernyataan tersebut bahwa kedua pihak memiliki andil yang sama dalam terjadinya kekerasan terhadap wartawan Global. Secara spesifik, Dewan Pers menyoroti tidak ditaatinya kode etik jurnalistik oleh Global TV dalam pemberitaan mengenai Ahmad Dhani sebelumnya selain tindakan Ahmad Dhani yang dapat dikategorikan menghalang-halangi kinerja wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Bahwa dalam hal terjadinya kekeliruan maupun kesalahan dalam pemberitaan, orang tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri. 47 Alih-alih demikian, mekanisme sebagaimana dikenal dalam dunia jurnalistik yang telah diakomodir dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak koreksi haruslah ditempuh. Akan tetapi, dua mekanisme itu juga tak memiliki pembenarannya manakala digunakan sebagai tameng dilakukannya kinerja jurnalistik yang serampangan. Hak jawab dan hak koreksi berangkat dari asumsi dasar bahwa kinerja jurnalistik betapapun hati-hatinya dilakukan tetaplah memiliki kemungkinan terjadinya kesalahan. Namun, kesalahan dimaksud bukanlah sesuatu yang disengaja, apalagi dilakukan dengan sadar untuk mendayagunakan power atas informasi yang dimilikinya guna semata untuk 47 http:www.academia.edu1478679Kekerasan_Terhadap_Jurnalis_Perlindungan_Prof esi_Wartawan_dan_Kemerdekaan_Pers_di_Indonesia diakses tanggal19 Februari 2016 Universitas Sumatera Utara mengejar keuntungam bisnis maupun untuk dipertukarkan dengan power lain berupa jabatan maupun uang. Kerja jurnalistik sesungguhnya ialah resultante dari berbagai faktor yang teramat kompleks meliputi kecakapan dan skill jurnalistik seorang wartawan, kondisi perusahaan yang menaunginya, pula regulasi yang mengaturnya. Seorang wartawan yang tak memiliki tak memiliki bekal pengetahuan jurnalistik yang memadai akan lebih mudah melakukan pelanggaran kode etik. Sementara itu, seorang wartawan kendati memiliki pengetahuan jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir perusahaan yang kapitalistik, mengejar pemberitaan tanpa mengindahkan etika jurnalistik, akan bekerja di luar koridor etika jurnalis yang pada akhirnya bermuara pada kekerasan wartawan.

4. Standar Kompetensi Wartawan terhadap perubahan UU Pers