Hasil Dan Pembahasan

C. Hasil Dan Pembahasan

Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata merupakan salah satu novel yang menceritakan perjuangan sepuluh anak miskin Bangka Belitong yang ingin menggapai cita- cita melalui sekolah. Novel tersebut menampilkan wajah pendidikan di Indonesia yang masih memprihatinkan. Keadaan tersebut disebabkan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap sarana dan prasarana pada sekolah yang didirikan di daerah-daerah terpencil, seperti ungkapan: “Diujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh.” (Hirata, 2008: 1)

Sekolah yang seharusnya menjadi pusat ilmu dan penunjang cita-cita anak Indonesia. Kondisi sekolah yang terkesan sangat sederhana dan hampir roboh tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat. “….Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. “(Hirata, 2008: 3)

Menyaksikan wajah lembaga pendidikan seperti yang dilukiskan dalam novel Laskar Pelangi tersebut mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah mengambil peran untuk menyelamatkan pendidikan. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada setiap anak dari berbagai lapisan sosial untuk mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan yang layak. Terbatasnya kesempatan untuk menikmati pendididikan bagi rakyat miskin di berbagai daerah hanya akan menghambat kemajuan dan pengentasan kemiskinan, dan hanya akan memperparah jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. “Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Balitong. Ada tiga alasan

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Gambaran bahwa anak-anak miskin hanya mampu masuk ke sekolah yang miskin pula, disebabkan masalah biaya merupakan alasan klasik bagi orangtua. Kehidupan ekonomi memang secara langsung mempengaruhi kesempatan pendidikan yang diterima oleh seorang anak. Mahalnya pendidikan di Indonesia menyebabakan para orangtua hanya mampu menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah kampung yang sederhana. Lain halnya di PN Timah, sekolah yang megah dan mewah hanya diperuntukkan bagi mereka anak-anak staf PN Timah dan orang-orang kaya di Bangka Belitung, sehingga tampak marginalisiasi pendidikan bagi kaum miskin. “Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena pengawas sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat siswa kurang dari sepuluh orang, maka sekolah paling tua di belitong ini harus ditutup” (Hirata, 2008: 4)

Bagian ini menyiratkan bahwa praktik pendidikan, terutama di daerah pinggiran, sering terkendala masalah administratif, seperti sejumlah siswa yang harus dipenuhi, ketika banyak orang ingin menikmati pendidikan dengan biaya murah, namun sekolah itu mengalami kendala masalah administratif, nyaris sembilan anak tersebut kehilangan kesempatan bersekolah selamanya. Untung saja muncullah Harun sebagai penyelamat. Hal ini sangat sangat kontradiktif dengan SD yang didirikan oleh PN Timah, sekolah eksklusif dan megah diperuntukkan bagi anak-anak staf PN Timah, tidak pernah kekurangan murid . Hal ini menimbulkan fenomena ketidaksetaraan akses pendidikan yang dapat diraih masyarakat. “Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, ia bisa rubuh berantakan.” (Hirata, 2008: 17) Kutipan tersebut, menggambarkan bahwa fasilitas sarana yang dimiliki oleh sekolah-sekolah miskin begitu memprihatinkan. Idealnya setiap tempat yang digunakan sebagai sarana penunjang pendidikan haruslah memadai, sehat, dan aman bagi penyelenggaraan pendidikan itu sendiri seperti ungkapan: “Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K.” (Hirata, 2008: 17-18)

Sekolah orang-orang miskin selalu saja lebih memprihatinkan, karena selain sarana yang kurang, sekolah-sekolah seprti ini selalu kekurangan guru. Fenomena seperti ini haruslah diperhatikan pemerintah, baik pusat maupun daerah demi terwujudnya pendidikan yang bermutu dan berkualitas. “Sekolah Muhammadiyah tidak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang

pria berpakaina seperti ninja. Dipunggungnya tergantung sebuah tabung alumunium besar dengan selang yang menjalar kesana-kemari….(Hirata, 2008: 18). Sekolah-sekolah miskin jarang mendapatkan perhatian, baik dari instansi pendidikan, maupun dari pemerintah. Tidak ada yang tertarik untu memperhatikan sekolah-sekolah orang miskin, padahal sekolah seperti inilah yang yang mampu menampung anak-anak miskin untuk tetap bersekolah dan melanjutkan cita-citanya agar tidak hanya berkubang dalam kemiskinan. Kepedulian pemerintah dan masyarakatlah yang diharapkan demi kelangsungan sekolah-sekolah orang miskin seperti sekolah SD Muhammadiyah ini, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut: “Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu penyangga sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip dengan gudang kopra. Maka pada intinya tidak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kadang malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami.” (Hirata, 2008: 20)

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

535

Sekolah sebagai tempat yang menyelenggarakan pendidikan haruslah aman dan nyaman, karena dengan keadaan tersebut, maka siswa dapat belajar dengan tenang, namun berbeda dengan sekolah yang terdapat pada kutipan di atas, sekolah yang digunakan oleh orang-orang miskin lebih mirip dengan gudang kopra, yang terkadang malam hari digunakan sebagai tempat menyimpan ternak. Sekolah-sekolah seperti ini selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah agar anak-anak miskin mendapatkan sarana yang layak dalam penyelenggaraan pendidikannya. “Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tidak terkira, karena kami kekurangan guru, lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo tiap bulan? Maka selama enam tahun selam di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran.” (Hirata, 2008: 30). Tenaga pengajar dalam sekolah miskin pun mendapatkan kesusahan yang sama, selain beratnya tugas yang diemban sebagai pengajar dan pendidik, upah yang mereka terima, tidak sepadan dengan pengabdian dan pengorbanan yang mereka berikan. Misalnya dalam kutipan data di atas, seperti halnya Bu Mus, hanya dihargai dengan 15 kilo beras setiap bulannya. Tidak meratanya kesempatan pandidikan, masih banyak dijumpai di Indonesia, hanya mereka yang memiliki uang saja yang dapat meneruskan pendidikan sampai ke jenjang lebih tinggi, namun anak-anak miskin, selalu saja termarginalkan, kurang mendapat perhatian, seperti kutipan data berikut: “Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi.” (Hirata, 2008: 472). Ungkapan tersebut merupakan bentuk ungkapan kekecewaan melihat wajah pendidikan di Indonesia, karena hanya dengan alasan ekonomi, anak miskin tak lagi berani bermimpi. Kecerdasan bukan lagi tolak ukur menggapai impian karena kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan lebih banyak ditentukan oleh siapa yang memiliki uang.

Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa potret pendidikan di Indonesia masih begitu memprihatinkan, karena keterbatasan akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi orang miskin. Pemerintah seharusnya menjembatani agar kesenjangan tersebut tidak terjadi, karena pada dasarnya setiap anak di Indonesia memiliki kesempatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan layak agar tidak terjadi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya dalam menikmati akses pendidikan yang bermutu.