PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM

31

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM

POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Beberapa pasal yang tercantum dalam KUHP yang dapat dikenakan dalam kasus malpraktek, yaitu yang berkaitan dengan kesengajaan dan pelanggaran. Pasal-pasal yang berkaitan dengan kesengajaan seperti misalnya, kejahatan terhadap pemalsuan surat, kejahatan terhadap kesusilaan, membiarkan orang yang seharusnya ditolong, pelanggaran terhadap rahasia dokter, melakukan atau membantu melakukan abortus, euthanasia dan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa. Pasal-pasal KUHP tersebut yang dapat dipakai oleh pasien atau keluarganya untuk menuntut dokter atau dokter gigi atas tindakan malpraktek tersebut. Sebagaimana telah diuraikan, bahwa untuk adanya suatu kesalahan maka harus dibuktikan dulu adanya kesengajaan atau kelalaian dari perbuatan tersebut, serta tidak adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dari perbuatannya. Pasal-pasal tersebut dapat dibagi menjadi 2 dua kelompok perbuatan pidana, yaitu yang termasuk kategori kesengajaan dan yang lain termasuk kategori kealpaan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Rumusan “sengaja” pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi adakalanya rumusan “sengaja” telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu “perkataan”, misalnya perkataan “memaksa”. Kesengajaan dolus Moeljatno, menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurangperhatian pelaku terhadap objek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah sama dengan kesengajaaan, hanya berbeda gradasi saja. 34 Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk kesengajaan, yakni: 35 1. Kesengajaaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi. 2. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku doer or dader mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi 34 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2000, hal 199. 35 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal 55. Universitas Sumatera Utara sipelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang, dan diancam oleh undang-undang. Yang dapat dikategorikan dalam unsur kesengajaan adalah: 1. 1 Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun. Pasal 267 KUHP 2 Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu , dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun 6 enam bulan. 3 Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. Ada 3 tiga pengertian yang terkandung di dalam seorang dokter memberikan surat keterangan, yang terdiri dari: 1. Keterangan tersebut diberikan secara tertulis berbentuk tertulis. 2. Yang membuat surat dan bertanggung jawab terhadap surat itu adalah seorang dokter tidak berlaku bila yang menandatangani bukan dokter. 3. Surat tersebut dipergunakan dan diserahkan kepada seseorang yang telah memintanya. Universitas Sumatera Utara Dalam praktek begitu mudahnya seorang dokter memberikan surat keterangan sehat kepada seseorang walaupun tanpa melalui pemeriksaan dalam atau laboratorium atau pemeriksaan pendukung lainnya. Hal semacam ini sudah termasuk kategori membuat surat keterangan palsu manakala seseorang yang dibuatkan surat sehat tersebut ternyata mengidap penyakit dalam yang tidak terdeteksi hanya dengan sekedar melakukan pemeriksaan luar. 2. Diancam dengan pidana yang sama maksudnya seperti pada ancaman ayat 1: Pasal 294 ayat 2 1 Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya atau diserahkan kepadanya. 2 Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya. Khusus untuk dokter yang disangka melakukan medikal malpraktek, maka unsur dari Pasal 294 ayat 2 yang dapat dipergunakan adalah tentang perbuatan cabul dengan pasiennya. Karena dapat saja terjadi seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya di ruangan tertutup, terangsang, dan melakukan perbuatan cabul seperti mencium, meraba-raba atau bahkan menyetubuhi. 3. 1 Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahu atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 45.000,- empat puluh lima ribu rupiah. Pasal 299 KUHP 2 Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang menjadikan tabib, bidan, atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiganya. Universitas Sumatera Utara 3 Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu. 4. Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun 8 delapan atau pidana denda paling banyak Rp.4500,- empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 304 KUHP 5. Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun. Pasal 344 KUHP 6. Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau member sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. Pasal 345 KUHP Pasal-pasal ini berkaitan dengan pertolongan membunuh diri atau dalam istilah kedokteran euthanasia. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata “eu” yang artinya baik, tanpa penderitaan, dan “tanathos” yang artinya mati. Jadi “euthanasia” arti mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita. Dari pandangan dokter, euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja Universitas Sumatera Utara melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. 36 Hanya saja dalam prakteknya sering juga terjadi euthanasia dalam arti yang pasif, yaitu apabila menurut keadaannya pasien harus dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu oksigen, infus, cuci darah misalnya, karena sudah tidak sanggup lagi membayar biaya rumah sakit maka keluarganya memaksa untuk pulang tanpa perawatan dokter. Sementara untuk tindakan euthanasia masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan dokter maupun ahli hukum. Euthanasia ini berkaitan dengan profesi dokter, karena sakit pasien yang tidak mungkin lagi sembuh, atau sakit yang terus menerus, atau terlalu berat beban biaya pengobatannya di rumah sakit sehingga baik pasien itu sendiri atau atas permintaan keluarganya minta agar disuntik mati saja. Hal semacam ini dalam sistem hukum Indonesia masih masuk kategori terlarang atau tidak dibenarkan. 37 7. Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun. Pasal 346 KUHP Dalam ketentuan di atas dokter dapat tersangkut apabila perempuan meminta menyuruh orang lain untuk itu dokter untuk melaksanakan aborsi tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pebuat tunggal dader 36 Soekidjo Notoadmodjo, Etika Hukum Dan Kesehatan, Jakarta, Mandar Maju, 2010, hal 144. 37 Machmud, Syahrul, Op.cit, hal 213. Universitas Sumatera Utara karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita de vrouw. Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktek menurut pasal ini jika dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada dua pendapat mengenai hal ini: 38 1. Sebagai pembuat pelaksana pleger menurut Pasal 55 ayat 1 KUHP. Jika dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau pembuat peserta, bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut. Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat perbuatan fisik besar atau kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika dokter mendapatkan pembayaran untuk itu. 2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui Pasal 348 KUHP. Alasan pendapat ini yakni subjek hukum Pasal 346 ialah harus seorang perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang disebut dalam rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal dader dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Sementara itu, unsur tiga perbuatan menggugurkan, mematikan, dan menyuruh orang lain untuk itu dikhususkan pada perbuatan dader in casu perempuan tersebut. Dalam hal ini, dokter juga bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan demikian tidak mungkin dokter dapat melakukan tiga perbuatan. Jika demikian, dokter tidak mungkin 38 Adami Chazawi, Malpraktek Kedokteran, Malang, Bayumedia Publishing, 2007, hal 103. Universitas Sumatera Utara dipidana menurut pasal ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader berdasarkan Pasal 348. Sementara itu, perempuan yang menyuruh dokter dipidana sebagai dader menurut Pasal 346. Perbuatan perempuan bukan menggugurkan atau mematikan kandungannya tetapi perbuatan menyuruh orang lain dokter untuk itu. 8. 1 Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun. Pasal 347 KUHP 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun. Inilah aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan. Tanggungjawab pidananya lebih berat penjara paling lama 12 dua belas tahun daripada aborsi atas persetujuan penjara paling lama 5 lima tahun 6 bulan Pasal 348. Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan pembunuhan Pasal 338. Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian perempuan yang mengandung seperti pada pembunuhan. Tanpa persetujuan harus diartikan pada akibat, bukan pada perbuatan tertentu. Kesengajaan pembuat harus ditujukan baik pada perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan. Kesengajaan ini harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud, kemungkinan, atau kesengajaan sebagai kepastian. 9. 1 Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan dengan ijin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 lima tahun 6 enam bulan. Pasal 348 KUHP 2 Jika perbuatan tersebut berakibat perempuan itu mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tujuh tahun. Universitas Sumatera Utara Perbedaan pokok dengan aborsi Pasal 348 terletak pada aborsi terhadap perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri. Dari persetujuannya, dapat dikatakan inisiatif tindakan aborsi itu berasal dari perempuan. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh mematikan atau menggugurkan kandungan menurut Pasal 346 dengan aborsi yang dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung Pasal 348. 10. Jika seorang dokter, bidan atau tukang obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 maka pidana yang ditentukan dalam pasal tersebut dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. Pasal 349 KUHP Pasal-pasal di atas berkaitan dengan upaya abortus criminalis atau upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis abortus medicalis. Abortus medicalis ini dibenarkan oleh hukum, dengan pertimbangan bahkan kehamilan seorang ibu akan mengakibatkan bahaya bagi keselamatan jiwanya atau bayinya, maka dokter memutuskan lebih memilih keselamatan ibunya dan mengorbankan bayinya. Permasalahan yang mungkin akan memunculkan adalah dengan semakin majunya teknologi kedokteran, maka akan diketahui lebih dini bahwa janin dalam kandungan ibu pertumbuhannya tidak sempurna atau cacat misalnya, bolehkan dengan alasan itu dokter menggugurkan bayi yang ada dalam kandungan ibu. Universitas Sumatera Utara Tindakan abortus criminalis ini merupakan perbuatan pidana diancam dengan pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP tersebut. 39 11. Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal dunia, dengan pidana kurungan paling lama 3 tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,- empat ribu lima ratus rupiah. Sebagai sebuah profesi, maka dokter memiliki kewajiban hukum untuk selalu memberikan pertolongan terhadap orang yang menderita sakit. Maka apabila ternyata seorang mengetahui ada orang yang sedang menderita sakit namun tidak melakukan pertolongan berupa perawatan, maka dokter tadi dapat dikenakan Pasal 304 dan 531 KUHP tersebut. Pasal 531 KUHP b. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niatan jahat dari pembuat. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain tetap harus dipidanakan. KealpaanKelalaian 40 39 Machmud Syahrul, SH, MH, Op.Cit, hal 212. 40 Maschruchin Ruba’I, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP, Malang, 1997, hal 58. Universitas Sumatera Utara Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut Profesor SIMONS, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-masing “het gemis aan voorzichtigheid van het gevolg” atau masing-masing “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul.” 41 1. Kealpaan ringan Culpa Levissisma Menurut Teori Hukum Pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut, dapat dibagi menjadi 2 dua bentuk, yaitu: 2. Kealpaan berat Culpa Lata Dalam melakukan penilaian adanya kealpaan ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu keadaan psikis pelaku dan sikap tindaknya secara lahiriah dengan tolak ukur bagaimana pelaku tersebut berbuat bila dibandingkan dengan ukuran yang umum dilingkungan pelaku. Menurut Danny Wiradharma, bahwa dalam kealpaan ini harus dapat dibuktikan adanya gradasi sebagai berikut : 41 Lamintang P.A.F, Drs, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, hal 336. Universitas Sumatera Utara 1 Culpa lata atau kelalaian berat. Kesalahan ini disebabkan oleh kekurang hati- hatian yang menyolok. Untuk menentukan gradasi kesalahan ini, harus membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan petindak. Bila dilakukan petindak berbeda dengan perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan dengannya dalam menangani suatu keadaan, maka petindak masuk dalam kategori culpa lata ini. 2 Culpa levis atau kelalaian ringan dinilai dengan membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan orang yang lebih ahlidari golongan si petindak. Perlakuan yang berbeda antara petindak dengan orang yang lebih ahli dari golongan si petindak di dalam menangani hal yang sama menunjukkan adanya kelalaian ringan si petindak. 42 Yang dapat dikategorikan dalam unsur kealpaan culpa menurut KUHP adalah: 1. Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau kurungan paling lama 1 satu tahun. Kealpaan atau kelalaian merupakan salah satu unsur dari Pasal 359 KUHP yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: Pasal 359 KUHP 1. Kelalaian culpa 2. Wujud perbuatan tertentu 3. Akibat kematian orang lain 42 Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1996, hal 101. Universitas Sumatera Utara 4. Hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain tersebut. Adanya unsur culpa dalam Pasal 359 KUHP tersebut bukan ditujukan pada kurang hati-hatinya perbuatan, tetapi ditujukan pada akibat. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh nyata yang mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, seseorang menjatuhkan balok, karena kurang hati-hati, sehingga menimpa orang lain yang sedang lewat, atau seseorang yang menebang pohon, karena kurang hati- hati menimpa anak yang sedang bermain, dan sebagainya. 43 2. Pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian bukanlah dituju atau dikehendaki. Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, akan tetapi pada akibat kematian. Akibat kematian timbul tidak lama setelah tindakan medis. Boleh lebih lama, asalkan kematian itu benar-benar disebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan akan tetapi, jika terlalu lama akan sulit menentukan adanya hubungan causal antara tindakan medis dengan akibat kematian. 1 Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau kurungan paling lama 1 satu tahun. Pasal 360 KUHP 2 Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 sembilan bulan atau kurungan 43 Isfandyarie Anny, Malpraktek Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2005, hal 54. Universitas Sumatera Utara paling lama 6 enam bulan atau denda paling tinggi Rp.300,- tiga ratus rupiah. Dari rumusan kalimat pada ayat 1 dapat dirinci unsur-unsur yang harus dibuktikan jaksa, yakni: a. Adanya kelalaian b. Adanya wujud perbuatan c. Adanya akibat luka berat d. Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan Rumusan ayat 2 mengandung unsur, yakni: a. Adanya kelalaian b. Adanya wujud perbuatan c. Adanya akibat: 1 luka yang menimbulkan penyakit; 2 luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu. d. Adanya hubungan kausal antar perbuatan dengan akibat. 3. Jika kejahatan yang diterangkan dalam pasal ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. Pasal 361 KUHP Untuk dapat menerapkan pasal-pasal diatas terhadap kasus medikal malpraktek, maka harus dibuktikan dulu adanya unsur kelalaian atau ketidak hati- hatian atau sembrono, serta harus dibuktikan pula unsur tidakkurang dipenuhi standar profesi, standar pelayanan dan standar operasional prosedur. Universitas Sumatera Utara Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara perbuatantindak pidana biasa dengan perbuatantindak pidana medis. Karena pada perbuatantindak pidana biasa yang perlu diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan untuk perbuatantindak pidana medis adalah penyebabnya. Dengan demikian walaupun berakibat fatal, namun bila tidak didapati adanya kesalahan yaitu unsur kelalaian atau kealpaan yang berkaitan dengan profesi kedokteran, maka dokter tidak dapat dituntut. Khusus untuk profesi kedokteran maka standar profesi medis, standar pelayanan kesehatan, serta standar operasional prosedur harus mendapat perhatian yang lebih serius. Karena kealpaan atau kelalaian dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, tolak ukur utamanya adalah dipenuhi atau tidaknya standar-standar dimaksud. Hal ini berbeda dengan pasal-pasal yang mengandung unsur kesengajaan, seperti memberi surat keterangan yang kurang benar tanpa melakukan pemeriksaan yang komprehensif, melakukan atau membantu abortus, euthanasia, menyebarkan rahasia kedokteran tanpa alasan hukum, maka unsur kesengajaan ini tanpa harus memperhatikan terlebih dahulu standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, karena jelas perbuatannya telah disengaja dilakukan dokter. 44 44 Machmud, Syahrul, SH.MH, Op.Cit, hal 215. Universitas Sumatera Utara B. Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana malpraktek juga diatur dalam perundang-undangan lainnyadi luar KUHP, yaitu dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari Undang-Undang Di Luar KUHP 1. Pada dasarnya norma hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran merupakan norma hukum administrasi. Namun dalam undang-undang ini juga tercantum ketentuan pidana di dalam pasal 75 sampai dengan 80. Pencantuman sanksi pidana dalam undang- undang ini tidak lepas dari fungsi hukum pidana secara umum yaitu ultimum remedium. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Makna yang terkandung dalam ultimum remedium adalah bahwa sanksi pidana merupakan upaya terakhir yang diancamkan pada suatu pelanggaran norma hukum, manakala sanksi hukum lainnya sudah dianggap tidak signifikan dengan bobot norma hukum yang dilanggar. Dalam konteks Undang-Undang Praktek Kedokteran, dengan dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum administrasi tertentu, berarti pembuat undang-undang menilai sanksi administrasi saja tidak cukup signifikan sehingga diperlukan sanksi pidana. Pasal- pasal yang berisi sanksi pidana terdapat dalam pasal 75 sampai 80 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dapat dirinci sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. 1 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pasal 75 2 Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 100.00.000,00 seratus juta rupah. 3 Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah. 2. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pasal 76 Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu memiliki surat izin praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di Indonesia. Kewajiban dokter ini semula adalah kewajiban hukum administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam pidana. Ketentuan mengenai surat izin praktik selanjutnya disebut SIP adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara a. SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupatenkota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan Pasal 37 ayat 1 b. SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat Pasal 37 ayat 1 c. Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik Pasal 37 ayat 3 d. Untuk memiliki SIP harus memenuhi syarat, yakni 1 memiliki surat tanda regristrasi selanjutnya disebut STR yang masih berlaku; 2 memiliki tempat praktik; 3 memiliki rekomendasi dari organisasi profesi Pasal 38 ayat 1 e. SIP berlaku sepanjang 1 STR masih berlaku dan 2 tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP Pasal 38 ayat 2. 3. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat registrasi dokter gigi danatau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah. Pasal 77 4. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah. Pasal 78 Jika dibandingkan dengan tindak pidana pasal 77, tindak pidana pasal 78 memiliki unsur hampir sama. Perbedaannya hanya pada unsur materilnya saja. Perbuatan materil pasal 78 adalah menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan masyarakat. Perbuatan materil pasal 77 adalah Universitas Sumatera Utara menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain sedangkan unsur lain selebihnya sama. 5. Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000 lima puluh juta rupiah, setiap dokter atau dokter gigi yang: Pasal 79 a. Dengan sengaja tidak memasang papan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1; b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1; atau c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Ketentuan pasal 51 tersebut merupakan ketentuan terhadap kewajiban- kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran, manakala kewajiban ini tidak ditaati maka berakibat sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 79. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban pada pasal 51 huruf a, dokter atau dokter gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan harus sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Kewajiban yang tertuang dalam huruf b adalah merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Selanjutnya kewajiban pada huruf c adalah, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien telah meninggal dunia. Kewajiban pada huruf d adalah, melakukan pertolongan darurat atas dasar Universitas Sumatera Utara perkemanusian, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Kewajiban lainnya seperti yang tercantum dalam huruf e adalah, menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Manakala kewajiban-kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 tersebut tidak dilakukan, maka dokter atau dokter gigi terancam pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 79 huruf c tersebut. 6. 1 Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Pasal 80 2 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh koporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana diaksud pada ayat 1 ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan beupa pencabutan izin. 2. Undang-Undang nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan meskipun telah dicabut dengan keluarnya Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 dan telah diperbaharui lagi dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan yakni bahwa malpraktek dapat terjadi apabila petugas kesehatan : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan a. Melalaikan kewajibannya; b. Melakukan satu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatan maupun sumpah profesinya. Universitas Sumatera Utara Bertitik dari dua butir kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila petugas kesehatan lalai melakukan kewajiban yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan butir a dan petugas kesehatan melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan butir b. Apabila petugas kesehatan apapun jenisnya termasuk dokter maupun dokter gigi bertindak seperti itu dapat dikatakan malpraktek. Melakukan kelalaian bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas maupun profesinya sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Dalam hukum prinsip ini dikenal dengan “de minimis noncurat lex” yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang kecil. Petugas yang melakukan kelalaian seperti ini, meskipun tidak melanggar hukum tetapi melanggar etika. Namun demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan menyebabkan orang lain menderita kerugian atau cedera, cacat atau bahkan meninggal dunia berarti juga melanggar hukum dan etika. Kelalaian petugas kesehatan yang menyebabkan kerugian, cedera atau cacat, dan sebagainya bagi orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau “culpa lata” atau serius, dan disebut tindakan kriminal. Kriteria yang digunakan apakah kelalaian petugas kesehatan sudah memenuhi kelalaian berat menurut Yusuf Hanafiah dan Amri Amir dalam buku karangan Soekidjo Notoadmodjo Etika dan Hukum Kesehatan adalah sebagai berikut: 45 45 Soekidjo Notoadmodjo, Op.Cit , hal 168. Universitas Sumatera Utara a. Bertentangan dengan hukum b. Akibatnya dapat dibayangkan c. Akibatnya dapat dihindarkan d. Perbuatannya dapat dipersalahkan Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan undang-undang yang terbaru yang telah mencabut undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang 23 tahun 1992, terdapat beberapa pasal yang mengatur ketentuan sanksi pidana antara lain sebagai berikut : 1. 1 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan danatau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 2 atau Pasal 85 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Pasal 190 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan danatau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Pasal 32 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu dan dilarang untuk menolak pasien danatau meminta uang muka. 46 2. 46 http:Alowdoank.blogspot.com201212Perlindungan Hukum Terhadap Pasien_04html diakses tanggal 30 April 2013, pukul 15.45 WIB Pasal 191 Universitas Sumatera Utara Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat 1 sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah 3. Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah Pasal 192 4. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar rupiah Pasal 193 5. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Pasal 194 6. Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Pasal 195 7. Pasal 196 Universitas Sumatera Utara Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi danatau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard danatau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana diaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 8. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi danatau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 satu miliar lima ratus juta rupiah Pasal 197 9. Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pasal 198 10. 1 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesehatan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Pasal 199 2 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. 11. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu ekslusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat 2 dipidana penjara paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pasal 200 12. Pasal 201 Universitas Sumatera Utara 1 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat 1, Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat 1, Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200. 2 Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa : a. Pencabutan izin usaha; danatau b. Pencabutan status badan hokum 3. 1. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah Pasal 62 2. 1 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Pasal 63 2 Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; danatau b. Pencabutan status badan hukum Universitas Sumatera Utara 1

BAB I PENDAHULUAN