Kesantunan Bahasa Dalam Pantun Merisik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik
KESANTUNAN BAHASA DALAM PANTUN MERISIK PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT MELAYU : SUATU KAJIAN PRAGMATIK
SKRIPSI SARJANA Dikerjakan
O L E H
NAMA : NURRAHMADANI SHAHPITRI
NIM : 090702004
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN 2013
(2)
KESANTUNAN BAHASA DALAM PANTUN MERISIK PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT MELAYU : SUATU KAJIAN PRAGMATIK
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : NURRAHMADANI SHAHPITRI NIM : 090702004
Diketahui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Rozanna Mulyani, M.A. Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum. NIP. 19600609 198612 2001 NIP. 19590717 198702 1004
Disetujui Oleh : Departemen Sastra Daerah
Ketua,
Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. NIP. 19620716 198803 1002
(3)
PENGESAHAN Diterima oleh :
Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara guna melengkapi salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Hari / tanggal : ……….
Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. ………
2. Dra. Herlina Ginting, M.Hum . ………
3. Dr. Rozanna Mulyani, M.A. ………
4. Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum. ………
(4)
Disetujui oleh :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
MEDAN 2013
Departemen Sastra Daerah Ketua,
Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. NIP. 196207161988031002
(5)
ABSTRAK
Judul Skripsi ini adalah : Kesantunan Bahasa Dalam Pantun Merisik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu tentang : skala kesantunan apa sajakah yang terdapat pada pantun Melayu, dan kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara perkawinan masyarakat Melayu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan skala kesantunan yang terdapat pada pantun Melayu, dan kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara perkawinan masyarakat Melayu. Manfaatnya secara teoritis diharapkan dapat menambah khasanah analisis yang menggunakan teori pragmatik dengan data pantun Melayu. Secara pragmatis penelitian ini akan bermanfaat untuk melestarikan pantun Melayu, dan untuk menggalakkan penelitian pantun Melayu agar dapat dikenalkan sebagai salah satu bentuk tradisi lisan Melayu.
Tulisan ini menggunakan teori skala kesantunan Leech : Pertama, jika dalam percakapan lebih banyak merugikan penutur daripada mitra tutur maka akan lebih santunlah percakapan itu. Kedua, jika dalam percakapan lebih banyak pilihan untuk mitra tutur maka akan lebih santunlah percakapan itu. Ketiga, jika penutur ingin penyampaian maksud maka harus disampaikan secara tidak langsung itu dianggap lebih sopan. Keempat, jika semakin jauh jarak sosial/status sosial maka akan semakin santunlah percakapan itu. Kelima, jika semakin dekat hubungan kekerabatan antara penutur dengan mitra tutur maka akan semakin santunlah percakapan itu.
Hasil dari penelitian ini yaitu mempermudah mengartikan sebuah percakapan dalam bentuk pantun yang ada pada upacara merisik masyarakat Melayu yaitu dengan teori skala kesantunan Leech, yang terdiri atas lima skala kesantunan dengan membuat contoh pantun merisik masyarakat Melayu yang dikaitkan dengan teori tersebut.
(6)
ﻙﺮﺘﺴﺑﺍ
ﺍﺩﺎﻓ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻢﻟﺍﺩ ﺱﺎﻬﺑ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ
:
ﻪﻟﺍﺩﺍ ﻦﻳﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻝﻭﺩﻮﺟ
ﻥﻮﻓﺩﺍ
.
ﻚﻴﺗﺎﻤڬﺍﺮﻓ ﻦﻴﺟﺎﻛ ﻮﺗﺍﻮﺳ
:
ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻦﻨﻳﻭﺎﻛﺮﻴﻓ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ
ڠﻳ ﻪﻜﺟﺎﺳ ﺎﻓﺍ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ
:
ڠﺘﻨﺗ ﺖﻳﺍﺎﻳ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻢﻟﺍﺩ ﻦﻬﻠﺌﺴﻣﺮﻴﻓ
ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻦڠﺩ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﺍﺭﺎﺘﻧﺍ ﻦﺘﻳءﺎﻛ ﻥﺍﺩ ،ﻮﻳﻼﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﺍﺩﺎﻓ ﺖﻓﺍﺩﺮﺗ
.
ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻦﻨﻳﻭﺎﻛﺮﻴﻓ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ ﺍﺩﺎﻓ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ
ﺍﺩﺎﻓ ﺖﻓﺍﺩﺮﺗ ڠﻳ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﻦﻜﺴﻠﺠﻨﻣ ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﻪﻟﺍﺩﺍ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻥﺍﻮﺟﻮﺗ
ﺍﺩﺎﻓ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻦڠﺩ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﺍﺭﺎﺘﻧﺍ ﻦﺘﻳءﺎﻛ ﻥﺍﺩ ،ﻮﻳﻼﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ
ﺖﻓﺍﺩ ﻦﻜﻓﺍﺮﺣﺩ ﺲﻴﺘﻳﺭﻮﻴﺗ ﺍﺭﺎﭽﺳ ڽﺔﻌﻔﻨﻣ
.
ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻦﻨﻳﻭﺎﻛﺮﻴﻓ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ
ﻥﻮﺘﻨﻓ ﺎﺗﺍﺩ ﻦڠﺩ ﻚﻴﺗﺎﻤڬﺍﺮﻓ ﻱﺭﻮﻴﺗ ﻦﻛﺎﻧﻮڬڠﻣ ڠﻳ ﺲﻴﺴﻴﻟﺎﻧﺍ ﻪﻨﺻﺎﺧ ﻪﺒﻤﻨﻣ
ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻦﻜﻳﺭﺎﺘﺴﻠﻣ ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﺔﻌﻔﻨﻣﺮﺑ ﻦﻛﺍ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﺲﻴﺗﺎﻤڬﺍﺮﻓ ﺍﺭﺎﭽﺳ
.
ﻮﻳﻼﻣ
ﻱﺎڬﺎﺒﺳ ﻦﻜﻠﻨﻛﺩ ﺖﻓﺍﺩ ﺮڬﺍ ﻮﻳﻼﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻦﻜﻘﻟﺎڬڠﻣ ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﻥﺍﺩ ،ﻮﻳﻼﻣ
.
ﻮﻳﻼﻣ ﻦﺴﻴﻟ ﻲﺴﻳﺩﺍﺮﺗ ﻕﻮﺘﻨﺑ ﻮﺗﺎﺳ ﻪﻟﺎﺳ
ﻢﻟﺍﺩ ﻚﺟ ،ﻡﺎﺗﺮﻴﻓ
:
ﻪﭽﻴﻟ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﻱﺭﻮﻴﺗ ﻦﻛﺎﻧﻮڬڠﻣ ﻦﻳﺍ ﻦﺴﻴﻟﻮﺗ
ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﺭﻮﺗﻮﺗ ﺍﺮﺘﻴﻣ ﺍﺩﺎﻔﻳﺭﺩ ﺭﻮﺗﻮﻨﻴﻓ ﻦﻜﻴڬﻭﺮﻣ ﻖﭘﺎﺑ ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ
ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﻦﻬﻴﻠﻴﻓ ﻖﭘﺎﺑ ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻢﻟﺍﺩ ﻚﺟ ،ﺍﻭﺪﻛ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ
ﻦﻴڠﻳﺍ ﺭﻮﺗﻮﻨﻴﻓ ﻚﺟ ،ڬﻴﺘﻛ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﺭﻮﺗﻮﺗ ﺍﺮﺘﻴﻣ
ﻪﻴﺒﻟ ﻒڬڠﺃﺩ ﺖﻳﺍ ڠﻮﺴڠﻟ ﻕﺪﻴﺗ ﺍﺭﺎﭽﺳ ﻦﻜﻳﺍﺎﻔﻤﺳﺩ ﺱﻭﺭﺎﻫ ﻚﻣ ﺩﻮﺼﻘﻣ ﻦﻳﺎﻔﻤﭙﻓ
ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﻝﺎﻴﺳﻮﺳ ﺱﻮﺗﺎﺘﺳ
/
ﻝﺎﻴﺳﻮﺳ ﻕﺭﺎﺟ ﻩﻭﺎﺟ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ ﻚﺟ ،ﺖﻔﻣﺎﻛ
.
ﻦﻓﻮﺳ
ﻦﺘﺑﺍﺮﻜﻛ ﻦڠﻮﺑﻮﻫ ﺖﻛﺩ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ ﻚﺟ ،ﻢﻴﻠﻛ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﺭﻮﺗﻮﺗ ﺍﺮﺘﻴﻣ ﻦڠﺩ ﺭﻮﺗﻮﻨﻴﻓ ﺍﺭﺎﺘﻧﺍ
ﻢﻟﺍﺩ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻩﺍﻮﺒﺳ ﻦﻜﻴﺗﺭﺎڠﻣ ﻩﺩﻮﻣﺮﻴﻔﻤﻣ ﺖﻳﺍﺎﻳ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻱﺭﺩ ﻞﻴﺻﺎﺣ
ﻱﺭﻮﻴﺗ ﻦڠﺩ ﺖﻳﺍﺎﻳ ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ ﺍﺩﺎﻓ ﺩﺍ ڠﻳ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻕﻮﺘﻨﺑ
ﺕﺍﻮﺒﻤﻣ ﻦڠﺩ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﺎﻤﻴﻟ ﺲﺗﺍ ﻱﺮﻳﺩﺮﺗ ڠﻳ ،ﻪﭽﻴﻟ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ
(7)
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah hirobbil’alamin segala puji bagi Allah SWT. Rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas perlindungan-Nya serta tawakkal ditujukan kepada-Nya. Berkat taufiq dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan sebagai tugas akhir di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara. Sebagai bentuk pengabdian seorang hamba Allah Sang Khalik, shalawat teriring salam selalu disampaikan kepada Rasulullah yang merupakan seorang revolusioner Islam, yang menjadi tauladan hidup penulis sampai saat sekarang ini dan sampai akhir zaman nanti. Amin.
Di samping itu penulis juga menganggap skripsi ini sebagai suatu usaha untuk merealisasikan semua ilmu yang pernah penulis pelajari selama ini di bangku perkuliahan, dalam pembuatan skripsi ini. Penulis banyak mendapat bimbingan dari berbagai pihak terutama dari dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan informasi sangat berguna bagi pembuatan skripsi.
Judul skripsi ini adalah Kesantunan Bahasa Dalam Pantun Melayu: Suatu Kajian Pragmatik. Adapun yang menjadi alasan penulis memilih judul ini karena judul tersebut belum ada yang menelitinya. Penulis berharap Skripsi ini dapat berguna dan pembaca bisa memahami isinya. Untuk memudahkan pemahaman tentang apa saja yang akan dibahas dalam skripsi ini dimulai dari bab pertama, pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian. Bab kedua, tinjauan pustaka yang terdiri atas kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Bab ketiga, metode penelitian terdiri atas metode dasar, metode pengumpulan data, sumber data, metode analisis data.
(8)
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, 2013 Penulis,
Nurrahmadani Shahpitri 090702004
(9)
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis tiada hentinya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT , orang tua, dan juga teman penulis atas selesainya skripsi ini. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis tujukan kepada orang-orang yang sudah banyak membantu penulis dan memberikan arahan, motivasi, bimbingan dan semangat maupun saran yang penulis terima dari semua pihak, sehingga setiap kesulitan yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik.
Melalui skripsi ini, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang juga turut memberi masukan dan saran kepada penulis.
4. Ibu Dr. Rozanna Mulyani, M.A., selaku pembimbing I yang sudah meluangkan waktu, tenaga untuk memberikan pengertiannya serta arahan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum., selaku pembimbing II penulis yang juga telah banyak mengorbankan waktu dan pemikirannya dalam memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(10)
6. Bapak / ibu staf pengajar dan pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan mendidik penulis sejak berada di Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
7. Teristimewa kepada ayahanda dan ibunda tercinta Miswardi Tanjung dan Sumiati, yang tak pernah merasa lelah mendidik dan memberikan motivasi bagi penulis untuk belajar serta telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga, pikiran maupun limpahan kasih sayang serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya ini.
8. Adik-adik penulis, Andika Syawal Saputra, Siti Nurhaliza Shahpitri dan seluruh keluarga besar penulis yang selalu menjadi penyemangat dan memberikan bantuannya kepada penulis selama ini.
9. Ibu, Irma wadiany Sinaga, SS, dan Om M.Khaidir Ar-Rozy Siagian, ST yang sudah banyak membantu penulis, baik materi maupun motivasi yang membangun penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
10. Abang dan kakak senior, Mustaqim Tanjung, Surya Darma, Bobi Tarigan yang sudah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis dalam penulisan skripsi.
11. Rekan-rekan stambuk 2009, Dewi Kusuma, Hotmida Sinaga, Satria Sinaga, Japatar Purba, Rayking Simaremare, dan lain-lain.
12. Teman di rumah sepupu penulis, Jasnia Warti, Julianti Siagian.
13. Seluruh keluarga besar yang ada di Gunung Pamela, Desa Buluh Duri dan di Medan, Tanjung Sari, yang telah banyak memberikan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis mengucapkan terimakasih. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
(11)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……….... i
KATA PENGANTAR ……… iii
UCAPAN TERIMAKASIH ……….... v
DAFTAR ISI ……… vii
BAB I PENDAHULUAN ……….... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……….... 1
1.2 Perumusan Masalah ……… 7
1.3 Tujuan Penelitian ……… 7
1.4 Manfaat Penelitian …..………..… 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………..………….. 9
2.1 Kepustakaan yang Relevan………..……….. 9
2.2 Teori yang Digunakan ……… 10
BAB III METODE PENELTIAN ……… 14
3.1 Metode Dasar ……… 14
3.2 Metode Pengumpulan Data ……….... 14
3.2 Sumber Data ……….... 15
3.4 Metode Analisis Data ……… 15
BAB IV PEMBAHASAN ………... 17
4.1 Kesantunan Bahasa Pada Pantun Merisik Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik ……… 17
(12)
4.1.1 Ketentuan Adat pada Masyarakat Melayu ……… 17
4.1.1.1 Adat Yang Sebenarnya Adat ……… 17
4.1.1.2 Adat yang Diadatkan ……… 19
4.1.1.3 Adat yang Teradat ……… 21
4.1.2 Merisik pada Masyarakat Melayu ……… 23
4.1.2.1 Merisik Berbisik ……… 23
4.1.2.2 Merisik Kecil ……… 25
4.1.2.3 Merisik Besar ……… 33
4.2 Skala kesantunan yang terdapat pada pantun Melayu ...………… 48
4.2.1 Cost-benefit Scale (Skala Kerugian dan Keuntungan) ...………….. 48
4.2.2 Optionality Scale (Skala Pilihan) ……….………... 48
4.2.3 Indirecness Scale (Skala Ketidaklangsungan) ………... 48
4.2.4 Authority Scale (Skala Keotoritasan) ...……….... 49
4.2.5 Social Scale (Skala Jarak Sosial) ...……….…...….... 49
4.3 Kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara perkawinan masyarakat Melayu ……….………... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 55
5.1 Kesimpulan ……… 55
5.2 Saran ……… 61
DAFTAR PUSTAKA ……… 62
Lampiran ……….... 64 Surat izin penelitian perpustakaan Universitas Sumatera Utara
(13)
ABSTRAK
Judul Skripsi ini adalah : Kesantunan Bahasa Dalam Pantun Merisik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu tentang : skala kesantunan apa sajakah yang terdapat pada pantun Melayu, dan kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara perkawinan masyarakat Melayu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan skala kesantunan yang terdapat pada pantun Melayu, dan kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara perkawinan masyarakat Melayu. Manfaatnya secara teoritis diharapkan dapat menambah khasanah analisis yang menggunakan teori pragmatik dengan data pantun Melayu. Secara pragmatis penelitian ini akan bermanfaat untuk melestarikan pantun Melayu, dan untuk menggalakkan penelitian pantun Melayu agar dapat dikenalkan sebagai salah satu bentuk tradisi lisan Melayu.
Tulisan ini menggunakan teori skala kesantunan Leech : Pertama, jika dalam percakapan lebih banyak merugikan penutur daripada mitra tutur maka akan lebih santunlah percakapan itu. Kedua, jika dalam percakapan lebih banyak pilihan untuk mitra tutur maka akan lebih santunlah percakapan itu. Ketiga, jika penutur ingin penyampaian maksud maka harus disampaikan secara tidak langsung itu dianggap lebih sopan. Keempat, jika semakin jauh jarak sosial/status sosial maka akan semakin santunlah percakapan itu. Kelima, jika semakin dekat hubungan kekerabatan antara penutur dengan mitra tutur maka akan semakin santunlah percakapan itu.
Hasil dari penelitian ini yaitu mempermudah mengartikan sebuah percakapan dalam bentuk pantun yang ada pada upacara merisik masyarakat Melayu yaitu dengan teori skala kesantunan Leech, yang terdiri atas lima skala kesantunan dengan membuat contoh pantun merisik masyarakat Melayu yang dikaitkan dengan teori tersebut.
(14)
ﻙﺮﺘﺴﺑﺍ
ﺍﺩﺎﻓ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻢﻟﺍﺩ ﺱﺎﻬﺑ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ
:
ﻪﻟﺍﺩﺍ ﻦﻳﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻝﻭﺩﻮﺟ
ﻥﻮﻓﺩﺍ
.
ﻚﻴﺗﺎﻤڬﺍﺮﻓ ﻦﻴﺟﺎﻛ ﻮﺗﺍﻮﺳ
:
ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻦﻨﻳﻭﺎﻛﺮﻴﻓ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ
ڠﻳ ﻪﻜﺟﺎﺳ ﺎﻓﺍ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ
:
ڠﺘﻨﺗ ﺖﻳﺍﺎﻳ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻢﻟﺍﺩ ﻦﻬﻠﺌﺴﻣﺮﻴﻓ
ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻦڠﺩ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﺍﺭﺎﺘﻧﺍ ﻦﺘﻳءﺎﻛ ﻥﺍﺩ ،ﻮﻳﻼﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﺍﺩﺎﻓ ﺖﻓﺍﺩﺮﺗ
.
ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻦﻨﻳﻭﺎﻛﺮﻴﻓ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ ﺍﺩﺎﻓ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ
ﺍﺩﺎﻓ ﺖﻓﺍﺩﺮﺗ ڠﻳ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﻦﻜﺴﻠﺠﻨﻣ ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﻪﻟﺍﺩﺍ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻥﺍﻮﺟﻮﺗ
ﺍﺩﺎﻓ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻦڠﺩ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﺍﺭﺎﺘﻧﺍ ﻦﺘﻳءﺎﻛ ﻥﺍﺩ ،ﻮﻳﻼﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ
ﺖﻓﺍﺩ ﻦﻜﻓﺍﺮﺣﺩ ﺲﻴﺘﻳﺭﻮﻴﺗ ﺍﺭﺎﭽﺳ ڽﺔﻌﻔﻨﻣ
.
ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻦﻨﻳﻭﺎﻛﺮﻴﻓ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ
ﻥﻮﺘﻨﻓ ﺎﺗﺍﺩ ﻦڠﺩ ﻚﻴﺗﺎﻤڬﺍﺮﻓ ﻱﺭﻮﻴﺗ ﻦﻛﺎﻧﻮڬڠﻣ ڠﻳ ﺲﻴﺴﻴﻟﺎﻧﺍ ﻪﻨﺻﺎﺧ ﻪﺒﻤﻨﻣ
ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻦﻜﻳﺭﺎﺘﺴﻠﻣ ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﺔﻌﻔﻨﻣﺮﺑ ﻦﻛﺍ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﺲﻴﺗﺎﻤڬﺍﺮﻓ ﺍﺭﺎﭽﺳ
.
ﻮﻳﻼﻣ
ﻱﺎڬﺎﺒﺳ ﻦﻜﻠﻨﻛﺩ ﺖﻓﺍﺩ ﺮڬﺍ ﻮﻳﻼﻣ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻦﻜﻘﻟﺎڬڠﻣ ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﻥﺍﺩ ،ﻮﻳﻼﻣ
.
ﻮﻳﻼﻣ ﻦﺴﻴﻟ ﻲﺴﻳﺩﺍﺮﺗ ﻕﻮﺘﻨﺑ ﻮﺗﺎﺳ ﻪﻟﺎﺳ
ﻢﻟﺍﺩ ﻚﺟ ،ﻡﺎﺗﺮﻴﻓ
:
ﻪﭽﻴﻟ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﻱﺭﻮﻴﺗ ﻦﻛﺎﻧﻮڬڠﻣ ﻦﻳﺍ ﻦﺴﻴﻟﻮﺗ
ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﺭﻮﺗﻮﺗ ﺍﺮﺘﻴﻣ ﺍﺩﺎﻔﻳﺭﺩ ﺭﻮﺗﻮﻨﻴﻓ ﻦﻜﻴڬﻭﺮﻣ ﻖﭘﺎﺑ ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ
ﻕﻮﺘﻧﻭﺍ ﻦﻬﻴﻠﻴﻓ ﻖﭘﺎﺑ ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻢﻟﺍﺩ ﻚﺟ ،ﺍﻭﺪﻛ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ
ﻦﻴڠﻳﺍ ﺭﻮﺗﻮﻨﻴﻓ ﻚﺟ ،ڬﻴﺘﻛ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ ﻪﻴﺒﻟ ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﺭﻮﺗﻮﺗ ﺍﺮﺘﻴﻣ
ﻪﻴﺒﻟ ﻒڬڠﺃﺩ ﺖﻳﺍ ڠﻮﺴڠﻟ ﻕﺪﻴﺗ ﺍﺭﺎﭽﺳ ﻦﻜﻳﺍﺎﻔﻤﺳﺩ ﺱﻭﺭﺎﻫ ﻚﻣ ﺩﻮﺼﻘﻣ ﻦﻳﺎﻔﻤﭙﻓ
ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﻝﺎﻴﺳﻮﺳ ﺱﻮﺗﺎﺘﺳ
/
ﻝﺎﻴﺳﻮﺳ ﻕﺭﺎﺟ ﻩﻭﺎﺟ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ ﻚﺟ ،ﺖﻔﻣﺎﻛ
.
ﻦﻓﻮﺳ
ﻦﺘﺑﺍﺮﻜﻛ ﻦڠﻮﺑﻮﻫ ﺖﻛﺩ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ ﻚﺟ ،ﻢﻴﻠﻛ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ
.
ﺖﻳﺍ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻪﻠﻧﻮﺘﻨﺳ ﻦﻴﻛﺎﻤﺳ ﻦﻛﺍ ﻚﻣ ﺭﻮﺗﻮﺗ ﺍﺮﺘﻴﻣ ﻦڠﺩ ﺭﻮﺗﻮﻨﻴﻓ ﺍﺭﺎﺘﻧﺍ
ﻢﻟﺍﺩ ﻦﻔﻛﺎﭼﺮﻴﻓ ﻩﺍﻮﺒﺳ ﻦﻜﻴﺗﺭﺎڠﻣ ﻩﺩﻮﻣﺮﻴﻔﻤﻣ ﺖﻳﺍﺎﻳ ﻦﻳﺍ ﻥﺎﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻱﺭﺩ ﻞﻴﺻﺎﺣ
ﻱﺭﻮﻴﺗ ﻦڠﺩ ﺖﻳﺍﺎﻳ ﻮﻳﻼﻣ ﺖﻛﺭﺎﺸﻣ ﻚﻴﺴﻳﺮﻣ ﺍﺭﺎﭼﺎﻓﻭﺍ ﺍﺩﺎﻓ ﺩﺍ ڠﻳ ﻥﻮﺘﻨﻓ ﻕﻮﺘﻨﺑ
ﺕﺍﻮﺒﻤﻣ ﻦڠﺩ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ ﺎﻤﻴﻟ ﺲﺗﺍ ﻱﺮﻳﺩﺮﺗ ڠﻳ ،ﻪﭽﻴﻟ ﻦﻧﻮﺘﻨﺴﻛ ﻻﺎﻜﺳ
(15)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak
hanya memiliki kekayaan alam yang subur, tetapi juga terdiri atas berbagai suku bangsa,
yang tersebar di seluruh penjuru tanah air Indonesia. Bangsa Indonesia adalah salah satu
negara di belahan bumi ini yang memiliki beragam kebudayaan, budaya itu muncul dari
masing-masing suku yang ada di setiap daerah Indonesia.
Yuscan (2007:2) mengatakan menurut Kroeber kebudayaan adalah seluruh realisasi
gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan termasuk
perilaku yang ditimbulkannya. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa kebudayaan adalah
buah budi manusia yang terdiri dari tiga kekuatan jiwa manusia yaitu pikiran, rasa dan
karsa. Koentjaraningrat (1987) mengatakan bahwa keseluruhan sistem kebudayaan adalah
gagasan atau aktifitas dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar. Semua tindakan manusia adalah
kebudayaan karena untuk melakukan suatu tindakan memiliki proses pembelajaran.
Dari ketiga pendapat tersebut di atas yang menjadi acuan penulis menyimpulkan
dengan kata lain kebudayaan merupakan keseluruhan tindakan manusia yang ditimbulkan
(16)
cucu mereka, di dalamnya terdapat realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan
nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan termasuk perilaku yang ditimbulkannya.
Kebudayaan inilah yang menjadi ciri khas atau identitas suku bangsa tersebut, baik
di dalam negeri maupun yang ada luar negeri. Masing-masing daerah yang ada di
Indonesia mempunyai upacara adat. Upacara merupakan serangkaian tindakan atau
perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan
kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan,
upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Sedangkan adat itu sendiri
merupakan ketentuan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat dalam segala aspek
kehidupan manusia. Jadi upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang
terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan dengan
ketentuan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan
manusia yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan
demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan,
upacara labuhan (berarti memberi sesaji kepada penguasa Laut) dan sebagainya. Upacara
adat yang dilakukan di masing-masing daerah, sebenarnya juga tidak lepas dari unsur
sejarah. (http://catatansenibudaya.blogspot.com).
Masyarakat Indonesia pada umumnya juga kaya akan berbagai jenis bahasa untuk
saling berinteraksi dalam kegiatan sehari-hari. Dengan kata lain bahasa merupakan alat
utama dalam komunikasi dan memiliki daya ekspresi dan informatif yang besar. Bahasa
sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan bahasa manusia bisa menemukan
kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Sebagai anggota
masyarakat yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat manusia sangat
(17)
ada masyarakat di situ ada penggunaan bahasa.” Dengan kata lain, di mana aktivitas
terjadi, di situ aktivitas bahasa terjadi pula. Melalui bahasa dapat dilaksanakan komunikasi
antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya atau antara suatu bangsa dengan bangsa
lainnya dan Negara yang satu dengan Negara lainnya pula. Bahasa juga suatu simbol vokal
yang arbitrer yang memungkinkan kelompok orang dalam lingkup kebudayaan tertentu
atau kelompok orang lainnya yang mempelajari lingkup kebudayaan tersebut untuk saling
berkomunikasi atau berinteraksi. Supaya kelestarian bahasa tersebut tetap terjaga dan tidak
menghilang seiring berjalannya waktu.
(http://repository.upi.edu) mengatakan bahwa defenisi bahasa dari beberapa pakar
lain, kalau dibutiri akan terdapat beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa antara
lain: (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu
berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu
bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9)
bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis,
(12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13) bahasa itu merupakan
identitas penuturnya.
Adat dan budaya terbentuk dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan
kondisi di suatu tempat. Setelah masuknya agama Islam ke Indonesia sebagai agama yang
dianut dan ditaati oleh sebagian besar bangsa Indonesia, maka untuk menyempurnakan
adat dan budaya Melayu diselaraskan dengan ajaran Islam sesuai dengan ungkapan yang
(18)
Adat yang bersendikan syara’ Syara’ mengikat Adat
Kuat Agama kuat Adat Kuat Adat kuat Agama (Yuscan, 2007:3)
Ciri khas tersendiri dalam setiap pelaksanaan upacara adat suku Melayu, yaitu
selalu menggunakan pantun dalam setiap melakukan kegiatan upacara adat, karena pantun
inilah sebagai penyambung lidah masyarakat Melayu dalam berinteraksi atau
berkomunikasi antara satu dan yang lainnya. Seperti yang dikatakan Sinar (2011:1) bahwa
tradisi berpantun merupakan seni berkomunikasi dalam tradisi lisan Melayu lama. Tradisi
ini merupakan budaya Melayu yang meluas digemari di Nusantara (Mulyani 2012:1).
Pantun adalah puisi Melayu asli yang sudah mengakar lama pada budaya
masyarakat Melayu. Kebiasaan dan kebudayaan suku Melayu tidak dapat dipisahkan dari
kebiasaan masyarakatnya yang suka menggunakan buah pikirannya melalui untaian
kata-kata yang indah berupa pantun. Pantun pada awalnya merupakan sastra lisan tetapi
sekarang banyak dijumpai pantun yang tertulis (Hidayati,2008:1). Hal ini sebagai upaya
menjaga warisan budaya bangsa suku Melayu agar tidak hilang dari masyarakat. Pantun
bukan sekedar permainan bunyi atau kata-kata, tetapi juga ditujukan pada pikiran kita. Hal
ini berkaitan dengan logika.
Pantun salah satu jenis karya sastra lama. Lazimnya puisi hanya terdiri atas 4 larik
(baris) bersajak ab-ab. Pada awal mulanya pantun merupakan sastra lisan, tapi kini pantun
juga ada dalam bentuk tulisan. Keseluruhan bentuk pantun berupa sampiran dan isi.
(19)
langsung dengan bagian kedua. Baris ketiga dan keempat ialah bagian isi yang merupakan
tujuan dari puisi tersebut.
Ciri-ciri pantun :
Memiliki rima a-b-a-b
Terdiri 4 baris dalam 1 bait
Baris pertama & kedua merupakan sampiran
Baris ketiga & keempat merupakan isi
Contoh pantun berima a-b-a-b
Kalau ada jarum yang patah
Jangan masukkan dalam peti
Kalau ada kata-kataku yang salah
Jangan masukkan dalam hati
Dalam dunia linguistik kajian pragmatik sangat dikenal. Pragmatik mengkaji
maksud penutur dalam menuturkan sebuah bahasa. Meskipun sebelumnya, di era 70-an
para linguis berlaku diskriminatif terhadap kajian pragmatik ini, bahkan hampir tidak
pernah membahasnya. Namun pada saat ini, para linguis yang berpandangan bahwa
mustahil bagi pemakai bahasa dapat mengerti secara baik sifat-sifat bahasa yang mereka
gunakan dalam berkomunikasi tanpa mengerti hakikat pragmatik, yaitu bagaimana bahasa
sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Jadi, inilah alasan penulis mengambil judul Kesantunan Bahasa Pada Pantun
Merisik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik,
walupun pantun merupakan tradisi sastra lisan yang semestinya dikaji dengan teori sastra
(20)
dikaji dengan teori linguistik yaitu pragmatik. Pragmatika (pragmatics) yaitu studi relasi
antara tanda-tanda dengan penafsirannya. Karena di dalam bahasa pantun banyak
terkandung unsur tanda yang bisa ditafsirkan lewat makna yang diujarkan dalam pantun
tersebut. sehingga judul ini sangat menarik untuk dibahas dan diteliti, walaupun
mempunyai kesulitan yang cukup berat dalam proses analisisnya. Peneliti juga akan
mencantumkan pantun-pantun Melayu di dalam skripsi ini sebagai bahan tambahan untuk
(21)
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka peneliti mencoba
mengangkat pantun berdasarkan kesantunan bahasa. Adapun masalah dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Skala kesantunan apa sajakah yang terdapat pada pantun Melayu?
2. Bagaimanakah kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara
perkawinan masyarakat Melayu?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali bentuk wacana budaya
Melayu yang masih terpelihara dan masih digunakan oleh masyarakat Melayu, yaitu
pantun. Kajian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk pemertahanan budaya
daerah, khususnya Melayu sebagai bagian dari kebudayaan Nasional. Secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan:
1. Skala kesantunan yang terdapat pada pantun Melayu.
2. Kaitan antara skala kesantunan dengan pantun merisik pada upacara perkawinan
masyarakat Melayu.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis.
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah analisis yang
(22)
Secara praktis penelitian ini akan bermanfaat untuk melestarikan pantun Melayu,
dan untuk menggalakkan penelitian pantun Melayu agar dapat dikenalkan sebagai salah
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan dengan kajian
penulisan. Hal ini dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah haruslah dapat dipertanggung
jawabkan dan harus disertai data-data yang kuat serta ada hubungannya dengan yang
diteliti.
Wirman Valkinz (2013) dalam skripsinya yang berjudul Realisasi Kesantunan
Berbahasa Di Lingkungan Terminal: Kajian Sosiopragmatik mengatakan bahwa
santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan
makna absolut sebuah bentuk bahasa, karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren
santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks
ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi variabel penting dalam
kesantunan.
Skripsi di atas walaupun menulis tentang kesantunan bahasa, namun berbeda
dengan yang akan dikaji oleh penulis. Penulis mengkaji tentang Kesantunan Bahasa
Pada Pantun Merisik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik. Walaupun demikian kajian di atas banyak memberi masukan atau kontribusi
(24)
2.2 Teori yang Digunakan
Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk yang secara
umum akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Teori diperlukan untuk mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi sehingga menjadi
penuntun bagi kerja penulis.
Teori merupakan landasan fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk
menjelaskan atau memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap
(Admadilaga dalam Gurning, 2004:9). Oleh karena itu ada beberapa pengertian pragmatik
dan pantun yang mendukung tulisan ini di antaranya adalah:
Kunjana (2005:47) mengatakan istilah pragmatik, sebenarnya, sudah dikenal sejak
masa hidupnya seorang filsuf terkenal bernama Charles Morris tahun 1938, dalam
memunculkan istilah pragmatika, Morris (1938) mendasarkan pemikirannya pada gagasan
filsuf-filsuf pendahulunya, seperti Charles Sanders Pierce dan John Locke yang banyak
menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya. Ilmu tanda dan ilmu lambang
yang mereka pelajari itu dinamakan semiotika (semiotics). Dengan mendasarkan pada
gagasan filsuf itu, Charles Morris membagi ilmu tanda dan ilmu lambang itu ke dalam tiga
cabang ilmu, yakni (1) sintaktika (syntactic) ‘studi relasi formal tanda-tanda’, (2)
semantika (semantics) ‘studi relasi tanda-tanda dengan objeknya’, dan (3) pragmatika
(pragmatics) ‘studi relasi antara tanda-tanda dengan penafsirannya’. Berawal dari gagasan
filsuf ternama inilah kemudian sosok pragmatik dapat dikatakan terlahir dan mulai
bertengger di atas bumi linguistik.
Kunjana,dkk (2005 : 47) mengatakan, bahwa pragmatik mempelajari apa saja yang
(25)
sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik. Levinson (1983)
mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat
dilepaskan dari struktur bahasanya
Di dalam bertutur sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat
kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam
penelitian kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah (1) skala kesantunan menurut Leech,
(2) skala kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan (3) skala kesantunan menurut
Robin Lakoff.
a. Skala Kesantunan Leech
Setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat
kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech (1983)
(1) Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
Penjelasan: Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan
(2) Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer
by a specific linguistic act. Penjelasan: Optionality scale atau skala ketidak langsungan
menunjuk kepada banyak atau sdikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur
kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
(3) Indirectness scale: indicating the amount of inferencing required of the hearer in
order to establish the intended speaker meaning. Penjelasan: Indirectness scale atau skala
ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud
(26)
(4) Authority scale: Representing the status relationship between speaker and hearer.
Penjelasan: Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.
(5) Social distance scale: indicating the degree of familiarity between speaker and hearer.
(Leech, 1983). Penjelasan: social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada
peringkat hubungan social antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah
pertuturan.
b. Skala Kesantunan Brown and Lavinson
Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan.
Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan cultural yang selengkapnya
mencakup skala-skala berikut:
(1) skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (Social distance between
speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin dan
latar belakang sosiokultural.
(2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer
relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power ratting)
didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
(3) Skala pringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank ratting atau
lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the required expenditure of
goods or service didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan tindak
(27)
c. Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (1972) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya
kesantunan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah sebagai berikut:
(1) Di dalam skala kesantunan pertama, yakni skala formalitas (formality scale)
dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam
kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak bolek
berkesan angkuh.
(2) Skala yang kedua, yakni skala ketidaktegasan (hesitancy scale) atau seringkali disebut
skala pilihan (optionality scale) menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat
saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus
diberikan oleh kedua belah pihak.
(3) Skala kesantunan ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan menunjukkan
bahwa agar dapat bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu
mempertahankan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Leech (Kunjana,,2005:66) mengatakan setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan
untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Alasan penulis menggunakan
teori ini, karena teori ini bisa di jadikan panduan bagi si penulis untuk mengkaitkan
maksim-maksim skala kesantunan Leech dengan pantun merisik pada perkawinan
masyarakat Melayu. Kanena makna maupun kesantunan bahasa pada pantun merisik,
penulis akan mencoba menjelaskan dengan menggunakan kelima maksim yang terdapat di
(28)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Metode dasar dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
(http://www.anneahira.com) mengatakan istilah dalam deskriptif itu adalah merupakan
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variable mandiri, baik satu variable atau
lebih (independen) tanpa membuat perbandingan (komparatif) atau penghubungan
(asosiatif) dengan variable yang lain. Dengan kata lain peneliti menuliskan hasil penelitian
semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang ada pada
buku-buku yang digunakan penulis.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik-teknik sebagai berikut :
Teknik kepustakaan yaitu penulis mencari buku-buku yang berhubungan dengan
penulisan skripsi ini. Dengan kata lain studi kepustakaan adalah segala usaha yang
dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan ragam atau
masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku
ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, skripsi-skripsi, tesis dan disertasi,
peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber
(29)
3.3 Sumber Data
Data untuk bahan penelitian penulis menggunakan buku-buku yang berhubungan
dengan Pragmatik dan buku tentang pantun masyarakat Melayu. Sumber data tertulis
berikut buku yang penulis gunakan antara lain :
1. Penulis : Drs. Zainal Arifin, Aka
Judul buku : Kumpulan Pantun Melayu Penerbit : MITRA MEDAN
Tahun terbit : 2007
Ketebalan buku : 104 halaman
Sampul buku : Depan dan belakang kuning
2. Penulis : Yuscan
Judul buku : Adat Istiadat Perkawinan Melayu Sumatera Timur Penerbit : PB.MABMI
Tahun terbit : 2007
Ketebalan buku : 134 halaman
Sampul buku : Depan dan belakang hijau campur kuning.
3.4 Metode Analisis Data
Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian,
karena tahap dalam menyelesaikan masalah adalah menganalisis secara kualitatif
(menggunakan deskripsi dan kategori dalam wujud kata-kata).
Langkah-langkah yang harus ditempuh penulis dalam menganalisis data adalah :
1. Data yang sudah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan pokok permasalahan atau
objek kajian.
2. Setelah diklasifikasi data tersebut dianalisis sesuai kajian yang telah ditetapkan yaitu
(30)
3. Mengkaitkan kesantunan dengan maksim-maksim prinsip kesantunan Leech pada objek
(pantun merisik)
4. Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sistematis sehingga
(31)
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kesantunan Bahasa Pada Pantun Merisik Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu : Suatu Kajian Pragmatik
4.1.1 Ketentuan Adat pada Masyarakat Melayu
Yuscan (2005:3) mengatakan bahwa Adat dan budaya Melayu diselaraskan dengan
ajaran agama Islam sesuai dengan ungkapan yang berbunyi.
Adat yang bersendikan syara’ Syara’ mengikat adat
Kuat agama kuat adat Kuat adat kuat agama
Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat dari beberapa pakar-pakar adat serta
budayawan Melayu, maka adat Melayu dibagi atas beberapa tingkatan yaitu:
Adat yang sebenarnya adat Adat yang diadatkan Adat yang teradatkan
4.1.1.1Adat yang Sebenarnya Adat
Yuscan (2005:3) mengatakan bahwa Adat yang sebenarnya adat adalah sebuah
(32)
dalam “Adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”. Sedangkan
ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam tidak dapat
digunakan lagi. Hal ini tercermin dalam ungkapan yang berbunyi :
Adat berwaris kepada nabi Adat berkhalifah kepada adam Adat yang berinduk ke Ulama Adat tersurat dalam kertas Adat tersurah dalam sunnah Adat dikungkung kitabullah Itulah adat yang tiada tanding Itulah adat yang tahan asak Adat yang terconteng dilawang Adat tak lekang oleh panas Adat tak lapuk oleh hujan Adat dianjak layu diumbut mati Adat ditaman tumbuh dikubur hidup Kalau tinggi dipanjatnya
Kalau rendah dijalarnya Riaknya sampai ketebing Untutnya sambai kebakal Resamnya sampai ke laut lepas Sampai ke pulau karam-karaman Sampai ketebing lembakan-lembakan Sampai kearus yang berdengung
(33)
Kalau tali boleh diseret Kalau rupa boleh dilihat Kalau rasa boleh dimakan Itulah adat sebenar adat Ada yang turun ke syara’ Yang diikat dengan syari’at Iyulah pusaka turun temurun
Warisan yang tak putus bila dicincang Yang menjadi galang lembaga
Yang menjadi ico dengan pakaian Yang digenggam dipeselimut Adat yang keras tidak tertarik Adat lunak tersudut
Bila dibuntal singkat direntang panjang Kalau kendur berdenting-denting Kalau tegang berjela-jela
Itulah sebenarnya adat
Yang dipakai oleh orang Melayu.
4.1.1.2Adat yang Diadatkan
Yuscan (2005:5) mengatakan bahwa adat yang diadatkan adalah adat yang dibuat
oleh penguasa pada satu kurun waktu tertentu. Masa berlaku adat ini adalah selama belum
diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi
(34)
dari ketentuan adat”. Adat yang diadatkan mengandung pengertian yang tersermin dalam
sebuah ungkapan sebagai berikut :
Adat yang turun dari raja Adat yang tumbuh dari datuk Adat yang cucur dari penghulu Adat yang lahir dari mufakat Adat yang dibuat kemudian
Putus mufakat adat berubah Bertukar angin ianya melayang Bersalin baju ianya tercampak Berkisar duduk ianya beralih Berpaling tegak ianya lepas
Adat yang dibuat bersarkan mufakat Adat yang diganti dengan sepakat
Yuscan (2005:6) mengatakan berdasarkan ungkapan di atas jelaslah bagi kita
bahwa adat yang diadatkan adalah adat yang dibuat dari lahir berdasarkan ketetapan
penguasa (raja-raja, Datuk-datuk ataupun penguasa setempat). Adat tersebut juga dapat
terbentuk berdasarkan hasil mufakat bersama antara pemuka-pemuka masyarakat dan
disetujui bersama untuk dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat tersebut. Sedangkan
bagi orang Melayu di Sumatera Timur ungkapan “Adat yang diturunkan dari Raja, tumbuh
(35)
4.1.1.3 Adat yang Teradat
Yuscan (2005) Adat yang teradat merupakan suatu kebiasaan yang diturunkan oleh
orang-orang tua ke anak cucunya secara turun temurun. Adat yang teradat ini dapat juga
dikatakan sebagai tradisi sebagaimana yang tercermin pada ungkapan berikut ini :
Datangnya tidak bercerita Perginya tidak berkabar Kecil teranja-anja Besarnya terbawa-bawa
Adat yang disarung tidak berjait Adat kelindan tidak bersimpul Yang dibawa angin lalu Yang tumbuh tidak bertanam Yang bertunas tidak beranting Datang angin ianya melayang Datang panas ianya lekang Datang hujan ianya lapuk Adat yang dating kemudian Yang diseret jalan panjang Yang bertenggek disampan lalu Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar tidak berurat tunggang Itulah adat sementara
Adat yang dapat dialih-alih Adat yang dapat ditukar salin
(36)
Adat yang teradat adalah suatu kebiasaan sehari-hari yang berlaku bagi
masyarakat melayu atau diistilahkan dengan tradisi. Adat ini selalu dipakai dan
dilaksanakan sebagai pelengkap sehingga pelanggaran terhadap adat ini tidaklah
mendapatkan sanksi apapun terkecuali nasehat dari para pengetua adat pada zaman dahulu.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa adat dan budaya Melayu
Sumatera Timur adalah sejalan dan selaras dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu
adat dan budaya Melayu ini diwariskan kepada anak cucu agar generasi yang akan dating
tidak seperti ungkapan berikut :
Umpama Juragan kehilangan pedoman Umpama Apit Lempang kehilangan kemudi Umpama kuanca kehilangan kunci
Umpama Anak pukat kehilangan tuasan Ataupun sebagai Orang tua kehingan tongkat
Akan tetapi diharapkan kepada generasi yang akan datang untuk menjadikan adat
dan budaya tersebut seperti ungkapan berikut :
Umpama payung dikala hujan Umpam bantal jika tidur
Umpam sampan dikala berlayar Umpama obor di dalam kegelapan Umpama pusaka dikala hidup
(37)
Seperti halnya pantun Melayu haruslah dilestarikan oleh para muda mudi baik
suku Melayu itu sendiri maupun suku lain yang ingin mempelajarinya. Sehingga tidak
terjadi penipisan budaya/tradisi yang sudah lama menjadi rutinitas masyarakatnya dalam
setiap pelaksanaan upacara adat baik pernikahan maupun upacara adat yang lainnya.
4.1.2 Merisik pada Masyarakat Melayu
Yuscan (2005) Masyarakat Melayu umumnya pemuda dan pemudi saling
berkenalan dan dilanjutkan dengan pendekatan dengan cara menculuk, maka untuk
melanjutkan keseriusannya si pemuda akan mengutarakan niatnya kepada orang tuanya
untuk mempersunting gadis idamannya tersebut.
Sebelum melangkah kejenjang pernikahan ada beberapa tahapan adat yang harus
dilaksanakan oleh keluarga pihak pemuda. Tahapan adat pertama adalah merisik yang
berarti bertanya. Merisik terbagi pada tiga jenis yaitu merisik berbisik, merisik kecil dan
merisik besar.
4.1.2.1 Merisik Berbisik
Yuscan (2005:26) mengatakan bahwa merisik berbisik dalam bahasa Melayu
adalah bertanya secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Biasanya merisik berbisik ini
dilakukan untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat membuat aib
atau malu pihak keluarga si pemuda misalnya anak dara tersebut sudah mempunyai ikatan
dengan pemuda lain ataupun lamarannya ditolak dengan suatu alasan oleh orang tua si
anak dara karena sifatnya yang rahasia maka merisik berbisik ini hanya diketahui oleh
(38)
Orang tua si pemuda akan mengutus seorang wanita tua yang arif dan bijaksana
serta dapat dipercaya. Selain itu utusan tersebut juga harus pandai dan sopan dalam
bertutur kata. Utusan tersebut bertugas untuk menyampaikan niat dari orang tua si pemuda
untuk datang meminang dan melihat serta menyelidiki apakah pemuda tersebut sesuai
dengan kriteria adat dan budaya Melayu dalam pencari jodoh.
Biasanya utusan tersebut akan mencari hari / rasi yang baik untuk melaksanakan
tugasnya. Dan jika hari yang baik telah ditemukan maka berangkatlah ia dengan membawa
sebuah tepak lengkap dengan isinya kerumah keluarga si anak dara. Akan tetapi jika dalam
perjalanan ia bertemu dengan dara yang akan dirisik dan pada pertemuanya tersebut anak
dara itu tidak dalam keadaan baik, seperti tidak memakai kerudung ataupun tersingkap
kainnya hingga menampakkan auratnya maka kunjungan tersebut akan dibatalkan dan akan
dicari hari baik berikutnya.
Menurut cerita orang-orang tua dahulu yang pernah bertugas menjadi utusan dalam
utusan merisik berbisik mengatakan bahwa ada beberapa hal yang akan terjadi pokok
penilaian dalam merisik berbisik terutama tentang berkatam kaji (katam Al-Qur’an),
kemampuan memasak dan menjahit (menyulam). Bekatam kaji melambangkan kedekatan
dan kataatan si anak dara tersebut terhadap ajaran agama Islam, sedangkan memasak
adalah tugas utama seorang istri dalam keluarga selain mengurus anak dan mengatur
keuangan dan menjahit dianggap sebagai lambang ketekunan, keteguhan dan kesabaran.
Satu pelajaran yang dapat diambil dari adat dan budaya Melayu dalam mencari
jodoh adalah agar mencari jodoh yang memiliki kesabaran dan ketekunan. Jika pada zaman
dahulu hal ini tergambar dari ketrampilan menjahit yang dimiliki si anak dara, maka pada
zaman sekarang ini mungkin dapat dilihat dari ketrampilan-ketrampilan lain yang
(39)
Dalam merisik berbisik ini biasanya risikan tersebut tidak langsung diterima pada
saat itu juga oleh ibu si anak dara. Akan tetapi ia akan meminta waktu untuk
bermusyawarah dengan suaminya (ayah si anak dara). Dan jika risikan tersebut diterima
amaka proses akan berlanjut ke merisik kecil.
4.1.2.2 Merisik Kecil
Yuscan (2005:28) mengatakan bahwa merisik kecil adalah lanjutan dari merisik
berbisik. Tugas merisik berpindah dari utusan kepada Penghulu Telangkai yang
didampingi oleh puang dan anak beru serta semenda. Tujuan merisik kecil ini adalah untuk
bertanya tentang syarat-syarat adat yang harus dipenuhi oleh keluarga pihak pemuda agar
pinangan mereka diterima seperti tanda pertunangan, mahar untuk pernikahan, luah
(seperangkat/sepesalin pakaian untuk calon pengantin perempuan), seperangkat alat-alat
kamar pengantin perempuan (tempat tidur, lemari dan lain-lain). Uang kasih sayang
(dahulu disebut uang hangus), pelangkahan (jika si anak dara mempunyai abang / kakak
yang belum menikah).
Hasil keputusan merisik kecil ini diperoleh berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak. Kesepakatan ini akan ditindak lanjuti pada tahapan merisik besar dan meminang.
Kesepakatan yang telah dibuat tidak boleh dirubah baik menambahi maupun
(40)
Percakapan dan Pantun pada Merisik Kecil
Yuscan (2005:34) mengatakan tentang percakapan dan pantun pada merisik kecil sebagai berikut:
Pembuka kata Pihak Perempuan
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Yang saya hormati Tuan-tuan Guru, Alim Ulama, Tengku-Tengku, Datuk-datuk serta seluruh pemuka Adat. Tak terlupakan ahli bait di rumah, yang bersejarah, serta bertuah. Izinkanlah saya berucap kata, hajat baik serta mulia, berbicara sebagai penghulu telangkai, ….. diberi nama yang mewakili seluruh family sanak keluarga.
Adapun sebelah kanan saya ….., atas nama seluruh Puang yang sudah berada dan di sebelah kiri saya anak beru …., mewakili seluruh anak beru sanak keluarga.
Di hari nan indah beserta cerah
Izinkan saya menyusun jari mengaturkan sembah Berbicara sebagai penyambung lidah
Atas nama orang tua kami Bapak ….. pemberi amanah.
Semoga kedatangan Tuan dan puan pembawa berkah dan tuah Insya’Allah.
Dikala purnama sari bersinar terang
Dikala angin berhembus sepoi – sepoi basah Dikala awan berarak hanyut
Dikala burung berkicau riang Dilihat tamu datang menjelang Ke dalam gubuk yang serba kurang
(41)
Membuat kami merasa senang Harus disambut secara adat
Diufuk cerah mentari pagi Bukan memuja bukan memuji Tidak usai kami menanti Yang kami nanti telah terbukti
Ikat pancang patah kemudi Pataah galah di tepian mandi Terlambat Tuan datang kemari Sudah gelisah kami menanti
Menurut adat resam Melayu Apabila kita kedatangan tamu Sebelum menyampaikan niat tertentu Tepak sirih sorongkan dahulu
Tepak sirih kami persembahkan Mohon ni’mati serta dimakan Tepak sirih beriring kiasan Tepak sirih sejuta pesan
(42)
Sela dimakan mohon ni’mati Andaikan pait jangan dikeji Jikapun manis usah dipuji
Harap petikkan daun selasih Obat hapus peredam bisa Harap dimakan si kapur sirih Obat haus pelepas dahaga
(penghulu Telangkai pihak perempuan memberikan tepak sirih pembuka kata pada
Penghulu Telangkai pihak laki-laki).
Pihak laki-laki:
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Yang kami hormati tengku-tengku, Datuk-datuk, ‘Alim Ulama, Hadirin dan Hadirat sekalian serta tak terlupakan ahli bait yang berbahagia di rumah ini.
Sebelum menangkap barai Tangkaplah dulu sianak teri Sebelum ucap kata berurai
Izinkan kami memperkenalkan diri
Berbicara sebagai Penghulu Telangkai mewakili family sanak keluarga. Adapun disebelah kanan saya: Bapak …., mengatasnamakan Puang, dan di sebelah kiri saya Bapak …., mengatasnamakan anak Beru.
(43)
Dengan nama Allah Khalikul alam Alhamdulilah tersimpan di dalam Beriring syalawat beserta salam
Kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw Syai’dul anam. Mahkota dunia junjungan alam Yang kita harapkan syafaatnya siang dan malam Bagi umat islam yang bertaqwa disekian alam
Sungguh ahli bait berlapang hati
Menerima kami di rumah yang bertuah ini Disambut keluarga sanak family
Disorong tepak penuh berisi Lemah lembut budi pekerti Sejuk sungguh rasa di hati
Makan sirih berjauh malam Sirih dimakan Putri Jauhari Terima kasih kami ucapkan Sungguh sirih tuan lemak sekali Pulau Tagor bukannya pulau Serba jadi di kaki bukit Duduk kami bagai terpukau Sambutan Tuan tidak sedikit Keduduk tumbuh di dalam dulang
(44)
Uratnya besar silih menyelih Duduk kami duduk berbilang Karena hendak menyerahkan sirih
Limau purut di lembah Kala dilebah ditumbuk duri
Pinang menghadap siri menyembah Jari sepuluh menjunjung duli
Tepak tuan kayu jati Tepak kami kayu meranti Andaikan pait jangan dikeji Jikapun manis jangan dipuji
Ombak berbuih di tengah lautan Bulan syawal ke Indra Pura Tepak sirih kami persembahkan Awal salam pembuka kata
(penghulu Telangkai pihak laki-laki menyerahkan tepak sirih awal pembuka kata
pada pihak perempuan
Pihak perempuan: Biri-biri kambing di hutan Mati ditanduk si kumbang jati
(45)
Sirih diberi sudah dimakan Apa sesungguhnya niat di hati
Pihak laki-laki:
Seronok sungguh Tuan Hamba ini … Memang demikian kayu tembaga Tidak sama kayu cendana
Memang demikian adat lembaga Dulu sapa baru bertanya
Dikala perang Datuk Laksamana
Kura-kura dalam perahu dah gaharu cendana pula Memang demikian orang bijaksana
Pura-pura tak tahu dah tahu bertanya pula
Pihak perempuan:
Susun kacang dua dan tiga Mari letakkan dalam perahu Dalam laut boleh diduga Dalam hati siapa nak tahu
Pihak laki-laki: Begini Tuan Hamba,
(46)
Banyak tempat yang dijelang Yang jauh kami kunjungi Yang dekat tempat bertandang
Dari Pauh angkat pematang Lumba-lumba timang gelombang Hanyut serantau ke Indra Giri Dari jauh kami dating
Niat baik nak menjelang
Cuba-cuba menanam mumbang Kalau tumbuh jadi sunting negeri
Pihak perempuan:
Wah, wah … yang aneh nampaknya tamu kita ini Tuan hamba tau, apa itu mumbang?
Mumbang itu kan putik kelapa,
Lumba-lumba timang gelombang Hanyut seekor ke tepian mandi
Usahlah tuan menanam mumbang
Tampang layu tumbuh tak jadi
Sudah tau kemudi patah Mengapalah tuan naik perahu Usahlah tuan berlagak latah
(47)
Nanti semua ini bakalan tahu
Pihak laki-laki: Tuan Hamba,
Bukan karena kemudi patah Patah galah dalam perahu Bukan kami berlagak latah Kuasa Allah siapa naka tahu
Pihak perempuan:
Ooo, kuasa Allah pulak nak tuan kaji, kalahkanlah kami… Kalau ada kaca di pintu
Silakan Tuan letak di dalam perahu
Jika tekat tuan sudah begitu
Cobalah, kuasa Tuhan siapa pula yang tahu
4.1.2.3 Merisik Besar
Yuscan (2005:29) mengatakan bahwa merisik besar adalah pertemuan antara kedua
keluarga (keluarga pemuda dan keluarga si anak dara) secara resmi menurut adat resam
Melayu untuk melanjutkan hasil kesepakatan yang telah dilakukan dam Merisik Kecil
sebelumnya. Dalam acara ini turut diundang pula tetangga dan sanak famili dari kedua
belah pihak yang dipimpin oleh seorang penghulu telangkai atau juru sabda untuk
(48)
Dalam merisik besar pihak keluarga pemuda akan memberikan sebuah tanda ikatan
kepada si anak dara sebagai tanda bahwa keduanya telah dipertunangkan sesuai dengan
hukum adat dan resam Melayu. Selain itu dalam merisik besar kedua belah pihak juga
mengumumkan kepada seluruh keluarga dan para tetangga mengenai kesepakatan yang
telah dibuat dalam merisik kecil seperti berapa lama masa pertunangan sebelum
dilanjutkan kejenjang pernikahan, besarnya mahar, luah atau seperangkat pakaian untuk
calon pengantin wanita (diantarkan selambat-lambatnya 1 minggu sebelum akad nikah),
peralatan kamar (diantarkan selambat-lambatnya 1 minggu sebelum malam bersanding),
besar uang antaran dan hari serta tanggal akad nikah.
Pada zaman dahulu orang Melayu melaksanakan merisik, meminang dan naik
belanja pada waktu yang berbeda. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman maka
saat ini acara merisik, meminang dan naik belanja dilakukan dalam waktu dan tempat yang
bersamaan. Sesuai dengan sebuah ungkapan yang mengatakan
“Sekali merengkuh dayung
Duatiga pulau terlampaui
Sekali membawa pura
Dua tiga hutang dibayar.
Sekali kemarau tiba, sekali pucuk beralih
Sekali hujan turun, sekali lubang berisi
Sekali air bah, sekali tepian berpindah”
Penggabungan dalam pelaksanaan acara tersebut diatas bukanlah suatu hal yang
dianggap melanggar ketentuan adat apabila dilaksanaan sesuai dengan tertib acara dan
(49)
ini adalah perubahan urutan dan tata tertib pelaksanaan seperti malaksanakan “kawin”
terlebih dahulu baru menikah, bahkan punya anak terlebih dahulu barulah melangsungkan
pernikahan.
Percakapan dan Pantun pada Merisik Besar
Yuscan (2005:40) mengatakan percakapan dan pantun pada merisik besar sebagai
berikut:
Pihak laki-laki : Begini Tuan Hamba
Musim habis masapun sampai Adat lembaga akan tetap dipakai Kami ini diutus sebagai telangkai Semoga niat baik dapat tercapai
Kami dating beserta rombongan
Menyampaikan salam ta’zim penuh keikhlasan Dari bapak …. Yang berada dipangkalan Semoga kedatangan kami membawa keberkatan
Adapun niat dari orang tua kami tersebut, Ingin mempererat hubungan silaturahmi
Dengan keluarga bapak …. Yang berada di sini
Tetapi hajat beliau tersebut tidak bisa disampaikan begitu saja, hajat dan niat dari dia agar disampaikan menurut adat resam Melayu.
(50)
Tetapi maklumlah tuan, kami ini belum begitu paham dan arif di dalam hal menyampaikan hajat ini secara adat. Untuk itu kami sampaikan …
Kampung Bedagai di hari pecan Pohon dadap di simpang empat Andailah ada salah kesilaan
Mohon maaf dari dunia hingga akhirat
Izinkan kami memahat si batang pepat Pahat mengukir si batang kayu
Ijinkan kami menyampaikan hajat Adat dipakai resam Melayu
Jadi Tuan Hamba,
Jika nak menetak berlandasan Tangkahan bertepian,
Kampong berpenghulu
Susah dan duka tempat mengadu Benang kusut rentang-rentankan Dimana yang retak tolong tautkan Sebelum maksud kami bentangkan Kemana tepak nan diserahkan
Pihak perempuan :
(51)
Pihak laki-laki :
Makan sirih tidak berpinang
Pinang yang tumbuh di selat Malaka Makan sirih tidak mengenyang Sudah menjadi adat lembaga
Ikan bersisik masuk bengkawan Hendak dibawa di hari pecan Tepak perisik kami serahkan
Hendak merisik bunga di dalam taman
(menyerahkan tepak Merisik pada penghulu telangkai pihak perempuan)
Pihak Perempuan :
(tepak sirih diterima namun dibiarkan saja pada tempatnya dan isinya tidak
diambil/dimakan. Alasannya karena telangkai pihak laki-laki belum menjelaskan bunga
mana yang hendak dirisik).
Kemudian telangkai pihak perempuan berkata :
Putrid Tun Teja sedang berdandan Dihibur Mak Inang sambil menari Sirih risik belum dimakan
Karena belum jelas niat dihati Serta kami pesankan :
(52)
Hinggap seekor di pisang barangan Hati-hati Tuan merisik bunga Nanti terisik bunga larangan
Pihak laki-laki :
Ooo, betul juga pesan tuan hamba ini Beli kuini di Pecan Baru
Pagi hari di belah-belah Beginilah nasib si anak beru
Gara-gara nak bebini, awak jadi susah
Baik tuan hamba, sesuai dengan pesan tuan hamba tu, eloklah kami buka kulit
Nampak isi, apalah guna berlindung di lalang sehelai, nantikan Nampak jua belangnya.
Mohon pulalah kami menyampaikan sebuah nazam, Yang pertama Nabi Allah Adam
Nenek manusia dari sekalian alam Mula asalanya di Darus Salam Ditempat Jibril dari tanah segenggam Adam dijadikan seorang diri
Tinggal di sorga berhari-hari Dilihatnya burung dua sejoli Inginlah adam hendak beristri Niat Adam Allah ketahui
(53)
Adam dikahwinkan, Jibril jadi saksi Diberikan hantaran Shalawat Nabi
Jadi Tuan Hamba jika ini nak dikisahkan, wah bisa tiga hari tiga malam tak habis.
Hamba rasa sesuai dengan satu pantun ada mengatakan :
Jika nak digantang tiga gantang Kalau disukat empat sukat Jika direntang kelewat panjang Elok dipintal supaya singkat
Sudah lama mengikat tudung Baru sekarang dihampaikan Sudah lama hajat dikandung Baru sekarang nak disampaikan
Kami sudah mendengar tuan arif bijaksana Paham dikias arif umpama,
Memegang adat kebiasaan Menepati janji dan kata-kata, Dari dahulu hingga sekarang Siapa salah siapa ditimbang, Adat dan syara’ jadi pegangan Besarlah sudah anak di rumah Umur baru setahun jagung,
(54)
Darah baru setampuk pinang,
Berjalan belumlah jauh, ilmunya jua masihlah kurang, Menjadi utang ibu dan bapa.
Menjadi tanggung jawabfamili sanak keluarga Baru sebagian utang dibayar
Pertama : berkerat pusat berbuai dan berayun
Kedua : berkhitan sunnat rasul
Ketiga : mengaji khatam Al-Qur’an
Keempat : diajar Adat sopan santun
Kelima : badannya sehat jasmani dan rohani
Sudah diberi nama oleh keluarga sanak famili,
Hanya tinggal satu lagi utang kami, Hukum Adat hukum negeri
Wajib disuruh berumah tangga, Memenuhi syarat manusiawi Menambah turunan anak manusia
Desau angin telah berlalu Risik merisik himbau mehimbau Desir berdesir berkesan di kalbu Kait berkait rotan di hutan Jalin berjalin menjadi satu
(55)
Jadi tuan hamba
Karena anak kami sudah remaja Lazim disebut muda belia
Selalu terbang tinggi di angkasa Kami takut bala menimpa
Tentulah susah famili sanak saudara Kami coba cari obat penawar bisa Karena dia sudah remaja lajang
Elok kita umpamakan dia bagai seekor kumbang Selalu terbang tinggidi sawah yang lapang Perginya pagi pulangnya petang
Jangan tuan ragu ataupun bimbang Dia ini bukan dagang terbuang Bukan pula si kumbang jalang
Karena ada tempatnya beserta sarang Tetapi tuan hamba,
Sifat-sifatnya tersebut dah jauh terbuang Dianya selalu tinggal di sarang
Dari mulai pagi hingga kan petang Kalau makan pun tak pulalah kenyang Bagi mana kami tak susah
Melihat dia selalu gelisah
(56)
Apa dikerjakan selesai tak sudah
Yang paling parah, … Makan sirih suntil tembakau Beli kapur kedai Ncik Ali
Selalu merintih selalu mengigau Bila tidur di malam hari
Melihat hal ini Tuan Hamba, Tentulah Maknya yang paling risau
Bertanya pada anandanya, dengan berpantun: Buah mangga buah kuini
Jatuh kesemak airnya payau Mengapa anak jadi begini Hati emak ikut menjadi risau
Namun si anak diam seribu bahasa Tak berkata sepatah jua
Sekalian perasaan disimpan di dalam dada Orang lain tak perlu ikut merasa
(57)
Sang ayahpun ikut menjadi bingung Mengapa anak menjadi pemurung Jika duduk selalu termenung
Kalu berjalan banyak pula tersandung Anak kandung sibiran tulang
Obat penat pelerai demam Jika dulu anak periang
Mengapa sekarang jadi pendiam
Sang ayah berkata kepada ibu, bawalah dia ke Kampung Lalang Disana ada turunan ahli nujum Pak Belalang
Kiranya Tuan Hamba, bukan dokter tak handal Bukan dukun tak mujarab
Bunga sekuntum jadi penyebab
Dentam dentum bunyi rebana Makan tak kenyang tidur tak lena Hingga badan kurus jiwa merana Kiranya sudah kena panah asmara
Seluruh keluarga sudah mufakat Diberikan tugas kepada kami Untuk bertanya secara adat
(58)
Menyampaikan hajat secara resmi
Bolehlah kami dengan cerana Memberikan sirih dengan setangan Bolehkan kami hendak bertanya Adakah bunga di dalam taman
Pihak Perempuan :
Semua cerita sudah didengar Nampaknya kumbang tukang pesiar Tak dapat duduk walau sebentar Bagaikan dia memakai radar
Tau saja di mana bunga yang mekar
Untung tuan dating menjenguk Hingga hati kami menjadi sejuk
Sungguh tuan bijak bestari Pandai berkias pandai berperi Jauh-jauh dating kemari
Kiranya ada yang hendak dicari Tapi Tuan Hamba,
Sungguh indah diciptakan alam Ada siang ada pula malam
(59)
Makhluk dijadikan bercorak ragam Kumbang terbentuk tidak pula semacam
Jadi Tuan Hamba, yang mana bentuk kumbang Tuan itu?...
Pihak laki-laki :
Baiklah Tuan Hamba,
Agar tak jadi sengketa nanti di belakang hari Adapun kumbang kami si kumbang jati Orangnya elok lagi berbudi
Susah didapat payah dicari
Pihak Perempuan :
Bunga di taman bukanlah satu
Bunga yang mana yang niat tuan tuju
Ada bunga Mawar, MelatI dan si Bunga Labu Eloklah kami jelaskan satu persatu
Bangsa Melati orangnya elok lagi berbudi Dianya sangat pandai mengaji
Paling suka makan kue serabi
Tapi maaf dengan danya kami dah ada ikat janji Dengan Bapak Zulkifli, yang tinggal di pangkal titi Insya’ Allah akan kami raikan di bulan haji
(60)
Lain pula si Bunga Mawar Orangnya elok lagi penyabar Paling senang sama kue dadar
Inipun sudah ada lawan janji dan ber ikrar Dengan anak Pak Abu Bakar pedagang tikar Yang tinggal di kampung Mabar
Adapun nama anak kami itu Rusnizar
Nah Tuan Hamba, tinggal satu orang lagi Yang dia ini adalah si Bunga Labu
Orangnya baik serta pemalu Bila mengaji suaranya merdu Sangat petuh pada ayah dan ibu Kesenangannya makan kue putu Namanya …. Disebut ayah/ibu selalu
Pihak Laki-laki :
Terang bulan di tengah lorong Cahayanya sampai ke muka pintu Kalu Allah hendak menolong Air pasang sampan pun lalu
Walau semerbak wangi bunga Mawar serta Melati Menjadi bunga pujaan serta idaman
(61)
Tidak meninggalkan kesan Lain dengan si Bunga Labu Sungguh cantik si Bunga Labu Selalu indah walu tak berbau Tetapi hati tak bimbang dan ragu
Karena si Bunga Labu itulah kami nak tuju
Pihak Permpuan :
Birik-birik terbang berlima Ayam yang kurik dibelai-belai Tepak perisik kami terima
Karena bunga dirik sudah sesuai
(62)
4.2 Skala Kesantunan yang Terdapat pada Pantun Melayu 4.2.1 Cost-benefit Scale (Skala Kerugian dan Keuntungan)
Cost-benefit Scale (skala kerugian dan keuntungan), menunjuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah
pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri
penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal demikian itu
dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat kikatakan bahwa semakin menguntungkan diri
mita tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan
itu.
4.2.2 Optionality Scale (Skala Pilihan)
Optionality Scale (skala pilihan), menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan
(option) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si
mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
4.2.3 Indirecness Scale (Skala Ketidaklangsungan)
Indirecness scale (skala ketidaklangsungan) menunjuk kepada peringkat langsung
(63)
dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak
langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
4.2.4 Authority Scale (Skala Keotoritasan)
Authority Scale (skala keotoritasan) menunjuk kepada hubungan status sosial
antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat
sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan
cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial
diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur itu.
4.2.5 Social Scale (Skala Jarak Sosial)
Social Scale (skala jarak sosial) menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa
semakin semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin
kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial
antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat
(64)
4.3 Kaitan antara Skala Kesantunan dengan Pantun Merisik pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu
Pertama, Cost-benefit Scale (skala kerugian dan keuntungan), menunjuk kepada
besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada
sebuah pertuturan.
Contoh pantun :
Jika kedarat memetik coklat Boleh buah taruh di bakul Jika syarat tiada berat Insya Allah akan kami pikul
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas
“Jika syarat tiada berat Insya Allah
Kata “syarat” berarti kerugian bagi si penutur karena ia harus memenuhinya untuk
jalannya prosesi merisik tersebut. Sedangkan letak kesantunan kata pada pantun tersebut
terdapat pada kata “Insya Allah” berarti kesiapan pihak tutur dan juga atas izin Allah
untuk memenuhi syarat yang ditentukan si mitra tutur.
akan kami pikul”
Kedua, Optionality Scale (skala pilihan), menunjuk kepada banyak atau sedikitnya
pilihan (option) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan
bertutur.
Contoh pantun :
Telangkai datang kami terima Sejenak dahulu kami mufakat Andai ada kata bersama
(65)
Sanak famili kaum kerabat Baru pinangan kita buat
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas
“Andai ada kata bersama
Baru pinangan kita buat” Sanak family kaum kerabat
Kata “Sanak family kaum kerabat
Ketiga, Indirecness scale (skala ketidaklangsungan) menunjuk kepada peringkat
langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat
langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan
itu.
” berarti pilihan (option) yang diberikan si
penutur kepada mitra tutur. Maksud dari penafsiran arti pantun tersebut ialah jalannya
prosesi merisik yaitu dengan kehadiran sanak famili dengan kaum kerabat (tetangga
terdekat). Sedangkan letak kesantunan kata pada pantun tersebut terdapat pada kata
“bersama” pada bait ketiga pantun tersebut di atas berarti kebersamaan yang melahirkan
eratnya tali silaturahmi antar famili dan kaum kerabat si penutur dan mitra tutur.
Contoh pantun :
Kiranya sang kumbang selalu meradang Memandang bunga di dalam taman Ingin dipetik hatinya bimbang Takut bunga sudah ada ikatan
(66)
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas
“
Takut bunga sudah ada ikatan” Ingin dipetik hatinya bimbang
Kata “Ingin dipetik hatinya bimbang” berarti penyampaian maksud penutur secara
tidak langsung untuk merisik si anak dara dari mitra tutur. Penafsirannya barati penutur
menanyakan kepada mitra tutur apakah anak daranya sudah ada ikatan apa belum.
Sehingga kesopanan kata pada pantun tersebut terdapat pada kata “Ingin” pada bait ketiga
pantun, Takut bunga sudah ada ikatan” pada bait keempat pantun, jadi jika dikaitkan
kesantunan katanya menjadi “ingin, tetapi takut bunga sudah ada ikatan” dengan
penyampaian maksud yang tidak langsung maka terciptalah kesopanan atau kesantunan
pada pantun tersebut.
Keempat, Authority Scale (skala keotoritasan) menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak
peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan
akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status
sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur itu.
Contoh pantun :
Jika hendak memakan betik Kupas kulit buang biji Jika bunga hendak dipetik Penuhi syarat patuhi janji
(67)
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas
“Jika bunga
Penuhi syarat patuhi janji” hendak dipetik
Kata “bunga” berarti panggilan penghargaan buat calon mantu si penutur yang
akan dirisik nantinya. Penafsirannya berarti penutur menghargai si mitra tutur sebagai
besan nantinya. Dan kehadiran kata “bunga” juga menjadi kata kunci kesantunan pada
pantun tersebut di atas.
Kelima, Social Scale (skala jarak sosial) menunjuk kepada peringkat hubungan
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya,
akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh
jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan
yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan
mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam
bertutur.
Contoh pantun :
Buah lokam ditepian mandi Tempat dara banyak mencuci Assalamu’alaikum hamba awali Pembuka kata majlis ini
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas
“Assalamu’alaikum hamba
Pembuka kata majlis ini”
(68)
Kata “hamba”berarti menyatakan sebutan santun untuk diri si penutur kepada
mitra tutur. Penafsirannya berarti penutur menganggap hubungan kekerabatanna belum
dekat (belum menjadi suatu ikatan keluarga,antara penutur dan mitra tutur masih dalam proses). Dan kata “hamba” juga menjadi kata kunci kesantunan kata pada pantun tersebut.
Dari kelima penjelasan kaitan skala kesantunan dengan pantun merisik pada
upacara perkawinan masyarakat Melayu penulis sudah menjelaskan secara detail tentang
skala kesantunan tersebut dengan kesantunan kata yang terdapat dalam contoh pantun di
(69)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesantunan bahasa dalam pantun merisik pada upacara perkawinan masyarakat
Melayu. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya penulis mengambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada masyarakat Melayu terdahulu sebelum anak lajangnya melangkah kejenjang
pernikahan ada beberapa tahapan adat yang harus dilaksanakan yaitu tahapan adat pertama
adalah merisik yang berarti bertanya adalah prosesi keluarga pihak pemuda kepada
keluarga anak dara (gadis yang akan dipersunting oleh pemuda tersebut). Merisik terbagi
pada tiga jenis yaitu merisik berbisik, merisik kecil dan merisik besar.
Merisik berbisik dalam bahasa Melayu adalah bertanya secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi. Biasanya merisik berbisik ini dilakukan untuk menghindari dari
hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat membuat aib atau malu pihak keluarga si pemuda.
Merisik kecil adalah lanjutan dari merisik berbisik. Tugas merisik berpindah dari
utusan kepada Penghulu Telangkai yang didampingi oleh puang dan anak beru serta
semenda. Tujuan merisik kecil ini adalah untuk bertanya tentang syarat-syarat adat yang
harus dipenuhi oleh keluarga pihak pemuda agar pinangan mereka diterima oleh pihak si
anak dara. Merisik besar adalah pertemuan antara kedua keluarga (keluarga pemuda dan
keluarga si anak dara) secara resmi menurut adat resam Melayu untuk melanjutkan hasil
kesepakatan yang telah dilakukan dam Merisik Kecil sebelumnya. Dalam acara ini turut
(1)
sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
Contoh pantun :
Jika hendak memakan betik Kupas kulit buang biji Jika bunga hendak dipetik Penuhi syarat patuhi janji
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas
“Jika bunga
Penuhi syarat patuhi janji” hendak dipetik
Kelima, Social Scale (skala jarak sosial) menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
Contoh pantun :
Buah lokam ditepian mandi Tempat dara banyak mencuci Assalamu’alaikum hamba awali
(2)
Pembuka kata majlis ini
Kaitanya yaitu dilihat dari penafsiran arti pantun tersebut di atas “Assalamu’alaikum hamba
Pembuka kata majlis ini”
(3)
5.2 Saran
Sebagai penutup dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pada kesempatan ini penulis ingin memberikan saran-saran sebagai berikut :
a. Kiranya skripsi ini berguna bagi pembaca dan penulis itu sendiri.
b. Perlunya penelitian bahasa daerah yang ada di Indonesia khususnya yang ada dilingkungan Sumatera Utara.
c. Peningkatan penelitian bahasa-bahasa daerah, tidak hanya menitik beratkan padaa bidang-bidanag tatabahasa yang berhubungan dengan masyarakat pemakainya maupun dengan sosial-budaya yang dimiliki oleh masyarakat atau dengan kata lain perlunya peningkatan penelitian bahasa dari segi pragmatik.
d. Marilah kita sama-sama menjaga, memelihara mengembangkan budaya Melayu baik dari segi bahasa maupun dalam prosesi adatnya.
e. Tetaplah kita melestarikan kebudayaan daerah serta mengajarkan kepada generasi penerus sesuai dengan cita-cita dari nenek moyang.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta; Rineka Cipta
Gurning Tardas. 2004. Sistem Tatakrama Berbahasa Batak Toba Pada Upacara Adat
Perkawinan. Medan: USU Press
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
Lakoff, Robin. 1972. ’Language in Context’. New York: Harper and Row
Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatitcs. London: Longman
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press
Mulyani, Rozanna.2012.Fungsi dan Aplikasi makna Logis Pantun Melayu Deli dan
Serdang.(Desertasi) Pascasarjana; Program Studi Linguistik USU Medan
Rahardi, R kunjana 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta;
Erlangga
Aka, Arifin Zainal.2007. Kumpulan Pantun Melayu. Medan; Mitra Medan
Yuscan. 2007. Falsafah Luhur Adat Istiadat Perkawinan Melayu Sumatera Timur. Medan:
Biro Adat PB. MABMI
(5)
http://wirmanvalkinz.blogspot.com/2013/03/
(6)
LAMPIRAN