Doctrine of Strict Liability Doctrine of Vicarious Liabillity

perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.” Ayat 2: ”Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dinyatakan dalam putusan hakim.” Pasal 53 Konsep menyatakan, alasan pemaaf atau alasan pembenar yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untukatau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan korporasi. Terhadap korporasi yang dapat diajukan atau dituntut pidana, terdapat beberapa ajaran atau doktrin atau prinsip atau teori yang dapat dijadikan landasan untuk membenarkan korporasi dibebani pertanggungjawaban pidana serta ajaran- ajaran yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran-ajaran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Doctrine of Strict Liability

Menurut ajaran ini pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Karena menurut ajaran strict liability ini pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan apakah perbuatan pidana itu dilakukan dengan terdapat pada pelakunya unsur pertanggungjawaban pidana yang berupa kesalahan mens rea, maka strict liability disebut juga absolute liability atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan pertanggungjawaban mutlak. Dalam RUU KUHP 1999-2000 telah memasukkan ajaran strict liability ini dalam Pasal 32 ayat 3, yang berbunyi sebagai berikut :”Untuk tindak Universitas Sumatera Utara pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa adanya kesalahan.”

2. Doctrine of Vicarious Liabillity

Teori atau ajaran atau doktrin ini diambil dari hukum perdata dalam konteks pertanggungjawaban melawan hukum yang diterapkan dalam hukum pidana. Vicarious Liabillty biasanya berlaku dalam hukum pidana tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior. Dalam perbuatan perdata, seorang majikan bertanggungjawab untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Ajaran vicarious liability ajaran pertanggungjawaban vikaruis merupakan pengembangan yang terjadi dalam hukum pidana, karena ajaran ini menyimpang dari asas umum yang berlaku dalam sistem common law bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau tanpa otorisasi. Maka berdasarkan ajaran vicarious liability pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain. Berkaitan dengan korporasi, maka korporasi dimungkinkan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya atau siapapun yang bertanggungjawab kepada korporasi tersebut. Universitas Sumatera Utara Penerapan doktrin ini hanya dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara majikan employer dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya.

3. Doctrine of Delegation