d. Damage atau Kerugian
Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah
berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan lukacederakerugian damage, injury, harm kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-
kerugian. Istilah luka injury tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat
mental anguish. Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.
Dalam KUHP, apabila manusia atau dokter atau dokter gigi yang melanggar ketentuan hukum pidana, maka ia dapat dipertnggungjawabkan pidana
berdasarkan suatu adagium atau maxim yang terkenal dan berlaku secara universal yang berbunyi actus non facit reum, nisi mens sit rea atau dalam bahasa Inggris
An act does not make a man guilty crime, unless his mind be also guilty atau an Act does not make a person legality guilty unless the mind is legally blameworthy
atau non est reus nisi men sit rea Belanda, Geen straf zonder schuld, Jerman Keine straf ohne schuld. Atau dikenal pula sebagai nulla poena sine culpa culpa
dalam artinya yang luas bukan terbatas pada kealpaan saja tetapi termasuk juga kesengajaan. Adagium tersebut dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Tiada
pidana tanpa kesalahan”. Dalam RUU KUHP 1999-2000 asas tersebut ditegaskan dalam Pasal 32
ayat 1 dengan bunyi “Tiada seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan”. Sebagai penegasan dari Pasal 32 ayat 1 tersebut, maka pada Pasal 33 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
menegaskan “Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan”. Dalam hukum
pidana dikenal asas Actus non Facit Reum nici Mens Sit Rea atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan An Act does not make A Person Guilty unless his Mind is
Guilty, yang artinya tidak seorangpun dapat dipidana tanpa adanya kesalahan. Untuk dapat dipidananya seorang dokter atau dokter gigi karena dianggap
melakukan perbuatan medical malpraktek, maka sangat tergantung pada dua hal, yaitu sebagai berikut:
70
a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata
lain harus ada unsur melawan hukum, jadi ada unsur objektif. b.
Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan danatau kealpaan. Sehingga perbuatan yang melawan hukum dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif. Oleh karena itu apabila terjadi kegagalan atau bahkan kematian terhadap
pasien akibat pelayanan medis yang dilakukan dokter, harus dapat dibuktikan dulu adanya suatu hubungan kausalitas atau sebab akibat antara tindakan medis dokter
dengan cedera atau matinya pasien. Biasanya dibedakan antara cause in fact dengan proximate cause.
71
Yang pertama dipermasalahkan adalah, perbuatan dokter yang mengakibatkan kerugian matiluka pada pasien secara faktual. Yang kedua
70
Wirjono Prodjodikuro, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1997, hal 31.
71
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
mempermasalahkan batas-batas ruang lingkup tanggung jawab dokter yang dihubungkan dengan akibat-akibat perbuatannya.
Setelah diuraikan secara panjang lebar tentang perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka akan diuraikan adanya pengecualian
penjatuhan pidana terhadap seseorang khususnya seorang dokter atau dokter gigi. Alasan penghapusan pidana tersebut dikenal dengan sebutan alasan pembenar fait
justificatief dan alasan pemaaf fait d’excuse. Berkaitan dengan penghapusan pidana ini Roeslan Saleh, berpendapat
bahwa dimungkinkan penghapusan pidana tersebut karena:
72
1. Suatu perbuatan yang sesuai dengan rumusan suatu delik tertentu, akan
tetapi kemudian perbuatan tersebut dipandang tidak bersifat melawan hukum dalam arti material, atau dengan kata lain terdapat adanya alasan-
alasan pembenar. 2.
Suatu perbuatan telah sesuai dengan rumusan suatu delik tertentu, akan tetapi setelah dipertimbangkan keadaan pada pelaku delik tersebut maka
dipandang orang tersebut maka dipandang orang tersebut tidak mempunyai kesalahan atau dengan kata lain terdapat adanya alasan-alasan
pemaaf. Dari beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 44 sampai 51
yang dapat menghapuskan pidana. Pasal 44 pembebasan pidana dikarenakan terdakwa terganggu jiwanya. Pasal 45 sampai 47 terdakwa masih belum cukup
umur, dan Pasal 48 dikarenakan adanya daya paksa, Pasal 49 tentang pembelaan
72
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968, hal 97.
Universitas Sumatera Utara
terpaksa, Pasal 50 tentang melaksanakan undang-undang, Pasal 51 tentang melaksanakan perintah jabatan.
Secara umum dikatakan bahwa di luar keadaan-keadaan tersebut, tidak ada lagi dasar-dasar peniadaan hukuman. Namun untuk bidang kedokteran, ada
faktor-faktor khusus yang tidak dijumpai pada hukum yang berlaku umum, misalnya kecelakaan medik medical accident atau risiko pengobatan risk of
treatment. Guwandi menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman
atau kesalahan khusus bidang medik, yaitu : 1
Risiko pengobatan risk of treatment a.
Risiko yang inheren atau melekat b.
Reaksi alergik c.
Komplikasi dalam tubuh pasien 2
Kecelakaan medik medical accident 3
Kekeliruan penilaian klinis non-negligent error of judgement 4
Volenti non fit iniura 5
Contributory negligence Dalam suatu tindak medik tertentu, selalu ada risiko yang melekat pada
tindak medik tersebut inherent risk of treatment. Apabila dokter melakukan tindak medik tersebut dengan hati-hati, seizin pasien dan berdasarkan SPM, tetapi
ternyata resiko tetap terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan. Dalam hal terjadinya kecelakaan medik medical accident, perlu
direnungkan ucapan seorang hakim yang mengadili suatu perkara demikian, yaitu
Universitas Sumatera Utara
“Kita memang mensyaratkan bahwa seorang dokter harus bertindak hati-hati pada setiap tindakan yang dilakukan. Namun kita tidak dapat mencap begitu saja
sebagai tindakan kelalaian terhadap sesuatu yang sebenarnya adalah suatu kecelakaan.
Tentang kekeliruan penilaian klinis pun sebenarnya juga dapat dipahami karena bagaimanapun sebagai seorang manusia dokter tidak dapat lepas dari
kemungkinan melakukan kesalahan. Suatu adagium dalam hukum yang terkenal
berbunyi errare humanum est kesalahan adalah manusiawi agaknya harus
direnungkan pula. Suatu teori respectable minority rule yang menyebutkan bahwa seorang dokter tidak dianggap berbuat lalai apabila ia memilih salah satu dari
sekian banyak cara pengobatan yang diakui oleh dunia kedokteran. Doktrin Volenti Non Fit Iniura, didasarkan pada pandangan bahwa bila
seseorang telah mengetahui adanya suatu resiko dan secara sukarela bersedia menanggung risiko tersebut, jika kemudian risiko itu benar-benar terjadi maka ia
tidak lagi dapat menuntut He who willingly undertakes a risk cannot after wards complain. Dalam dunia medik dapat terjadi misalnya untuk pencangkokan ginjal
dari donor hidup, dengan risiko tinggi terdapat pada penerima maupun donor ginjal itu. Jika risiko itu benar-benar terjadi, berdasarkan doktrin ini tentu saja
tidak mungkin dilimpahkan tanggun jawabnya kepada dokter yang merawat. Sedangkan istilah Contributory Negligence secara umum digunakan untuk
sikap tindak yang tidak wajar dari pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian atau cedera pada dirinya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter terdapat
kelalaian atau tidak. Sikap tindak yang demikian ini, sengaja ataupun tidak
Universitas Sumatera Utara
sengaja dapat merupakan dasar peniadaan hukuman pada pihak dokter. Contoh yang paling jelas adalah tidak ditaatinya nasihat dokter dalam suatu perawatan
atau pengobatan. Dalam penegakan hukum kesehatan, kesulitan yang dihadapi oleh penegak
hukum, pada umumnya berada dalam tataran pemahaman, artinya kurangnya kemampuan atau pengetahuan aparat penegak hukum terhadap hukum kesehatan,
dalam konteks ini biasanya ditemukan persoalan antara etik dan hukum. Artinya apakah perbuatan atau tindakan dokter yang dianggap merugikan pasien itu
merupakan pelanggaran etik atau pelanggaran hukum positif yang berlaku, maka akibatnya timbul keraguan untuk menegakkan hukum tersebut.
Disamping itu perlu disadari bahwa aturan-aturan hukum kesehatan yang ada pada saat ini belum sepenuhnya dapat mengcover atau mengakomodasi
persoalan-persoalan yang timbul dalam bidang kesehatan. Artinya belum ada peraturan yang secara tegas merumuskan apa yang menjadi tugas dan kewenangan
seorang dokter dalam melakukan perawatan, sehingga untuk melaksanakan tugas- tugasnya, dokter masih harus mempedomani kode etik kedokteran dan harus
memperhatikan aturan-aturan hukum kesehatan, termasuk aturan-aturan hukum kesehatan yang berlaku di luar negeri.
Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktek medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya
yang diselesaikan lewat jalur hukum. Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada
Universitas Sumatera Utara
keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktek medik ini.
Masih ada masyarakat pasien yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktek yang terjadi kepadanya baik kepada penegak
hukum atau melalui MKDKI Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi
dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib
korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat
peradilan profesi ini. Tuntutan terhadap malpraktek kedokteran sering kali kandas ditengah
jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan mempertahankan hak-haknya dengan menggunakan alasan-alasan atas
tindakannya. Baik dalam hal ini pihak pasien penggugat, pihak dokter maupun praktisi hakim dan jaksa mendapatkan kesulitan dalam menghadapi malpraktek
kedokteran ini, terutama dari sudut teknisi hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan karena memang belum diatur secara khusus mengenai
malpraktek medik di Indonesia.
73
73
Thexqnelson.wordpress.com20121130pembuktian malpraktek medik diakses tanggal 2 Juni 2013 pukul 15.30 WIB
Yang menjadi kelemahan dan kekurangan di dalam peraturan perundang- undangan malpraktek yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. Belum ada kepastian hukum mengenai pemerataan layanan dokter,
pengertian malpraktek, kelalaian medis, pembuktian malpraktek, batas maksimum tuntutan ganti rugi.
b. Tidak ada pasal malpraktek, penyidik masih menggunakan pola pasal 359
sampai 360 KUHP. c.
Rahasia kedokteran boleh dibuka penyidik Pasal 48 ayat 2 padahal seharusnya dipengadilan.
d. Aturan-aturan hukum kesehatan yang ada pada saat ini belum sepenuhnya
dapat mengcover atau mengakomodasi persoalan-persoalan yang timbul dalam bidang kesehatan.
e. Masih ada pembatasan-pembatasan yang menyebabkan tindakan para
medis lainnya belum masuk dalam tindak pidana. Konsekuensi dari berbagai kelemahan dan kekurangan peraturan
perundang-undangan mengenai pelayanan kesehatan ini akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat, terutama dapat mempersulit pekerjaan
dokter yang kadang-kadang kurang dilindungi oleh hukum dan selalu ragu-ragu dalam melaksanakan tugasnya, karena tidak ada kepastian mengenai tindakan apa
saja yang diperbolehkan bagi seorang dokter dalam melaksanakan perawatan. Mengacu kepada betapa rumitnya penegakan hukum dalam bidang
kesehatan, kiranya perlu dipahami beberapa faktor yang penting yang perlu mendapat perhatian sehingga aparat penegak hukum dapat menegakkan aturan-
aturan hukum di bidang kesehatan dan sekaligus dapat melindungi pasien dan profesi kesehatan itu sendiri. Sebagaimana sistem penegakan hukum itu pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya, penegakan hukum di bidang kesehatan juga memegang tiga unsur penting yaitu: pertama, aturan hukum yang mengatur profesi kesehatan. Kedua,
aparat penegak hukum. Ketiga, institusi hukumnya. Tentang aturan hukum yang menyangkut di bidang kesehatan, dalam
beberapa hal terdapat kemajuan yang mampu menjamin terlaksananya profesi kesehatan dan terlaksananya perlindungan hukum terhadap pasien dan dokter.
Saat ini telah banyak aturan hukum yang dikeluarkan oleh negara baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya di
bidang hukum kesehatan yang bertujuan untuk menjamin kepentingan penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum itu
sendiri. Di samping peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam penegakan
hukum di bidang kesehatan, doktrin sebagai sumber hukum juga memberi pengaruh yang kuat bagi hakim untuk membentuk hukum berupa yurisprudensi di
bidang hukum kesehatan. Dalam praktik yurisprudensi ini mampu menyelesaikan masalah secara kasuistis. Dari membaca yurisprudensi ini misalnya maka akan
diketahui bahwa hakim ini sering berpegang pada pandangan sarjana yang terkenal atau doktrin yang berpengaruh dalam dunia ilmu hukum. Misalnya saja
untuk menyelesaikan suatu perkara dalam bidang kesehatan, hakim juga harus mengetahui hukum kesehatan dan hukum kedokteran dan sedikit banyak
mengetahui masalah segi medis. Seorang pejabat penegak hukum yang miskin pengetahuannya dalam bidang ilmu tertentu, dia tidak akan menggunakan
tugasnya dengan baik, sebab seorang penegak hukum yang miskin
Universitas Sumatera Utara
pengetahuannya dalam bidang ilmu tertentu, dia tidak akan dapat menggunakan tugasnya dengan baik, sebab seorang penegak hukum yang bik bukan hanya
penyambung lidah dari undang-undang, akan tetapi juga mempunyai daya nalar yang baik di bidang hukum.
Faktor kedua, yang sangat mempengaruhi penegakan hukum kesehatan adalah para penegak hukum itu sendiri. Fungsi aparat penegak hukum dalam
penegakan hukum kesehatan sangat penting baik dari sudut profesionalisme maupun dari sudut kepribadiannya sendiri. Dari sudut profesionalisme
kemampuan memahami aturan-aturan hukum kesehatan dan keberanian menerapkannya sangat penting untuk tegaknya hukum dan peraturan
perundangan. Kenyataan menunjukkan dari berbagai kasus yang terjadi di bidang kesehatan baik yang sampai di persidangan maupun yang diselesaikan secara
kekeluargaan terdapat kurang pengertian atau kurang paham terhadap hukum itu sendiri.
Faktor ketiga, dalam penegakan hukum kesehatan adalah institusi. Pengertian institusi yang dimaksudkan disini bukan hanya terbatas pada lembaga-
lembaga penrgak hukum yang selama ini dikenal dan eksis di tengah-tengah masyarakat, seperti kepolisian, kejaksaan. pengadilan dan lembaga-lembaga
lainnya, tetapi termasuk institusi yang ada di dalam profesi kedokteran itu sendiri seperti Majelis Kode Etik Kedokteran dan institusi lainnya, termasuk lembaga-
lembaga konsumen yang bergerak di bidang kesehatan. Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang
diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan
Universitas Sumatera Utara
hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hukum jika
memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah
tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan.
Universitas Sumatera Utara
111
BAB IV PENUTUP