BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada masa sekarang ini dunia usaha sangat tergantung sekali dengan masalah pendanaan, beberapa pakar sepakat bahwa untuk keluar dari krisis
ekonomi ini, sektor riil harus digerakkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun demikian banyak hambatan yang dialami oleh dunia usaha,
salah satunya yang sangat penting adalah masalah pendanaan. Dunia usaha mengalami kemunduran yang diakibatkan oleh kemacetan kredit-kredit yang
diberikan ke dunia usaha tanpa memperhitungkan batas maksimum pemberian kredit dimasa lalu oleh perbankan dan masalah kelayakan kredit yang disetujui.
Oleh karenanya baik itu pihak manajemen maupun pihak kreditor sudah seharusnya mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah
pendanaan ini. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi evaluasi manajemen.
Fungsi keuangan merupakan salah satu fungsi penting bagi perusahaan dalam kegiatan perusahaan. Dalam mengelola fungsi keuangan salah satu unsur
yang perlu diperhatikan adalah seberapa besar perusahaan mampu memenuhi kebutuhan dana yang akan digunakan untuk beroperasi dan mengembangkan
usahanya. Pemenuhan dana ini bisa bersumber dari dana sendiri, modal saham maupun dengan hutang, baik hutang jangka pendek maupun hutang jangka
panjang. Struktur modal pada dasarnya merupakan suatu pembiayaan permanen
yang terdiri dari modal sendiri dan modal asing, dimana modal sendiri terdiri dariberbagai jenis saham dan laba ditahan. Modal asing terdiri dari berbagai
hutang jangka panjang yang meliputi berbagai jenis obligasi, hutang hipotik dan lain–lain. Penggunaan modal asing akan menimbulkan beban yang tetap dan
besarnya penggunaan modal asing ini akan menentukan leverage keuangan perusahaan. Menurut Weston dan Copeland 1992:23 penggunaan modal asing
yang berbeda-beda di antara industri maupun diantara perusahaan mencerminkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan leverage keuangan baik yang
bersifat historis, managerial, atau faktor lainnya. Pedoman struktur finansial yang vertikal memberikan imbangan yang harus
dipertahankan oleh suatu perusahaan mengenai besarnya jumlah modal pinjaman hutang dengan besarnya jumlah modal sendiri. Berdasarkan anggapan bahwa
pembelanjaan yang sehat itu pertama-tama harus dibangun atas dasar modal sendiri, yaitu modal yang tahan risiko maka besarnya modal asing dalam keadaan
apapun tidak boleh melebihi besarnya modal sendiri. Koefisien utang, yaitu angka perbandingan antara jumlah modal asing dengan modal sendiri tidak boleh
melebihi 1:1. Adapun pedoman struktur finansial yang horizontal memberikan batas
imbangan antara besarnya modal sendiri dengan besarnya jumlah aktiva tetap plus persediaan. Pedoman tersebut menyatakan bahwa keseluruhan aktiva plus
persediaan harus sepenuhnya dibelanjai dengan modal sendiri yaitu modal yang tetap tertanam dalam perusahaan. Perimbangan yang optimal antara modal asing
dan modal sendiri akan mencerminkan struktur modal yang optimal. Berdasarkan
Balance Theory yang dikemukakan oleh Myers 1983 dan Brigham 1999 dalam Muhammad Rizal 2002 “perusahaan mendasarkan diri pada keputusan suatu
struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal yaitu struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaaan dan meminimumkan biaya modal.
Struktur modal optimal dibentuk dengan menyeimbangkan keuntungan dari penghematan pajak atas penggunaaan hutang terhadap biaya kebangkrutan.
Dalam kenyataan sulit bagi perusahaan untuk menentukan suatu struktur modal yang terbaik dalam suatu komposisi pembelanjaan yang tepat. Menurut
Hartono 1990:3 lebih mudah apabila perusahaan mencoba menaksir dalam suatu “range berapa tingkat leverage yang tepat bagi perusahaan”. Menurut Riyanto
2001:23 Setiap perluasan basis modal sendiri akan memperbesar kemampuan perusahaan dalam menanggung risiko usaha yang akan dibelanjainya, hal ini
didasarkan pada prinsip keamanan dimana hal ini akan memberikan pengaruh yang baik terhadap kreditur maupun terhadap perusahaan sendiri.
Keputusan pendanaan keuangan perusahaan akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya dan juga akan
berpengaruh terhadap resiko perusahaan itu sendiri. Jika perusahaan meningkatkan leverage maka perusahaan ini dengan sendirinya akan
meningkatkan resiko keuangan perusahaan. Dan sebaliknya perusahaan harus memperhatikan masalah pajak, karena sebagian ahli berpendapat bahwa
penggunaan modal yang berlebihan akan menurunkan tingkat profitabilitas. Pecking Order Theory mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih
pendanaan yang berasal dari internal dari pada eksternal perusahaan. Menurut
Myers 1984 dalam Muhammad Rizal 2002 penggunaan dana internal lebih didahulukan dibandingkan dengan penggunaan dana yang bersumber dari
eksternal. Urut-urutan yang dikemukakan oleh teori ini dalam hal pendanaan adalah pertama laba ditahan diikuti dengan penggunaan hutang dan yang terakhir
adalah penerbitan ekuitas baru. Pemilihan urutan pendataan ini menunjukkan bahwa pendanaan ini didasarkan dari tingkat cost of fund dari sumber-sumber
tersebut yang juga berkaitan dengan tingkat resiko suatu investasi. Karena masalah pendanaan adalah hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, maka industri makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia adalah sektor industri yang mengalami defisiensi modal. Bursa Efek
Indonesia merupakan sarana untuk mencari dana sebagai tambahan modal. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan dana dengan biaya lebih murah
dan hal itu hanya diperoleh di pasar modal. Pasar modal merupakan sarana untuk memperbaiki struktur permodalan perusahaan. Perkembangan perusahaan
makanan dan minuman di Indonesia terlihat semakin meningkat dari tahun ke tahun, karena perusahaan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, jadi sangat
terbuka kemungkinan bahwa prospek perusahaan manufaktur akan tetap cerah di masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal telah dilakukan antara lain oleh La Rocca, et al 2009, Talberg, et al 2008, Al-
Fayoumi, et al 2009 dan lain-lain dalam journal of economics and Finance. Dari penelitian tersebut diperoleh faktor – faktor yang mempengaruhi struktur modal.
Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Abimanyu 2009 mengenai analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Situmorang 2010, yang meneliti tentang pengaruh struktur
aktiva, profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap stuktur modal. Penelitian yang dilakukan oleh Tinambunan 2008, meneliti tentang pengaruh kebijakan
dividen perusahaan dan profitabilitas terhadap struktur modal pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2007. Penelitian yang dilakukan oleh
Talberg, et al 2008, meneliti dengan enam faktor yang mempengaruhi struktur modal yaitu struktur aktiva, pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, ukuran
perusahaan, umur perusaahaan, dan pendapatan per karyawan. Semakin besar perusahaan maka semakin besar pula pasar yang dikuasainya,
hal ini akan mempermudah perusahaan dengan ukuran perusahaan yang lebih besar untuk memperoleh pinjaman atau dana eksternal. Firm size dapat dilihat dari
dua aspek yaitu besarnya asset yang dimiliki perusahaan tersebut dan tingkat penjualan yang di raih dipangsa pasar. Hal ini menunjukan ada hubungan antara
ukuran perusahaan dengan struktur modal yang digunakan perusahaan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rakhmawati 2008, Seftianne dan Handayani
2011 menunjukan inkonsitensi. Hasil penelitian Harjanti dan Tandelilin 2007, Rakhmawati 2008, Seftianne dan Handayani 2011 menunjukan bahwa firm
size berpengaruh terhadap struktur modal, sedangkan hasil penelitian Hapsari 2010 menujukan bahwa firm size tidak memiliki pengaruh terhadap struktur
modal. Berdasarkan uraian di atas dan adanya ketidak konsistenan hasil penelitian
serta perbedaan pengukuran, maka peneliti tertarik untuk menganalisis lebih
lanjut. Penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana pengaruh stuktur aset, ukuran perusahaan, likuiditas dan profitabilitas terhadap struktur modal pada
perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2009-2011. Penelitian ini merupakan reflikasi dari peneliti terdahulu.
Alasan diadakannya penelitian ini adalah untuk menguji kembali variabel-variabel yang dikemukakan oleh Abimanyu 2009, Talberg, et al 2008, Tinambunan
2008, Al-Fayoumi, et al 2009, La Rocca, et al 2009 dan Situmorang 2010. Sektor yang dianggap bisa bertahan dalam terjangan krisis global adalah
sektor konsumsi terutama Industri makanan dan minuman. Alasanya, sejak krisis global yang terjadi pada pertengahan 2008, hanya industri makanan dan minuman
yang dapat bertahan. Permintaan pada sektor tersebut tetap tinggi. Selain itu, karakteristik masyarakat cenderung gemar berbelanja makanan, ikut membantu
mempertahankan industri makanan dan minuman. Dengan tidak terpengaruhnya industry makanan dan minuman terhadap
krisis global yang terjadi maka saham pada kelompok perusahaan makanan dan minuman ini lebih banyak menarik minat investor karena tingkat konsumsi
masyarakat akan semakin bertambah sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Selain itu Salah satu barang kebutuhan konsumsi yang
paling penting adalah makanan dan minuman yang merupakan salah satu penyetor pajak besar di Indonesia.
Investor harus menentukan dimana sektor atau bidang apa yang dapat memberikan kejelasan atas investasi nya. Dengan melihat sektor atau bidang
perusahaan tersebut, investor dapat dengan mudah menghindari resiko-resiko
yang kemungkinan akan terjadi. Sehingga investor dapat melihat seberapa bagus kondisi perusahaanperusahaan yang bergerak dalam bidang makanan dan
minuman dalam mendapatkan keuntungan yang dimasa mendatang. Penelitian ini mengambil sampel perusahaan makanan dan minuman yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Tahun penelitiannya adalah tahun 2009-2011.
1.2 Perumusan Masalah