Analisis Hermeneutik Puisi Astana Rela

B. Analisis Hermeneutik Puisi Astana Rela

a. Makna Unsur-Unsur Teks ASTANA RELA

Amir Hamzah Tiada bersua dalam dunia

Tiada mengapa hatiku sayang Tiada dunia tempat selamanya Layangkan angan meninggi awan. Jangan percaya hembusan sedera Berkata tiada hanya dunia Tilikkan tajam mata kepala Sungkumkan sujud hati sanubari. Mula segala tiada ada Pertengahan masa kita bersua Ketika tiga bercerai ramai Di waktu tertentu pandang terang. Kalau kekasihmu hasratkan dikau

Restu sempana memangku daku Tiba masa kita berdua Berkaca bahagia di air mengalir. Bersama kita mematah buah Sempana kerja di muka dunia Bunga cerca melayu lipu Hanya bahagia tersenyum harum. Di situ baru kita berdua

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Sama merasa, sama membaca Tulisan cuaca rangkaian mutiara Di mahkota gapura astana rela.

Puisi ini dibuat sebagai rasa permintaan maaf penyair kepada kekasihnya. Ia tidak mampu menjalin hubungan lagi karena telah dijodohkan dengan gadis lain oleh orangtuanya. Ia pun mengharapkan akan bersua kembali dengan kekasihnya di alam yang abadi. Puisi ini merupakan lanjutan dari puisi Barangkali.

Bait pertama, karena cinta kepada kekasihnya tidak dapat terlaksana, jika tidak dapat diwujudkan di dunia, penyair tidak keberatan. Menurutnya, dunia bukanlah tempat selamanya atau abadi (Tiada dunia tempat selamanya). Penyair meminta kepada kekasihnya agar jangan bersedih, karena mereka tidak dapat disatukan di dunia.

Bait kedua, penyair meminta kepada kekasihnya agar jangan mempercayai hasut atau kabar angin mengenai dirinya (Jangan percaya hembusan sedera). Yang memutuskan segala sesuatu bukan hanya manusia saja. Namun, tak ada salahnya untuk merenung dan mengikuti kata hati (Sungkumkan sujud hati sanubari).

Bait ketiga, bait ini bercerita tentang awal mula mereka bertemu dan berpisah. Berjumpa di masa muda (Pertengahan masa bersua). Saat mereka telah lepas dari semua urusan dunia, mereka dapat bertemu di yaumul mashsyar (Di waktu tertentu pandang terang).

Bait keempat, jika Tuhan memanggil kekasihnya kelak (Kalau kekasihmu hasratkan dikau) , penyair berharap mereka dapat bertemu kembali dan berbahagia selamanya di akhirat nanti (Berkaca bahagia di air mengalir).

Bait kelima, karena itulah penyair meminta kepada kekasihnya agar bersama-sama berbuat kebajikan di dunia, maka segala yang bersifat cerca akan musnah (Bunga cerca melayu lipu dan Hanya bahagia tersenyum harum).Bait keenam, pada saat itulah baru mereka merasa bahagia dalam suasana rela merelakan. Yang tiada menyimpan amarah dan dendam kepada sesama (Di situ baru kita berdua dan Di mahkota gapura astana rela).

b. Makna Teks Berdasarkan Latar Belakang Penulis

Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru.Amir Hamzah bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) tanggal 28 Februari 1911.Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Karangannya Nyanyian Sunyi terbit pada tahun 1937. Kumpulan sajak- sajaknya dari Pandji Pustaka, Timbul, dan Pujangga Baru dikumpulkan dalam Buah Rindu yang terbit tahun 1941. Setinggi Timur yang memuat terjemahannya dari beberapa sajak Persia, India, Tiongkok, dan lain-lain terbit tahun 1939.Pada tahun 1938 Amir Hamzah dinikahkan dengan Putri Kamali, anak Sultan Mahmud yang tertua. Dari perkawinan itu lahirlah lima orang anak, empat diantaranya meninggal, sehingga yang hidup hanya Putri Tahura. Di zaman penjajahan Jepang, ia terpilih sebagai anggota Balai Bahasa Indonesia di Medan.

Amir Hamzah meninggal di Sumatera Utara, di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman PujanggaBaru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga saat ini. Beliau wafat di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946. Tahun 1977 Amir Hamzah diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

c. Makna Teks Berdasarkan Lingkungan Teks

Puisi-puisi karya Amir Hamzah bernafas kepada Ketuhanan, misalnya saja Padamu Jua dan Nyanyian Sunyi yang sangat kental religiusitasnya. Pada Astana Rela pun demikian, walau bercerita tentang kisah cintanya, tetap saja akhir dari puisi itu adalah pengharapannya jika bertemu kekasihnya di surga nanti. Karya-karya Amir Hamzah kental pula nuansa

Melayunya. Hal tersebut tidak lepas dari asal dan tempat tinggal beliau.

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Puisi lain yang bertema sama dengan Astana Rela adalah puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ayati. Kedua puisi tersebut berkisah tentang kasih tak sampai. Hanya bedanya pada puisi karya Chairil Anwar, Sri Ayatilah yang telah mempunyai calon suami, sedangkan pada Astana Rela, Amir Hamzahlah yang telah dijodohkan orang tuanya.

e. Makna Teks Berdasarkan Dialog Teks dengan Pembaca

Astana Rela adalah penggambaran jiwa Amir Hamzah setelah terumbang-ambing menghadapi Tuhan, setelah meleting-leting di dalam jiwanya sebagai cacing jatuh di atas abu, menjerit penuh kesakitan dan kesedihan, tibalah ia kepada keputusan yang selayaknya, yaitu meminta maaf kepada kekasihnya, meminta supaya direlakan ia menarik dirinya dari perjanjian cinta dan hidup bersama-sama untuk mencintai dan hidup bersama dengan perempuan lain. Alasan yang dikemukakannya adalah akhir-akhirnya segala sesuatu di dunia ini fana belaka dan tiada bersifat hakekat (Alisjahbana 1996:25-26).

Melalui puisi ini, penyair ingin menyampaikan pesan bahwa tidak semua hal-hal yang diinginkan seseorang dapat terwujud. Hal-hal yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut-Nya dan hal-hal yang menurut kita buruk, mungkin saja justru itu adalah keputusan yang terbaik menurut-Nya. Penyair juga mengatakan bahwa tidak ada hal yang abadi di dunia, sesuatu yang abadi hanya ada di akhirat kelak.