Alat Musik Tradisional Perkembangan dan

Alat Musik Tradisional

Perkembangan dan Tantangannya

di Negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon

Diterbitkan Oleh CV. R.A.De.Rozarie (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177 Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia www.derozarie.co.id – 081333330187/0819671079

Alat Musik Tradisional Perkembangan dan Tantangannya di Negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon © Oktober 2014

Eklektikus: Weldemina Pattinama, S.H. Editor: Dra. Florence Sahusilawane, M.H. Master Desain Tata Letak: Eko Puji Sulistyo

Angka Buku Standar Internasional: 9786021176023

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari CV. R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan

menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih

PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberkati hamba-Nya sehingga dapat menerbit- kan buku “Alat Musik Tradisional Perkembangan dan Tantangannya di Negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon ”. Bu- ku ini merupakan kulminasi penelitian budaya yang penulis geluti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon (Unit Pelaksana Teknis Pusat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Fokus penelitian yang dimaksud yaitu menelusuri sejarah dan perkembangan alat-alat musik tradisional yang telah lama menjadi lingkaran kehidupan masyarakat Ambon. Alat-alat musik tradisional itu telah mengantarkan masyarakat Ambon menjadi orang-orang yang pandai bernyanyi dan bermain musik. Aset ini sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi salah satu potensi pariwisata di Malu- ku; oleh karena itu buku ini diharapkan dapat menjadi sumber kebi- jaksanaan Pemerintah Daerah Kota Ambon dalam hal membuat kebi- jakan guna membantu seniman di Kota Ambon.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pi- hak yang tidak sempat disebutkan satu per satu namun telah mem- bantu penulis sehingga akhirnya tiba di tangan para pembaca. Secara sumurung, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dra. Florence Sahusilawane, M.H., sebagai mantan Kepala Balai Kajian Se- jarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang meluangkan waktunya untuk berdialektik dengan penulis terkait bi- dang kebudayaan serta memberi semangat untuk menerbitkan buku ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada lembaga yang telah memberi kontribusi kepada penulis. Harapan penulis, buku ini dapat menambah khazanah pengetahuan masyarakat Maluku tentang salah satu kekayaan budaya orang Maluku. Selamat membaca...

Ambon, September 2014

Weldemina Pattinama

SENARAI ISI

PRAKATA

SENARAI ISI

Gambaran Umum Daerah Penelitian

BAB III

39

Alat Musik Tradisional Di Negeri Hutumuri

BAB IV

Perkembangan Musik Tradisional Dan Tantangannya Masa Kini 62

Senarai Bacaan

BAB 1 APOLOGIA

A. Latar Belakang

Kesenian sebagai ekspresi manusia akan keindahan yang da- pat dinikmati manusia melalui mata dan telinga. Apabila dilihat dari seni musik, akan ada dua bagian yang dapat dipisahkan yaitu seni musik vokal (menyanyi) dan seni musik instrumental (menggunakan alat bunyi-bunyian) (Koentjaraningrat, 2009:298). Kesenian tradision- al khususnya seni musik dengan peralatan musiknya diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya namun sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman tradisi turun temurun itu mau tidak mau mengalami perkembangan termasuk bentuk maupun bahannya.

Seni musik berikut peralatan musik yang hidup dan berkem- bang pada suatu masyarakat maka corak dan gaya musik tersebut mencerminkan kehidupan masyarakatnya, ungkapan perasaan mas- yarakat, arti, makna dan fungsi sosial di dalamnya. Dalam perkem- bangannya oleh karena musik tradisional itu didukung sepenuhnya oleh masyarakat dan terus dikembangkan secara turun temurun ma- ka biasanya musik dianggap sebagai milik masyarakat pendukung musik tersebut.

Negeri Hutumuri di Kota Ambon dewasa ini terkenal dengan musik tahuri dan suling bambu sebagai ciri khas masyarakat Hu- tumuri. Dalam perkembangannya musik tradisional tersebut telah di- perkaya dengan berbagai jenis alat musik lain yaitu batu dan air se- hingga menjadi khas musik Hutumuri dan dikenal luas oleh masya- rakat di Ambon.

Peralatan musiknya terbuat dari sumber-sumber alam ling- kungan disekitarnya antara lain bambu, kulit bia, totobung, kleper, dan tifa. Sejalan dengan tuntutan zaman, musik khas Hutumuri juga dikawinkan dengan peralatan musik modern antara lain gitar, tam- bur, organ, biola sehingga musik menjadi lebih semarak. Untuk itu diperlukan suatu penelitian dan pengkajian tentang perkembangan musik tradisional maupun tantangan yang dihadapi saat ini dengan adanya peralatan musik modern.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan realita yang diangkat pada latar belakang sehing-

ga memunculkan fakta maka terdapat pertanyaan penelitian yaitu: / Apakah definisi alat musik tradisional?

/ Bagaimana peranan dan fungsi musik tradisional dalam kehidupan mas- yarakat Hutumuri? / Bagaimana perkembangan musik tradisional dewasa ini dengan telah di- terimanya peralatan musik modern?

/ Bagaimana upaya pelestarian musik tradisional oleh masyarakat dan Pe- merintah Negeri Hutumuri?

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan ma- sukan kepada Pemerintah (Pemerintah Negeri dan Pemerintah Kota Ambon) untuk lebih serius memberi fasilitas grup musik tradisional sebagai salah satu warisan budaya yang patut dipelihara dan dikem- bangkan. Musik tradisional ini adalah salah satu warisan budaya dan aset yang berpotensi dalam mengembangkan pariwisata, sehingga membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di Hutumuri.

D. Kerangka Pikir

Seni merupakan sarana yang mempunyai kegunaan funda- mental untuk manusia. Peristiwa kesenian bukan semata-mata peris- tiwa estetika bunyi, gerak, tetapi merupakan peristiwa sosial dan bu- daya. Oleh karena itu seni memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat pendukungnya (Ahmad Syai, 2012:6 dalam Soetomo, 2003:31).

Kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan keindahan sehingga ia dapat dinikmati dengan pancaindera yaitu penglihat, penghirup, pengecap, pengrasa dan pendengar. Berdasarkan indera pendengaran manusia maka kesenian dibagi ke dalam seni musik (termasuk seni musik tradisional) dan seni kesusastraan (Koentjara- ningrat, 2005:19).

Sebagai hasil karya manusia, proses pelestarian seni musik tradisional dapat dilakukan melalui cara tradisional yaitu secara tu- run temurun, belajar sendiri atau meniru. Musik juga dapat dilestari- kan melalui pendidikan khusus. Suku bangsa Ambon dikenal sebagai Sebagai hasil karya manusia, proses pelestarian seni musik tradisional dapat dilakukan melalui cara tradisional yaitu secara tu- run temurun, belajar sendiri atau meniru. Musik juga dapat dilestari- kan melalui pendidikan khusus. Suku bangsa Ambon dikenal sebagai

E. Fokus Penelitian

Fokus materi penelitian adalah pengungkapan akan berbagai jenis alat musik tradisional, peranan dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Hutumuri, cara membuat serta perkembangan dan tan- tangan yang dihadapi saat ini serta upaya pelestariannya dalam rangka menjadikannya sebagai warisan budaya dan aset pariwisata sedangkan lokasi yang dipilih adalah di Negeri Hutumuri Kecama- tan Leitimur Selatan Kota Ambon, sebagai negeri yang dikenal khas dengan musik tradisionalnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan di mana sampel penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu sengaja dipilih orang-orang yang berkompeten di bidang yang dite- liti. Untuk mendapatkan informasi dari informan yang tepat diguna- kan teknik bola salju yaitu berdasarkan informasi dari informan se- belumnya sampai akhirnya mendapatkan data jenuh.

Pengumpulan data antara lain menggunakan pengamatan ter- libat dibantu dengan pendokumentasian melalui foto, serta penggu- naan kuesioner yang dimaksudkan agar peneliti mudah melakukan wawancara secara mendalam. Dalam wawancara, peneliti menggu- nakan bahasa Indonesia dan bahasa lokal dialek melayu Ambon. Ha- sil wawancara dengan menggunakan bahasa Indonesia akan ditrans- krip sedangkan hasil wawancara dengan menggunakan dialek mela- yu Ambon dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia untuk memu- dahkan analisa. Istilah-istilah yang sulit diterjemahkan atau bahasa lokal yang khas tidak diterjemahkan melainkan diberikan padanan kata saja.

Sajian data analisa dilakukan secara deskriptif yang menda- lam, dimana saat melakukan analisis yang dibicarakan adalah data sedangkan peneliti tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, maka hal tersebut adalah hasil pemahaman dari interpretasi infor- man terhadap apa yang ditemui di lapangan terutama perkembang- an dan tantangan yang berkaitan dengan alat musik tradisional itu. Data yang diperoleh dijamin validitasnya karena peneliti langsung turun di lapangan untuk memperoleh data yang akurat dengan tetap menggunakan sumber-sumber primer dan teknik pengumpulan data yang tepat.

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Sejarah Negeri Hutumuri

Negeri Hutumuri terletak di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon. Masyarakat yang tinggal di Hutumuri umumnya penduduk asli yaitu suku Ambon. Mereka yang disebut suku Ambon adalah ke- lompok masyarakat penduduk asli yang mendiami Pulau Ambon, Pulau-pulau Lease, wilayah Seram bagian tengah dan wilayah Seram bagian barat. Kelompok masyarakat ini menyatakan diri mereka se- bagai pendukung kebudayaan Ambon yang merupakan akulturasi dari beberapa kebudayaan yang berasal dari luar antara lain Melayu, Polynesia dan Melaneysia (Pattipeylohy Y, 2000:4).

Asal usul orang Ambon menurut Jansen datang dari Seram, Kepulauan Banda, Kei, Halmahera, Ternate, Tidore dan Pulau Jawa. Rombongan pendatang ini datang secara berkelompok dan bertahap. Kelompok pertama ialah kelompok Tuni yang bermigrasi ke Pulau Ambon. Kelompok Wakan datang dari Kepulauan Banda dan Kei, kelompok ketiga yaitu kelompok Moni dari Halmahera, Ternate dan Tidore sedangkan kelompok terakhir yaitu Mahu dan Tuban dari Pu- lau Jawa.

Migrasi penduduk yang datang dari berbagai tempat itu tidak serta merta mengubah struktur sosial masing-masing kelompok. Satu diantaranya kebudayaan dari Pulau Seram kenyataannya masih me- ngental dan turut memperkaya kebudayaan Ambon. Dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Hutumuri di Pulau Ambon.

Adapun arti kata “ambon” sendiri tidaklah terlalu jelas. Salah satu keterangan yang umumnya diketahui oleh penduduk di Pulau Ambon termasuk di Hutumuri bahwa istilah itu berasal dari kata om- bong yaitu suatu bentukan lokal dari kata embun. Keadaan cuaca di Pulau Ambon terutama di puncak-puncak gunung pada waktu- waktu tertentu ditutupi oleh embun yang tebal sehingga Kota Am- bon kelihatannya gelap; kadang-kadang menyulitkan pesawat ter- bang bila hendak mendarat sehingga pesawat itu harus kembali ke

Ujung Pandang. Dari kata ombong, lama-lama menjadi ambong dan akhirnya menjadi ambon.

Hutumuri disebut juga Hatumuri atau Batumuri. Secara eti- mologi, Hatumuri terdiri dari dua suku kata hutu dan muri. Hatu atau hutu artinya batu sedangkan muri artinya gunung. Dengan demikian Hutumuri artinya belakang batu atau belakang gunung. Untuk me- ngetahui sejarah asal mula Negeri Hutumuri, peneliti telah melaku- kan wawancara dengan tokoh adat Hutumuri yaitu Bapak Benny Sa- meaputty di Negeri Hutumuri. Secara lengkapnya cerita tentang asal mula Negeri Hutumuri dikemukakan sebagai berikut:

“Pada waktu dahulu di Nunusaku terdapat seorang bapak yang ber- nama Wakonda. Ia memiliki tiga orang anak laki-laki masing- masing Timanole, Simanole dan Silaloi. Ketika mereka menjadi de- wasa diputuskanlah untuk meninggalkan Nunusaku. Sebelumnya ketiga saudara tadi telah mengikat janji untuk tetap saling menya- yangi sebagaimana layaknya ketika hidup di Nunusaku walaupun akan dipisahkan oleh laut dan daratan. Pada waktu yang telah di- tentukan berpisahlah kakak beradik itu. Timanole kakak yang tua bergerak dari Nunusaku menuju ke arah barat dan ia tiba di suatu tempat yang sekarang menjadi Negeri Tamilouw. Saudaranya yang kedua bernama Simanole menyeberang ke Pulau Ambon, menuju ke suatu tempat di daerah perbukitan yaitu daerah sekitar Benteng Ka- rang Passo, sedangkan yang bungsu bernama Silaloi berlayar me- nuju Pulau Saparua dan membangun negeri yang sekarang berna- ma Sirisori. Oleh karena itulah di antara anak-anak adat dari ketiga negeri ada hubungan persaudaraan yaitu Negeri Tamilouw, Negeri Sirisori dan Negeri Hutumuri. Ikatan persaudaraan itu dikenal de- ngan nama pela dan gandong. Simanole berlayar menuju Pulau Ambon dengan menggunakan perahu untuk mencari suatu daerah yang akan dijadikan perkampungan. Di masa itu sering terjadi pe- perangan antar suku maka perkampungan biasanya dibangun di daerah-daerah yang tinggi atau di daerah perbukitan sehingga tidak mudah dijangkau oleh musuh. Perkampungan di bukit sekaligus se- bagai benteng pertahanan jika ada penyerangan musuh. Nenek mo- yangnya Simanole berlayar menyusuri Sungai Wai dan tiba di To- mol. Untuk beberapa waktu ia tinggal di situ namun kembali me- lanjutkan perjalanan mencari tempat yang baik untuk menetap dan tiba di suatu tempat yang bernama Lana yaitu yang sekarang ini di sekitar perkampungan Benteng Karang dan membangun perkam- pungan di Lana. Simanole diangkat menjadi pemimpin bagi kurang lebih 150 (seratus lima puluh) kepala keluarga dan dianugerahi na- ma Simanole Lai Lana Lau artinya yang datang dari Laut. Ia juga

mendapat gelar Henawalawala artinya Orang Gunung yaitu orang yang datang dari Gunung yaitu dari Pulau Seram. Simanole Lai La- na Lau menurunkan empat matarumah utama yang ada di Negeri Hutumuri sekarang ini yaitu matarumah Souhuat, matarumah Pa- talala, matarumah Lilipory dan matarumah Kayluhu. Keempat ma- tarumah utama dimaksud memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing sebagai berikut. Matarumah Souhuat bertindak se- bagai kapitang yaitu panglima perang. Jabatan ini diberikan secara turun temurun. Matarumah Patalala bertindak sebagai Armeta ya- itu orang yang mengatur administrasi pemerintahan atau semacam sekretaris negeri; matarumah Lilipory bertanggung jawab mengurus perekonomian sedangkan matarumah Kayluhu bertindak sebagai Mauweng yaitu pendeta adat, yang biasanya memimpin upacara- upacara adat. Ketika Belanda berkuasa di Ambon serta melakukan kebijakan politik dan ekonomi maka proses penurunan negeri-negeri dari gunung-gunung ke pantai yang telah dilaksanakan di masa Portugis dilanjutkan oleh De Vercenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kebijakan ini tidak ditaati sepenuhnya oleh seluruh masya- rakat. Ada sebagian masyarakat yang tidak mau mengindahkan kebi- jakan Belanda tersebut sehingga meninggalkan kampung atau nege- rinya untuk mencari tempat lain yang dirasakan lebih aman. Orang- orang di perkampungan Lana, juga merasa tidak senang dengan ca- ra VOC sehingga mereka berpindah ke tempat lain. Rombongan ya- ng melarikan diri itu berjalan menyusuri Pantai Lawena menuju ke arah Negeri Rutong. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan kelompok-kelompok perkampungan kecil yang disebut Uli. Pada ak- hirnya rombongan dari Lana bergabung dengan uli-uli tersebut. Da- lam perkembangan selanjutnya sebutan Uli berubah menjadi Soa. Masing-masing Soa di dalam negeri memiliki lambang atau simbol totem klannya berupa wujud binatang .”

Wujud binatang yang dimaksud dapat dilihat pada lambang berikut ini:

Gambar 1.

Totem Klan 5 Soa Di Hutumuri

Totem klan dari lima buah Soa dikemukakan sebagai berikut. Di bagian tengah tergambar burung merpati putih dimiliki oleh Soa Patihutung, di sebelah kiri bawah gambar burung mainggole dimiliki oleh Soa Mokihutung, di sebelah kiri atas binatang soa-soa (mirip kadal) terbang menjadi milik Soa Tutupasar, di sebelah kanan atas katak dimiliki oleh Soa Puasel dan di sebelah kanan bawah ular patola atau ular berbintik-bintik milik Soa Lapaut

Pada hakikatnya, lambang-lambang binatang di perisai terse- but merupakan representasi dari leluhur yang kemudian berkem- bang menjadi totem klan, yaitu klan-klan pendatang sesuai dengan cerita rakyat setempat yang akhirnya bergabung dan membentuk Negeri Hutumuri.

Dokumentasi di bawah ini menunjukkan aktivitas dari totem klan atau Soa Lapaut, yang sedang memandikan “katak” pada waktu akan dilaksanakannya upacara membangun baeleu beberapa tahun yang lalu. Setelah dimandikan disiapkan sebuah tempat tidur khusus yaitu koivrong bagi sang katak bertuah itu.

Gambar 2.

Totem Soa Lapaut Di Dalam Koivrong

Dalam perkembangan kehidupan manusia – perpindahan tempat, penggabungan kelompok-kelompok masyarakat menjadi sa- tu kelompok masyarakat baru dan akhirnya menjadi negeri menye- babkan adanya perubahan-perubahan atau penyesuaian dalam ber- bagai bidang termasuk adat istiadat asli yang erat hubungannya de- ngan kepercayaan. Demikianlah sejarah pembentukan Negeri Hutu- muri.

Hutumuri saat ini merupakan sebuah negeri yang penduduk- nya mayoritas beragama Kristen Protestan. Meskipun negeri ini tidak terlalu jauh dari Kota Ambon nuansa kehidupan orang negeri masih terlihat misalnya sebagian besar penduduk masih menggunakan pa- kaian tradisional sehari-hari yaitu kain dan kebaya untuk kaum pe- rempuan sedangkan untuk kaum laki-laki celana panjang dan kaos leher bulat atau kaos oblong. Dari kota Ambon bila hendak ke Hu- tumuri dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dalam waktu 30 (tiga puluh) hingga 60 (enam puluh) menit dan mobilitas penduduk berjalan lancar.

Gambar 3.

Jalan Utama Di Negeri Hutumuri

Negeri Hutumuri di tahun 1942 pernah menjadi tempat pen- daratan tentara Jepang ketika hendak menduduki Kota Ambon. Pada

30 Januari 1942 Jepang mulai membuka serangan pendaratan di Hitu dan Latuhalat tetapi karena pertahanan Belanda cukup kuat di dua negeri tersebut pendaratan tentara Jepang mengalami kegagalan. Je- pang berusaha untuk mendaratkan pasukannya di negeri Tulehu na- mun juga gagal karena kapal-kapal Jepang mendapat tembakan gen- car dari meriam-meriam Belanda yang telah ditempatkan di daerah perbukitan sekitar Gunung Garser.

Jepang terus mencoba menduduki Kota Ambon sehingga usa-

ha pendudukan kembali lagi dilakukan dan kali ini Jepang menda- ratkan pasukannya di daerah sekitar Batu Gong yaitu di muka Pantai Negeri Hutumuri. Meskipun mendapat perlawanan yang ketat dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), patahlah pertahanan Be- landa dan secara mengejutkan Kota Ambon berhasil diduduki oleh pasukan Jepang. Negeri dan masyarakat Hutumuri menjadi salah sa- tu saksi sejarah. Situs peninggalan Jepang di Negeri Hutumuri itu ki- ni telah menjadi salah satu objek peninggalan sejarah yang rajin di- kunjungi anak-anak sekolah, wisatawan lokal dan wisatawan manca- negara.

B. Pola Pemukiman Dan Keadaan Fisik

Secara astronomi Negeri Hutumuri terletak pada 3°41’47 Lin- tang selatan sampai dengan 128°17’11 Bujur Timur sedangkan batas- batas negeri ini dikemukakan sebagai berikut. Di sebelah utara berba- tasan dengan Negeri Batu Merah dan Negeri Halong, sebelah selatan dengan Laut Banda, di sebelah timur berbatasan dengan Negeri Pas- so dan di sebelah barat dengan Negeri Rutong (Sumber Kantor Desa Hutumuri, 2014).

Sejak tahun 2010 Negeri Hutumuri telah menjadi salah satu negeri dalam wilayah Kecamatan Leitimur Selatan, sebelumnya Hu- tumuri berada dalam wilayah administratif Kecamatan Teluk Ambon Baguala.

Gambar 4.

Sketsa Peta Negeri Hutumuri

Jarak Negeri Hutumuri dengan ibu kota kecamatan adalah 6 (enam) kilometer sedangkan jarak Negeri Hutumuri dengan Kota Ambon adalah 24 (dua puluh empat) kilometer. Untuk mencapai Negeri Hutumuri dari Kota Ambon dapat ditempuh dengan kenda- raan roda dua atau roda empat selama 40 (empat puluh) hingga 60 (enam puluh) menit. Negerinya berada di daerah pesisir pantai mem- buat udara menjadi hangat. Mobilitas penduduk dari Negeri Hutu- muri ke Kota Ambon demikian juga sebaliknya berjalan lancar de- ngan tersedianya sarana dan prasarana transportasi umum.

Topografi Negeri Hutumuri berada di Pulau Ambon dan be- rada di dataran pegunungan. Letak perumahan penduduk serta pu- sat administrasi negeri berada pada dataran rendah. Luas Negeri Hu-

tumuri kurang lebih 15.000 km 2 sedangkan luas negeri yang telah memiliki perumahan rakyat adalah 15 ha.

Iklim di negeri ini dipengaruhi oleh laut Banda dengan tipe iklim berganti-ganti yaitu antara 5 (lima) hingga 6 (enam) bulan ada- lah bulan basah musim sedangkan 2 (dua) hingga 3 (tiga) bulan me- rupakan bulan kering. Bulan Juni sampai bulan September mengala- mi musim timur yaitu musim penghujan, bulan Oktober hingga bu- lan Februari mengalami musim barat yaitu musim kemarau. Bulan Maret hingga bulan Mei adalah musim pancaroba.

Tata letak bangunan rumah-rumah warga di Negeri Hutu- muri pada dasarnya berbanjar. Bangunan rumah yang berada di tepi jalan seluruhnya menghadap ke jalan raya utama diselingi dengan beberapa buah lorong atau jalan-jalan kecil yang telah diberi aspal atau jalan setapak setelah diberi semen tumbuk. Sepintas tata letak bangunan rumah di negeri ini terlihat cukup teratur dan rapih na- mun demikian tata letak rumah pada gang-gang kecil masih kurang teratur. Gang-gang yang kecil itu sebenarnya merupakan tanah pe- karangan atau halaman warga setempat yang akhirnya menjadi jalan hilir mudik antara warga setempat tetapi juga jalan hilir mudik bi- natang peliharaan mereka yaitu babi.

Babi sebagai binatang peliharaan warga negeri sering kali di- lepaskan berjalan di pekarangan rumah bahkan kadang-kadang me- masuki areal jalan raya sehingga tidaklah terlalu asing bagi orang yang melewati negeri ini melihat beberapa ekor babi berjalan-jalan di tengah-tengah jalan raya membuat suasana tidak nyaman dan kotor. Rumah-rumah yang terletak di tepi jalan raya utama umumnya ber- pekarangan luas sedangkan rumah-rumah yang berada di gang-gang kecil umumnya berpekarangan sempit.

Gambar 5.

Binatang Piaraan Di Negeri Hutumuri

Kondisi fisik bangunan rumah warga Negeri Hutumuri secara umum dapat digolongkan dalam tipe rumah permanen dan semi per- manen. Bangunan rumah permanen umumnya milik warga yang be- kerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ANS), Tentara Nasional Indone- sia – Polisi Republik Indonesia (TNI Polri), mereka yang mendapat bantuan dari keluarga-keluarga yang ada di Negeri Belanda maupun sebagai pegawai swasta.

Sering kali rumah-rumah seperti ini penghuninya telah beker- ja di tempat lain misalnya di Kota Ambon atau di luar Pulau Ambon dan rumah-rumah tersebut hanya didatangi sewaktu-waktu saja se- kadar untuk bertemu dengan keluarga pada waktu-waktu tertentu dan dirawat oleh salah seorang famili yang masih tinggal di tempat tersebut. Kadang-kadang pembangunan rumah-rumah permanen se- perti ini juga hanya untuk menunjukkan prestise keluarga walaupun tidak dihuni.

Gambar 6.

Tipe Rumah Permanen

Gambar 7.

Tipe Rumah Semi Permanen

Rumah-rumah dengan tipe semi permanen umumnya berdin- ding setengah tembok dan berantai semen cor beratap rumbia atau beratap zink. Biasanya rumah-rumah tipe ini tidak selalu menghadap ke jalan raya tetapi ada pada gang-gang kecil dan pekarangan atau halaman sekitarnya kurang terurus dengan baik. Peralatan rumah ta- ngga seperti mebel cukup sederhana meskipun juga tersedia televisi, Rumah-rumah dengan tipe semi permanen umumnya berdin- ding setengah tembok dan berantai semen cor beratap rumbia atau beratap zink. Biasanya rumah-rumah tipe ini tidak selalu menghadap ke jalan raya tetapi ada pada gang-gang kecil dan pekarangan atau halaman sekitarnya kurang terurus dengan baik. Peralatan rumah ta- ngga seperti mebel cukup sederhana meskipun juga tersedia televisi,

Walaupun secara umum terlihat dua jenis tipe rumah pendu- duk yaitu permanen maupun semi permanen ternyata di Hutumuri juga masih ada penduduk yang menempati rumah dengan tipe yang sangat sederhana. Rumah gaya lama memiliki dinding dan atap rum- bia atau atap pohon daun sagu yang dikeringkan. Pintu dan jendela rumah masih terbuat dari buah gaba-gaba kering sedangkan lantai rumah adalah berlantai tanah. Luas rumah berukuran kecil biasanya hanya ada satu buah kamar tidur, dilengkapi sebuah dapur tungku sebagai tempat masak. Biasanya rumah seperti ini ditempati oleh se- orang tua yang hidupnya sendiri.

Gambar 8.

Tipe Rumah Lama Dinding Atap Pohon Sagu

Selain rumah-rumah penduduk dengan berbagai tipe juga ter- dapat sejumlah sarana dan prasarana atau fasilitas umum bangunan permanen yang dimanfaatkan oleh masyarakat negeri. Fasilitas um- um itu antara lain adalah gereja, Pusat Kesehatan Masyarakat (Pus- kesmas), pemandian umum, koperasi, gedung sekolah, gedung Peru- sahaan Listrik Negara (PLN) serta pekuburan.

Di ujung negeri tepatnya di pinggiran jalan terdapat peku- buran umum. Sehari-hari pekuburan umum dibiarkan begitu saja ti- dak terawat kecuali ada beberapa kuburan yang terlihat bersih dan terawat. Kuburan-kuburan yang terlihat terawat biasanya keluarga- keluarganya tinggal tidak jauh dari daerah pekuburan sehingga mu- dah membersihkannya. Ada beberapa buah pekuburan yang dihiasi dengan bunga-bunga plastik atau membangun kuburan secara per- manen lengkap dengan nisan dan tegel sebagai tanda kasih kepada orang yang telah meninggal itu tetapi ada juga yang menganggap membangun kuburan yang baik akan mendapat berkat dari orang yang telah meninggal, tetapi ada juga sebagai penonjolan prestise ke- luarga saja. Tampak di dalam gambar di bawah ini beberapa pekubu- ran yang telah dibangun secara permanen tetapi lokasi disekitarnya dibiarkan tumbuh dengan rumput-rumput liar sehingga lingkungan tampak kotor dan tidak terpelihara.

Gambar 9.

Pekuburan Negeri Hutumuri

Pada umumnya pekuburan ini secara rutin dibersihkan men- jelang Natal dan Tahun Baru atau jika secara insidentil akan dilaksa- nakan upacara adat negeri misalnya membangun baileu, mengangkat raja baru serta biking panas pela. Masyarakat negeri akan membersih- kan semua jalan dan lorong, tempat pemandian termasuk areal peku- buran supaya negeri terlihat bersih dan rapi sehingga tidak mengga- Pada umumnya pekuburan ini secara rutin dibersihkan men- jelang Natal dan Tahun Baru atau jika secara insidentil akan dilaksa- nakan upacara adat negeri misalnya membangun baileu, mengangkat raja baru serta biking panas pela. Masyarakat negeri akan membersih- kan semua jalan dan lorong, tempat pemandian termasuk areal peku- buran supaya negeri terlihat bersih dan rapi sehingga tidak mengga-

C. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Negeri Hutumuri

1. Penduduk

Dinamika perkembangan Negeri Hutumuri secara adminis- tratif dapat dikemukakan sebagai berikut. Penduduk yang saat ini tinggal di Negeri Hutumuri umumnya adalah penduduk asli yang mayoritas beragama Kristen Protestan, terdiri dari 975 (sembilan ra- tus tujuh puluh lima) Kepala Keluarga (KK) yang tersebar dalam 20 (dua puluh) Rukun Tetangga (RT) dan 5 (lima) dusun. Tabel 1 di ba- wah ini menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan keluarga keadaan tahun 2013.

Tabel 1.

Jumlah Penduduk Negeri Hutumuri Menurut Jenis Kelamin Dan Kepala Keluarga Tahun 2013

No Kriteria Jumlah

1 Jumlah penduduk 3.994 orang 2 Jumlah laki-laki

1.989 orang 3 Jumlah perempuan

2.005 orang 4 Jumlah KK

975 KK

Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

Mencermati Tabel 1 di atas diketahui jumlah penduduk pe- rempuan adalah 3.994 (tiga ribu sembilan ratus sembilan puluh em- pat) orang lebih banyak dari jumlah penduduk laki-laki yaitu 1.989 (seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan) orang sedangkan bila dilihat menurut usia dapat dikemukakan pada Tabel 2 sebagai beri- kut.

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Negeri Hutumuri Menurut Usia Tahun 2013

No

Usia

Jumlah (Orang)

1 0 - 12 bulan 113 2 1 - 5 tahun

345 3 6 - 7 tahun

183 4 8 - 15 tahun

675 5 16 - 56 tahun

2.305 6 56 tahun ke atas

Jumlah 4.019 Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

Mencermati Tabel 2 di atas diketahui bahwa jumlah pendu- duk terbesar pertama berdasarkan usia ada pada kisaran usia 16 (en- am belas) hingga 56 (lima puluh enam) tahun yaitu sebanyak 2.305 (dua ribu tiga ratus lima) orang sedangkan jumlah penduduk pada usia terkecil ada pada kisaran usia 0 (nol) hingga 12 (dua belas) bulan yaitu sebanyak 113 (seratus tiga belas) orang.

Jumlah penduduk terbesar kedua pada kisaran usia 8 (dela- pan) hingga 15 (lima belas) tahun adalah sebanyak 675 (enam ratus tujuh puluh lima) orang, yang diikuti dengan jumlah penduduk ter- besar ketiga dalam kisaran usia 6 (enam) hingga 7 (tujuh) tahun yaitu sebanyak 183 (seratus delapan puluh tiga) orang. Keberadaan pendu- duk umumnya bersumber dari 5 (lima) Soa yang menurunkan marga atau fam seketurunan (geneologis).

Tabel 3.

Nama Soa Dan Marga Atau Fam Keluarga Di Negeri Hutumuri

No Nama Soa

Marga Atau Fam

Pais Matuankota Matakena Lesiasel Leiwakabessy Pesy

Soripet Patiapon Kapuw

Leiwaherila Pesurnay

Moniharapon Lehatalanit Hursepuny Matualatupan Dan juga marga-marga penda- tang masuk dalam soa Puasel.

Souhuat Patalala Kayluhu Lilipory (marinyo)

Sumber: Bapak Benny Sameaputty

Negeri Hutumuri termasuk dalam kelompok masyarakat adat Patasiwa dan juga masyarakat adat Patalima. Disebut Patalima (ke- lompok Lima) oleh karena ketika moyang Simanole tiba di Lana Ia bertemu dengan empat Uli di sana yaitu Souhuat, Patalala, Lilipory, Kayluhu. Mereka disebut juga sebagai masyarakat Patasiwa (kelom- pok Sembilan) hal ini didasarkan karena jumlah empat matarumah itu telah bergabung dengan keempat Uli yang merupakan orang-or- ang pantai yaitu Uli Marna, Uli Tuni, Uli Mau dan Uli Moni. Wujud dari gabungan soa-soa yang ada di dalam negeri dipadukan dalam sebuah monumen yang dibangun di tengah-tengah negeri yang dina- makan pusat negeri.

Gambar 10.

Tugu Sebagai Pusat Negeri

Sebagai tanda bahwa mereka adalah penggabungan dari lima dan empat uli maka dalam upacara adat ada nyanyian kapata yang berbunyi antara lain Lana Pati Pati Lana Pati Pitu Jadi Hutumuri Latu diartikan antara lain dua menjadi satu pati diangkat menjadi satu ba- tang tubuh negeri besar yang dipimpin oleh latu dan perwakilan-per- wakilannya. Menurut keterangan dari Bapak Beny Sameaputty peng- ertian dari kapata di atas itu adalah menceritakan bahwa keempat ne- geri datang dari gunung atau dari Pulau Seram yaitu Souhuat, Pa- talala, Lilipory dan Kayluhu bertemu dengan orang-orang pantai yai- tu Uli Marna, Uli Tuni, Uli Mau dan Uli Moni yang pada akhirnya Sebagai tanda bahwa mereka adalah penggabungan dari lima dan empat uli maka dalam upacara adat ada nyanyian kapata yang berbunyi antara lain Lana Pati Pati Lana Pati Pitu Jadi Hutumuri Latu diartikan antara lain dua menjadi satu pati diangkat menjadi satu ba- tang tubuh negeri besar yang dipimpin oleh latu dan perwakilan-per- wakilannya. Menurut keterangan dari Bapak Beny Sameaputty peng- ertian dari kapata di atas itu adalah menceritakan bahwa keempat ne- geri datang dari gunung atau dari Pulau Seram yaitu Souhuat, Pa- talala, Lilipory dan Kayluhu bertemu dengan orang-orang pantai yai- tu Uli Marna, Uli Tuni, Uli Mau dan Uli Moni yang pada akhirnya

Wujud masyarakat patasiwa dan patalima itu diimplementa- sikan melalui bangunan baileu yang berbentuk gantung dengan bahan-bahan dari papan beratapkan daun-daun pohon sagu. Baileu Hutumuri ini diberi nama Baileu Suluh Waming.

Gambar 11.

Baileu Suluh Waming Negeri Hutumuri

Bangunan baileu dibangun di tengah-tengah negeri berbentuk empat persegi panjang, terbuka tanpa dinding sejajar dengan pantai dan memiliki 9 (sembilan) buah tiang. Masing-masing tiang mewakili soa.

Saat dilaksanakan upacara adat negeri seperti pengangkatan raja baru atau biking panas pela maka pusat upacara dilakukan di se- kitar baileu dan di saat itu baileu menjadi sakral.

Gambar 12.

Ornamen Baileu Negeri Hutumuri

Baileu gantung Suluh Waming memiliki ornamen yang cukup ramai yang tergambar pada dinding-dinding papan. Motif baileu umumnya bermotif bunga-bunga, burung, matahari serta daun. Pada umumnya hiasan motif-motif ini terinspirasi dari motif-motif Patasi- wa dan Patalima.

2. Lembaga Pemerintahan Negeri

Lembaga pemerintahan negeri di Hutumuri merupakan suatu badan pemerintahan adat yang terstruktur dengan cara pengaturan menurut adat dan sekaligus sebagai aparat terbawah pemerintahan umum. Raja dan stafnya adalah pemerintah negeri tetapi setingkat di bawah camat dalam mengatur negerinya. Mereka dapat berfungsi sebagai pejabat eksekutif tetapi juga yudikatif. Para tua adat turut mendampingi pemerintah negeri dalam memberi nasehat terhadap hal-hal yang dianggap perlu. Di dalam masyarakat, raja selain seba- gai pemimpin negeri sekaligus kepala adat. Kedudukannya sebagai kepala adat menempatkan dirinya sebagai figur sentral dalam setiap ritual negeri.

Raja yang memerintah di Negeri Hutumuri saat ini adalah Ba- pak Andreas Willem Tehupiory berasal dari Soa Mokihutung. Bila- mana ia berhalangan maka kepala pemerintahan negeri adalah Raja yang memerintah di Negeri Hutumuri saat ini adalah Ba- pak Andreas Willem Tehupiory berasal dari Soa Mokihutung. Bila- mana ia berhalangan maka kepala pemerintahan negeri adalah

ga atau Kepala Soa Meseng. Dalam struktur pemerintahan adat ada juga beberapa lembaga adat yaitu Saniri, Marinyo, Kewang, Kapitan, Mauweng.

Lembaga Mauweng kini telah dihilangkan setelah penduduk memeluk agama Kristen. Saniri Negeri adalah lembaga musyawarah rakyat dan lembaga peradilan yang berkaitan masalah-masalah per- tanahan. Raja sekaligus bertindak sebagai Kepala Saniri.

Gambar 13.

Bapak Raja Hutumuri

Kewang berhak memberi sanksi denda atau hukuman kepada seseorang yang dianggap melanggar aturan yang berhubungan de- ngan kelestarian lingkungan. Saat dilaksanakan sasi maka kewang dan anak-anak kewang akan menjaga kewibawaan pelaksanaan sasi. Dalam suatu perselisihan batas-batas tanah kewang dapat berperan sebagai sumber yang dapat menentukan batas-batas tanah. Oleh ka- rena itu Kewang atau Kepala Kewang adalah orang yang dianggap sangat memahami batas-batas tanah. Kepala Kewang biasanya dipi- lih dari masing-masing soa.

Marinyo adalah jabatan dengan tugas memberikan informasi kepada masyarakat. Jabatan ini bukan jabatan turun temurun. Kapi- tang di waktu dahulu adalah seorang panglima perang berasal dari Marinyo adalah jabatan dengan tugas memberikan informasi kepada masyarakat. Jabatan ini bukan jabatan turun temurun. Kapi- tang di waktu dahulu adalah seorang panglima perang berasal dari

Keberadan Kapitang hanya dilihat saat dilaksanakannya upa- cara adat seperti saat pelantikan raja atau upacara panas pela. Jabatan Marinyo bukan jabatan turun temurun dan dianggap sebagai jabatan yang tidak terlalu tinggi kedudukannya. Marinyo lebih berperan se- bagai pesuruh raja untuk menyampaikan pesan kepada warga.

Manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri baik dalam kehidupan bermasyarakat sederhana sampai kepada masyarakat yang kompleks sekalipun. Hidup dalam kelompok untuk saling to- long menolong adalah ciri dari manusia. Di Negeri Hutumuri ter- dapat beberapa lembaga sosial masyarakat yang tujuannya adalah sa- ling membantu satu dengan yang lain baik dalam segi keamanan ma- upun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di bawah ini akan dije- laskan secara singkat aktivitas dari perkumpulan-perkumpulan sosial atau kegiatan dari lembaga-lembaga sosial yang ada di Hutumuri. Lembaga-lembaga sosial yang dimaksud antara lain Masohi, Muha- beth, Badati, Koperasi, Sasi dan Pela.

Masohi yaitu sistem tolong menolong yang dilakukan warga di Hutumuri misalnya dalam menyumbangkan tenaga untuk melak- sanakan pembangunan rumah di antara warga secara bergantian, masohi membuka kebun, memanen cengkeh, pala dan lain sebaga- inya. Selain masohi antar individu ada juga masohi massal yaitu da- lam rangka membangun sebuah bangunan milik masyarakat misal- nya membangun gereja atau baileu. Sebagaimana diketahui bahwa baileu adalah rumah adat dari masyarakat maka dilaksanakan secara bersama-sama. Demikian juga melaksanakan pembangunan rumah. Hal-hal atau tuntutan-tuntutan ritus magis tetap diperhatikan mi- salnya kewajiban melaksanakan upacara, tata krama berpakaian serta keterlibatan soa-soa dengan fungsinya masing-masing.

Gambar 14.

Aksi Masohi Membangun Rumah

Organisasi Muhabeth juga merupakan salah satu organisasi sosial masyarakat Hutumuri yang bergerak di bidang kedukaan atau kematian. Organisasi ini sejak dahulu merupakan bagian dari orga- nisasi gereja bersama-sama dengan organisasi suling bambu. Umum- nya setiap warga Hutumuri dihimbau untuk menjadi anggota Muha- beth maksudnya untuk membantu anggotanya ketika salah satu ang- gota keluarga Muhabet meninggal dunia. Bila ada anggota Muhabet yang meninggal atau salah seorang anggota keluarganya yang meni- nggal maka organisasi Muhabeth yang akan membantu keluarga yang berduka itu, mulai dari pembuatan peti mati, penyiapan sebuah (tenda) penyiapan liang kubur, penyiapan ibadah pemakaman hing-

ga kue-kue dalam acara pengucapan syukur seluruhnya ditanggung organisasi Muhabeth. Di Hutumuri terdapat 5 (lima) buah organisasi Muhabeth yang ada di bawah pembinaan organisasi Gereja Bethle- hem.

Gambar 15.

Gereja Bethlehem

Demi kelancaran pengurusan setiap anggota Muhabeth diwa- jibkan untuk membayar iuran bulanan masing-masing sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) per KK. Badan Pengurus Organisasi yang berkecimpung dalam urusan kematian ini terdiri dari ketua, se- kretaris, bendahara seksi tukang dan seksi gali kubur. Di Hutumuri terdapat 5 (lima) buah perkumpulan Muhabeth yaitu Muhabeth Pe- ngasihan, Muhabeth Pucuk Hijau, Muhabeth Pniel, Muhabeth Sinar dan Muhabeth Dorkas di mana rata-rata sebuah perkumpulan Mu- habeth beranggotakan 60 (enam puluh) hingga 120 (Seratus dua pu- luh) KK.

Apabila dahulu di Pulau Seram, masyarakat lokal melaksana- kan aksi badati sagu atau bahan makanan lainnya maka masyarakat Hutumuri juga melaksanakannya. Badati adalah sistem tolong meno- long dengan cara memberikan bahan makanan atau keperluan lain kepada anggota kelompoknya. Beberapa orang membentuk kelom- pok dan anggota dari masing-masing kelompok akan menyumbang- kan keperluan kepada salah seorang anggota yang memerlukannya baik itu dalam bentuk uang atau bahan makanan. Pada waktunya anggota tersebut akan menyumbangkan bahan yang sama untuk me- nolong anggota yang lain. Jadi semacam sistem arisan.

Dalam rangka menyiapkan pemandian umum maka masya- rakat Hutumuri telah menyiapkan sebuah bak mandi besar yang di- Dalam rangka menyiapkan pemandian umum maka masya- rakat Hutumuri telah menyiapkan sebuah bak mandi besar yang di-

Gambar 16.

Bak Mandi Badati

Di Negeri Hutumuri terdapat juga sebuah koperasi. Koperasi ini dibangun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para warga desa akan barang-barang konsumsi seperti gula pasir, teh, kopi, sa- bun, terigu dan lain sebagainya. Disamping menangani kebutuhan barang konsumsi sehari-hari Koperasi Senyum juga mengumpulkan hasil produksi setempat seperti cengkeh dan kelapa untuk nantinya dipasarkan.

Gambar 17.

Koperasi Senyum

Aktivitas koperasi juga berkembang sampai pada melayani pembayaran layanan listrik, Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB), seka- ligus berfungsi sebagai bank.

Para pekerja adalah anak-anak negeri sedangkan nasabah ter- besarnya adalah masyarakat Hutumuri. Koperasi Senyum ini telah turut memberdayakan masyarakat setempat sekaligus telah memban- tu pemerintah untuk menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat. Bangunan koperasi terlihat meyakinkan.

Salah satu tanaman andalan dari Negeri Hutumuri adalah ke- lapa dan pala. Kedua jenis tanaman umur panjang ini dipelihara dan waktu panen dapat dijual. Hasilnya cukup menggembirakan karena saat ini harga cengkeh maupun kelapa cukup tinggi sehingga mem- bawa keuntungan bagi petani yang menanamnya. Untuk menjaga ke- langsungan hidup dari tanaman-tanaman tersebut sekaligus menja-

ga kualitas hasil tanaman maka pada waktu-waktu tertentu diada- kan tutup sasi. Kebiasaan sasi dengan melakukan tutup sasi melalui upacara khusus sudah tidak dilakukan lagi seperti di waktu da-hulu dimana Mauweng sangat berperan selaku pendeta adat. Setelah aga- ma Kristen menjadi begitu melekat dalam kehidupan warga Hutu- muri maka upacara tutup sasi yang penuh dengan sakral magis itu telah diganti dengan upacara doa tutup sasi di gereja.

Saat ibadah minggu dilaksanakan, pendeta mengumumkan pemberlakuan tutup sasi bagi masyarakat dan untuk mengukuhkan tutup sasi itu akan dilakukan doa secara bersama-sama. Praktik se- lanjutnya, kewang dapat melaksanakan tugasnya untuk selalu meng- ontrol jalannya sasi gereja tersebut. Sebagai tanda dilaksanakannya tutup sasi maka pada pohon-pohon yang disasi diberi tanda.

Masyarakat tidak akan berani melanggar sasi karena percaya hukumannya akan menjadi lebih berat karena berhubungan dengan Tuhan Allah yang telah mendengarkan doa dari pendeta yang telah menutup sasi tadi sampai saat waktu buka sasi pendeta kembali akan mengumumkan buka sasi yang diakhiri dengan doa. Bila telah buka sasi warga dapat menikmati kembali buah-buah yang telah disasi itu.

Gambar 18.

Simbol Sasi

Persekutuan sosial lain yang sifatnya antar negeri adalah pela. Pela juga berarti saudara dalam adat. Masyarakat Hutumuri sejak da- hulu telah memiliki hubungan pela atau gandong antar negeri. Tani- louw dan Sirisori. Ketiga Negeri Tamilouw, Hutumuri dan Sirisori adalah gandong. Karena menurut sejarah pela dari ketiga negeri ini dahulu mereka adik kakak yang berasal dari Pulau Seram (Nunu- saku). Eksistensi pela dari ikatan-ikatan tersebut terlihat saat dilaku- kan upacara panas pela yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Jika pela-pela bertemu mereka saling menyapa dengan panggilan ak- rab pela atau gandong, merekapun saling menolong dalam hal mem- bangun fasilitas umum, aktivitas upacara angkat raja dan lain se- bagainya.

3. Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Negeri Hutumuri bervariasi, ada yang menjadi ANS, TNI Polri dan ada juga yang menggeluti bi- dang jasa seperti sopir angkutan kota maupun tukang ojek pekerjaan sebagai ibu rumah tangga kelihatannya cukup mendominasi negeri ini.

Mata pencaharian sebagai petani memang telah digeluti sejak dahulu. Sejak dahulu orang-orang Hutumuri telah menanam ceng- keh dan pala karena mendatangkan hasil keuntungan yang cukup besar. Tanaman yang memproduksi makanan pokok seperti pohon sagu tumbuh di mana-mana. Pohon sagu tidak membutuhkan peme- liharaan khusus tetap dapat menghasilkan isi sagu. Satu buah pohon sagu dapat menghasilkan 10 (sepuluh) hingga 20 (dua puluh) tumang tepung sagu.

Gambar 19.

Tumang Sagu Dengan Tepung Sagu

Di waktu dahulu tepung sagu itu diolah menjadi sagu bakar untuk dimakan bersama-sama dengan isi kebun bersama-sama de- ngan makanan khas papeda namun sekarang sagu sudah kurang me- njadi makanan pokok tetapi telah diganti dengan nasi beserta lauk Di waktu dahulu tepung sagu itu diolah menjadi sagu bakar untuk dimakan bersama-sama dengan isi kebun bersama-sama de- ngan makanan khas papeda namun sekarang sagu sudah kurang me- njadi makanan pokok tetapi telah diganti dengan nasi beserta lauk

Gambar 20.

Pohon Pepaya

Tepung sagu selain dimakan, saat ini cenderung diolah men- jadi makanan tahan lama seperti sagu lempeng (sagu yang dibakar dan dikeringkan), sagu gula atau kue-kue sagu sebagai panganan ke- cil seperti bagea, serut dan lain sebagainya yang dikemas dengan ba- ik untuk dijual sebagai penambah ekonomi keluarga. Pertanian di ke- bun juga dilaksanakan orang-orang Hutumuri. Mereka menanam kacang-kacangan, kasbi, keladi, pisang, petatas, pepaya dan lain se- bagainya.

Gambar 21.

Sagu Lempeng

Oleh karena Negeri Hutumuri berada di daerah pesisir pan- tai maka lautan luas yang terbentang di muka negeri adalah lahan mencari ikan yang sangat baik. Penduduk negeri ini juga dikenal se- bagai nelayan. Lautan yang luas di hadapan negeri ini menyediakan berbagai jenis ikan yang ditangkap dengan cara-cara tradisional di- manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri namun jika lebih di- jual antar negeri. Selain ikan lautpun menyediakan kerang, lola, mau- pun teripang.

Gambar 22.

Pantai Hutumuri

Mengenai informasi secara jelas tentang jenis-jenis mata pen- caharian penduduk di negeri ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4.

Jenis Mata Pencaharian Penduduk Negeri Hutumuri Tahun 2013

No Mata Pencaharian Jumlah (Orang)

1 Petani 702 2 Pelajar atau mahasiswa

770 3 Ibu rumah tangga

917 4 Pedagang

35 5 Pegawai swasta

72 6 Pensiunan

58 7 Guru atau dosen

90 8 Industri

54 9 TNI Polri

20 10 Dokter

2 11 Buruh tani atau buruh harian lepas

- 12 Bidan atau tenaga medis lain

14 13 ANS, bukan guru atau dosen

185 14 Belum bekerja atau tidak bekerja

891 15 Pengemudi mobil

39 16 Ojek

Jumlah 3.994 Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

Mencermati tabel di atas maka pekerjaan sebagai ibu rumah tangga merupakan pekerjaan tertinggi yaitu sebanyak 917 (sembilan ratus tuju belas) orang sementara jenis pekerjaan yang paling kecil adalah sebagai dokter yaitu sebanyak 2 (dua) orang. Jumlah pendu- duk yang belum bekerja atau tidak bekerja adalah sebanyak 891 (de- lapan ratus sembilan puluh satu) orang sedangkan yang berstatus se- bagai pelajar atau mahasiswa sebanyak 770 (tujuh ratus tujuh puluh) orang. Mata pencaharian terbesar berikutnya setelah ibu rumah tang-

ga adalah petani yaitu sebanyak 702 (tujuh ratus dua) orang. Peker- jaan sebagai guru dan dosen sebanyak 90 (sembilan puluh) orang. ANS bukan guru dan dosen sebanyak 185 (seratus delapan puluh lima) orang. Pekerjaan sebagai tukang ojek sebanyak 75 (tujuh puluh lima) orang, pegawai swasta sebanyak 72 (tujuh puluh dua) orang. Pensiunan sebanyak 58 (lima puluh delapan) orang sedangkan mere- ka yang bekerja di sektor industri sebanyak 54 (lima puluh empat).

Pengemudi mobil 31 (tiga puluh satu) orang, pedagang sebanyak 35 (tiga puluh lima) orang, TNI Polri sebanyak 20 (dua puluh) orang dan yang menjadi bidan atau tenaga medis lain sebanyak 14 (empat belas) orang.

Di Negeri Hutumuri terdapat juga beberapa orang penduduk yang mengalami cacat fisik sehingga mereka tidak dapat bekerja dan menjadi tanggungan beban keluarga. Secara jelas jumlah penduduk yang cacat dapat dilihat padaTabel 5 di bawah ini.

Tabel 5.

Penduduk Penyandang Cacat Negeri Hutumuri Tahun 2013

No. Keadaan Cacat Jumlah (Orang)

1 Cacat fisik 23 2 Tuna rungu

- 3 Tuna wicara

4 4 Tuna netra

- 5 Lumpuh

Jumlah 34 Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

Mencermati tabel di atas maka diketahui penduduk cacat fisik sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang, lumpuh 7 (tujuh) orang dan tuna wicara sebanyak 4 (empat) orang. Para penderita cacat ini berdiam di keluarga-keluarga masing-masing.

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk mendewasakan ,meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik. Ini berarti bahwa melalui proses pendidikan, masyarakat Hutumuri memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didayakan untuk mening- katkan peradaban sesuai dengan tingkat perkembangan dan kema- juan yang lebih modern. Begitu pentingnya proses pendidikan bagi masyarakat Hutumuri maka telah disiapkan sarana pendidikan mu- lai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Gambar 23, 24, 25 dan 26 adalah sarana-sara- na pendidikan yang ada di Hutumuri.

Gambar 23.

TK Hutumuri