Hasil dan Pembahasan Perempuan Berbakat

D. Hasil dan Pembahasan Perempuan Berbakat

Individu berbakat adalah suatu potensi yang perlu mendapat perhatian sehingga mereka diharapkan mampu menghasilkan kary-karya yang gemilang. Individu yang berbakat terlihat pada potensi yang sangat tinggi, yakni mempunyai intelegensi yang tinggi disertai dengan kemampuan kreativitas yang tinggi pula. Perkembangan potensi ini akan berkembang atau tidak, jika ada dukungan dari lingkungan sosialnya, antara lain lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seseorang yang mendapat dukungan positif dari lingkungannya akan lebih mempunyai kesempatan yang besar untuk mengaktualisasikan kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tidak mendapatkan kesempatan atau bahkan mendapat hambatan dari lingkungannya, maka potensi yang sangat tinggi menjadi tersembunyi dan selamanya tetap tidak pernah terwujud.

Sebenarnya tidak ada perbedaan kemampuan berpikir antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam kenyataannya di masyarakat banyak perempuan tidak mampu mengaktualisasikan kemampuannya sehingga mereka tampak kurang memiliki kemampuan. Mereka terkesan pasif dan tergantung pada orang lain. Stereotip tradisional tentang perempuan kadang-kadang membuat perempuan berpura-pura bodoh untuk menarik perhatian lawan jenisnya.

Novel Gadis Pantai, secara jelas mengungkap potensi perempuan berbakat melalui karakter tokoh utama Gadis Pantai. Pada awalnya, Gadis Pantai digambarkan sebagai perempuan yang tidak atau kurang memiliki pengetahuan, bodoh, dan kurang bijaksana. Hal itu terjadi karena ia tidak pernah mendapat pendidikan dan pengajaran. Namun, setelah mendapat pendidikan dan pelatihan, akhirnya ia mampu menunjukkan perkembangan pengetahuan dan keterampilan, serta budi pekerti.

Gadis Pantai mulai membatik, seorang guru batik didatangkan di pagi hari, tangannya yang telah diperhalus oleh keadaan tanpa kerja, mulai memainkan pensil membuat pola. Seminggu sekali datang guru yang mengajarinya memasak kue. Dan setiapa tiga hari sekali datang guru lain yang menyampaikan padanya kisah-kisah agama dari negeri padang pasir nan jauh.

Gadis Pantai mulai terbiasa pada kehidupan yang diperlengkapi alat-alat begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia mulai terbiasa dengar suara pemuda-pemuda yang bicara dalam bahasa

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

Belanda setelah meninggalkan suarau di sebelah kiri rumah utama. Suara-suara mereka menerobosi dinding-dinding kamarnya memberitakan banyak hal yang tak pernah diketahui sebelumnya...

Kemudian Gadis Pantai pun mulai belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdasan dan keterampilannya menyukakan semua gurunya (Toer, 2003:69-70)

Kutipan di atas menggambarkan kenyataan bahwa pendidikan dapat memberikan perubahan pada individu yang mau belajar. Mulai dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terlatih menjadi terlatih, dari tidak terampil menjadi terampil. Pendidikan dan pelatihan yang didapatkan Gadis Pantai di rumah Bendoro, membuat dia menjadi permpuan yang memiliki pengetahuan ddan keterampilan. Meskipun yang diajarkan kepadanya masih seputar pekerjaan domestik. Keterampilan domestik dan pengetahuan agama yang dipelajari Gadis Pantai dipandang sangat memadai untuk ukuran waktu itu karena banyak perempuan yang tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Status Gadis Pantai sebagai isteri seorang pembesar, memberinya kesempatan untuk mengenyam pendidikan meskipun pada akhirnya semua yang diperolehnya bernuansa politis untuk menyenangkan hati laki-laki.

Tampaknya Gadis Pantai sangat berbakat dalam beberpa pelajaran, khususnya ddalam keterampilan-keterampilan yang diajarkan kepadanya. Sebagai perempuan berbakat, Gadis Pantai mulai menunjukkan perkembangan pengetahuan dan keterampilannya dengan hasil yang menggembirakan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Kemudian Gadis Pantai pun mulai belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdasan dan keterampilannya menyukakan semua gurunya (Toer, 2003:69-70) Hari-hari lewat cepat, dan Gadis Pantai mengisi dirinya dengan berbagai kecakapan baru. Kulitnya yang tak lagi terpanggang kulit matari jadi langsat kemerahan, dan wajah bocahnya telah lenyap digantikan oleh pandang orang dewasa (Toer, 2003;71)

Kutipan di atas mempertegas perubahan yang terjadi pada diri Gadis Pantai yang telah mendapat pembelajaran. Perubahan itu menunjukkan ke arah yang lebih baik pada keterampilan yang dimilikinya. Di samping itu, kutipan tersebut juga semakin mempertegas bahwa perempuan juga mempunayai intelegensi tinggi yang dengan cepat menerima informasi yang didapatnya.

Dalam novel Gadis Pantai, secara tersirat diungkapkan perbedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Perbedaan perlakuan berdasarkan gender ini menjadi norma sejak kanak-kanak, yang selanjutnya menjadi lebih kuat nyata di dalam kehidupan sosial, sampai mereka menjelang remaja dan dewasa. Tampaknya, laki- laki memiliki kesempatan lebih besar untuk belajar dibandingkan perempuan. Sementara itu, perempuan yang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan adalah (hanya) perempuan yang berasal dari kalangan kelas atas, isteri atau anak seorang pembesar. Tujuannya adalah untuk kepentingan politis laki-laki, yaitu untuk semakin mengukuhkan kedudukan dan kewibawaan suami atau ayah. Ternyata, kelas sosial juga sangat menentukan kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa itu. Gadis Pantai sebagai isteri pembesar, juga mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan karena ia sudah menjadi bagian dari kelompok kelas atas. Sebagai isteri Bendoro, ia harus memiliki perbedaan dengan isteri orang kebanyakan yang tidak berpendidikan.

Namun, stereotip tradisional dalam masyarakat Gadis Pantai menuntut perempuan untuk tidak terlalu pintar. Sebaliknya, laki-laki adalah makhluk yang superior, membuat perempuan menjadi warga kelas dua. Laki-laki tidak suka disaingi, terutama oleh isterinya. Stereotip tersebut membuat perempuan menekan bakatnya supaya ia lebih menarik di mata teman lawan jenisnya. Perempuan dengan rasa ingin tahu yang besar dan prestasi yang tinggi kurang menarik bagi lingkungannya, terutama lawan jenisnya.

”Kau mulai pintar. Mulai pintar—siapa ajari kau?” Gadis Pantai tertawa lemah. ”Siapa ajari?”

Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI

”Kasih Bendoro sendiri.” ”Bagaimana kau perlakukan kasih itu?” ”Sahaya sambut setiap saat dia bersua,Bendoro.”... ... ”Ahai, guru ngaji yang ajari kau seperti itu?” ”Tidak, Bendoro.” ”Katakanlah, dari siapa?” ” Sahaya pernah dengar orang bilang,Bendoro, orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya selalu melihat segal-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segal-galanya.” ”Katakanlah dari siapa?” guru ngajimu besok tak perlu datang lagi...Engkau anak yang cerdik (Toer, 2003:105).

Kutipan di atas menunjukkan adanya konflik yang terjadi pada diri Bendoro terkait dengan kecerdasan yang Gadis Pantai, isterinya. Seiring dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya, Gadis Pantai mulai mengerti banyak hal. Ia mulai kritis terhadap situasi yang dihadapinya dan mulai pintar bicara. Sebaliknya, kenyataan ini membuat Bendoro tidak nyaman. Ia mulai merasa terganggu dengan perubahan yang terjadi pada diri Gadis Pantai yang mulai merongrong status dan kedudukannya sebagai laki-laki superior yang berkuasa dan berkelakuan seenaknya. Kritik Gadis Pantai tentang kelakuan orang atasan terhadap masyarakat biasa membuat Bendoro tidak senang sehingga ia tidak memperkenankan lagi Gadis Pantai untuk belajar kepada guru-gurunya. Hal yang demikian, menunjukkan ketakutan laki-laki kepada perubahan tingkah laku perempuan yang memiliki kemampuan dan intelektualitas. Sesungguhnya, menjadi perempuan yanng berbakat tidak didukung oleh lingkungan sosial. Begitu juga orang yang mempunyai kreativitas tinggi dan intelegensi tinggi bukan sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan masyarakat lebih mengutamakan kepatuhan dan kesopanan pada seorang perempuan, atau menolak spontanitas dalam mengungkapkan diri karena dianggap tidak etis. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1999) bahwa masyarakat Jawa mengutamakan tingkah laku dan adat sopan santun terhadap sesama dan sangat berorientasi bilateral. Mereka harus mengembangkan sikap tenggang rasa dan mengintensifkan solidaritas. Orang hidup harus sesuai dengan peraturan moral, harus mampu melawan dan menunda terpenuhinya kebutuhan diri. Hal ini dapat menimbulkan konflik tersendiri bagi orang berbakat.

Kesulitan untuk mengembangkan diri bagi orang berbakat menjadi lebih besar pada perempuan berbakat dalam budaya Jawa karena dalam budaya Jawa antara laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan yang sangat berbeda. Pandangan ini mempengaruhi cara perlakuan masyarakat dan pengasuhan orang tua yang telah mereka tanamkan sejak bayi. Pembagian peran dalam masyrakat yang berhubungan dengan hal-hal ’apa yang boleh dilakukan’ dan ’siapa yang boleh melakukan’ mempengaruhi pemahaman mengenai partisipasi masing-masing jenis kelamin dalam kehidupan bermasyarakat.

Fakta yang ada dalam bidang pendidikan, biasanya anak laki-laki mendapat prioritas pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan adanya anggapan, kelak anak laki-laki akan mendapat pekerjaan, peran, dan kedudukan yang tinggi, sementara anak perempuan hanya akan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Hal ini tercermin dalam novel Gadis Pantai dengan adanya agus-agus bendoro muda yang belajar di rumah Bendoro, sementara anak perempuan tidak tampak sama sekali.