2. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang
berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari straafbaar feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan
baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit, yaitu sebagai berikut:
22
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-
undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang- undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan perundang-
undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro, S.H;
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:
Mr.R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana Mr.Drs.H.J van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Prof.A.Zainal Abidin,SH dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu
dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat 1;
22
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,
misalnya Prof.Drs.E.Utrecht,SH, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam buku Hukum Pidana I.
Prof.A.Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Prof.Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul
buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr.M.H.Tirtaatmidjaja
yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana; 5.
Perbuatan yang boleh dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang- Undang di dalam UU No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak Pasal 3; 6.
Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof.Mr.Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit di dalam KUHP maupun, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.
Barda Nawawi Arif menyebutkan, bahwa di dalam KUHP WvS hanya ada asas legalitas Pasal 1 KUHP yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan feit sebagai perbuatan yang dapat dipidana
Universitas Sumatera Utara
straafbaar feit. Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian batasan yuridis tentang tindak pidana.
Pengertian tindak pidana strafbaar feit hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.
23
1 Simons
Pengertian dari kata straafbaarfeit :
24
Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti diatas karena untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
a. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang.
b. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap kewajiban menurut
undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
Jadi sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.
2 Wirjono Prodjodikoro menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana.
23
Barda Nawawi Arief , Op. Cit., hal 80.
24
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
3 J. Baumann dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
25
4 E. Utrecht, menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun
akibatnya keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu. Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana
dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia
yang bertentangan dengan hukum unsur melawan hukum, oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata
bertanggungjawab.
5 Pompe menerjemahkan, perkataan “straafbaar feit” itu secara teoretis
dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum”. Secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau
gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan
suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”.
3. Perbedaan Malpraktek dengan Resiko Medik