Pembahasan Penelitian

C. Pembahasan Penelitian

Kepengarangan Suparto Brata diawali dengan hobi senang menulis sejak ia bekerja di kantor telegrap pada tahun 1953-1960. Ia mengisi tulisan di majalah dan surat kabar di Surabaya tanpa mendapatkan honor. Pada saat itu juga ia masih meneruskan sekolah di SMA Katholik St. Louis pada tahun 1954-1956. Pada tahun 1960 Suparto Brata pindah bekerja di Perusahaan Dagang Negara Djaja Bhakti dengan kehidupan makmur mendapatkan istri dan masih sempat mengarang cerita. Karena kedekatannya dengan para wartawan yang bernama Basuki Rahmat, Farid Dimyati, Purnawan Condronegoro, dan Ruba’i membuat hasil tulisannya cepat terbit.

Suparto Brata memiliki konsep bahwa bangsa yang modern adalah bangsa yang senantiasa menekuni dunia tulis-menulis dan bangsa primitif adalah bangsa yang tidak memiliki tradisi tulis, tetapi hanya memiliki tradisi lisan. Tulisan-tulisan Suparto Brata berawal dari pengalaman yang ia dengar, ia lihat serta ditambah dari pengetahuan yang dibaca dari buku-buku sastra dan sejarah. Pengalaman-pengalaman yang ia rasakan hidup dalam tiga zaman yaitu pada zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan. Karya- karya yang ditulis oleh Suparto Broto bisa dijadikan alat bantu untuk menjelaskan tentang fakta-fakta yang terdapat dalam novel dalam kaitannya dengan sejarah sejak zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan.

Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata juga merupakan bagian dari trilogi novel Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem,

dan Mentari di Ufuk Timur. Dalam trilogi novel tersebut diceritakan tentang kehidupan tokoh Teyi seorang gadis tangsi anak pasangan seorang tentara berpangkat rendahan dan Raminem orang miskin desa dari Ngombol yang berlatar belakang pada zaman Hindia Belanda dan pendudukan Jepang. Raminem menginginkan hidup lebih baik sehingga harus bekerja keras. Ia menyuruh Teyi, anak perempuan pertamanya untuk menjajakan pisang keliling tangsi. Sepulang menjajakan pisang Teyi diberi tugas lagi untuk menagih orang-orang yang menggadaikan barang kepada Raminem. Pada perjalanan hidupnya, Teyi bertemu dengan Putri Parasi istri Kapten Sarjubehi. Oleh Putri Parasi Teyi

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Suparto Brata, orang yang bekerja keras manakala mendapatkan wahyu orang tersebut bisa menjadi priyayi. Oleh Suparto Brata, yang dimaksud dengan orang kecil yang mendapatkan wahyu adalah orang kecil yang dinikahi oleh bangsawan. Oleh sebab itu, Teyi yang berasal keturunan orang kecil, karena mendapatkan Wahyu yaitu dinikahi oleh Raden Mas Kus Bandarkum maka Teyi itu menurut Suparto Brata merupakan seorang priyayi.

Suparto Brata yang senang membaca dan menulis dengan riwayat kehidupan sebagai bangsawan miskin yang terlunta-lunta pada masa kecilnya karena ibunya yang ditinggal menikah oleh bapaknya itu harus bekerja ngenger ke tempat saudara-saudaranya untuk mempertahankan hidupnya. Ia yakin bahwa dengan membaca seseorang akan bisa mengubah nasib. Oleh karena itu, nasib Suparto Brata berubah ketika ibunya ngenger di rumah Bupati Sragen. Di rumah tersebut tersedia buku-buku bacaan, baik yang berbahasa Jawa maupun yang berbahasa Belanda. Dengan membaca buku-buku tersebut ditambah dengan dongengan ibunya secara lisan, Suparto Brata tumbuh menjadi pribadi yang gemar membaca dan menulis. Dengan keterampilan membaca dan menulis itulah Suparto Brata selain bertambah pengetahuannya juga mampu merepresentasikan segala pengalamannya melalui media tulis yang berbentuk cerita.

Sebagai seorang bangsawan Suparto Brata agaknya juga setuju tentang pembatas antara priyayi dan orang kecil terutama pada zaman pemerintahan Hindia Belanda bahwa priyayi orang yang luhur , tetapi orang kecil hina. Priyayi beradab, orang kecil tidak beradab. Priyayi memiliki kehalusan bahasa dan sikap, orang kecil berperilaku dan berbahasa dengan kasar. Priyayi pandai, tetapi orang kecil bodoh. Priyayi berkuasa, tetapi orang kecil tidak berkuasa. Priyayi selalu mendapatkan fasilitas dari pemerintah, tetapi orang kecil untuk mendapatkan fasilitas harus bekerja keras. Stereotip semacam tersebut direpresentasikan oleh Suparto Brata ke dalam novel Gadis Tangsi.

Penggambaran tokoh Putri Parasi dalam novel Gadis Tangsi sebagai putri yang sempurna merupakan representasi pengarang di dalam membela ideologi feodalisme. Pengarang memberikan stereotip feodalisme sebagai kesempurnaan hidup. Pengarang juga memuji Kerajaan Surakarta yang pada masa Pakubuwana X memiliki kekuasaan yang makin sempit, dan merupakan raja yang terpenjara di istananya sendiri merupakan kerajaan tertib di dalam keberadaban. Di dalam novel Gadis Tangsi juga tergambarkan betapa lebar jurang pemisah antara bangsawan dengan kawula atau orang kebanyakan di dalam pergaulan. Bangsawan bila berpapasan dengan orang kecil atau abdi dalem di dalam keraton, orang kecil tersebut dengan jarak yang masih jauh harus jongkok dan menyembah.

Untuk mengubah nasib dan mendapatkan wahyu hanya dengan kebaikan hati para feodalis, orang-orang kecil dapat hidup mulia sebagaimana Teyi yang bisa mengalami perubahan nasib dari gadis proletar menjadi gadis intelektual yang feolidalistik. Hanya dengan pertolongan bangsawan,Teyi dapat menjadi seorang gadis intelektual yang mampu berbahasa Belanda dihormati oleh masyarakat. Feodalisme identik dengan kemegahan, penuh dengan simbol-simbol diungkapkan oleh pengarang dengan cara mengkontraskan kehidupan rakyat kecil yang serba kekurangan, sederhana, bodoh, jorok, dan kasar.

Dalam menularkan pengetahuannya, Putri Parasi digambarkan sebagai bangsawan yang sabar pada saat menghadapi Teyi yang mula-mula lambat di dalam mempelajari membaca dan menulis. Kemudian, berkat kesabaran dan kemuliaan Putri Parasi, Teyi dapat menyerap semua pelajaran yang diberikan oleh Putri Parasi dengan baik. Termasuk ajaran feodalisme yang ditularkan kepada Teyi tentang cara laku dhodhok, menyembah, dan bertutur kata sesuai dengan aturan keraton yang tidak lazim digunakan oleh masyarakat umum di sekitarnya yang jauh dari kehidupan feodalisme. Dari berbagai uraian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa Suparto Brata di dalam mencipta novel Gadis Tangsi mereperesentasikan tentang perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan Jawa yang memiliki pengalaman

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Di mata pembaca, pengarang melalui novelnya menentang adat istiadat yang ada pada masa itu yang hanya mengajarkan kedisiplinan dan membeda-bedakan tingkat sosial, namun tidak memberi didikan moral yang baik. Pengarang membuka pemikiran pembaca dalam novel ini untuk lebih tebuka dalam kehidupan social (Data b. Hanindito HS XI A4

3 Juli 2013). Sebagian pembaca mengatakan bahwa perilaku Teyi merupakan perilaku yang kurang pantas karena perilaku hubungan seksual dengan Kus Bandarkum, seorang lelaki keponakan Putri Parasi yang bukan suaminya. Teyi memberontak pada realitas kehidupan masa kini untuk kehidupan masa depan dengan orang yang dicintainya dan meningggalkan suami sahnya .Cara seperti itulah yang seharusnya tidak dimiliki seorang perempuan, dia dengan mudahnya menikahi laki-laki yang tidak dia cintai dan meninggalkan (bercerai) setelah bertemu dengan laki-laki yang lebih baik. Komitmennya pada cinta sangat mudah tergoyah.

Selanjutnya, Tokoh Putri Parasi dan Kapten Sarjubehi merupakan pasangan suami istri yang memiliki jasa yang banyak kepada Teyi. Pasangan suami-istri tersebut memiliki latar sosial yang tinggi . selain itu perilaku dan kepribadian yang dimiliki oleh Putri Parasi sangat baik dan terpuji karena meskipun Teyi adalah seorang gadis tangsi yang berderajat rendah, Putri Parasi tidak pernah merendahkan Teyi, Putri Parasi merupakan seorang priyayi yang santun sabar dalam mengajari etika kepada Teyi Putri Parasi adalah putra Pangeran Jayaningrat Keraton Surakarta. Putri Parasi berpikiran rasional kebarat-baratan dengan mempertahankan adat Jawa,

Dengan berbagai cerita yang berhubungan dengan kisah Teyi hingga menjadi perempuan yang mampu membaca dan menulis tersebut dapatlah dikatakan bahwa novel Gadis Tangsi bisa memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dalam masa penjajahan Belanda, dan untuk mengubah nasib seseorang harus berjuang keras demi mencapai keinginan untuk menjadi kaya dan memenangkan masa depan. Atas dasar realitas tersebut, novel Gadis Tangsi dapat diajarkan di sekolah. Novel Gadis Tangsi memberikan potret kehidupan masa lampau antara masyarakat yang modern dan tradisional. Selain itu, novel itu juga dapat memberikan pelajaran kepada seseorang agar selalu kuat untuk meraih cita-cita tanpa meninggalkan etika dan budaya Jawa.

Berkaitan dengan pembelajaran novel tersebut, peneliti mendapatkan pernyataan Sujaratun (kepala sekolah dan guru bahasa Indonesia bahwa novel Gadis Tangsi dapat diajarkan di sekolah, tetapi siswa harus mengerti karena dalam novel ini menggunakan beberapa bahasa yang sangat luas, lugas, kromo inggil, dan Belanda. Siswa mampu memahami novel Gadis Tangsi dengan cara membaca 2 sampai 3 kali, untuk memahami tokoh, perilaku, dan amanat yang terkandung di dalamnya sehingga pembaca jadi mampu untuk menentukan pilihan yang terbaik untuk hidupnya.

Novel Gadis Tangsi bisa diajarkan pada siswa-siswa SMA karena di dalamn novel tersebut ada pesan-pesan moral bila digali lebih dalam, dan bisa dikaitkan dengan kehidupan masa sekarang. Untuk meraih masa depan yang lebih baik tidak harus selalu patuh semua hal dari orang tua, tetapi mematuhi perkataan orang tua merupakan usaha mencapai masa depan. Bahkan, mentalitas kerja keras dan disiplin harus ditanamkan orang tua sejak lahir kepada sang anak. Novel tersebut mengajarkan bagaimana seharusnya berperilaku sebagai seorang priyayi yang baik seperti apa yang seharusnya seorang priyayi lakukan untuk kalangan di bawahnya, Priyayi atau orang berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Priyayi merupakan suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Seorang priyayi seharusnya memiliki sifat ramah, santun, berwibawa, dan mampu mengayomi masyarakat. Novel tersebut mengandung nilai sosial dan nilai kesopanan yang sangat kental. Karena itu, novel tersebut

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI