rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Kenyataan fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa Jalan Jenderal Sudirman
Ambarawa sebagai jalan arteri dipergunakan untuk aktivitas perdagangan skala lokal, termasuk adanya angkutan umum dengan jarak perjalanan yang dekat angkutan
perdesaan yang melakukan aktivitas pada ruas jalan tersebut.
4.2 Analisis Pengaruh Kawasan Perdagangan Jalan Jenderal Sudirman
sebagai Core dari Kota Ambarawa Terhadap Wilayah Di Sekitarnya
Seperti telah diuraikan pada bagian 4.1 di atas, potensi perdagangan di Kota Ambarawa sangat prospektif karena didukung beragam komoditas, mulai primer
sampai tersier. Keberagaman komoditas tersebut tentunya tidak dapat dipenuhi oleh Kota Ambarawa sendiri, namun ketersediaannya dipasok dari berbagai wilayah di
sekitarnya. Sistem tata ruang Kota Ambarawa dan sekitarnya dikembangkan berdasarkan
konsep center-hinterland. Pusat center terwakili oleh keberadaan dan fungsi Kota Ambarawa sebagai kawasan perkotaan yang didominasi kegiatan non pertanian, baik
dalam aktivitas ekonomi maupun sosial. Hinterland yang terwakili oleh wilayah Bringin, Tuntang, Bawen, Janbu, Bandungan, Sumowono dan Banyubiru adalah
kawasan perdesaan, dimana kegiatan pertanian sangat dominan. Kedua kawasan tersebut, baik perkotaan maupun perdesaan merupakan suatu kesatuan dalam sistem
produksi sehingga sangat diperlukan dan harus saling menunjang untuk menciptakan suatu dinamika pembangunan yang sinergis.
Sesuai dengan arahan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka interkoneksi sistem kawasan perkotaan dan perdesaan sebagai unit
produksi perlu ditingkatkan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang, 2006, Kota Ambarawa termasuk dalam kota hierarki II bersama Kota
Ungaran dan Kota Salatiga. Kota Ambarawa sebagai pusat pengembangan dan pelayanan memiliki jangkauan pelayanan wilayah meliputi wilayah Bringin, Tuntang,
Bawen, Jambu, Bandungan, Sumowono dan Banyubiru. Sistem perkotaan merupakan tindak lanjut dari hierarki kota. Pada hierarki
kota, kota-kota hanya dipandang sebagai suatu titik dalam ruang, sedangkan dalam sistem perkotaan, kota-kota membentuk suatu sistem sehingga terjadi ketergantungan
interpendency dan keterkaitan linkage. Hubungan keterkaitan antara Kota Ambarawa dan daerah hinterlandnya
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain jarak, jumlah penduduk, jumlah fasilitas umum serta infrastruktur antara kedua wilayah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada
data pembebanan lalu lintas pada tahun 2006 Gambar 4.3, dimana volume lalu lintas ruas jalan yang menghubungkan antara Kota Ambarawa - Bawen - Jambu
mencapai 1.085 smpjam. Volume tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan volume antara Kota Ambarawa dengan Banyubiru 760 smpjam, Tuntang
748 smpjam, Bandungan 720 smpjam dan Ngrengas 521 smpjam.
Keterangan: 1 :
Ruas Ambarawa-Jambu-Bawen
2 : Ruas
Ambarawa-Banyubiru 3 :
Ruas Ambarawa-Tuntang
4 : Ruas
Ambarawa-Bandungan 5 :
Ruas Ambarawa-Ngrengas
GAMBAR 4.3: PERBANDINGAN VOLUME LALU LINTAS
KOTA AMBARAWA-HINTERLAND
Interaksi antara Kota Ambarawa dan wilayah di sekitarnya berbasis data pembebanan lalu lintas menunjukkan bahwa hubungan antara kawasan perkotaan dan
perdesaan ditentukan oleh kondisi infrastruktur, jarak dan sifat komplementer saling melengkapi antara kedua kawasan tersebut. Bawen merupakan kawasan industri,
Jambu merupakan sentra pertanian dan terhadap Ambarawa ketiga wilayah tersebut dihubungkan oleh jalan arteri primer dengan lebar 14 m dengan posisi segaris.
Kota Ambarawa sendiri memiliki pusat kegiatan di kawasan perdagangan Jalan Jenderal Sudirman sehingga hubungan antara Kota Ambarawa dengan
hinterlandnya akan terkonsentrasi pada kawasan tersebut. Aktivitas perdagangan di kawasan Jalan Jenderal Sudirman terdiri dari pertokoan dan pasar tradisional berupa
Pasar Projo. Sebagai kawasan perdagangan, keberadaan pertokoan dan pasar di Jalan Jenderal Sudirman Ambarawa menimbulkan adanya pergerakan orang dan barang di
seputar kawasan tersebut. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya pertokoan dan pasar, dimana tata guna lahan tersebut akan menarik dan membangkitkan perjalanan
darike daerah di sekitarnya Tamin, 1997. Pergerakan orang dan barang itu sendiri
terjadi karena adanya perbedaan tata guna lahan antara Kota Ambarawa dan daerah sekitarnya. Tata guna lahan berupa pertokoan dan pasar di Kota Ambarawa yang
terhubung oleh prasarana transportasi berupa jalan dan pelayanan angkutan umum akan menimbulkan pergerakan orang dan barang yang terjadi sepanjang hari dalam
jumlah yang fluktuatif.
4.3 Analisis Kondisi Lalu Lintas Kawasan Jalan Jenderal Sudirman