Sejarah Musik Tradisional Di Negeri Hutumuri
A. Sejarah Musik Tradisional Di Negeri Hutumuri
Secara umum dapat dikatakan bahwa kesenian melukiskan masalah-masalah yang menyangkut alam semesta, kehidupan sosial dan perasaan serta pikiran manusia dengan cara yang indah atau ar- tistik (Santoso S P, 1980:99). Sastra melukiskannya dengan bahasa, dengan kata-kata yang sudah tentu dapat dimengerti oleh pemilik bahasa itu sendiri,seni tari melukiskannya dengan gerak gerik yang berirama artistik, seni lukis melukiskannya dengan garis-garis (kon- tur), sapuan, warna, dan perpaduan cahaya gelap dan terang, se- dangkan seni musik menyampaikan hal itu dengan menggunakan bunyi atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga langsung masuk ke hati dan umumnya dipelajari secara turun temurun.
Musik tradisional orang Ambon adalah sebuah jenis musik yang lahir dan berkembang dalam tradisi lisan. Ia diwariskan secara turun-temurun (oral tradisional) tanpa dipelajari melalui pendidikan formal. Melalui bunyi-bunyian, orang Ambon mengungkapkan pandangan-pandangannya tentang dunia di sekelilingnya. Jenis mu- sik ini pada mulanya tidak populis karena hanya digunakan pada acara-acara tertentu saja namun dalam memasuki era modern akhir- nya musik ini dapat dikolaborasi menjadi suatu aliran musik yang popular dan familiar karena dapat mengimbangi aliran musik baru.
Adapun sejarah munculnya musik tradisional Orkes Tahuri dikemukakan sebagi berikut. Dalam tahun 1957 Wakil Gubernur La- tumahina berkunjung ke Negeri Hutumuri. Sebagai orang yang ter- hormat “pembesar” di waktu itu maka masyarakat Hutumuri merasa senang dan bangga karena itu dibuatlah persiapan untuk menjemput tamu terhormat ini. Dari hasil permufakatan pemerintah negeri dan para tua-tua adat diputuskanlah untuk nantinya mengantar Bapak Latumahina berkunjung ke Negeri Lama yang berada di sekitar Gu- nung Maut, pusat Negeri Hutumuri yaitu Lou Nusa Besi.
Ketika hari yang telah ditunggu-tunggu tiba maka acara pen- jemputan pun digelar, Bapak Corneles Sameputty (almarhum) selaku Ketika hari yang telah ditunggu-tunggu tiba maka acara pen- jemputan pun digelar, Bapak Corneles Sameputty (almarhum) selaku
Gunung Amaputut memperdengarkan nada sedang dan ren- dah, Gunung Ehut mengeluarkan nada sedang, Gunung Totu mem- perdengarkan nada-nada sedang sampai rendah (bunyi mi), Gunung Nusu Rumang mengeluarkan nada yang paling rendah (nada do ren- dah) dan dari Gunung Lana mengeluarkan nada yang tinggi atau nyaring. Mendengar ada balasan-balasan bunyi kulit bia dari kelima gunung tersebut Bapak Latumahina sempat terheran-heran sehingga bertanya kepada tua adat Bapak Corneles Sameaputty itu bunyi su- ara apa? Tua adat menjawab bahwa itu suara dari kulit bia yang be- rasal dari kelima gunung tempat tinggal lima leluhur Soa-Soa Negeri Hutumuri.
Gambar 28.
Gunung-Gunung Keramat
Bapak Latumahina menyatakan kekagumannya oleh karena menurutnya suara balasan kulit bia tersebut memperdengarkan alu- nan bunyi yang sangat indah. Ia pun mengusulkan kepada tua adat Bapak Latumahina menyatakan kekagumannya oleh karena menurutnya suara balasan kulit bia tersebut memperdengarkan alu- nan bunyi yang sangat indah. Ia pun mengusulkan kepada tua adat
Pada tahun 1963 orkes musik Hutumuri didirikan dengan na- ma Pela Gandong. Grup Musik Pela Gandong sempat mengikuti aca- ra pembukaan olah raga GANEFO di Jakarta yang langsung dipim- pin oleh Gubernur Maluku Bapak Latumahina. Setelah kembali dari pesta oleh raga GANEFO, Bapak Latumahina menyarankan kepada pelatih agar perangkat musik tersebut diserahkan kepada masya- rakat Amahusu. Menurut beliau, masyarakat Amahusu juga dapat mengembangkan musik ini. Kenyataannya setelah dua tahun alat- alat musik ini tidak dapat dikembangkan oleh orang-orang Amahusu sehingga ditarik kembali ke Hutumuri dan berkembang hingga se- karang.
Di tahun 1964 ketika Bapak Carolis Elias Horhoru mengikuti suatu upacara adat di Pulau Seram Ia melihat dalam prosesi adat tersebut ada kulit bia yang ditiup oleh tua-tua adat di sana dan ia te- ringat juga kulit-kulit bia di negerinya yang sering digunakan se- bagai alat musik tiup; namun belum mengetahui nama sebenarnya dari kulit bia itu. Setelah bertanya dari salah seorang tua adat disana akhrinya diketahui bahwa nama kulit bia itu adalah Tahuri. Dari si- tulah setelah kembali dari Pulau Seram, ia menggantikan nama Grup Musik Pela Gandong dengan nama Grup Musik Tahuri.