Analisis Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Industri Pengolahan Kelapa Sawit Di Wilayah Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I

(1)

S E K

O L

A H P

A S

C

A S A R JA

N

A

PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK

TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN

KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I

T E S I S

Oleh

AGUS SUPRAPTO

117018006

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK

TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN

KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AGUS SUPRAPTO

117018006

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I

Nama Mahasiswa : Agus Suprapto Nomor Pokok : 117018006

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Dr. Bastari, SE, MM Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec. Anggota : 1. Dr. Bastari, MM, BKP.

2. Dr. H.B. Tarmizi, SU, M.Si. 3. Dr. Rujiman, M.A.


(5)

PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL

PAJAK SUMATERA UTARA I

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

Medan, 28 Agustus 2013 Penulis,


(6)

PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL

PAJAK SUMATERA UTARA I ABSTRAK

Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian yang berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia. Ketersediaan lahan, tenaga kerja yang murah, serta pertumbuhan permintaan dunia atas CPO, menjadikan Indonesia sebagai Negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Namun demikian, dukungan keringanan pajak bagi perusahaan sawit yang melakukan research and development dan community development dalam kerangka investasi sosial, kurang memadai untuk meningkatkan produktivitas, terutama bila dibandingkan dengan Malaysia. Kegiatan research and

development, community development, serta dukungan penuh pemerintah,

membuat produktivitas sawit Malaysia lebih tinggi dibanding Indonesia. Malaysia dengan luas lahan sawit hanya 61,5% dari luas lahan sawit Indonesia mampu memproduksi CPO hingga 85,3% dari produksi CPO Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Penelitian ini menggunakan data primer berdasarkan survei angket terhadap Wajib Pajak sektor industri pengolahan kelapa sawit yang terdaftar di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Model analisis data penelitian adalah Structural Equation Modeling menggunakan software AMOS 21 dengan sampel penelitian sebanyak 102 responden. Hasil analisis membuktikan bahwa kebijakan insentif pajak berpengaruh secara langsung dan signifikan terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Sementara di sisi lain, kebijakan insentif pajak juga berpengaruh secara tidak langsung dan signifikan terhadap produktivitas, melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa sawit


(7)

THE INFLUENCE OF THE POLICY OF TAX INCENTIVES ON THE PRODUCTIVITY OF OIL PALM PROCESSING INDUSTRY IN

THE WORKING AREA OF THE DIRECTORATE GENERAL OF TAXATION OFFICE OF SUMATERA UTARA I

ABSTRACT

Oil palm industry is one of the strategic industries in agricultural sector which is developing in the tropical countries like Indonesia. The availability of area, inexpensive manpower, and the growth of demand for CPO (crude oil palm) have made Indonesia the biggest CPO exporter in the world. However, the support for tax cut for oil palm companies which perform research and development and community development in the frame of social investment is not sufficient to increase productivity, especially when it is compared to that of Malaysia. The activity of research and development, community development, and the full support from the government have caused the productivity of Malaysia’s palm oil to be higher than that of Indonesia. Malaysia, with the area of oil palm is only 61.5% of the Indonesia’s oil palm area is able to produce 85.3% of its CPO, compared to the Indonesia’ CPO production. The objective of the research was to analyze the influence of the variable of the policy of tax incentive on the productivity of oil palm processing industry. The primary data were gathered by distributing questionnaires to the taxpayers of the industrial sector of oil palm processing industry registered in the working area of the Directorate General of Taxation Office of Sumatera Utara I. The data were analyzed by using Structural Equation Modeling with an AMOS 21 software program.The result of the analysis showed that the policy of tax incentive had positive and significant influence on the productivity through social investment in the sector of oil palm processing industry.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, atas segala karunia dan ridho-Nya, sehingga tesis dengan judul “Analisis Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Industri Pengolahan Kelapa Sawit Di Wilayah Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I” ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) dalam bidang ekonomi pembagunan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Ramli, M.S., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec. dan Bapak Dr. Bastari, S.E., M.M.,

selaku Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan fikiran dalam memberikan bimbingan penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Bapak Dr. Rujiman, MA, dan Bapak Dr. HB Tarmizi, SU, selaku Komisi Pembanding, yang telah banyak memberikan saran dan kritik membangun penulisan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar dan staf Administrasi Program Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

8. Ibunda Nuning Djumiarti dan ayahanda Karman (Alm.) yang selalu memberikan do’a restu dan dukungan moril, Ibu dan ayah akan selalu ada di setiap do’a ku.

9. Nurkumaladewi Istriku tercinta, Airlangga Hafizh Kurniawan, Aditya Rasya Fadhilla, Arya Ikhsan Ramadhan anak-anakku tercinta, pengorbanan dan cinta tulus kalian merupakan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

10.Seluruh teman-teman seperkuliahan di Program Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Angkatan 21, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terimakasih atas kebersamaan yang selama ini terjalin dengan baik.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan, sehingga perlu pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis lain yang berminat melakukan penelitian dengan topik yang sama.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Agus Suprapto Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 06 Juli 1977

Alamat Rumah : Perumahan Taman Tanah Baru Blok C no. 7, Tanah Baru, Beji, Depok – 16426

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama Ayah : Karman (almarhum) Nama Ibu : Nuning Djumiarti Pendidikan :

1. SD Negeri Pasir Gunung Selatan III Tahun 1989 2. SMP Negeri 103 Jakarta Timur Tahun 1992 3. SMA Negeri 39 Jakarta Timur Tahun 1995 4. Program Diploma III Pajak – STAN Jakarta Tahun 1998 5. Strata1 (S-1) Administrasi Pajak dan Kebijakan Tahun 2004 Perpajakan – FISIP UI


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Fungsi Ekonomi Pemerintah ... 10

2.2. Kebijakan Publik ... 12

2.3. Sistem Perpajakan ... 14

2.3.1. Kebijakan Pajak (Tax Policies) ... 15

2.3.2. Undang-Undang Pajak (Tax Laws) ... 16

2.3.3. Administrasi Pajak (Tax Administration) ... 17

2.4. Pajak ... 18

2.5. Fungsi Pajak ... 20

2.5.1. Fungsi Budgetair ... 20

2.5.2. Fungsi Regulerend ... 20

2.6. Pajak Penghasilan... 21

2.7. Pajak Pertambahan Nilai ... 23

2.8. Konsep Nilai Tambah ... 25

2.9. Insentif Pajak ... 26

2.10. Pengertian Investasi ... 36

2.11. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi ... 37

2.12. Konsep Investasi Sosial ... 41

2.13. Corporate Social Responsibility sebagai Investasi Sosial .... 44

2.14. Produktivitas ... 46

2.15. Unsur-unsur Produktivitas ... 48

2.15.1. Efisiensi ... 48

2.15.2. Efektivitas ... 48

2.15.3. Kualitas ... 49

2.16. Jenis-jenis Produktivitas ... 50

2.17. Model Pengukuran Produktivitas ... 52


(12)

2.19. Produktivitas Produksi ... 55

2.20. Pengukuran Produktivitas Produksi ... 56

2.21. Indeks Produktivitas ... 57

2.22. Industri Kelapa Sawit ... 56

2.23. Penelitian Terdahulu (Mapping) ... 59

2.24. Kerangka Konseptual ... 63

2.25. Hipotesis Penelitian ... 65

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 66

3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 66

3.2. Jenis Penelitian ... 66

3.3. Populasi Dan Sampel ... 66

3.3.1. Populasi ... 66

3.3.2. Sampel ... 67

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 67

3.5. Jenis Dan Sumber Data ... 69

3.5.1. Jenis Data ... 69

3.5.2. Sumber Data ... 70

3.6. Identifikasi Dan Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 70

3.6.1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 70

3.6.2. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 71

3.7. Model Analisis Data ... 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 94

4.1. Hasil Penelitian ... 94

4.1.1. Gambaran Umum Industri Pengolahan Kelap Sawit . 94 4.1.2. Karakteristik Responden ... 98

4.1.2.1. Berdasarkan Jenis Kelamin ... 99

4.1.2.2. Berdasarkan Usia ... 99

4.1.2.3. Berdasarkan Pendidikan ... 100

4.1.3. Tabulasi Jawaban Responden ... 100

4.1.3.1. Penjelasan Responden atas Variabel Kebijakan Insentif Pajak ... 100

4.1.3.2. Penjelasan Responden atas Variabel Investasi Sosial ... 102

4.1.3.3. Penjelasan Responden atas Variabel Produktivitas ... 104

4.1.4. Uji Validitas ... 102

4.1.5. Uji Reliabilitas ... 107

4.1.6. Analisis Structural Equation Modeling (SEM) ... 108

4.1.6.1. Model Bersifat Aditif ... 108

4.1.6.2. Evaluasi Pemenuhan Asumsi Normalitas Data Evaluasi Atas Outliers ... 108

4.1.6.3. Confirmatory Factor Analysis (CFA) ... 112

4.1.6.3.1. CFA Variabel Kebijakan Insentif Pajak ... 113


(13)

4.1.6.3.3. CFA Variabel Produktivitas ... 114

4.1.6.4. Pengujian Kesesuaian Model (Goodnessof Fit Model) ... 115

4.1.6.5. Interpretasi dan Modifikasi Model ... 121

4.1.6.6. Uji Kesahian Konvergen dan Uji Kausalitas ... 122

4.1.6.7. Efek Langsung, Efek Tidak Langsung dan Efek Total ... 124

4.1.6.8. Pengujian Hipotesis ... 127

4.2. Pembahasan ... 129

4.2.1. Pengaruh Langsung Kebijakan Insentif Pajak terhadap Produktivitas ... 129

4.2.2. Pengaruh Tidak Langsung Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Melalui Investasi Sosial ... 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1. Kesimpulan ... 135

5.2. Saran ... 135


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Produksi Minyak Sawit,

2006- 2010 ... 3

1.2. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit, 2006- 2010 ... 4

2.1. Contoh perhitungan indeks produktivitas ... 57

2.2. Mapping penelitian sebelumnya ... 62

3.1. Variabel, Definisi Operasional, dan Indikator ... 76

3.2. Uji kecocokan SEM (Imam Ghazali, 2005) ... 92

4.1. Penjelasan responden atas pernyataan variabel kebijakan insentif Pajak ... 101

4.2. Penjelasan responden atas pernyataan variabel investasi sosial ... 102

4.3. Penjelasan responden atas pernyataan variabel produktivitas ... 103

4.4. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Kebijakan Insentif Pajak .. 105

4.5. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Investasi Sosial ... 106

4.6. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Produktivitas ... 106

4.7. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 108

4.8. Normalitas Data Nilai critical ratio ... 109

4.9. Normalitas Data Nilai Outlier ... 100

4.10. Hasil Pengujian Kelayakan Model Penelitian Untuk Analisis SEM ... 116

4.11. Standar Nilai Residual Model ... 121

4.12. Bobot Critical Ratio ... 122

4.13. Hasil Uji Kausalitas Model ... 123

4.14. Standardized Direct Effects... 124

4.15. Standardized Indirect Effects ... 125


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Produk

Turunannya 1999-2006 (INDEF, 2007) ... 5

2.1. Hubungan Produktivitas dengan kualitas, efesiensi, efektivitas (Sedamayanti, 2009) ... 50

2.2. Pohon Industri Kelapa Sawit ... 58

2.3. Kerangka Konseptual Penelitian ... 64

3.1. Tahapan Model Analisis SEM ( Cooper & Schindler, 2006) ... 81

3.2. Full model struktural penelitian ... 84

4.1. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 99

4.2. Responden Berdasarkan Usia/Umur ... 99

4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan ... 100

4.4. CFA Kebijakan Insentif Pajak (Output Amos V.21) ... 113

4.5. CFA Investasi Sosial (Output Amos V.21) ... 114

4.6. CFA Produktivitas (Output Amos V.21) ... 114

4.7. Output data penelitian (Output Amos V.21) ... 115

4.8. Dirrect Effect Kebijakan insentif pajak (Output Amos V.21) ... 125

4.9. Dirrect Effect Investasi social (Output Amos V.21) ... 125

4.10. Indirrect Effect Kebijakan insentif pajak (Output Amos V.21) ... 126


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuisioner Penelitian ... 142

2 Butir Jawaban Kuesioner ... 149

3 Tabulasi Jawaban Responden ... 158

4 Uji Validitas Data Reliabilitas Kuisioner ... 160


(17)

PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL

PAJAK SUMATERA UTARA I ABSTRAK

Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian yang berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia. Ketersediaan lahan, tenaga kerja yang murah, serta pertumbuhan permintaan dunia atas CPO, menjadikan Indonesia sebagai Negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Namun demikian, dukungan keringanan pajak bagi perusahaan sawit yang melakukan research and development dan community development dalam kerangka investasi sosial, kurang memadai untuk meningkatkan produktivitas, terutama bila dibandingkan dengan Malaysia. Kegiatan research and

development, community development, serta dukungan penuh pemerintah,

membuat produktivitas sawit Malaysia lebih tinggi dibanding Indonesia. Malaysia dengan luas lahan sawit hanya 61,5% dari luas lahan sawit Indonesia mampu memproduksi CPO hingga 85,3% dari produksi CPO Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Penelitian ini menggunakan data primer berdasarkan survei angket terhadap Wajib Pajak sektor industri pengolahan kelapa sawit yang terdaftar di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Model analisis data penelitian adalah Structural Equation Modeling menggunakan software AMOS 21 dengan sampel penelitian sebanyak 102 responden. Hasil analisis membuktikan bahwa kebijakan insentif pajak berpengaruh secara langsung dan signifikan terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Sementara di sisi lain, kebijakan insentif pajak juga berpengaruh secara tidak langsung dan signifikan terhadap produktivitas, melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa sawit


(18)

THE INFLUENCE OF THE POLICY OF TAX INCENTIVES ON THE PRODUCTIVITY OF OIL PALM PROCESSING INDUSTRY IN

THE WORKING AREA OF THE DIRECTORATE GENERAL OF TAXATION OFFICE OF SUMATERA UTARA I

ABSTRACT

Oil palm industry is one of the strategic industries in agricultural sector which is developing in the tropical countries like Indonesia. The availability of area, inexpensive manpower, and the growth of demand for CPO (crude oil palm) have made Indonesia the biggest CPO exporter in the world. However, the support for tax cut for oil palm companies which perform research and development and community development in the frame of social investment is not sufficient to increase productivity, especially when it is compared to that of Malaysia. The activity of research and development, community development, and the full support from the government have caused the productivity of Malaysia’s palm oil to be higher than that of Indonesia. Malaysia, with the area of oil palm is only 61.5% of the Indonesia’s oil palm area is able to produce 85.3% of its CPO, compared to the Indonesia’ CPO production. The objective of the research was to analyze the influence of the variable of the policy of tax incentive on the productivity of oil palm processing industry. The primary data were gathered by distributing questionnaires to the taxpayers of the industrial sector of oil palm processing industry registered in the working area of the Directorate General of Taxation Office of Sumatera Utara I. The data were analyzed by using Structural Equation Modeling with an AMOS 21 software program.The result of the analysis showed that the policy of tax incentive had positive and significant influence on the productivity through social investment in the sector of oil palm processing industry.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand. Hasilnya biasa digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetika, dan industri sabun. Prospek perkembangan industri kelapa sawit saat ini sangat pesat, karena terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat. Kebun dan industri kelapa sawit menyerap lebih dari 4,5 juta petani dan tenaga kerja dan menyumbang sekitar 4,5 persen dari total nilai ekspor nasional (Suharto, 2007). Hal ini telah menjadikan Indonesia sebagai Negara pengekspor Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Tentu saja pencapaian ini berkat dukungan ketersediaan lahan, tenaga kerja yang murah, serta pertumbuhan permintaan dunia atas pasokan CPO, terutama untuk memenuhi bahan baku energi alternatif (biodiesel).

Industri/perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sektor unggulan Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap ekspor nonmigas nasional, dan setiap tahun cenderung terus mengalami peningkatan (Tryfino,

2006). Ekspor CPO Indonesia setiap tahunnya juga menunjukkan tren meningkat

dengan rata-rata peningkatan adalah 12,97 persen (Tryfino, 2006). Walaupun

pemerintah menerapkan tarif pungutan ekspor/pajak ekspor (PE) dan pengenaan kuota untuk komoditas minyak sawit mentah untuk mendorong industri hilir,


(20)

namun sejauh ini sawit tetap menjadi primadona di industri perkebunan, disamping isu kartel yang dihembuskan beberapa negara, rencana pembatasan lahan untuk holding company, kenaikan harga patokan ekspor (HPE) hingga soal pabrik pengolahan tanpa kebun.

Perkembangan luas lahan sawit dalam 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa industri sawit masih menjanjikan keuntungan ekonomis. Luas lahan sawit nasional pada tahun 1986 tercatat sebesar 606.780 ha, pada tahun 1996 sebesar 2.249.514 ha, dan pada tahun 2006 tercatat 6.074.926 ha. Dari total luas lahan sawit tersebut, 696.699 ha merupakan milik PT. Perkebunan Nusantara, 2.741.802 ha milik swasta, dan 2.636.425 ha adalah milik rakyat.

Di luar isu dan fakta di atas, pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan industri, mengingat kita tidak dapat selamanya menjadi Negara pengekspor bahan baku. Apabila kecenderungan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan, selain itu tidak memberi nilai tambah dari proses industri secara menyeluruh.

Total produksi minyak sawit (palm oil) menunjukkan bahwa produksi di dunia mencapai 44,35 juta ton pada tahun 2010 (Tabel 1). Dari total tersebut, sebanyak 82,86 persen dipasok dari dua Negara penghasil utama minyak sawit, yaitu Malaysia dan Indonesia dengan produksi masing-masing sebesar 16,99 juta ton (38,31%) dan 19,76 juta ton (44.55%).

Dibandingkan dengan pertumbuhan produksi di tingkat dunia, produksi Indonesia menunjukkan nilai tertinggi selama 2006-2010. Pertumbuhan produksi minyak sawit dunia dalam periode tersebut terendah pada tahun 2010 yaitu


(21)

sebesar -1,61 persen dan tertinggi pada tahun 2006, yaitu 14,83 persen. Tingkat pertumbuhan produksi minyak sawit di Indonesia selama 2006-2010 terendah pada tahun 2008, yaitu -0,70 persen, padahal pertumbuhan produksi dua tahun sebelumnya (2006) mencapai 23,31 persen.

Tabel 1.1. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Produksi Minyak sawit, 2006-2011

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

Dunia

Produksi (Juta Ton) 39,42 39,76 43,23 45,08 44,35 Persentase (%) 100 100 100 100 100 Pertumbuhan (%) 14,83 0,86 8,74 4,26 -1,61 Indonesia

Produksi (Juta Ton) 17,35 17,66 17,53 19,32 19,76 Persentase (%) 44,01 44,43 40,56 42,86 44,55 Pertumbuhan (%) 23,31 1,80 -0,70 10,17 2,25 Malaysia

Produksi (Juta Ton) 15,88 15,82 17,73 17,56 16,99 Persentase (%) 40,28 39,79 41,02 38,96 38,31 Pertumbuhan (%) 6,15 -0,35 12,07 -0,95 -3,25 Lainnya

Produksi (Juta Ton) 6,19 6,27 7,96 8,19 7,60 Persentase (%) 15,71 15,78 18,42 18,18 17,14 Pertumbuhan (%) 17,02 1,35 26,92 2,86 -7,20 Sumber: FAOSTAT 2012 (data diolah)

Meskipun demikian, Indonesia mengalami peningkatan porsi ekspor minyak sawit secara tajam dan konsisten dalam lima tahun terakhir, kecuali tahun 2007 yang mengalami pertumbuhan negatif (Tabel 2). Peningkatan porsi ekspor ini mencerminkan, penyerapan minyak sawit oleh industri domestik relatif rendah, hal ini berhubungan dengan kapasitas industri hilir berbahan baku minyak sawit.


(22)

Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) mencatat serapan minyak sawit untuk industri minyak goreng domestik yang merupakan industri yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam negeri hanya berkapasitas 1,9 juta ton per tahun. Industri hilir yang lain, yang menghasilkan produk turunan minyak sawit belum banyak berkembang dan tidak banyak menyerap bahan baku.

Tabel 1.2. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit, 2006-2010

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

Dunia

Ekspor (Ribu Ton) 29.956,19 26.210,55 33.343,51 35.192,61 35.318,81 Persentase (%) 100 100 100 100 100 Pertumbuhan (%) 13,06 -12,50 27,21 5,55 0,36 Indonesia

Ekspor (Ribu Ton) 12.100,92 8.875,41 14.290,68 16.829,20 16.291,85 Persentase (%) 40,39 33,86 42,85 47,82 46,12 Pertumbuhan (%) 16,62 -26,65 61,01 17,76 -3,19 Malaysia

Ekspor (Ribu Ton) 14.202,67 13.011,13 14.142,44 13.924,41 14.732,72 Persentase (%) 47,42 49,65 42,42 39,56 41,72 Pertumbuhan (%) 7,61 -8,39 8,69 1,54 5,80 Lainnya

Ekspor (Ribu Ton) 3.652,59 4.324,01 4.910,37 4.438,99 4.294,24 Persentase (%) 12,19 16,49 14,73 12,62 12,16 Pertumbuhan (%) 25,05 18,38 13,56 -9,6 -3,26 Sumber: FAOSTAT 2012 (data diolah)

Pada periode 1999-2006, produksi produk turunan minyak kelapa sawit tidak bergerak pada kisaran 60 persen, ekspor minyak sawit mentah sekitar 40 persen (Gambar 1). Produksi minyak sawit Indonesia tahun 2007 mencapai 17,66 juta ton, dengan jumlah sebanyak 8,79 juta ton yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 8,87 juta ton diekspor.


(23)

Gambar 1.1. Perkembangan Ekspor Minyak sawit Mentah dan Produk Turunannya 1999-2006 (INDEF, 2007)

Indonesia boleh berbangga menjadi produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dunia. Tahun ini, produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 23 juta ton, dan tahun 2020 ditargetkan menembus 40 juta ton. CPO berikut produk turunannya tahun lalu menyumbangkan devisa tak kurang dari US$ 15 miliar. Minyak sawit juga menyetor bea keluar ke pemerintah sebesar Rp 15 triliun pada tahun lalu atau Rp 50 triliun bila dihitung secara akumulatif sejak kebijakan bea keluar diberlakukan.

Perkebunan sawit merupakan tempat bergantung 3,5 juta kepala keluarga. Setidaknya 17 juta tenaga kerja terserap di perkebunan sawit dan industri sawit. Namun, di balik prestasi itu, ada beberapa hal yang merisaukan, terutama bila industri sawit nasional dibandingkan dengan Malaysia, produsen CPO terbesar kedua di dunia. Setidaknya perlakuan yang diberikan pemerintah terhadap industri sawit kedua negara amat jauh berbeda. Meski produsen CPO nasional sudah banyak menyumbang dana ke kas negara, pemerintah tidak memberikan


(24)

perlakuan timbal balik yang sepadan. Praktis, tidak ada dana yang telah disetor itu dikembalikan ke industri maupun perkebunan sawit, untuk pengembangan industri yang bersangkutan. Terkesan pemerintah hanya ‘memerah’ produsen CPO. Hal itu berbeda dengan Malaysia, sebagian dana hasil setoran yang diberikan oleh industri sawit, dikembalikan untuk pengembangan industri sawit. Pemerintah Malaysia juga memberikan keringanan pajak bagi perusahaan sawit yang melakukan research and development (R&D) dan community development dalam kerangka social investment.

Sebuah BUMN perkebunan Malaysia, menempatkan research and

development (R&D) dan community development sebagai prioritas utama

(investor.co.id, 2013). Perusahaan itu menganggarkan 2-3% keuntungan bersihnya

untuk kegiatan tersebut, dan untuk tahun ini dianggarkan minimal Rp 150 miliar. Dua kementerian yang membawahkan urusan sawit juga mengembangkan riset tersendiri khusus tentang sawit. Divisi riset perusahaan sawit Malaysia terus-menerus berusaha menemukan bibit unggul yang mampu memberikan produktivitas tinggi, cepat panen, dan tahan terhadap hama-penyakit. Bukan hanya itu, seluruh pemangku kepentingan di Malaysia bersatu untuk memajukan perkebunan dan industri sawit. Dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat Malaysia satu sikap dalam soal sawit. LSM setempat tidak mau menjadi perpanjangan Green Peace, yang terkadang menjadi corong negara maju lantaran takut produk minyak nabatinya tersaingi minyak sawit. Tak mengherankan bila industri hilir sawit Malaysia sangat maju. Malaysia berhasil membuat bermacam produk derivatif yang memberikan nilai tambah tinggi, tidak sekadar mengekspor minyak sawit mentah. Negeri jiran itu bahkan melebarkan sayap di 15 negara


(25)

untuk membangun pabrik produk derivatif sawit, meski lahan sawitnya hanya berada di tiga negara.

Kegiatan research and development (R&D), community development, serta dukungan penuh pemerintah, membuat produktivitas sawit Malaysia jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Produktivitas sawit Malaysia 3,5 ton per ha, sedangkan Indonesia 2,5 ha per tahun. Akibat perbedaan produktivitas, Malaysia dengan luas lahan sawit hanya 61,5% dari luas lahan sawit Indonesia mampu memproduksi CPO hingga 17 juta ton atau 85,3% dari produksi CPO Indonesia. Saat ini, lahan yang sudah ditanami sawit baru 7,8 juta ha, sekitar 16,5% dari wilayah pertanian dan perkebunan atau 8,3% dari total wilayah hutan. Masih ada 7 juta ha lahan yang bisa ditanami sawit. Di sinilah perlunya komitmen penuh dari produsen CPO dan para pemangku kepentingan, terutama pemerintah.

Berangkat dari data di atas, Indonesia memiliki kebutuhan untuk merevitalisasi industri minyak kelapa sawit. Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) seperti dirilis okezone.com, menjadikan investasi untuk merevitalisasi industri sawit sebagai fokus utama menuju

sustainable industry. Investasi yang mencakup ekspansi lahan dan teknologi terbarukan yang ramah lingkungan dalam pengolahan minyak kelapa sawit tentu membutuhkan kemampuan finansial yang besar, untuk itu pelaku usaha yang bergerak di sektor ini, sangat mengharapkan peran pemerintah melalui insentif kebijakan maupun diskresi adminstrasi.


(26)

Dari uraian tersebut penulis berusaha untuk membahas masalah ini menjadi sebuah tesis dengan judul “Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Wilayah Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penulis membatasi perumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah kebijakan insentif pajak berpengaruh langsung terhadap produktivtas sektor industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

2. Apakah kebijakan insentif pajak berpengaruh secara tidak langsung terhadap produktivitas sektor industri pengolahan kelapa sawit melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh kebijakan insentif pajak terhadap produktitas sektor industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

2. Menganalisa pengaruh kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas sektor industri pengolahan kelapa sawit melalui investasi sosial di sektor industri


(27)

pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Menambah literatur penelitian mengenai pengaruh kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas sektor industri pengolahan kelapa sawit dan pengaruh kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas sektor industri pengolahan kelapa sawit melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

2. Informasi bagi stoke holder dalam upaya peningkatan produktivitas sektor industri pengolahan minyak kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi Ekonomi Pemerintah

Sejak lama para filosof telah memperdebatkan peranan negara, sementara itu para pemikir politik telah mengajukan pendekatan-pendekatan yang berbeda terhadap pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pemerintah tetap dibutuhkan meskipun era globalisasi telah mengaburkan batas-batas negara. Tidak ada negara yang sanggup meluputkan diri dari globalisasi, sehingga negara dengan segala fungsinya ikut terpengaruh oleh globalisasi yang membuat dunia seakan menjadi dusun global (global village) tetapi pemerintahan negara manapun tetap menjalankan fungsinya.

Menurut Mankiw seperti diterjemahkan Munandar (1992), dari segi

ekonomi, ada 4 fungsi pemerintah yaitu :

1. Mendirikan kerangka kerja resmi bagi perekonomian

Dalam fungsi ini pemerintah membuat aturan main ekonomi. Peraturan ini meliputi batasan kekayaan perusahaan, hukum perjanjian kontrak, kewajiban majikan atas pegawainya dan lain-lain.

2. Mempengaruhi pengalokasian berbagai sumber daya untuk mengubah efisiensi ekonomi

Fungsi ini disebut juga fungsi alokasi yang berkaitan dengan barang publik, diskriminasi pasar, kegagalan pasar dan eksternalitas


(29)

3. Membentuk berbagai program untuk mengubah distribusi pendapatan

Fungsi ini dikenal dengan fungsi distribusi, pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Terdapat ketidakmerataan sejulah distribusi pendapatan sedangkan pasar tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut

4. Menstabilkan perekonomian melalui kebijakan makro

Pemerintah berusaha untuk memperlancar arus bisnis untuk menghindari tingkat pengangguran yang kronis, stagnasi ekonomi dan inflasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Senjata utama pemerintah untuk mengontrol fluktuasi bisnis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal..

Musgrave (1989) menyebutkan fiscal function pemerintah adalah sebagai berikut :

1. The Provision for social goods, or the process by which total resource use is divided between privat and social goods and by which the mix of social goods is chosen. This provision may be termed the allocation function of budget policy Regulatory policies, which may also be considered apart of the allocation function, are not included here because they are not primarily a problem of budget policy.

2. Adjustment of the distribution of income and wealth to ensure conformance with what society consider a ”fair” or ”just” state of distribution, here referred to as the distribution function.

3. The use of budget policy as a means of maintaining high employment, a


(30)

economic growth, with allowances for effects an trade and on the balance of payments. We refer to all these objectives as the stabilization function.

Dengan demikian fungsi pemerintah menurut Musgrave ada tiga yaitu fungsi alokasi yang berkaitan dengan penyediaan barang-barang publik, fungsi distribusi yang berkaitan dengan pembagian yang merata di masyarakat mengenai penghasilan dan kesejahteraan dan fungsi stabilisasi yang berkaitan dengan stabilitas barang-barang kebutuhan masyarakat, mempertahankan kesempatan kerja yang senantiasa terbuka luas dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap.

2.2. Kebijakan Publik

Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah membutuhkan instrument untuk dapat mengimplementasikan fungsinya tersebut. Instrumen yang dimaksud adalah kebijakan. Helco dalam Parsons (2005) memberi batasan dari suatu kebijakan,

yaitu “To suggest in academic circle that there is a general agreement of anything is to done a crimson in the bullpen, but policy is one termon which there seems to be a certain amount of definitional agreement, as commonly used, the terms policy is ussualy consider to apply to amethong bigger than particular decisions, but smaller the general social movement.” Kebijakan adalah suatu istilah yang disepakati secara umum yang biasanya digunakan untuk mempertimbangkan keputusan tertentu juga untuk perubahan sosial.

Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003), Kebijakan terdiri dari

komponen-komponen sebagai berikut :


(31)

2. Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan 3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan

4. Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program

5. Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder)

Eaulau dan Previt, dalam Tangkilisan (2003) merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai dengan kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang melaksanakannya, dengan demikian kebijakan merupakan suatu keputusan untuk menetapkan tujuan yang berkesinambungan, melaksanakan dan mengevaluasinya. Istilah kebijakan publik dikemukakan oleh para pakar di bidang politik maupun administrasi Negara. Salah satu definisi yang sering digunakan adalah pendapat dari Dye dalam Thoha (1993) yang menyebutkan “Whatever government choose

to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan). Pengertian sederhana ini mencakup bahwa kebijakan publik tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan pemerintah. Tindakan yang tidak dilakukan pemerintah pun mempunyai dampak yang besar seperti halnya apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak melakukan tindakan bukan berarti tidak respons dengan masalah publik, namun bias saja masalah publik tersebut telah diatur ketentuannya dengan kebijakan yang sudah ada sehingga tidak membutuhkan kebijakan baru.


(32)

Lebih lanjut Thoha (1993) mengemukakan bahwa public policy dalam arti luas

mempunyai dua aspek pokok :

1. Policy, merupakan praktik sosial, bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam masyarakat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat. 2. Policy, adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan untuk mendamaikan “claim”

dari pihak-pihak yang konflik, atau untuk menciptakan “incentive” bagi tindakan bersama bagi pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha tersebut.

Senada dengan Thoha, Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003) berpendapat

bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Dengan demikian jika ada pihak-pihak yang berkonflik atau menuntut suatu insentif, maka salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dihasilkan suatu policy.

2.3. Sistem Perpajakan

Sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia dan pada beberapa negara pada umumnya terdiri dari tiga macam pilar utama. Menurut Mansury (1996) Pilar itu

terdiri dari Kebijakan pajak (Tax Policies), Undang-Undang Pajak (Tax Laws), dan juga Administrasi Pajak (Tax Administration). Untuk menunjang sebuah sistem perpajakan yang baik maka koordinasi antara ketiga pilar tersebut tidak dapat dikesampingkan.


(33)

1. Kebijakan Pajak (Tax Policies)

Mansury (1999) menyatakan bahwa kebijakan pajak merupakan pengertian sempit

dari kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dalam arti luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi dengan mempergunakan instrument pemungutan pajak dan pengeluaran belanja Negara, sedangkan pengertian dari kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana tatacara pembayaran pajak yang terhutang.

Menurut Sicat dalam Nirwono (1991), kebijakan fiskal (fiscal policy) berkaitan

dengan pemanfaatan gabungan pengeluaran pemerintah, perpajakan dan utang pemerintah untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Kebijakan fiskal yang aktif dirancang untuk membantu meredakan goncangan liar siklus dunia usaha (business cycles) agar perekonomian menjadi lebih stabil. Kebijakan fiskal juga harus dirancang guna memantapkan pertumbuhan pendapatan dari waktu ke waktu, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan keadilan pembagian pendapatan dan kekayaan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen yang dimiliki pemerintah untuk menstabilkan perekonomian dengan menggunakan instrumen perpajakan dan pengeluaran pemerintah serta hutang pemerintah dengan peraturan atau pengawasan pemerintah yang dapat mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja, dan meratakan pendapatan dan kekayaan.


(34)

Telah disebutkan bahwa kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Menurut Mansury (1999) tujuan kebijakan pajak sebagai berikut :

1. Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran 2. Distribusi penghasilan yang lebih adil 3. Stabilitas

Dalam pembuatan kebijakan perpajakan, pemerintah harus memperhatikan terlebih dahulu mengenai dua fungsi utama dari perpajakan. Dua fungsi tersebut adalah fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Fungsi budgeter yaitu fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan, Sedangkan fungsi regulerend yaitu fungsi pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur, bila perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan swasta.

Salah satu bentuk dari fungsi regulerend sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dipergunakan untuk mengatur kondisi perkonomian yang ada, salah satunya mengatur mengenai investasi atau penanaman modal. Dalam hal ini apabila pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri maka pemerintah dapat memberikan rangsangan-rangsangan investasi kepada pihak investor. Rangsangan tersebut dapat berupa pemberian insentif usaha. Salah satu jenis insentif usaha yang dapat diberikan oleh pemerintah adalah melalui pemberian fasilitas pajak.

2. Undang-Undang Pajak (Tax Laws)

Definisi tentang pajak, salah satu elemen yang terkandung didalamnya adalah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur. Oleh karena itulah maka


(35)

diperlukan suatu sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah perpajakan ini. Peraturan yang mengatur mengenai Undang-Undang pajak ini pada umumnya dikategorikan sebagai hukum pajak. Rosdiana dan Tarigan (2005)

menyatakan, pengertian dari hukum pajak sendiri merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak. Menurut Mansury (1999) definisi dari hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang meliputi

kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara.

3. Administrasi Pajak (Tax Administration)

Administrasi perpajakan merupakan elemen yang tidak kalah penting dari kedua elemen sebelumnya dalam suatu sistem perpajakan. Menurut Rosdiana (2005),

administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena seharusnya bukan saja sebagai perangkat laws enforcement, tetapi lebih penting dari itu, sebagai service point yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus pusat informasi perpajakan.

Sebagai sarana yang ‘menjembatani’ antara pihak pemerintah dengan para wajib pajak maka sudah sewajarnya sistem administrasi perpajakan menjadi salah satu faktor penting penting dalam sistem perpajakan. meskipun terdapat kebijakan perpajakan yang baik dan juga telah dituangkan dalam peraturan perpajakan yang baik tanpa adanya administrasi perpajakan yang baik maka fungsi utama dari pajak baik dalam hal budgeter maupun regulerend akan sulit tercapai.


(36)

2.4. Pajak

Adriani dalam Brotodiharjo (2003) menyatakan “Pajak adalah iuran kepada

negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Brotodiharjo dalam Waluyo (2005) mengemukakan “Pajak adalah iuran kepada

negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Soemitro (2004) mendefinisikan “ Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara

berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dapat jasa timbal balik (konsentrasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Judisseno (2005) mengemukakan “Pajak adalah suatu kewjiban kenegaraan dan

pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara”.


(37)

Sejak reformasi perpajakan, ditandai dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983, definisi pajak baru dimasukkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 pada tanggal 17 Juli 2007. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 menyebutkan “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari definisi pajak tersebut di atas jelas bahwa pajak merupakan kewajiban kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya pembiayaan pembangunan nasional kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-peraturan pemerintah. Ciri-ciri yang melekat pada pajak berdasarkan beberapa definisi yang telah diutarakan di atas adalah :

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah atau negara.

3. Pajak dipungut oleh pemerintah atau negara.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, dan public investment.


(38)

2.5. Fungsi Pajak

Fungsi pajak sangat berkaitan erat dengan fungsi ekonomi pemerintah seperti telah dijelaskan sebelumnya. Pajak sebagai salah satu sumber pendanaan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Nurmantu (2003) menyebutkan dua fungsi pajak yaitu budgetair dan regulerend.

2.5.1. Fungsi Budgetair

Menurut nurmantu (2003), fungsi budgetair adalah salah satu fungsi dimana

pajak digunakan untuk memasukkan dana secara optimal ke kas Negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Rosdiana (2003)

menyatakan, fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas Negara (to raise government’s revenue), fungsi ini disebut juga fungsi fiskal (fiscal function). Karena itu suatu pemungutan pajak yang baik sudah seharusnya memenuhi azas

revenue productivity. Fungsi ini merupakan fungsi utama di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Siahaan (2004) menyatakan, terkait dengan

fungsi budgetair, ada 3 hal yang harus diperhatikan yaitu ; jangan sampai ada wajib pajak/subjek pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan, jangan sampai ada obyek pajak yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak, dan jangan sampai ada obyek pajak yang terlepas dari pengamatan atau penghitungan negara

2.5.2. Fungsi Regulerend

Menurut Nurmantu (2003), fungsi regulerend adalah suatu fungsi dimana pajak

dipergunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Rosdiana (2004) menyebutkan bahwa pada kenyataannya pajak bukan hanya berfungsi

untuk mengisi kas Negara, pajak juga digunakan pemerintah sebagai instrument untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah.


(39)

2.6. Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dipungut atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh subyek pajak. Sedangkan pengertian penghasilan itu sendiri antara lain,

1. Menurut Schanz sebagaimana dikutip Rosdiana (2005) melalui teorinya The

Accreation Theory of Income, menyatakan bahwa pengertian penghasilan

untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa. 2. Menurut Haig sebagaimana dikutip Rosdiana (2005), penghasilan merupakan

the money value of the net accreation to one’s economic power between two points of time atau the increase or accreation in one’s power to satisfy his wants in a given period in so far as that power consists. Penghasilan adalah nilai uang berupa penambahan kemampuan ekonomis pada suatu waktu atau peningkatan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dalam suatu waktu.

3. Menurut Simon sebagaimana dikutip Rosdiana (2005), ”Personal income may

be defined as the algebraic sum of (1) the market value of rights exercised in consumption an (2) the change in the value of the store of the property rights between the beginning and the end of the period in question. In other words, it is merely the result obtained by adding consumption during the period to ’wealth’ at the end of the period and then substracing ’wealth’ at the beginning”. Penghasilan adalah penjumlahan dari nilai yang dikonsumsi dengan penambahan nilai harta pada periode awal dengan periode akhir.


(40)

Ketiga konsep tersebut menekankan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis seseorang yang diperolehnya dari sumber manapun juga baik digunakan untuk konsumsi maupun untuk hal lainnya. Hal ini sesuai dengan definisi penghasilan yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia. Dalam hal ini pengklasifikasiannya, pajak penghasilan termasuk dalam pajak subyektif, yaitu pajak yang dikenakan dengan memperhatikan keadaan wajib pajaknya, oleh karena itu dalam menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan obyektif yang berhubungan erat dengan keadaan materilnya atau yang disebut dengan daya pikulnya. Besarnya daya pikul seseorang tidak hanya berdasarkan faktor pendapatan atau kekayaan, tetapi masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.

Menurut Mansury (1999) ada beberapa unsur pokok dari konsep penghasilan yang

dianut di Indonesia, yaitu :

1. Tambahan kemampuan ekonomis

Obyek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dimiliki wajib pajak, yang diperoleh baik dari penghasilan karena hubungan kerja, penghasilan dari pekerjaan bebas dan penghasilan karena pemilikan modal. Tambahan kemampuan ekonomis ini diperoleh dengan mengurangkan penghasilan dengan biaya yang terjadi atau dikeluarkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2. Diterima oleh wajib pajak

Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis, yaitu realisasi. Pengertian realisasi menurut Gunadi (1997) mengambil


(41)

konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan dengan memakai “cash bassic” atau “accrual bassic

3. Berasal dari Indonesia atau luar negeri

Nurmantu (2003) berpendapat, Indonesia dalam menentukan penghasilan

yang terutang pajak, menganut prinsip “world wide income” yaitu penghasilan yang dikenakan pajak meliputi penghasilan yang diperoleh dari manapun juga, baik yang berasal dari sumber di Indonesia maupun luar Indonesia. Mansury (1999) menyatakan, prinsip ini dikenal juga dengan global taxation, yaitu setiap

wajib pajak harus menjumlahkan semua penghasilan selama satu tahun buku dari manapun sumbernya.

4. Untuk konsumsi atau menambah kekayaan

Unsur ini merupakan cara tidak langsung dalam menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk konsumsi dan tabungan atau investasi dan aset lainnya.

2.7. Pajak Pertambahan Nilai

Salah satu hal yang dapat membantu memahami Pajak Pertambahan Nilai adalah dengan mengetahui karakteristik atau legal character Pajak Pertambahan Nilai. Rosdiana (2005) mengatakan Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri

atau nature dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature atau nature dari suatu jenis pajak akan menentukan atau memberikan konsekuensi bagaimana sebaiknya pajak tersebut harus dipungut. Karakteristik berbeda dengan definisi, tetapi definisi dapat dibuat berdasarkan karakteristik. Oleh karena itu, karakteristik seringkali lebih efektif dalam menjelaskan sesuatu dan


(42)

membedakannya dengan sesuatu yang lain, dibandingkan dengan definisi. Karakteristik atau legal karakter Pajak Pertambahan Nilai menurut Terra (1988)

adalah pajak tidak langsung atas konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption).

1. General

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi yang bersifat umum. Kata umum ini yang membedakan Pajak Pertambahan Nilai dengan jenis pajak lainnya. Karakter ini pun berarti Pajak Pertambahan Nilai dikenakan terhadap semua jenis barang dan jasa yang menjadi expenditure private masyarakat baik berupa barang maupun jasa. Seperti yang diungkapkan oleh Williams dalam Thuronyi (1996)

The principle of the common system of value added tax involve the application goods and services of general tax on consumption exactly proportional to the price of the good and services, what ever the number of transaction that take place in the production and distribution process before the stage at which tax is charge.”

2. Indirect

Pajak Pertambahan Nilai adalah jenis pajak tidak langsung, dimana beban pajaknya dapat dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara forward shifting

maupun backward shifting. Sukardji (2002) berpendapat bahwa karakter pajak

tidak langsung ini member konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Negara di pihak berbeda.


(43)

3. On Consumption

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi baik untuk konsumsi sekaligus maupun bertahap. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi barang bergerak dan tidak bergerak serta pemanfaatan jasa. Semua barang seharusnya menjadi obyek Pajak Pertambahan Nilai tanpa kecuali, tanpa membedakan apakah barang bergerak maupun tidak bergerak. Cnossen dalam Thuronyi (1996) berpendapat bahwa “VAT is a tax on consumption expenditure as

they are incurred”.

Legal character VAT di atas diadopsi oleh Indonesia yang

menerapkannya sebagai pengganti pajak penjualan. Gunadi (1999) menyebutkan

bahwa, karakteristik Pajak Pertambahan Nilai adalah ciri khusus yang melekat dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai yang tidak dimiliki oleh sistem pajak yang lain. Karakteristik tersebut yaitu :

1. Merupakan pajak tidak langsung 2. Merupakan pajak obyektif 3. Bersifat Multistage tax

4. Menggunakan faktur pajak

5. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri

2.8. Konsep Nilai Tambah

Pada dasarnya Pajak Pertambahan Nilai merupakan turunan pajak penjualan yang dikenakan atas nilai tambah yang muncul baik pada setiap jalur produksi maupun distribusi. Tait (1988) menyatakan ”value added is the value that procedure


(44)

trainer, or circus owner) adds to his raw material or purchase (other than labour) before selling the new or improved product or service. That is, the inputs (the raw materials, transport, rent, advertising, and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the final good or service is sold, some profit is left. So value added can be looked at from the additive side (wages plus profit) or from the substractive side (output minus input).

Tait melihat konsep nilai tambah dari sisi penambahan (gaji ditambah dengan keuntungan) dan dari sisi pengurangan (keluaran dikurangi masukan). Nilai tambah dapat juga diidentikkan dengan selisih antara penjualan dengan pembelian. Hal ini sesuai dengan definisi menurut OECD (1998), ”value added is

identical to the different between sales and purchases.”

Aron (1982) mendefinisikan hal yang sama tentang nilai tambah sebagai berikut

”value added is the difference between the value of a firm sales and the value for chosed material inputs used in production sold”, Sementara Hyman (1982)

mendefinisikan tentang nilai tambah sebagai berikut ”value added is the difference between sales proceeds and purchases of intermediate goods and services over a certain period.”

2.9. Insentif Pajak

Insentif pajak atau yang dalam peraturan perpajakan Indonesia disebut dengan fasilitas pajak secara umum dapat diartikan sebagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal perpajakan. Viherkentta (1991) mengatakan “There is

no universally accepted definition of a ‘tax incentives’. In this study, the concept denotes a tax reduction intended to encourage business operations including


(45)

inward foreign investmet”, sementara menurut Aaron sebagaimana dikutip oleh Viherkenttä (1991) menyatakan “Tax incentives are often understood to be

spesific provisions intended by the lawgiver to encourage certain kinds of behaviour in response to tax benefits granted in the provision.”

Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) (2000) “FDI incentives may be defined as any measurable advantages accorded

to specific enterprises or categories of enterprises by (or at the direction of) a Government, in order to encourage them to behave in a certain manner. They include measures specifically designed either to increase the rate of return of a particular FDI undertaking, or to reduce (or redistribute) its costs or risks.” Dari ketiga teori tersebut dapat ditemukan kesamaan yaitu insentif pajak merupakan sebuah fasilitas yang diberikan kepada investor agar tertarik untuk menanamkan modalnya disuatu negara. Dari definisi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa insentif pajak merupakan alat yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perilaku investor dalam menentukan kegiatan bisnisnya.

Menurut Chalk (2001) Beberapa alasan rasional pemberian insentif usaha dalam

bentuk insentif pajak menurut tulisan yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) adalah:

1. Kebijakan sektor industri

2. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Penciptaan lapangan pekerjaan

4. Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia 5. Diversifikasi ekonomi


(46)

6. Akses ke pasar global

7. Penciptaan klaster-klaster kegiatan ekonomi

Alasan dalam pemberian insentif usaha tersebut digunakan dengan pertimbangan pertama dalam hal industrial policy, alasan dari diberikannya insentif usaha adalah guna mendorong majunya industri yang ada dalam suatu negara, karena diharapkan dengan adanya insentif usaha maka para pelaku industri besar berminat untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan dan selanjutnya dapat menjadi katalis guna memajukan industri dalam negeri.

Kedua yaitu the transfer of proprietary knowledge or technology, dengan adanya pemberian insentif usaha yang nantinya akan menghadirkan para investor yang memiliki skala industri besar maka diharapkan pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh para investor tersebut dapat dimanfaatkan oleh para investor lokal, pemerintah, dan juga masyarakat melalui proses alih teknologi sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi semakin maju.

Ketiga yaitu employment objectives, diharapkan dengan adanya insentif usaha yang dapat mengajak para investor untuk menanamkan modalnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat terutama apabila investasi tersebut merupaka investasi yang menyerap banyak tenaga kerja.

Keempat yaitu training and human capital development, berkaitan dengan alasan sebelumnya yaitu adanya transfer pengetahuan dan tekhnologi maka selanjutnya dengan adanya proses transfer tersebut maka diharapkan kualitas sumber daya manusia akan semakin meningkat.

Kelima yaitu economic diversification, dengan masuknya para investor baru maka diharapkan dapat menimbulkan diversifikasi ekonomi bagi negara tersebut


(47)

sehingga kemungkinan adanya penambahan sektor-sektor industri baru dapat tumbuh lebih banyak.

Keenam yaitu access to overseas market, dengan adanya insentif usaha maka para investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya, apabila investor mulai memasuki industri dalam negeri maka kemungkinan besar investor tersebut akan melakukan perdagangan internasional, sehingga diharapkan dapat membuka akses pasar internasional terhadap negara yang bersangkutan. Dengan adanya akses ke pasar internasional ini maka diharapkan dapat mendorong kegiatan ekspor negara yang bersangkutan.

Ketujuh yaitu regional or locational objectives, dengan penentuan lokasi-lokasi tertentu untuk penanaman modal yang telah ditentukan oleh pemerintah maka diharapkan pertumbuhan dari lokasi-lokasi tersebut dapat lebih maju tingkat pertumbuhannya.

Alasan-alasan pemberian fasilitas pajak diatas, merupakan suatu penilaian untuk menetapkan layak atau tidaknya suatu industri atau daerah tertentu untuk diberikan fasilitas pajak penghasilan. Perumusan mengenai bidang usaha dan daerah tertentu yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan tersebut dilakukan mengingat tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam rangka pemberian fasilitas pajak penghasilan.

Jenis-jenis insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah pada umumnya terdapat suatu pola yang sama. Hanya dalam penerapannya terdapat berbagai macam variasi yang disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing. Menurut Holland dan Vann dalam Thuronyi (1998), secara umum insentif pajak dapat dibagi lima


(48)

1. Tax Holidays

2. Investment Allowances and Tax Credits 3. Timing Differences

4. Tax Rate Reductions

5. Administrative Discretion.

Insentif pajak dalam bentuk tax holidays pada umumnya digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menarik minat investor agar mau berinvestasi dinegaranya. Insentif ini menurut Holland dan Vann dalam Thuronyi (1998) “ ...

new firms are allowed a period of time when they are exempt from the burden of income taxation.” Maka dengan tax holidays ini wajib pajak memperoleh hak berupa pembebasan dari pengenaan pajak dalam suatu periode waktu tertentu. Jenis insentif yang kedua adalah investment allowances and tax credits, jenis insentif ini menurut Holland dan Vann dalam Thuronyi (1998) “Investment

allowances and tax credit are forms of tax relief that are based on the value of expenditures on qualifying investments.” Jenis insentif ini merupakan insentif yang berdasarkan jumlah investasi yang bersangkutan. Pada umumnya jenis insentif ini menggunakan suatu persentase tertentu yang ditentukan oleh pemerintah dan kemudian diperhitungkan dalam penghitungan pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

Jenis insentif yang ketiga adalah timing differences, jenis insentif ini pada intinya ialah terdapat adanya perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan pajak dalam pengakuan biaya dan juga dalam hal pengakuan penghasilan. Seperti yang ditulis oleh Holland dan Vann dalam Thuronyi (1998)


(49)

Timing differences can arise through either the acceleration of deductions or the defferal of the recognition of income.”

Jenis insentif yang keempat adalah tax rate reductions, jenis insentif ini sesuai dengan namanya yaitu pengurangan tarif pajak merupakan jenis insentif yang mengurangi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak dari suatu persentase atau tingkatan tarif tertentu ke tingkatan tarif yang berada dibawahnya.

Jenis insentif selanjutnya adalah administrative discretion, administrative

discretion merupakan salah satu isu yang pada umumnya beredar dalam

perumusan kebijakan fasilitas pajak. Pengertian dari administrative discretion ini adalah apakah fasilitas pajak dapat dinikmati secara otomatis oleh setiap wajib pajak yang memenuhi ketentuan atau harus mengajukan permohonan penggunaan fasilitas pajak terlebih dahulu. Discretion dapat diartikan sebagai selektif, sehingga administrative discretion dapat diartikan sebagai proses administrasi yang selektif dalam rangka pemberian fasilitas pajak.

Sedangkan menurut Spitz sebagaimana dikutip Suandy (2006) umumnya terdapat

empat macam bentuk insentif pajak, yaitu: 1. Pengecualian dari pengenaan pajak 2. Pengurangan dasar pengenaan pajak 3. Pengurangan tarif pajak

4. Penangguhan pajak.

Insentif pajak dalam bentuk pengecualian dari pengenaan pajak merupakan bentuk insentif yang paling banyak digunakan. Jenis insentif ini memberikan hak kepada wajib pajak agar tidak dikenakan pajak dalam jangka waktu tertentu yang ditentukan oleh pemerintah. Namun diperlukan kehati-hatian dalam


(50)

mempertimbangkan pemberian insentif ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah sampai berapa lama pembebasan pajak ini diberikan dan sampai berapa lama investasi dapat memberikan hasil. Contoh dari jenis insentif ini adalah tax holiday

atau tax exemption.

Jenis insentif yang kedua berupa pengurangan dasar pengenaan pajak. Jenis insentif ini biasanya diberikan dalam bentuk berbagai macam biaya yang dapat dikurangkan dari pendapatan kena pajak. Pada umumnya biaya yang dapat menjadi pengurang boleh dikurangkan lebih dari nilai yang seharusnya. Jenis insentif ini misalnya dapat ditemui dalam bentuk double deduction, investment allowances, dan loss carry forwards.

Jenis insentif yang ketiga adalah pengurangan tarif pajak. Insentif ini yaitu berupa pengurangan tarif pajak dari tarif yang berlaku umum ke tarif khusus yang diatur oleh pemerintah. Insentif ini paling sering ditemui dalam pajak penghasilan. Misalnya pengurangan tarif corporate income tax atau tarif witholding tax.

Jenis insentif yang terakhir menurut Spitz Suandy (2006) adalah penangguhan

pajak. Jenis insentif ini pada umumnya diberikan kepada wajib pajak sehingga pembayar pajak dapat menunda pembayaran pajak hingga suatu waktu tertentu. Kemudian menurut UNCTAD (2000), a Global Survey mengklasifikasikan jenis

insentif pajak antara lain sebagai berikut,

a. Reduced corporate income tax rate b. Loss carry forwards

c. Tax holidays

d. Investment allowances e. Investment tax credits


(51)

f. Reduced taxes on dividends and interest paid abroad g. Deductions for qualifying expenses

h. Zero or reduced tariffs

i. Employment-based deductions.

Jenis insentif pajak yang pertama adalah reduced corporate income tax rates, insentif pajak ini berupa pengurangan tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak badan. Pemerintah dapat menetapkan tarif pajak penghasilan yang lebih rendah kepada wajib pajak badan dengan kriteria persyaratan tertentu untuk menarik investor agar menanamkan modalnya di dalam negeri. Jenis insentif yang kedua yaitu loss carry forwards adalah jenis insentif yang memperbolehkan investor untuk mengkompensasikan kerugian yang dialami pada suatu tahun pada tahun-tahun berikutnya. Jenis insentif ini berguna bagi investor yang kegiatan bisnisnya relatif mengalami kerugian pada awal-awal tahun berdirinya ketika investor sedang meningkatkan kapasitas produksi atau memasuki pasar.

Jenis insentif yang ketiga yaitu tax holidays adalah jenis insentif berupa pembebasan pajak penghasilan badan dengan sejumlah tahun tertentu. Insentif ini merupakan insentif yang umum digunakan oleh negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan penanaman modal di negaranya. Tax holidays dapat dikategorikan sebagai insentif yang mudah penerapannya dan juga memiliki

compliance cost yang relatif tidak tinggi. Tetapi meskipun di satu sisi tax holidays

memiliki compliance cost yang tidak tinggi, insentif ini merupakan jenis insentif yang memiliki potential tax loss yang lebih besar apabila dibandingkan dengan jenis insentif lainnya.


(52)

Jenis insentif yang keempat yaitu investment allowances, insentif ini berupa pengurangan penghasilan kena pajak berdasarkan persentase tertentu dari jumlah investasi awal. Besarnya persentase ini tergantung dari kebijakan negara yang menerapkan insentif ini, semakin besar persentase yang diperbolehkan untuk menjadi pengurang penghasilan kena pajak, maka semakin besar pula manfaat yang diterima oleh penerima fasilitas. Negara yang menerapkan jenis insentif ini pada umumnya juga menerapkan jenis insentif kompensasi kerugian, karena pada beberapa negara investment allowances yang dapat dikurangkan setiap tahunnya dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya apabila investment allowances

tersebut tidak habis dikurangkan pada tahun berjalan.

Jenis insentif yang kelima adalah investment tax credits, jenis insentif ini yaitu berupa pengurangan pajak penghasilan badan yang harus dibayar oleh wajib pajak pada tahun tertentu, hal ini yang membedakan dengan investment allowances yang mengurangi pajak melalui penambahan biaya fiskal pada tahun tertentu. Besarnya

tax credits pada umumnya berupa persentase dari nilai investasi yang dilakukan oleh wajib pajak. Pada beberapa negara, tax credits yang tidak habis dipakai pada suatu tahun dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya, atau tax credits yang tidak terpakai tersebut dapat diuangkan seperti halnya kelebihan pembayaran pajak.

Jenis insentif yang keenam adalah reduced taxes on dividends and interest paid abroad, jenis insentif ini memberikan pengurangan tarif pajak penghasilan atas dividen dan bunga yang dibayarkan ke luar negeri sebesar persentase tertentu, dengan pengurangan tarif pada dividen yang dibayarkan ke luar negeri maka beban pajak yang ditanggung akan menjadi lebih kecil. Tetapi yang harus


(53)

diperhatikan, semakin kecil persentase pajak atas pembayaran dividen maka semakin besar kemungkinan pembayaran dividen dan berdampak semakin sedikitnya jumlah dana yang di investasikan kembali.

Jenis insentif yang ketujuh adalah deductions for qualifying expenses, jenis insentif ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk membebankan biaya-biaya tertentu dalam jumlah lebih besar daripada jumlah yang seharusnya dibebankan. Misalkan berupa pembebanan sebesar dua kali lipat dari pembebanan yang seharusnya untuk biaya riset dan pengembangan atau biaya pemasaran ke luar negeri dengan tujuan ekspor. Insentif ini pada umumnya digunakan untuk mendorong investor agar melakukan kegiatan pada bidang yang diberikan insentif ini (dalam contoh sebelumnya, investor dihimbau untuk melakukan riset dan pengembangan atau melakukan pemasaran ke luar negeri dengan tujuan ekspor). Jenis insentif yang kedelapan yaitu zero or reduced tariffs, jenis insentif ini yaitu berupa pengurangan atau penghapusan tarif atas suatu pajak tertentu, misalkan pengurangan atau penghapusan pajak atas impor barang modal atau peralatan lainnya pada proyek investasi yang mendapatkan fasilitas pajak. Jenis insentif yang kesembilan adalah employment based deductions, jenis insentif ini yaitu jenis insentif yang berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan terkait dengan mempekerjakan karyawan dengan kondisi tertentu. Misalkan pada investasi yang dilakukan di daerah terpencil, pemerintah memberikan insentif yaitu membolehkan pembiayaan atas pemberian berbentuk natura kepada karyawan.


(54)

2.10. Pengertian Investasi

Teori ekonomi mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan. Investasi yang lazim disebut dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal, menurut Sukirno (2011) investasi adalah merupakan

komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat. Boediono (2001)

mendefenisikan investasi sebagai pengeluaran oleh sektor produsen (swasta) untuk pembelian barang dan jasa untuk menambah stok yang digunakan atau untuk perluasan pabrik.

Investasi dalam ekonomi makro, dibedakan atas investasi otonom

(otonomous investment) dan investasi terpengaruh (induced investment). Investasi otonom adalah investasi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan nasional, artinya tinggi rendahnya pendapatan nasional tidak menentukan jumlah investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Jenis investasi ini umumnya dilakukan oleh pemerintah dengan maksud sebagai landasan pertumbuhan ekonomi berikutnya, misalnya investasi untuk pembuatan jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya. Sedangkan investasi yang terpengaruh adalah investasi yang dipengaruhi oleh pendapatan nasional, artinya pendapatan nasional yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi tersebut akan memperbesar permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa. Maka keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan ini akan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi.


(55)

Investasi (pembentukan modal atau penanaman modal) dapat digolongkan meliputi pengeluaran-pengeluaran :

1. Pembelian berbagai jenis barang modal yaitu mesin-mesin dan peralatan produksi lainnya untuk mendirikan berbagai jenis industri dan perusahaan; 2. Pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal, bangunan kantor,

bangunan pabrik dan bangunan-bangunan lainnya;

3. Pertambahan nilai stok barang-barang yang belum terjual, bahan mentah dan barang yang masih dalam proses produksi pada akhir tahun penghitungan pendapatan nasional

Jumlah dari ketiga jenis komponen investasi tersebut dinamakan investasi bruto, yaitu meliputi investasi untuk menambah kemampuan berproduksi dalam perekonomian dan mengganti barang modal yang telah didepresiasikan.

2.11. Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi

Menurut Jhingan (1996), investasi atau pembentukan modal merupakan

jalan keluar utama dari masalah negara terbelakang ataupun berkembang dan kunci utama menuju pembangunan ekonomi. Hal ini sebagaimana juga dipertegas oleh Ragnar Nurkse, pemenang nobel ekonomi asal Swedia, bahwa lingkaran setan kemiskinan di negara terbelakang atau berkembang dapat digunting melalui investasi atau pembentukan modal. Lebih rinci lagi dikatakan oleh Todaro (2003)

bahwa persyaratan umum pembangunan ekonomi suatu negara adalah:

1. Akumulasi modal, termasuk akumulasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia;


(1)

Covariances: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label δ3 <--> ε7 ,043 ,014 3,142 ,002 par_11 δ2 <--> ε6 ,003 ,011 ,281 ,779 par_12 δ2 <--> e1 -,027 ,015 -1,789 ,074 par_13 ε4 <--> ε2 -,008 ,013 -,592 ,554 par_14 δ2 <--> ε4 ,017 ,013 1,308 ,191 par_15 ε3 <--> ε2 -,017 ,013 -1,279 ,201 par_16 ε2 <--> ε1 -,010 ,010 -,993 ,321 par_17 δ1 <--> ε1 ,036 ,012 3,073 ,002 par_18 δ3 <--> ε2 -,035 ,010 -3,430 *** par_19 δ2 <--> ε1 ,029 ,011 2,678 ,007 par_20 δ1 <--> ε5 ,060 ,014 4,223 *** par_21 ε7 <--> ε6 ,028 ,014 2,032 ,042 par_22 ε3 <--> ε6 -,040 ,010 -3,929 *** par_23 ε1 <--> ε5 ,042 ,012 3,375 *** par_24 ε4 <--> ε5 -,002 ,012 -,147 ,883 par_25 Correlations: (Group number 1 - Default model)

Estimate δ3 <--> ε7 ,369 δ2 <--> ε6 ,041 δ2 <--> e1 -,452 ε4 <--> ε2 -,111 δ2 <--> ε4 ,188 ε3 <--> ε2 -,360 ε2 <--> ε1 -,181 δ1 <--> ε1 ,403 δ3 <--> ε2 -,516 δ2 <--> ε1 ,427 δ1 <--> ε5 ,549 ε7 <--> ε6 ,272 ε3 <--> ε6 -,529 ε1 <--> ε5 ,440 ε4 <--> ε5 -,014

Variances: (Group number 1 - Default model) Estimate S.E. C.R. P Label KIP ,607 ,099 6,113 *** par_26 e1 ,060 ,019 3,122 ,002 par_27 δ1 ,103 ,018 5,708 *** par_28 δ2 ,059 ,018 3,252 ,001 par_29 δ3 ,122 ,021 5,832 *** par_30 ε4 ,134 ,022 6,222 *** par_31 ε3 ,058 ,014 4,086 *** par_32 ε2 ,037 ,017 2,127 ,033 par_33 ε1 ,078 ,014 5,669 *** par_34 ε7 ,111 ,020 5,635 *** par_35 ε6 ,099 ,019 5,242 *** par_36


(2)

Estimate S.E. C.R. P Label ε5 ,118 ,020 5,999 *** par_37

Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Estimate

IS ,910

P ,966

P1 ,853

P2 ,877

P3 ,865

IS1 ,895

IS2 ,953

IS3 ,929

IS4 ,840

KIP3 ,843

KIP2 ,922

KIP1 ,855

Matrices (Group number 1 - Default model)

Residual Covariances (Group number 1 - Default model)

P1 P2 P3 IS1 IS2 IS3 IS4 KIP3 KIP2 KIP1 P1 -,002

P2 -,019 ,001

P3 ,009 ,007 ,001

IS1 -,003 -,023 -,014 ,002

IS2 -,017 ,011 ,015 -,012 ,001

IS3 ,013 -,001 -,015 ,013 -,001 -,001

IS4 ,011 ,016 -,004 ,011 ,006 -,009 ,000

KIP3 ,033 -,006 -,015 ,018 -,004 -,001 -,020 -,002

KIP2 ,011 -,020 -,020 ,010 -,016 ,021 ,003 ,007 ,002

KIP1 ,006 -,020 -,001 ,008 -,021 ,026 ,015 ,022 ,008 ,007 Standardized Residual Covariances (Group number 1 - Default model)

P1 P2 P3 IS1 IS2 IS3 IS4 KIP3 KIP2 KIP1 P1 -,019

P2 -,180 ,012

P3 ,087 ,065 ,007

IS1 -,031 -,223 -,139 ,022

IS2 -,160 ,108 ,146 -,121 ,007

IS3 ,121 -,011 -,142 ,128 -,014 -,009

IS4 ,100 ,147 -,037 ,101 ,055 -,085 ,003

KIP3 ,325 -,058 -,146 ,185 -,038 -,014 -,194 -,015

KIP2 ,112 -,198 -,194 ,096 -,158 ,207 ,032 ,071 ,015

KIP1 ,061 -,201 -,009 ,080 -,216 ,257 ,153 ,229 ,083 ,068 Total Effects (Group number 1 - Default model)

KIP IS P

IS 1,000 ,000 ,000 P 1,044 ,615 ,000


(3)

KIP IS P P1 1,023 ,602 ,980 P2 1,041 ,613 ,998 P3 1,044 ,615 1,000 IS1 1,000 1,000 ,000 IS2 1,055 1,055 ,000 IS3 1,065 1,065 ,000 IS4 1,027 1,027 ,000 KIP3 1,036 ,000 ,000 KIP2 1,074 ,000 ,000 KIP1 1,000 ,000 ,000

Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)

KIP IS P

IS ,954 ,000 ,000 P ,966 ,597 ,000 P1 ,892 ,551 ,923 P2 ,905 ,559 ,936 P3 ,899 ,555 ,930 IS1 ,903 ,946 ,000 IS2 ,931 ,976 ,000 IS3 ,920 ,964 ,000 IS4 ,874 ,916 ,000 KIP3 ,918 ,000 ,000 KIP2 ,960 ,000 ,000 KIP1 ,924 ,000 ,000

Direct Effects (Group number 1 - Default model)

KIP IS P

IS 1,000 ,000 ,000 P ,429 ,615 ,000 P1 ,000 ,000 ,980 P2 ,000 ,000 ,998 P3 ,000 ,000 1,000 IS1 ,000 1,000 ,000 IS2 ,000 1,055 ,000 IS3 ,000 1,065 ,000 IS4 ,000 1,027 ,000 KIP3 1,036 ,000 ,000 KIP2 1,074 ,000 ,000 KIP1 1,000 ,000 ,000

Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)

KIP IS P

IS ,954 ,000 ,000 P ,397 ,597 ,000 P1 ,000 ,000 ,923 P2 ,000 ,000 ,936 P3 ,000 ,000 ,930


(4)

KIP IS P IS1 ,000 ,946 ,000 IS2 ,000 ,976 ,000 IS3 ,000 ,964 ,000 IS4 ,000 ,916 ,000 KIP3 ,918 ,000 ,000 KIP2 ,960 ,000 ,000 KIP1 ,924 ,000 ,000

Indirect Effects (Group number 1 - Default model)

KIP IS P

IS ,000 ,000 ,000 P ,615 ,000 ,000 P1 1,023 ,602 ,000 P2 1,041 ,613 ,000 P3 1,044 ,615 ,000 IS1 1,000 ,000 ,000 IS2 1,055 ,000 ,000 IS3 1,065 ,000 ,000 IS4 1,027 ,000 ,000 KIP3 ,000 ,000 ,000 KIP2 ,000 ,000 ,000 KIP1 ,000 ,000 ,000

Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)

KIP IS P

IS ,000 ,000 ,000 P ,569 ,000 ,000 P1 ,892 ,551 ,000 P2 ,905 ,559 ,000 P3 ,899 ,555 ,000 IS1 ,903 ,000 ,000 IS2 ,931 ,000 ,000 IS3 ,920 ,000 ,000 IS4 ,874 ,000 ,000 KIP3 ,000 ,000 ,000 KIP2 ,000 ,000 ,000 KIP1 ,000 ,000 ,000

Modification Indices (Group number 1 - Default model) Covariances: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change

Variances: (Group number 1 - Default model) M.I. Par Change

Regression Weights: (Group number 1 - Default model) M.I. Par Change


(5)

Minimization History (Default model) Iterati

on

Negative

eigenvalues Condition #

Smallest

eigenvalue Diameter F NTries Ratio

0 e 19 -2,325 9999,000 1723,823 0 9999,000

1 e* 24 -1,453 2,139 1212,604 20 ,344

2 e* 19 -3,659 ,661 942,809 6 ,990

3 e 13 -1,436 ,138 888,149 6 ,877

4 e 13 -2,165 ,334 792,127 6 ,855

5 e* 9 -,945 ,356 679,720 5 ,808

6 e* 5 -1,601 ,869 419,087 6 ,941

7 e 4 -1,000 ,226 335,580 6 ,883

8 e 4 -,961 ,296 254,800 5 1,016

9 e 2 -1,154 ,224 198,755 4 ,848

10 e 1 -,320 ,404 151,408 9 ,786

11 e* 0 1318,508 ,815 72,232 4 ,770

12 e 0 972,684 ,218 51,524 1 1,007

13 e 0 776,000 ,060 46,210 1 1,154

14 e 0 740,837 ,021 45,723 1 1,085

15 e 0 760,663 ,004 45,713 1 1,017

16 e 0 748,638 ,000 45,713 1 1,000

Model Fit Summary CMIN

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF

Default model 38 45,713 17 ,000 2,689 Saturated model 55 ,000 0

Independence model 10 1763,154 45 ,000 39,181 RMR, GFI

Model RMR GFI AGFI PGFI

Default model ,013 ,923 ,750 ,285 Saturated model ,000 1,000

Independence model ,611 ,130 -,063 ,107 Baseline Comparisons

Model NFI

Delta1 RFI rho1

IFI Delta2

TLI

rho2 CFI Default model ,974 ,931 ,984 ,956 ,983

Saturated model 1,000 1,000 1,000

Independence model ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 Parsimony-Adjusted Measures

Model PRATIO PNFI PCFI

Default model ,378 ,368 ,371 Saturated model ,000 ,000 ,000 Independence model 1,000 ,000 ,000


(6)

NCP

Model NCP LO 90 HI 90

Default model 28,713 12,354 52,727 Saturated model ,000 ,000 ,000 Independence model 1718,154 1584,539 1859,132 FMIN

Model FMIN F0 LO 90 HI 90

Default model ,453 ,284 ,122 ,522 Saturated model ,000 ,000 ,000 ,000 Independence model 17,457 17,011 15,689 18,407 RMSEA

Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE

Default model ,129 ,085 ,175 ,003 Independence model ,615 ,590 ,640 ,000 AIC

Model AIC BCC BIC CAIC

Default model 121,713 131,002 221,462 259,462 Saturated model 110,000 123,444 254,374 309,374 Independence model 1783,154 1785,598 1809,403 1819,403 ECVI

Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI

Default model 1,205 1,043 1,443 1,297 Saturated model 1,089 1,089 1,089 1,222 Independence model 17,655 16,332 19,051 17,679 HOELTER

Model HOELTER

.05

HOELTER .01

Default model 61 74


Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Penyelesaian Keberatan Atas Pajak Bumi Dan Bangunan Di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I

5 39 66

Penerapan Pengawasan Penagihan Pajak Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

4 84 88

Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Penerimaan Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Di Propinsi Sumatera Utara

0 0 18

Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Penerimaan Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Di Propinsi Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Penerimaan Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Di Propinsi Sumatera Utara

0 0 11

Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Penerimaan Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Di Propinsi Sumatera Utara

0 1 64

Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Penerimaan Pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Di Propinsi Sumatera Utara

0 0 3

Analisis Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Industri Pengolahan Kelapa Sawit Di Wilayah Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I

0 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Industri Pengolahan Kelapa Sawit Di Wilayah Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I

0 0 56

PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I TESIS

0 0 16