hubungan dengan laki-laki lain. d. Anak yang dilahirkan dari seorang perempuan dan laki-laki yang akibat dari
ketentuan agama tidak dapat menikah, misalnya dalam ajaran Katolik dimana terdapat ketentuan yang mengatakan tidak mengenal cerai hidup.
e. Anak yang dilahirkan dari seorang ibu dan seorang laki-laki yang akibat hukum perdata atau menurut hukum negara tidak dapat nikah, misalnya seorang WNA
menikah dengan seorang WNI, tetapi tidak mendapat izin dari kedutaan karena masih terikat dengan perkawinan lain di negaranya.
f. Anak yang sama sekali tidak diketahui siapa orang tuanya sebagai anak temuan.
g. Anak yang dilahirkan dimana ke dua orang tuanya berada dalam perkawinan yang dilangsungkan secara adat saja.
B. Akibat Hukum Lahirnya Putusannya Mahkamah Konstitusi Nomor: 46PUU-82010 Tanggal 27 Pebruari 2010
Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki salah satu wewenang untuk melakukan judicial review uji
materil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 UUD 1945.
24
Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinjau kembali. Pada asasnya putusan hakim tidak
boleh didiskusikan apalagi disalahkan, inilah asas yang berlaku secara universal.
24
Mahkamah Konstitusi, 2009, Buku Pintar Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2009, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono dengan putusan Nomor 46PUU-VIII2010. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam penerapan beberapa aturan hukum di Negara Republik Indonesia, khususnya beberapa aturan materil yang selama ini dijadikan sebagai rujukan
dalam mengadili sebuah perkara di Pengadilan Agama. Pokok permohonan Para Pemohon adalah mengajukan permohonan
pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, karena mengenai pencacatan
perkawinan yang diatur dalam Pasal tersebut menurut penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 tahun 1974 hanya berkenaan dengan administrasi perkawinan
tidak menentukan keabsahan perkawinan. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan
kepercayaan masing-masing. Jadi keberadaan akta nikah sama halnya dengan keberadaan akta yang lain, seperti akta kelahiran dan kematian.
Pencatatan perkawinan tidaklah membatasi hak asasi seseorang, karena pembatasan melalui pencatatan perkawinan semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
Universitas Sumatera Utara
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis Pasal
28 J ayat 2 UUD 1945. Selain itu pencacatan perkawinan juga ditujukan untuk menjamin kepastian hak-hak yang ditimbulkan dari perkawinan seperti asal-usul
anak. Mengenai keberadaan anak di luar perkawinan Pasal 43 ayat 1 UU
Nomor 1 tahun 1974 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melihat bahwa setiap kehamilan pasti diawali dengan pertemuan ovum dengan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual coitus maupun melalui jalan lain sesuai dengan kemajuan teknologi. Sehingga hubungan anak yang dilahirkan dengan seorang laki-laki
sebagai ayahnya bukan hanya semata-mata karena adanya perkawinan tetapi juga berdasarkan hubungan darah anak dengan seorang laki-laki yang dapat dibuktikan
dengan ilmu pengetahuan dan atau teknologi atau bukti lain yang sah menurut hukum.
Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi
selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat stigma yang tidak baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mesti mendapat
perlindungan hukum dari Negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa bunyi Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
Universitas Sumatera Utara
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU-VII2010 dapat dilakukan analisis dalam kaitannya dengan implikasi hukum anak di luar
perkawinan. 1. Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 tahun 1974
Penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan keberadaan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 tahun 1974, bahwa
pencatatan perkawinan legal meaningnya adalah sebagai syarat administatif perkawinan, tidak menentukan keabsahan sebuah perkawinan. Hanya saja agar
Pasal tersebut memiliki taring kekuatan mengikat maka redaksinya seharusnya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan hanya dapat dibuktikan keabsahannya setelah
dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan” sebagaimana telah diakomodir dalam dalam Pasal 7 ayat 1 Inpres. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Aturan perkawinan nasional Indonesia yang sudah ditetapkan sejak tahun
1974 sampai saat ini masih menjadi sumber perdebatan dan apalagi tingkat kesadaran terhadap aturan tersebut oleh sebagian kelompok yang mendikotomikan
antara aturan agama dengan aturan nasional masih sangat rendah. Jadi, logikanya adalah bahwa Negara mengakui perkawinan sah jika
perkawinan dijalankan sesuai dengan rukun dan syarat pernikahan di dalam agama
Universitas Sumatera Utara
dan kepercayaan masing-masing, hanya saja untuk menjamin kepastian terlaksananya aturan agama dan kepercayaan tersebut secara baik dan benar maka
Negara mengikat kebebasan tersebut dengan aturan yang mewajibkan warga negaranya untuk membuktikannya melalui akta perkawinan yang otentik
dikeluarkan oleh perangkat resmi yang telah disediakan Negara untuk itu. Untuk setiap perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai dengan aturan
agama dan kepercayaan masing-masing tetapi tidak dicatatkan kepada perangkat Negara yang ditentukan untuk itu, baik karena kondisi darurat ataupun karena
kelalaian maka dibuka penyelesaian masalahnya melalui penetapan sahnya perkawinan oleh lembaga peradilan. Hanya saja jika kejadian tersebut didasarkan
atas kelalaian maka yang bersangkutan mesti diberi sanksi ta’zir dalam istilah pidana Islam yakni sanksi hukum atas perbuatan melanggar hukum negara sebagai
efek jera bagi pelaku yang telah melanggar hukum negara. 2. Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974
Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materil Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 sehingga Pasal tersebut harus dibaca menjadi: “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”. Sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi yang telah kita
kemukakan sebelumnya, pertimbangannya sangat logis dan bertujuan untuk
Universitas Sumatera Utara
mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan bagi anak di luar perkawinan tersebut agar dia mendapat jaminan kehidupan dan tidak lagi mendapat stigma
negatif dalam pergaulan sehari-hari lantaran dosa kedua orang tuanya. Di dalam agama Islam salah satu tujuan penerapan hukum adalah untuk
maslahah, bahkan dalam mazhab maliki dikenal maslahah mursalah sebagai salah satu turuq istimbath al-ahkam.
25
Menetapkan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan juga tidak boleh mengabaikan kemungkinan kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hukum
tersebut, maka dalam hukum Islam dikenal sebuah kaedah: menolak kerusakan harus diutamakan dari mewujudkan suatu kemaslahatan.
Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan harmonisasi kehidupan manusia, sehingga beban hukum yang
dibawanya bukanlah untuk membinasakan manusia tetapi sebaliknya yaitu untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan bukan hanya di akhirat semata tetapi
juga di dunia.
26
Anak luar perkawinan dalam pandangan hukum nasional Indonesia tidak bisa ditetapkan secara global begitu saja, karena menurut hemat penulis
sehubungan dengan UU Nomor 1 tahun 1974, anak luar perkawinan memuat dua makna yang secara prinsip berbeda:
a. Anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki yang telah terikat hubungan perkawinan secara agama dengan seorang perempuan, tetapi tidak
memiliki legalitas disebabkan perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai
25
Rio Satria, “Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1”,
http:www.riosatria.com. Diakses tanggal 27 Agustus 2012.
26
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dengan ketetuan perundang-undangan yang berlaku. b. Anak yang lahir tanpa pernikahan yang sah, hanya disebabkan hubungan
biologis antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannnya masing-masing.
Mengingat ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974, maka terhadap anak sebagaimana dalam poin ‘a’ sudah tepat dikatakan bahwa anak
tersebut memiliki hubungan keperdataan yang sempurna baik dengan ibunya maupun bapaknya. Tentunya setelah pernikahan kedua orang tuanya mendapat
legalitas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi warga Negara yang beragama Islam sesuai dengan Pasal 49 ayat 2 UU Nomor 7 tahun 1989
yang telah diubah dua kali pertama dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan kedua dengan UU Nomor 50 tahun 2009 jo. Pasal 7 ayat 2 Inpres Nomor 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, perkawinan tersebut mesti ditetapkan keabsahannya terlebih dahulu oleh Pengadilan Agama.
Dasar berfikirnya adalah, karena pernikahan yang telah dilangsungkan sesuai dengan aturan agama masing-masing walaupun tidak tercatat adalah sah,
maka konsekwensinya anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan tersebut adalah anak sah yang berhak secara sempurna memiliki hubungan keperdataan
dengan kedua orang tuanya. Perkawinan adalah perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum
yang komplek dan luas sebagaimana hal ini telah dikemukakan dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi saat mempertimbangkan
pentingnya dokumen perkawinan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat 2
Universitas Sumatera Utara
UU Nomor 1 tahun 1974. Di antara akibat hukum tersebut adalah melahirkan asal usul keturunan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Artinya, dari pertimbangan tersebut dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sepakat bahwa hubungan asal usul anak dengan orang
tuanya terutama dengan ayahnya timbul sebagai akibat dari perkawinan sementara dengan ibunya adalah sebuah peristiwa alam yang tidak mungkin disangkal
kebenarannya seperti halnya matahari yang terbit di timur dan terbenam di barat, setiap anak yang lahir dari rahim seorang perempuan maka perempuan tersebut
adalah ibunya. Jika dikaitkan dengan anak yang lahir tampa hubungan pernikahan dari
kedua orang tuanya maka sangat logis penambahan Pasal 43 ayat 1 oleh Mahkamah Konstitusi tetapi sebatas berkaitan dengan hak pemeliharan dan
kepastian dalam mendapatkan pendidikan sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri setidaknya telah berusia 18 tahun atau telah melangsungkan perkawinan
sebagaimana maksud Pasal 45 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 1 yat 1 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, memiliki ayah dan ibu walaupun secara hukum ada di antara hubungan tersebut yang tidak didasarkan
dengan perkawinan sah. Tetapi secara ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya anak tersebut dapat dibuktikan sebagai anak
biologis dari yang bersangkutan. Anak memiliki hak yang mesti dipenuhi oleh orang tuanya. Selama ini anak
di luar kawin hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sehingga
Universitas Sumatera Utara
sebagai dampaknya anak mengalami tekanan batin dalam pergaulannya dan ayah biologisnya seolah-olah terlepas dari tuntutan hukum untuk bertanggung jawab
atas perbuatannya yang telah menyebabkan anak tersebut lahir ke dunia. Pada zaman yang tingkat kecenderungan pelanggaran hukumnya semakin
meningkat, maka perlu diantisipasi kebebasan individu dalam melanggar norma hukum yang telah ditetapkan oleh Negara. Sebagai organisasi kekuasan, Negara
memiliki otoritas untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap warganya dalam rangka melindungi kepentingan umum atau kepentingan orang lain sesuai
dengan norma hukum, sosial, dan agama vide Pasal 28 J UUD tahun 1945. Pembatasan dimaksud dapat melalui pembebanan berupa kewajiban hukum
terhadap orang yang telah melakukan pelanggaran hukum, sehingga dengan adanya ancaman diharapkan tidak terjadi lagi penyimpangan dari norma hukum
yang telah ditetapkan. Seorang ayah biologis mesti ditarik oleh hukum untuk bertanggung jawab
dalam memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya. Perlindungan yang dimaksud adalah sebagai mana maksud Pasal 13 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun
2002 mencakup perlindungan dari: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan,
perlakuan salah lainnya. Selanjutnya dalam Pasal yang sama ayat 2 dijelaskan bahwa dalam hal
orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman. Kata orang tua di sini semestinya juga dimaknai dengan orang tua secara
Universitas Sumatera Utara
biologis sejauh dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau bukti sah lain menurut hukum. Tetapi penambahan Pasal 43 ayat 1 yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 46PUU-
VIII2010 tidaklah sebatas dengan hak perlindungan tetapi memiliki makna yang
sangat luas sebagaimana halnya makna yang melekat pada anak sah. Jika hak keperdataan sempurna diberikan kepada anak di luar perkawinan,
menurut pendapat penulis akan menimbulkan kerancuan dalam beberapa aspek hukum, seperti asal usul anak. Jika putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal
43 ayat 1 dipahami setelah Pasal tersebut melekat dalam satu kesatuan sebagai batang tubuh UU Nomor 1 Tahun 1974, maka akan melahirkan makna yang sangat
luas. Dimana anak luar perkawinan diakui asal usulnya oleh negara dengan laki- laki yang menjadi ayah biologisnya, sehingga dalam akta kelahiran anak tersebut
sebagai akta autentik yang dapat menerangkan asal usul seseorang anak vide Pasal 55 UU Nomor 1 Tahun 1974 dia diterangkan sebagai anak dari ibu dan ayah
biologisnya. Perkawinan merupakan salah satu hubungan perdata yang akan melahirkan
hubungan-hubungan keperdataan yang lain. Jika anak luar perkawinan telah disamakan keberadaannya dengan anak sah akan timbul persoalan lain bagi warga
negara Indonesia yang memeluk agama tertentu, seperti Islam, di antaranya yakni dalam aspek hukum perwalian nikah dan kewarisan.
Dalam agama Islam, salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menjaga kesucian hubungan darah nasab. Karena dari hubungan nasablah
akan timbul hak bagi seorang ayah atau keluarga ayah dari garis keturunan laki-
Universitas Sumatera Utara
laki untuk menjadi wali nikah atas seorang anak perempuan. Begitu juga dalam aspek hukum waris, hak untuk mewarisi timbul disebabkan dengan adanya
perkawinan dan hubungan darah yang timbul akibat perkawinan yang sah. Di dalam agama Islam perkawinan bukan hanya persoalah perdata biasa
tetapi di dalamnya terkandung hubungan yang bersifat transendental dengan Allah SWT. Sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD Tahun 1945 Negara berkewajiban
untuk ikut serta melindungi nilai kesucian agama yang dipeluk oleh setiap warga negaranya.
Wali nikah dalam hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan nikah, sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis Rasulullah
SAW: Tidak sah pernikahan yang dilakukan tanpa wali.
27
Aturan ini telah ditaqnin dalam salah satu produk hukum Indonesia yakni Pasal 14 Inpres. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan
perubahan Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, timbul persoalan jika anak luar perkawinan tersebut adalah anak perempuan dan beragama Islam, siapakah
wali nikahnya. Begitu juga halnya dalam aspek hukum kewarisan, ahli waris adalah orang
yang pada saat Pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris vide Pasal 171 Inpres. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Jika anak luar perkawinan diberi legalitas memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, sehingga sebagai akibat dari ketentuan tersebut dalam
akta kelahirannya dicantumkan bahwa ayahnya adalah laki-laki yang telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai ayah biologisnya, tentunya atas dasar legal
standing tersebut dia akan menuntut hak keperdataannya dari ayahnya. Di antara hak keperdataan tersebut adalah ketika terjadi kematian ayah biologisnya tentu dia
memiliki hak secara hukum untuk menuntut hak warisnya, begitu juga sebaliknya. Pertanyaannya adalah, jika anak luar perkawinan tersebut beragama Islam
dan ayah biologisnya juga beragama Islam, apakah di antara mereka akan diberikan hak untuk saling mewarisi. Sesuai dengan perubahan Pasal 43 ayat 1
UU Nomor 1 Tahun 1974 karena hubungan antara anak luar perkawinan dengan ayah biologisnya sudah jelas, jadi dia memiliki hubungan keperdataan
sebagaimana halnya anak sah. Tetapi apakah sejauh itu hukum nasional memaksa warga negaranya. sehingga dalam posisi seperti itu harus memaksakan warga
negaranya melanggar ketentuan agama yang bersifat suci. Bukankah dalam contoh kasus yang telah dikemukakan jika dalam hal ini umat Islam tetap berpegang
dengan norma agama bahwa laki-laki yang tidak terikat perkawinan sah dengan seorang perempuan, maka dia tidak berhak untuk menjadi wali nikah bagi anak
biologisnya jika anak tersebut seorang perempuan dan dalam hukum kewarisan tidak ada hak untuk saling mewarisi tentunya dalam hal ini telah terjadi
pelanggaran terhadap Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, begitu juga sebaliknya, jika umat Islam secara utuh mengikuti aturan Pasal 43 ayat 1
UU Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi tentu
Universitas Sumatera Utara
di sisi lain juga tidak akan terelakkan terjadinya pelanggaran norma agama. Malahan asas keabsahan perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1
UU Nomor 1 Tahun 1974, jika dihubungkan dengan kasus anak luar perkawinan setelah terjadinya perubahan Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan
sendirinya juga akan ikut terlanggar. Kenapa tidak, jika seorang anak perempuan yang beragama Islam dikawinkan oleh ayah biologisnya sementara di dalam agama
Islam dia bukanlah wali nikah yang berhak, maka sebagai konsekwensinya perkawinan tersebut tidak sah secara agama, karena perkawinan itu tidak sah
secara agama maka tentunya perkawinan tersebut tidak mendapat pengakuan keabsahan juga oleh Negara.
Seharusnya penetapan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan mesti disesuaikan dengan agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana
halnya ruh hukum perkawinan di Indonesia. Hal demikian sesuai dengan aturan pencatatan pengesahan dan pengakuan anak di luar perkawinan yang sah
sebagaimana di atur dalam Pasal 49 ayat 2 dan Pasal 50 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Mempertimbangkan aspek perlindungan anak di luar perkawinan dan keberagaman agama yang ada di Indonesia, maka dalam tataran diskusi ilmiah
penulis memandang bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 jika diuji dengan UUD Tahun 1945 seharusnya berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan secara ilmu
pengetahuan danatau bukti lain yang sah secara hukum beserta keluarga ayahnya
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu” Agar anak luar perkawinan benar-benar mendapat perlindungan hukum,
tidak ikut serta menanggung dosa turunan dari orang tuanya, dalam Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 mesti di tambahkan satu ayat yang secara khusus mengikat
orang tua biologis anak tersebut untuk bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya. Walaupun agama anak atau ayah biologis
anak tersebut menentukan tidak ada hubungan keperdataan antara anak luar perkawinan dengan ayah biologisnya tetapi secara asas kemanusiaan dia dibebani
kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Setidaknya poin tersebut berbunyi: “Anak di luar perkawinan berhak
mendapat perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan
perlakuan salah lainnya dari laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan danatau teknologi serta bukti lain yang sah menurut
hukum beserta dari keluarga laki-laki sebagai ayahnya tersebut”.
C. Permasalahan Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU- VII2010 Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum Anak
Permasalahan yang mendasar pada penerapan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46PUU-VII2010 dalam kaitannya dengan status hukum anak. Hanya saja selama ini Kantor Catatan Sipil yang menerima penerbitan akta
Universitas Sumatera Utara
kelahiran anak dari anak luar nikah tidak menyebutkan nama sah ayah dalam akta kelahiran anak luar nikah. Tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46PUU-VII2010, maka permasalahan yang timbul adalah Kantor Catatan Sipil harus mempersiapkan tata cara pelaksanaan penerbitan akta catatan sipil bagi
anak luar kawin. Putusan Mahkmah Konstitusi ini berdampak pada administrasi
kependudukan anak di luar nikah tersebut. Di Indonesia, administrasi kependudukan diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Dengan
adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka ayah anak di luar nikah selama si anak dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara biologis maka akan
masuk ke dalam administrasi kependudukan yang berarti ayah si anak di luar nikah akan tercatat didalam akta kelahiran dan identitas dari anak diluar nikah tersebut.
Adanya pencatatan sipil ini dapat menjamin kepastian hukum bagi si anak sehingga keadilan bagi si anak untuk mendapatkan hak-hak sebagai anak dapat
diakui. Pengakuan anak menurut Penjelasan Pasal 49 ayat 1 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ialah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar perkawinan sah atas persetujuan
ibu kandung anak tersebut. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini berakibat pada pergeseran pengertian serta maksud dan tujuannya. Dengan adanya
pengakuan ayahnya terhadap anak di luar nikah maka anak tersebut dapat
Universitas Sumatera Utara
menggunakan nama keluarga ayahnya. Menurut Pasal 39 Burgerlijk Wetboek, anak yang masih minderjaring di bawah umur belum dewasa yang sudah diakui, jika
ia berkehendak untuk kawin, tetap memerlukan izin dari ayah yang telah mengakuinya dan dari ibunya.
Meskipun Anak luar kawin dapat diakui selain dengan cara pengakuan anak tetapi melalui hal lain yang telah diatur dalam KUHPerdata seperti pengesahan
anak. Pengesahan anak luar kawin adalah suatu upaya hukum rechtsmiddel untuk memberikan suatu kedudukan status sebagai anak sah melalui perkawinan yang
dilakukan oleh orang tuanya. Namun Pasal 283 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa anak zina overspeligkind tidak mungin atau tidak
dapat diakui secara sah, meskipun orang tuanya kawin di kemudian hari. Di samping itu, anak sumbang pun tidak dapat diakui secara sah, kecuali orang tuanya
melangsungkan perkawinan setelah memperoleh dipensasi dari Presiden. Oleh karena pengakuan dilakukan pada saat perkawinan dilangsungkan Pasal 283 yo.
273 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sebenarnya pengakuan anak terhadap anak di luar nikah telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain melalui pengakuan anak. Namun, sebagai upaya adanya hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya maka pengakuan
anak harus ada kesukarelaan dari ayah atau bapaknya untuk mengakuinya dan persetujuan dari ibunya. Berbeda halnya dalam putusan MK ini, tidak memerlukan
kesukarelaan dari ayahnya ataupun persetujuan ibunya melainkan si anak lah yang harus berusaha untuk mebuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara biologis
terhadap ayahnya.
Universitas Sumatera Utara
Setiap anak mempunyai hak mendapatkan perlindungan akan segala hal, termasuk di dalamnya hak mendapatkan identitas diri. Berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut akan ada perubahan penyebutan didalam akta
kelahiran anak diluar nikah, ini untuk menjaga perkembangan kejiwaan anak, tanpa menghiraukan bagaimana proses ia dilahirkan. Akta kelahiran sangat
dibutuhkan bagi seorang anak. Baik untuk kepentingan sekolah atau yang lainnya. Undang Undang No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak juga mengatur hal
ini. Upaya memberi akta kelahiran untuk anak di luar nikah, adalah untuk
menghormati kepentingan dan hak seorang anak. Pertimbangan tersebut diambil dengan alasan terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinannya, anak yang
dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut
tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Namun apabila di dalam akta kelahiran anak dicantumkan ada kata-kata
anak di luar nikah yang sah atau kata-kata yang dipersamakan dengan hal tersebut maka dapat berdampak pada psikologis anak. Pada saatnya nanti ketika anak-anak
menjalani masa sekolah, berinteraksi dengan temannya maka dapat saja anak di luar nikah ini diejek oleh temannya.
Pengakuan anak di luar pernikahan yang sah memberikan hak keperdataan bagi anak yang selama ini tidak diakui negara. Dengan diakuinya hak keperdataan
Universitas Sumatera Utara
anak di luar nikah ini maka anak akan mendapatkan hak waris tidak hanya dari ibunya melainkan juga dari bapaknya. Walaupun memang istilah ‘keperdataan’
tidak bisa otomatis dianggap mempunyai hubungan nasab keturunan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, namun putusan Mahkamah Konstitusi ini
ditafsirkan sampai ke arah tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review Pasal 43 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berarti mengakui adanya anak di luar nikah. Dengan diakuinya anak di luar nikah ini berdampak
pada hak-hak keperdataan anak di luar nikah ini harus diakui. Sebenarnya pengaturan mengenai anak luar kawin terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang tertuang dalam Pasal 862 yaitu: Jika si meninggal meninggalkan anak-anak di luar nikah yang telah diakui dengan sah, maka warisan
harus dibagi dengan cara yang ditentukan dalam empat pasal berikut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pembagian waris bagi anak di luar nikah ialah
sepertiga dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya andai kata mereka anak yang sah. Anak di luar nikah mendapatkan warisan setengah dari warisan
apabila si meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas maupun saudara laki
atau perempuan atau keturunan mereka. Hal ini tertuang dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Walaupun anak luar kawin telah diakui dengan
sah namun tetap ada pembedaan porsi warisan dibandingkan dengan anak hasil perkawinan sah.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka apabila anak di luar nikah ini terbukti melalui ilmu pengetahuan bahwa merupakan anak pewaris
maka anak tersebut mempunyai hak waris. Namun menurut penulis hak waris yang diberikan kepada anak di luar nikah besarnya tidak sama dengan anak dari
perkawinan yang sah seperti halnya yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dimana anak luar nikah yang sah hanya mempunyai hak waris
maksimal sepertiga dari bagian anak sah. Hal ini juga demi rasa keadilan bagi anak sah walaupun dirasa kurang memihak pada anak di luar nikah.Pelaksanannya
karena untuk memperoleh surat keterangan warisan diperlukan kartu keluarga sedangkan anak di luar nikah yang dimaksud putusan MK Nomor 46PUU-
VIII2010 kedua orang tuanya tidak menikah sehingga tidak mempunyai kartu keluarga maka dapat dilaksanakan dengan menggunakan penetepan pengadilan
yang kemudian dapat diturunkan ke surat keterangan warisan. Namun, sekarang ini belum ada peraturan pelaksana dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Implikasi dari adanya putusan MK tersebut ialah pengadilan dapat kebanjiran putusan MK tersebut baik pengadilan agama bagi penganut agama
Islam maupun pengadilan negeri bagi penganut agama non-Islam mengenai anak luar kawin untuk memperoleh hak waris setelah bapaknya ditetapkan sebagai ayah
biologisnya lewat sidang permohonan penetapan pengesahan asal-usul anak. Namun hubungan hukum ini belum menjawab mengenai kepastian timbulnya hak-
hak keperdataan baru akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN