KONSEP KEDAULATAN TUHAN DALAM TAFSIR FI> Z{ILA>L AL-QUR’A>N
B. KONSEP KEDAULATAN TUHAN DALAM TAFSIR FI> Z{ILA>L AL-QUR’A>N
Sub bab ini, akan membahas mengenai konsep h}a>kimiyah dalam tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk mengetahui apakah penafsiran tersebut ahistoris (ideologis) atau tidak? dan jika ahistoris, apakah penafsiran tersebut mengindikasikan kepada radikalisme atau tidak? Adapun pengertian ideologis di sini, kembali kepada teori qira>’ah muntijah atau ta’wi>l abu> Zayd. Singkatnya, ta’wi>l dianggap sebagai penafsiran produktif karena terdapat kesinambungan antara dala>lah (meaning) dengan
Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174 dan Thameen Ushama, ‚Sayyid Qut}b: individual to Collective Action,‛ Intelectual
(2004): 173, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/viewFile/258/249 (diakses pada 18 Januari 2014).
Discourse
22 Bandingkan dengan John L. Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 68-69 dan Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic
Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science
11, vol. 12 (2012): 92-94, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume 12/11-From-Social-Justice-to.pdf (diakses pada 16 Januari 2014).
maghza> (significance). Dala>lah dapat diketahui dari sisi obyektif- historis suatu ayat, sedangkan signifikansinya, diperoleh dengan meneliti dala>lah yang telah didapatkan. Jadi, bisa dikatakan bahwa dala>lah merupakan representasi dari masa lalu, sedangkan maghza> adalah awal dari masa kini. Maka, penafsiran ideologis-tendensius adalah penafsiran yang tidak terdapat kesinambungan antara ma’na> dengan 23 maghza> atau ahistoris. Selain itu, untuk menentukan
penafsiran mana yang ahistoris saja dengan penafsiran yang radikal, peneliti akan merujuk kepada disertasi Hisha>m Ja’far, al-Ab’a>d al- Siya>siyah li Mafhu>m al-H{a<kimiyah.
Sebelum melangkah lebih jauh, peneliti akan membahas h}a>kimiyah dari segi etimologi. H{a>kimiyah adalah mashdar s{ina>’i> dari kata h}-k-m. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai arti dari h}a>kimiyah, perlu diketahui arti kata dari h}-k-m itu sendiri. H{- k-m dalam beberapa kamus seperti Lisa>n al-‘Arab, memilki banyak arti, pertama adalah al-is}la>h atau mencegah demi memperbaiki sesuatu. Kedua, h}-k-m juga berarti al-‘ilmu wa al-fiqhu yang artinya mengetahui atau memahami. Ketiga, h}-k-m berarti mengadili atau memutuskan sesuatu, oleh karenanya, seorang hakim dalam bahasa
Arab disebut 24 ha>kim atau qa>d}i>. Keempat, h}-k-m berarti menetapkan. Adapun h}a>kimiyah secara terminologi, sebagaimana yang telah
peneliti katakan, bahwa dalam penelitian ini peneliti akan merujuk kepada definisi h}a>kimiyah Hisha>m Ja’far. Dan menurut Ja’far, konsep h}a>kimiyah dibagi menjadi dua, h}a>kimiyah takwi>niyah dan h}a>kimiyah tashri>’iyah. Adapun yang pertama, berhubungan dengan kebijakan Allah kepada alam semesta, yakni yang tidak berhubungan dengan keinginan manusia , sedangkan yang kedua berhubungan dengan keinginan manusia, yang secara garis besarnya meliputi masalah akidah, ibadah, al-tah}li>l wa al-tahri>>m, dan akhlak. Kedua aspek h}a>kimiyah ini disetujui banyak peneliti. Hanya saja, ada aspek lainnya dalam konsep h}a>kimiyah ini yang menjadi perdebatan, yakni aspek siya>siyah. Implikasi dari hal ini, terlihat bagi mereka yang hanya melihat h}a>kimiyah dari aspek pemerintahannya saja dan menolak aspek lainnya. Oleh karena itu, seyogyanya dibutuhkan pengetahuan
23 Bandingkan dengan Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni >, 231- 232 dan Yusuf Rahman, ‚The Qur’an in Egypt III, Nasr Hamid Abu Zaid,‛ dalam
Coming to Terms with the Qur’an , e.d. Khaleel Muhammad dan Andrew Rippin (New York: Routledge), 247.
24 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab vol. 12 (Beirut: Da>r al-S{adr, tth), 140.
yang cukup dalam membedakan mana konsep h}a>kimiyah beraspek di>niyyah-takwi>niyah, tashri>’iyah atau siya>siyah. 25
Konsep kedaulatan Tuhan ini, juga memiliki dua aspek. Aspek akidah dan aspek imtitha>li> atau pelaksanaan. Perbedaannya, jika dalam
aspek akidah, maka penolakan terhadap konsep kedaluatan Tuhan akan berkibat pada kekafiran atau keluar dari Islam. Namun jika penolakan tersebut masih dalam tatanan aspek pelaksanaannya, bukan pada tatanan akidah, maka hal tersebut tidak serta merta membawa seorang muslim kepada predikat kafir. Karena perlu dilihat lebih dahulu, apa alasan penolakan tersebut. Jika alasannya menyinggung masalah akidah, maka hal tersebut membawa kepada kekafiran. Namun jika
tidak, maka muslim tersebut hanya menjadi fasik atau zalim. 26 Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa jika
penjelasan atas ayat-ayat yang tidak sesuai dengan konteksnya, berarti bersifat ahistoris atau ideologis. Misalnya, saat menafsirkan ayat-ayat
berkonteks tauhid, konsep h}a>kimiyah berarti memliki aspek akidah atau tashri>’iyah. Namun jika diartikan dengan aspek siya>si>, maka
penafsiran tersebut sudah disebut dengan penafsiran ahistoris. 27 Kendati demikian, jika melihat makna dan aspek yang dimiliki konsep
kedaulatan Tuhan dari kaca mata ilmu teologi, sebenarnya konsep ini kembali kepada salah satu sifat Allah yaitu al-qudrah. Dan mengutip penjelasan al-Bu>t}i>, bahwa beberapa sifat-sifat Allah memiliki kesamaan nama dengan sifat yang dimiliki manusia, dan di antaranya adalah sifat qudrah ini. Akan tetapi, yang membedakan antara kedua sifat tersebut ada dua hal: pertama sifat yang dimiliki Allah meskipun memiliki kesamaan nama tapi sifat yang dimiliki-Nya adalah sifat yang haqi>qi>, adapun yanag dimiliki manusia hanyalah kekuatan yang tidak seberapa, yang telah diberikan Allah kepada hambanya. Dan kedua, kesamaan dalam sifat-sifat tersebut hanya dari segi penamaan saja. Pasalnya, jika dibandingkan antara sifat yang dimiliki Allah dengan sifat yang dimiliki manusia, akan terlihat jelas bahwa sifat manusia tersebut tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan sifat
25 Hisha>m Ah}mad Ja’far, al-‘Ab’a>d al-Siya>siyah li Mafhu>m al-H}a>kimiyah (Virginia: al-Ma’had al-‘A>lami> li al-Fikri al-Isla>mi>, 1995), 85
26 Hisha>m Ah}mad Ja’far, al-‘Ab’a>d al-Siya>siyah li Mafhu>m al-H}a>kimiyah, 107.
27 Contonya akan dijelaskan ada pada ayat yang akan dijelaskan setelah ini. Ayat tersebut (Q.S. al-Baqarah (2): 253), bertemakan tauhid, namun dalam
penafsirannya, Qut}b menjelaskan konsep h}a>kimiyyah bertemakan qad}a>i>.
yang dimiliki Allah. 28 Terlepas dari hal ini, tesis ini melihat konsep kedaulatan Tuhan Qut}b dari segi penafsiran, dan bukan dari sisi
teologi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, konsep kedaulatan Tuhan tersebut dilihat apakah ia ahistoris (ideologis) atau tidak. Dan berikut ini, peneliti akan menjelaskan penafsiran Qut}b terhadap konsep h}a>kimiyah dalam tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Dan yang ditemukan ada tujuh belas ayat. Ayat pertama yang menjelaskan konsep tersebut adalah Q.S. al-Baqarah (2): 253.
Penafsiran Qut}b terhadap Q.S. al-Baqarah (2): 253, menggambarkan bahwa implikasi dari keesaan Allah adalah totalitas manusia dalam menyembah-Nya juga dalam pelaksanaan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan dari konsep keesaan Tuhan ini lah, muncul sebuah konsep yang dinamakan h}a>kimiyatulla>h (kedaulatan Tuhan) . Yang dalam penafsiran Qut}b adalah, hanya Allah lah yang berhak membuat syariat, oleh karenanya segala macam
peraturan dalam kehidupan manusia sudah sepantasnya berkiblat kepada syariat Allah. 29
Apa yang dikatakan oleh Qut}b tersebut, jika kembali kepada penelitian Hisha>m Ja’far, menunjukkan kepada konsep kedaulatan
Tuhan bermakna 30 tashri>’iyah. Selain itu, meskipun Qut}b membicarakan konsep kedaulatan Tuhan beraspek imtitha>li> dalam ayat
akidah, hanya saja penjelasannya itu hanya sebatas makna dasar dari konsep kedaulatan Tuhan. 31 Oleh karena itu, penafsiran Qut}b tidak
ahistoris terlebih lagi radikal. Lebih lanjut mengenai penafsiran Qut}b tersebut, nampaknya ia memang berkonsentrasi pada makna konsep kedaulatan Tuhan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan penafsir-penafsir lainnya, mayoritas dari penafsir-penafsir tersebut menjelaskan lebih dahulu riwayat-riwayat yang berkenaan dengan keutamaan ayat. Sebut saja ibn Kathi>r (seorang mufassir sunni,700 H-774 H.). Dalam menjelaskan ayat tersebut, ibn Kathi>r menyebutkan beberapa riwayat mengenai
28 Bandingkan dengan Muh}ammad Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, Kubra> al- Yaqi>niya>t (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1982), 117-118.
29 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol.1 (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2003), 286. 30 Hisha>m Ah}mad Ja’far, al-‘Ab’a>d al-Siya>siyah li Mafhu>m al-H}a>kimiyah ,
90. 31 Makna dasar konsep kedaulatan Tuhan adalah, kedaulatan mutlak hanya
milik Allah, oleh karena itu, hanya ia yang berhak membuat syariat dan segala peraturan sudah sepantasnya berjalan sesuai dengan syariat-Nya. Bandingkan dengan Hisha>m Ah}mad Ja’far, al-‘Ab’a>d al-Siya>siyah li Mafhu>m al-H}a>kimiyah , 72.
keutamaan ayat tersebut. Setelah itu, ia pun menjelaskan makna literal dari tiap kata serta hikmah yang terkandung di dalamnya. 32 Hal senada
juga dilakukan oleh penafsir lainnya seperti al-A<lu>si> (1802 M-1854 M), abu> H{ayya>n (654 H-754 H) dan al-Ra>zi> (1149 M-1209 M). Dan para penafsir itu juga tidak menjelaskan mengenai konsep kedaulatan Tuhan seperti yang dilakukan Qut}b. 33
Adapun dari segi tema, penafsiran Qut}b tersebut menggambarkan bahwa tema yang diusungnya kali ini adalah sifat- sifat Allah serta hubungannya dengan konsep kedaulatan Tuhan. Hal ini terbukti dengan penjelasan Qut}b sebelum ia menjelaskan ayat secara terperinci. Struktur penafsiran juga menunjukkan hal yang sama, pasalnya Qut}b langsung menjelaskan ‚makna dalam‛ ayat, yang tidak lain adalah konsep kedaulatan Tuhan, pada awal penafsirannya dan bukan ‚makna luar‛ darinya. Hal ini setidaknya membuktikan, bahwa Qut}b membangun konsep kedaulatan Tuhan miliknya di atas
konsep tauhid. 34 Kesimpulan di atas didukung oleh detil yang diberikan Qut}b.
Pasalnya, dalam menjelaskan kalimat al-tauhi>d dalam ayat Q.S. al- Baqarah (2): 255, penafsirannya tersebut dihabiskan hanya untuk menjelaskan hubungan antara akidah dengan konsep kedaulatan Tuhan. Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu sebab kerancuan dalam memahami konsep kedaulatan Tuhan. Karena Qut}b dinilai telah mencampuradukkan antara makna konsep kedaulatan Tuhan bermakna akidah dengan makna syar’iyyah. Sehingga implikasi yang terjadi adalah pengkafiran pada semua muslim yang tidak menjalani syariat
Islam secara komprehensif. 35 Meskipun demikian, Qut}b hanya
32 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Da>r al-A<tha>r, 2009), vol. 1, 687.
33 Bandingkan dengan al-A>lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘arabi>, 1981),vol. 2, 311, Abu> Hayya>n, al-Bah}ru al-Muh}i>t} (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘ilmiyyah, 1993), vol. 3, 10 dan Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb (Beirut: Da>r al-Fikr, 1980), vol. 3, 441.
34 Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism (United Kingdom: C. Hurst and Co, 2010), 202 dan Thameem Ushama,
‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse
167-168, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/view/49 (diakses pada 18 Januari 2014). 35 Di antaranya adalah al-Qarad}a>wi, T}a>ha> Ja>bir ‘Ulwa>ni> dan Jon Armajani.
Bandingkan dengan Yu>suf Al-Qarad}a>wi>, ‚Qa ḍiyah al-H{a>kimiyah wa A<tha>rathu min Jadal,
‛ Mawqi’
al-Qarad}a>wi> ,
12 Desember 2009, 12 Desember 2009,
tidak ada unsur pengkafiran di dalamnya. 36 Ayat selanjutnya yang menerangkan konsep al-h}a>kimiyah
(kedaulatan Tuhan) adalah Q.S. al-Baqarah (2): 258. Ayat tersebut, menceritakan perdebatan yang terjadi antara Nabi Ibrahim dengan seorang raja yang mengaku dirinya Tuhan. Raja tersebut menjadi kafir karena kekuasaan yang telah ia peroleh, hal yang seharusnya menjadikannya semakin taat. Dan kemudian Ibrahim datang untuk
berdakwah, mengeluarkannya dari lembah kejahatan. 37 Dalam penjelasan tersebut, sudah dapat ditebak bahwa ayat di atas
bertemakan akidah. Maka, seharusnya konsep h}a>kimiyah yang disinggung pun memiliki arti akidah. Namun Qut}b justru mengartikan konsep kedaulatan Tuhan tersebut dengan makna 38 siya>siyah.
Lebih lanjut mengenai hal ini, perlu diketahui lebih dahulu mengenai historisitas ayat. Sebagaimana yang telah peneliti katakan, bahwa ayat tersebut menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim. Ibn ‘A<shu>r (1879 M-1973 M) dalam tafsirnya al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r setidaknya menjelaskan tiga hal penting mengenai kisah tersebut. Pertama, orang yang berdebat dengan Nabi Ibrahim adalah seorang yang kafir. Kedua, Orang yang berdebat dengan Nabi Ibrahim itu adalah seorang raja penyembah berhala. Dan ketiga, Nabi Ibrahim berdebat dengan raja tersebut dengan menjadikan kuasa-Nya dalam menghidupkan serta mematikan sebagai dalil atas ketuhanan dan keesaan Allah. Dan ini adalah dalil bahwa ayat tersebut bertemakan akidah. Selain itu, hikmah dari turunnya ayat ini menurut ibn ‘A<shu>r, adalah perumpaan bagi musyrik Mekkah yang berdebat dengan Nabi
http://www.qaradawi.net/articles/86-2009-12-12-10-35-10/5029-2011-09-25-11-44- 39.html,(diakses pada 25 April 2012), T{a>ha> Ja>bir‘Ulwa>ni, H{a>kimiyat al-Qura>n (Kairo: al-Ma’had al’Ali> li al-Fikri al-Isla>mi>, 1996), 90 dan Jon Armajani, Modern Islamist Movement (Oxford: John Wiley and Sons, 2012), 58-61.
36 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol.1, 286 37 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol.1, 276. 38 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 296-297.
Muhammad mengenai hari kebangkitan dengan keadaan Nabi Ibrahim dengan sang raja tersebut. 39
Senada dengan apa yang dikatakan ibn ‘A<shu>r, bahwa raja yang berdebat dengan Ibrahim adalah penyembah berhala, selain ia mengaku pula akan ketuhanan dirinya. Dengan kata lain, raja tersebut benar- benar tidak mengakui ketuhanan Allah. Hal ini diperjelas dengan budaya masyarakat pada zaman itu. Menurut Wahbah Zuhaili> dalam tafsirnya al-Muni>r, bahwa kebiasaan masyarakat zaman itu, selain menyembah berhala juga menyembah raja yang tengah berkuasa di zamannya. Dan hal itulah yang terjadi pada masa Ibrahim. 40
Melihat kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sang raja tidak beriman kepada Allah. Ia bahkan mengaku bahwa dirinya lah Tuhan. Namun, ketika dibandingkan dengan penafsiran Qut}b, terdapat beberapa perbedaan. Pertama, menurut penafsiran Qut}b, sang raja yang berdebat dengan Nabi Ibrahim sebenarnya mengakui bahwa Allah lah
Tuhan pencipta, hanya saja raja tersebut menyekutukan-Nya dalam hal kekuasaan. 41 Dalam hal ini, berbeda dengan kedua penafsir yang telah peneliti paparkan, yang mana mereka mengatakan bahwa sang raja
memang tidak mempercayai ketuhanan Allah. 42 Hal kedua yang berbeda di sini, Qut}b saat menceritakan tema
umum dari ayat tersebut menekankan bahwa sebab kafirnya sang raja adalah kekuasaan yang sebenarnya berasal dari Allah. Hal ini, masih menurut Qut}b, adalah peringatan kepada para penguasa yang sombong, karena pada dasarnya mereka menjadi penguasa karena Allah lah yang memberikan hak tersebut. Oleh karenanya, segala perintah dan larangan yang para penguasa keluarkan harus seiring
dengan syariat. 43 Penjelasan Qut}b bahwa kekuasaan telah membuat sang raja sombong memang benar adanya. 44 Namun, Qut}b kemudian menjadikannya latar untuk membawa konsep kedaulatan Tuhan kepada maknanya yang siya>siyah.
Hal tersebut didukung pula dengan leksikon yang ia gunakan seperti h}a>kim, sebagai sebutan bagi raja dan penguasa. Lebih jelasnya,
39 Ibn ‘a<>shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r (Tunisia: al-Da>r al-Tu>nisiyyah, 1984), vol. 2, 440
40 Wahbah Zuhaili>, al-Muni>r (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1991), vol. 3, 28. 41 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 297. 42 Wahbah Zuhaili>, al-Muni>r , vol. 3, 28 dan Ibn ‘A<shu>r, al-Tah}ri>r wa al-
Tanwi>r , vol. 2, 440 43 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 297.
44 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 3, 461 44 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 3, 461
masyarakat. 45 Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari segi
tema, Qut}b masih menjadikan konsep kedaulatan Tuhan sebagai tema penafsiran. Selain itu, konsep kedaulatan Tuhan yang dijelaskan ternyata tidak sesuai dengan makna dasar ayat. Pasalnya, ayat tersebut berada dalam tatanan akidah dan bukan pemerintahan. Namun Qut}b membawa konsep kedaulatan Tuhan kepada makna pemerintahan. Hal ini menjadi bukti atas ideologisasi Qut}b dalam penafsiran konsep kedaulatan Tuhan. Dalil yang dijadikan Nabi Ibrahim juga mendukung
bahwa ayat tersebut bermakna akidah. Yakni, ketika Nabi Ibrahim mengatakan bahwa Tuhannya adalah yang menghidupkan dan
mematikannya. Hal ini menurut ibn Kathi>r dan al-A>lu>si> adalah bukti bahwa Nabi Ibrahim sedang berdebat dengan manusia yang ingkar
bahwa Allah adalah Tuhan. 46 Struktur penafsiran juga mendukung kesimpulan di atas.
Pasalnya, Qut}b menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan ini saat menerangkan makna global dari ayat, dan kemudian mengulangnya ketika ia menerangkan makna ayat yang terperinci. Hal tersebut ia lakukan dengan menjadikan kisah Ibrahim dengan sang raja sebagai latar. Dan detil yang diberikan pun turut mendukung hal ini. Karena Qut}b lagi-lagi memberikan penjelasan tambahan yang menunjukkan kepada permasalahan pemerintahan. Yakni, bahwa para penguasa bisa menjadi seperti itu karena kekuasaan Allah. Oleh karenanya, tidak sepantasnya bagi para penguasa tersebut untuk menjadikan manusia lainnya sebagai hambanya dengan cara mengganti hukum Allah dengan ‚hukum manusia‛. Tidak hanya itu, hal tersebut— menggunakan selain syariat Allah menurut Qut}b—sama saja dengan menyekutukan Allah, dan hal ini lah yang menyamakan raja yang berada dalam kisah ayat di atas dengan para penguasa dan pemimpin
45 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 297. 46 Ibn Kathi>r, Tafsir al-Qur’a>n al-Adhi>m, vol. 11, 686 dan al-Alu>si>, Ru>h} al-
Ma’a>ni>, vol. 2, 326.
masa kini. 47 Kendati demikian, detil-detil yang diberikan tidak melebar ke arah pengkafiran terhadap muslim lainnya, sehingga penafsiran ini
dianggap tidak radikal. Dan dari ketiga hal ini, terbukti bahwa tema yang diusung Qut}b adalah konsep kedaulatan Tuhan bermakna pemerintahan. 48 Dengan demikian, penafsiran Qut}b kali ini ahistoris,
karena penafsirannya tersebut tidak sesuai dengan kontek dan makna dasar ayat. Kendati demikian, penafsiran Qut}b kali ini tidak radikal, karena dari kata-kata yang digunakan tidak mencerminkan hal tersebut.
Adapun ayat h}a>kimiyah selanjutnya adalah ‘A<li ‘Imra>n (3): 32. Ayat tersebut menceritakan perintah Allah bagi umat-Nya untuk menaati Allah, Rasul dan kitabnya. Selain itu, di dalam ayat tersebut terdapat celaan terhadap mereka yang mengaku beriman, namun tidak
mau mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 49 Membicarakan kontek ayat A<li ‘Imra>n (3): 32, ibn Jari>r
mengatakan bahwa ayat tersebut turun dalam kontek utusan kaum Nasrani dari Najra>n, yang dikenal dengan sebutan Nas}a>ra> Najra>n,
kepada Nabi Muhammad . Singkatnya, dalam kitab Injil telah termaktub bahwa akan ada nabi akhir zaman dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh Muhammad. Oleh karena itu, ketika mereka mengetahui dan menemukan Nabi tersebut, maka wajib bagi mereka untuk beriman. Akan tetapi, kaum Nasrani tersebut menolak untuk beriman, tetapi di sisi lain mereka mengaku sebagai kesayangan Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut turun sebagai teguran bagi mereka, bagaimana mungkin orang yang mengaku cinta kepada Allah, tapi
tidak cinta kepada Nabi-Nya Muhammad? 50 Sabab nuzu>l ayat tersebut, memperlihatkan bahwa kekafiran
mereka ( Nas}a>ra> Najra>n) adalah penolakan yang disertai pengingkaran dalam hal mengikuti Nabi Muhammad. Berdasarkan hal ini,
47 Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, vol. 1, 297. 48 Dalam pendekatan kognisi sosial van Dijk, untuk mengetahui tema suatu
tulisan tidak hanya diketahui dalam abstrak atau kesimpulan suatu tulisan. Namun juga bisa diketahui dari hubungan antara kajian semantik dan struktur penulisan. Bandingkan dengan Teun A van Dijk, Macrostructures (New Jersey: Lawrence Erbaum Associates, 1980), 10-14, www.discourses.org (diakses pada 12 Nopember 2013).
(Kairo: Muassasah al-Risa>lah, 2000), vol. 6, 352 dan al-Baghawi>, Ma’a>lim al-Tanzi>l (Da>r al- T{aibah, 1997), vol. 2, 27.
49 Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A>yi al-Qur’a>n
50 Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A<<yi al-Qur’a>n , vol. 6, 352 50 Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A<<yi al-Qur’a>n , vol. 6, 352
Adapun penafsiran Qut}b terhadap ayat tersebut, ternyata tidak jauh berbeda dari penafsir lainnya. Pasalnya, ketika ia menafsirkan ayat tersebut, ia mengatakan bahwa cinta kepada Allah tidak hanya dalam ucapan, namun dibuktikan dengan perbuatan. Selain itu, Qut}b juga mengutip penafsiran ibn Kathi>r serta ibn al-Qayyim al-Jawziyyah
(1292 M-1350 M) terhadap ayat tersebut. 51 Hanya saja, setelah kutipan perkataan ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Qut}b kemudian
kembali menegaskan bahwa inti dari kumpulan ayat Q.S. A>li ‘Imra>n (3): 1-32 adalah keesaan Allah, dan hal itulah yang juga tercermin dalam ayat ini.
Lebih lanjut mengenai konsep keesaan Allah ini, menurut Qut}b esensi dari Islam itu adalah konsep tauhid yang ada di dalamnya. Dan
berangkat dari konsep tauhid inilah setiap peraturan dan perbuatan manusia harus selaras dengan syariat Allah. Dengan kata lain, dari konsep tauhid ini timbullah totalitas dalam pelaksanaan syariat Allah.Dan konsep tauhid ini, menurut Qut}b, adalah tema sentral dari
kumpulan ayat Q.S. A<li ‘Imra>n (3):1-32. 52 Membicarakan konsep tauhid menurut Qut}b, memang
merupakan dasar dari konsep kedaulatan Tuhan. Oleh karena itu, ketika Qut}b menyinggung konsep kedaulatan Tuhan, konsep tauhid akan selalu mengiringi. Tidak hanya itu, konsep tauhid ini berimplikasi kepada totalitas dalam pelaksanaan syariat Allah. Dan bagi yang tidak mengerjakan hal itu akan terjerumus pada ja>hiliyah modern. Hal itu karena Qut}b, menyatukan konsep kedaulatan Tuhan bermakna akidah dan pemerintahan, antara aspek ‘aqdi dengan aspek
imtitha>li>. 53 Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
penafsiran Qut}b terhadap ayat Q.S. A<li> ‘Imra>n (3): 32, tidak ahistoris. Meskipun ia menyinggung konsep kedaulatan Tuhan, namun penjelasannya tersebut masih dalam proporsinya. Yakni, kedaulatan Tuhan tersebut tidak dibawa kepada maknanya yang siya>si>, namun tetap dalam makna dasarnya.
51 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 378 52 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 378. 53 John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism, 202-203.
Kesimpulan di atas didukung pula dengan dikomparasikannya penafsiran Qut}b dengan penafsir lainnya. Al-Ra>zi> dalam tafsirnya mengatakan bahwa dalam ayat Q.S. A<li> ‘Imra>n (3): 32, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk memberitahukan umatnya bahwa cinta terhadap Allah tidak akan sempurna tanpa ketaatan terhadap
Rasul-Nya. 54 Hal senada juga dikatakan oleh Sayyid T{ant}a>wi (1928 M-2010 M) dalam tafsir al-Wasi>t{. Menurut mantan syekh Azhar ini,
ayat tersebut adalah bukti bagi siapa saja yang beriman serta cinta kepada Allah, maka kecintaannya tersebut belum sempurna tanpa
ketaatan terhadap Rasul-Nya. 55 Adapun detil yang diberikan Qut}b, nampaknya juga tidak
mengindikasikan kepada politisasi penafsiran. Pasalnya, Qut}b tidak menyebutkan detil atau penjelasan tambahan yang mengarah kepada aspek pemerintahan. Struktur penafsiran juga mendukung hal itu. Qut}b tatkala menjelaskan ayat tersebut, lebih banyak menjelaskan makna
dasar ayat, yakni kewajiban mengikuti perintah Rasul-Nya sebagai bukti dari keimanan seorang muslim kepada Allah. Namun, di akhir
penafsirannya Qut}b menyebutkan hikmah yang terkandung dari ayat tersebut, adalah urgensi memahami kalimat al-tawhi>d dalam
kehidupan 56 . Kedua hal di atas, struktur penafsiran serta detil yang diberikan
menunjukkan bahwa tema dalam penafsiran Qut}b, selain kewajiban dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, juga diiringi dengan urgensitas konsep tauhid dalam Islam. Karena konsep tauhid adalah esensi dari Islam itu sendiri. 57 Dan konsep tauhid inilah, sebagaimana yang telah peneliti paparkan adalah dasar bagi konsep
kedaulatan Tuhan miliknya. 58 Namun, dalam ayat ini, menurut peneliti penjelasan Qut}b terhadap konsep tauhid ini masih dalam kewajaran
54 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, vol. 4, 178. 55 Muh}ammad Sayyid T{ant}a>wi>, Al-Tafsi>r al-Wasi>t{ li al-Qur’a>n al-Kari>m
(Kairo: Nahd}ah al-Misr, 1997) vol. 1, 591. 56 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 378.
57 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.1, 378. 58 Menurut beberapa peneliti, seperti Youssef Choueiri bahwa konsep kedaulatan Tuhan Qut}b, meskipun berasal dari konsep tauhid namun tujuan sebenarnya adalah menjadikan Islam sebagai sistem politik. Bandingkan dengan Sayed Khatab, The Power of Sovereignty: The Political and Ideological Philosophy of Sayyid Qut}b (New York: Routledge, 2006),11, Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami (Oxford: Westview Press, 1996), 22-26.
dan tidak melampaui makna dasarnya sehingga tidak ahistoris. Dan juga tidak radikal, karena pada ayat ini tidak ada pengkafiran terhadap muslim lainnya.
Adapun ayat selanjutnya yaitu Q.S. al-Nisa> (4): 24, terlihat tidak berbeda dengan pembahasan pada ayat Q.S. A<li> ‘Imra>n (3): 32. Pada ayat Q.S. al-Nisa> (4): 24 yang betemakan hukum ini, Qut}b juga menyempatkan diri untuk menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan. Yakni, pada ayat tersebut Qut}b menerangkan bahwa salah satu hikmah dari adanya hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah adalah hak prerogatif Allah dalam menetapkan sesuatu. Maka, sepantasnya bagi muslim untuk mengikuti perintah Allah. Hikmah lainnya yang dapat dipetik dari ayat tersebut menurut Qut}b, adalah kemudahan yang didapat dari setiap perintah Allah dibandingkan dengan buatan manusia. Hal ini dapat dilihat dari efek yang terjadi setelahnya, di mana dibalik perintah Allah telah terjamin kebaikan manusia itu
sendiri, tidak dengan buatan manusia. 59 Apa yang disampaikan Qut}b tersebut adalah pengantar sebelum
menjelaskan ayat Q.S. al-Nisa> (4): 24-35.Dan dari penjelasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam membangun konsep kedaulatan Tuhan, Qut}b selalu memulainya dengan pernyataan bahwa syariat Allah bersifat komprehensif. Syariat Islam mencakup berbagai lini kehidupan. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dalam kehidupan. Oleh karena itu, seorang muslim sejati adalah yang menjalankan hidupnya sesuai dengan syariat. Karena Islam tidak hanya ada pada tatanan teori namun mencakup
praktiknya dalam kehidupan. 60 Pernyataan di atas, jika diteliti lebih lanjut memang benar
adanya. Namun, yang menjadi permasalahan ketika Qut}b mencampuradukkan antara aspek teori, praktik dengan keimanan seseorang. Dengan kata lain, konsep kedaulatan Tuhan berasal dari konsep ketuhanan dan kekuasaan absolut Allah, yang tidak lain berasal dari konsep tauhid. Namun kemudian Qut}b mencampuradukkan konsep tauhid yang memiliki aspek akidah dengan aspek
59 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol.2, 619. 60 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 619, John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism , 212-213 dan Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174.
pelaksanaannya. Padahal, kedua hal tersebut berbeda. 61 Namun, hal ini belum terlihat pada penafsiran Qut}b terhadap Q.S. al-Nisa> (4): 24.
Karena Qut}b dalam menjelaskan ayat tersebut hanya menjelaskan karakterisitik Islam yang komprehensif.
Kesimpulan di atas didukung dengan struktur penafsiran Qut}b. Pasalnya, penjelasannya terhadap konsep kedaulatan Tuhan tersebut hanya dijelaskan sebagai hikmah di balik hukum Allah dalam sebuah hubungan pernikahan dan keluarga. Di tambah lagi, ia tidak melewatkan aspek hukum di dalamnya, sehingga penafsiran Qut}b meskipun menyinggung konsep kedaulatan Tuhan yang absolut, namun masih dalam kewajaran. Begitu juga dengan detil dan leksikon yang diberikan. Baik keduanya, leksikon dan detil penafsiran, tidak mengindikasikan kepada konsep kedaulatan Tuhan dengan aspek
pemerintahan. 62 Dengan kata lain, konsep kedaulatan Tuhan dalam Q.S. al-Nisa> (4): 24 ini, ditafsrkan dengan makna
tashri>’i> dan bukan siya>si>. Sehingga penafsirannya kali ini, menurut peneliti tidak
ideologis. Selain itu, tidak ditemukan unsur pengkafiran di dalamnya, sehingga penafsiran tersebut menurut peneliti tidak radikal.
Adapun dalam ayat h}a>kimiyah berikutnya—yaitu Q.S. al-Nisa> (4): 51—nampaknya tidak sama dengan ayat-ayat sebelumnya. Ayat ini, turun sebagai pemberitahuan kepada Muhammad atas apa yang dilakukan Yahudi atas dirinya dan Islam. Lebih jelasnya lagi, h}uyay ibn Akhtab dan Ka’b al-Ashraf mendatangi kaum Quraish untuk mengajukan kerjasama atas pembunuhan Muhammad pasca kekalahan mereka pada perang Uhud (tahun 3 Hijriah). Ketika itu, Abu> Sufya>n bertanya dengan rasa heran kepada Ka’b, mengapa mereka (Yahudi) yang notabenenya adalah ahli kitab dan semestinya bersama Muhammad, justru menentangnya. Ka’b pun meminta abu Sufya>n untuk menjelaskan agama mereka. Namun setelah itu, Ka’b justru lebih memuji agama abu> Sufya>n daripada agama yang dibawa Muhammad, padahal mereka tahu bahwa apa yang dibawa Muhammad adalah benar. 63
61 Perihal konsep kedaulatan Tuhan beraspek akidah dan praktiknya, lihat halaman 58 dalam bab ini. Bandingkan dengan R. Hrair Dekmejian, Islam in
Revolution Fundamentalism in The Arab World (Syracuse University Press, 1985),
92 dan Hisha>m Ah}mad Ja’far, al-‘Ab’a>d al-Siya>siyah li Mafhu>m al-H}a>kimiyah, 107.
62 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 680-681. 63 Bandingkan dengan al-A<<<lu>si>, Ru>h{ al-Ma’a>ni>, vol. 4, 88, Fakhru al-Di>n al- Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, vol. 5, 232.
Adapun dalam penafsiran Qut}b, terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Pertama mengenai historisitas ayat, memang Qut}b menjelaskan makna dasar sekaligus sebab turunnya ayat tersebut. Hanya saja, ketika ia mengkontekstualisasikannya terlihat ketidaksesuaian di sana. Lebih tepatnya, setelah ia menjelaskan makna dasar ayat, ia kemudian menekankan pada arti kata t}a>ghu>t, yang diartikan Qut}b dengan segala macam peraturan dan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Allah. Hal ini tidak ia katakan sekali saja, namun berkali-kali Qut}b mengartikan t}a>ghu>t dengan makna yang
mengindikasikan kepada aspek 64 siya>si>. Kata t}a>ghu>t, menurut penafsir lainnya memiliki banyak makna,
sama seperti kata al-jibt. Sebut saja al-A>lu>si>, al-jibt ada yang mengartikannya dengan penyihir dan al-t}a>ghu>t dengan syetan. Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa al-t}a>ghu>t adalah syetan
dalam wujud manusia dan 65 al-jibt adalah penyihir. Menurut peneliti, pendapat al-T{abari> (838 M-923 M) juga sangat
cocok dipaparkan di sini. Menurutnya, perbedaan pendapat ini kembali kepada konteks ayat yang membahas al-t}a>ghu>t dan al-jibt. Kedua kata tersebut, menurut konteksnya adalah segala sesuatu yang diagungkan selain Allah baik dalam segi ibadah, ketaatan atau ketundukan, yang dapat membuat manusia menyekutukan Allah. Dan kedua kalimat tersebut dapat disematkan kepada manusia, patung, hewan atau
tumbuhan. 66 Tidak jauh berbeda dengan al-Alu>si>, ibn Kathi>r dan abu> Hayya>n
juga mengatakan bahwa penafsiran t}a>ghu>t memiliki banyak definisi. Namun, mereka lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa t}a>ghu>t adalah yang disembah selain Allah, karena lebih cocok dengan sabab nuzu>l ayat tersebut. 67
64 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 681. 65 Al-A<<<lu>si>, Ru>h{ al-Ma’a>ni>, vol. 4, 88
66 Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l ‘A>yi al-Qur’a>n (Kairo: al- Maktabah al-Tawfi>qiyyah, 2004), 465.
67 Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> (Beirut: Da>r al-Ih}ya>’, tth), 884 dan Abu> H}ayya>n, Bah}ru al-Muh}i>t{ (Da>r al-Kutub, 2005), 156. Menurut peneliti, pendapat al-Alu>si> lebih
mudah dipahami. Ia mengatakan bahwaasal kata al-jibt adalah sebuah nama untuk berhala yang kemudian digunakan untuk segala sesuatu yang disembah selain Allah. Adapun al-t}a>ghu>t asal katanya ditujukan untuk segala sesuatu yang batil, yang disembah sebagai Tuhan selain Allah. Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa al-jibt adalah penyihir dan al-t}a>ghu>t adalah syetan, dan pendapat-pendapat lainnya. Adapun yang dimaksud dengan beriman kepada keduanya adalah menganggap
Merujuk kamus Lisa>n al-‘Arab, ditemukan bahwa para ahli bahasa, membenarkan perbedaan definisi tersebut, karena asal kata daripada t}a>ghu>t itu sendiri adalah t}agha>, yang berarti keluar batas. Maka, sah-sah saja jika kata tersebut diartikan sebagai syetan,
paranormal atau yang disembah selain Allah. 68 Hanya saja, apa yang dipilih Qut}b nampaknya tidak mengikuti sabab nuzu>l yang ada.
Pasalnya, jika merujuk kepada sebab turunnya ayat tersebut, penyebab kekafiran Yahudi adalah pengingkaran mereka akan hukum Allah serta membiarkan para pemuka agama mereka untuk mengganti hukum- hukum Allah sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Adapun Qut}b, ia lebih memilih bahwa arti dari t}a>ghu>t, adalah segala peraturan yang tidak berdasarkan shariat Allah, tanpa memberikan detil lebih lanjut, ketidaktaatan yang bagaimana yang dapat menyebabkan kekafiran. Maka berdasarkan ini, peneliti menyimpulkan bahwa parameter dari definisi yang diambil Qut}b, adalah sisi linguistik dari kata tersebut,
yaitu t}agha> yang berarti keluar batas. Oleh karena itu, ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang tidak mengikuti
syariat Allah berarti 69 t}aghu>t, karena keluar dari batas syariat. \Uraian di atas, menandakan bahwa penafsiran Qut}b terhadap
kata al-t}a>ghu>t adalah ahistoris. Kesimpulan tersebut, didukung dengan penafsiran mengenai ‚beriman kepada al-jibt dan al-t}a>ghu>t.‛Al-A<lusi> dalam tafsirnya Ru>h al-Ma’a>ni> mengatakan bahwa terdapat beberapa kemungkinan dalam menafsirkan kalimat ‚beriman kepada keduanya.‛ Kendai demikian, makna yang tepat dalam mengartikan beriman kepada al-jibt dan al-t}a>ghu>t, adalah meyakini ketuhanan mereka serta beribadah kepada keduanya sehingga berujung kepada penyekutukan Allah. Dengan ini, peneliti menyimpulkan bahwa signifikansi yang diambil Qut}b dalam ayat di atas tidak cocok dengan konteks ayat atau bersifat ahistoris, karena tidak terhubung dengan sebab turunnya ayat. Qut}b hanya mengambil keduanya— al-jibt dan al-t}a>ghu>t—sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat, tanpa mempertimbangkan bagaimana kaum Yahudi dan Nasrani menuhankan keduanya. Hal ini
keduanya—baik al-jibt ataupun al-t}a>ghu>t sebagai Tuhan, dan makna terakhir inilah yang paling bisa diterima sesuai dengan siya>q al-a>yat.
68 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, vol. 15, 7. 69 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 681.
lah yang menjadikan penafsiran Qut}b kali ini bersifat ahistoris sekaligus ideologis. 70
Hal ini didukung dengan pemberian detil yang kurang tatkala menjelaskan makna t}a>ghu>t. Qut}b hanya menjelaskan bahwa definisi t}a>ghu>t adalah segala peraturan yang tidak berdasarkan syariat Allah. Padahal, ia menceritakan sebab Yahudi yang menjadi kafir yakni sikap yang menjadikan para pendeta mereka seperti Tuhan. Dan jika ditarik signifikansi dari ayat tersebut, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai definisi t}a>ghu>t, maka karakteristik dari sifat Yahudi adalah pengingkaran atas shariat dan hukum Allah, akan tetap terjaga walaupun ayat tersebut dibawa ke masa kini. Namun, dalam pengertian t}a>ghu>t kali ini, tidak ditampakkan detil yang menjelaskan hal tersebut. 71
Berangkat dari kata al-t}a>ghu>t inilah, konsep kedaulatan Tuhan dalam penafsiran Qut}b diartikan kepada aspek pemerintahan, sehingga
penafsiran tersebut cenderung ideologis. Lebih jelasnya, konteks ayat Q.S. al-Nisa> (4): 51 bertemakan tauhid sehingga konsep kedaulatan
Tuhan dalam ayat tersebut seharusnya memiliki aspek akidah. Namun konsep kedaulatan Tuhan dalam ayat tersebut, lebih mengarah kepada aspek siya>siyah. Hal ini, menjadi bukti kuat bahwa penafsirannya
bersifat ahistoris dan ideologis. 72 Bukti lain akan hal tersebut terlihat ketika Qut}b menjadikan
apa yang dilakukan Yahudi masa kini, tidak berbeda dengan apa yang dilakukan pendahulunya, yakni menjadikan orang kafir sebagai sekutu untuk sama-sama menjatuhkan Islam. Qut}b mengatakan bahwa pada masa kini, Yahudi semakin cerdas dalam menjatuhkan Islam. Mereka menggunakan media massa untuk menjatuhkan gerakan-gerrakan
70 Qut}b, dalam penafsiran tersebut telah menggabungkan antara ‚pemujaan berhala‛ yang dalam bahasa al-Qur’an adalah t}a>ghu>t dengan ‚pemerintahan tirani.‛
Oleh karena itu, tidak heran jika Qut}b sering menyebut pemerintahan tirani dengan t}a>ghu>t . Dan ini adalah salah satu bukti ideologiasasi yang dilakukan Qut}b. Bandingkan dengan Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin, penerjemah Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), 125, Dale F. Eickelmen dan James Piscatori, Ekspresi Politik Islam, penerjemah Rofik Suhud (Bandung: Mizan, 1998),
55 dan Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 81. 71 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 681-682.
72 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 682 dan Hisha>m Ja’far, al-Ab’a>d al- Siya>siyyah li Mafhu>m al-H{a>kimiyyah, 74.
Islam yang dinilai berhasil dalam mengajak manusia kepada syariat- Nya. 73
Jika ditelisik lebih jauh mengenai apa yang dialami oleh Qut}b pada masanya, penafsiran Qut}b tersebut dipengaruhi dengan apa yang ia alami pasca revolusi. Yakni, pasca revolusi 1952 terjadi, pemerintahan republik Mesir saat itu, tidak menginginkan syariat Islam menjadi sistem negara sebagaimana yang diusulkan gerakan ikhwa>n al-muslimu>n. Akan tetapi pemerintah terpilih justru menjadikan Yahudi—yakni Israel dan Amerika—sebagai sekutu. Terlebih lagi setelah adanya penolakan Na>jib dan Nasser atas saran dari gerakan ikhwa>n al-muslimu>n. Selain itu, pemerintahan republik yang merasa terancam dengan eksistensi IM khususnya pasca percobaan pembunuhan akan Nasser, pemerintah memenjarakan banyak anggota IM serta memboikot gerakan mereka sehingga gerakan ini tidak diperbolehkan lagi beroperasi. Pemerintah juga menggunakan media massa untuk mendukung setiap gerakan mereka. 74
Gambaran dari kejadian ini, sangat terlihat dalam penafsiran Qut}b. Meskipun ia tidak menyebutkan secara detil peristiwa tersebut, namun apa yang dituangkan ke dalam tafsirnya cukup mewakili apa yang dialami. Bahkan, menurut beberapa peneliti konsep kedaulatan tersebut didominasi oleh peristiwa yang ia alami. Yakni, kognisi sosial Qut}b merupakan sumber primer dan bukan pengaruh al-Mawdu>di>
(1903-1979 M). 75 Adapun dalam segi struktur penafsiran, terlihat bahwa Qut}b
mengawali penafsirannya dengan menjelaskan makna t}a>ghu>t tidak dengan al-jibt, berbeda dengan ulama lainnya yang menjelaskan kedua kosa kata tersebut bahkan menjelaskan perbedaan pendapat dalam mengartikan keduanya. Ini membuktikan, bahwa Qut}b terlihat menekankan kata t}a>ghu>t, selain dari keengganannya menuliskan perdebatan dalam penafsirannya. Meskipun demikian, Qut}b terlihat sesekali menyebutkan bahwa orang yang mengikuti t}a>ghu>t serta ‚beriman‛ kepadanya, itulah yang disebut kafir. Namun yang peneliti sayangkan di sini, hal tersebut tidak dilakukan secara merata.
73 Qut}b, Fi> Zila>l al-Qur’a>n, vol 2, 682 74 Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of
Radicalism , 202-203, R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World , 91-92 dan Emmanual Sivan, Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics (London: Yale University Pres), 40-41.
75 Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism , 215.
Sehingga efek yang ditimbulkan, adalah hanya penekanan pada makna t}a<ghu>t, yakni yang tidak menjalankan shariat Allah secara umum. Dan hal ini, dapat menjadikan legitimasi bagi gerakan-gerakan radikal. 76
Berdasarkan struktur penafsiran, detil dan latar yang digunakan peneliti menyimpulkan bahwa penafsiran Qut}b kali ini selain ahistoris, juga ideologis. Dalam penafsiran tersebut, terlihat pula ketidaksukaan Qut}b terhadap pemerintah yang menjadikan Yahudi sekutu. Selain itu, ia juga menyebut pemerintahan tersebut dengan sebutan t}a>ghu>t. Hal
ini menandakan bahwa penafsirannya bersifat politis. 77 Kendati demikian, peneliti belum menemukan leksikon yang mengindikasikan
kepada pengkafiran atau seruan untuk memboikot pemerintahan tersebut. Sehingga, menurut peneliti penafsiran terhadap ayat di atas bersifat ahistoris dan ideologis, namun belum mencapai tingkat radikal.
Pada ayat selanjutnya, penekanan Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan amat terlihat, yaitu pada rangkaian ayat al-Ma>’idah
(5): 41-50. Sebagaimana metode Qut}b dalam menafsirkan ayat, ia selalu memberikan penjelasan umum untuk setiap rangkaian ayat, begitu juga pada ayat-ayat al-Ma>idah ini. Namun ada beberapa hal yang berbeda dengan penafsirannya yang lain. Pertama, dalam pengantarnya tersebut Qut}b menjelaskan bahwa rangkaian ayat-ayat ini menceritakan perkara yang sangat penting, yaitu hal-hal yang menyangkut dengan akidah. Dan dari konsep ini terdapat sistem yang mengatur kehidupan manusia yaitu syariat Islam. Maka, syariat yang mengatur kehidupan manusia berangkat dan berasal dari konsep akidah. Dengan kata lain, menurut Qut}b, sudah sepantasnya jika segala peraturan yang mengatur kehidupan manusia berdasarkan syariat Allah dan bukan yang berlawanan dengan syariat-Nya. Karena kedaulatan mutlak hanya pada Allah. 78
76 Salah satunya adalah gerakan radikal yang timbul setelahnya seperti al- Takfi>r wa al-Hijrah, jama>’at al-Jiha>d dan al-Qaeda. Bandingkan dengan Qut}b, Fi>
Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 682, R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World , 94 dan Jon Armajani, Modern Islamist Movement , 62-65.
77 Qut}b sering menyebut pemerintahan yang tirani dengan kata t}a>ghu>t. Dengan kata lain, ia telah menggeser makana t}a>ghu>t, dari penyembah berhala ke
pemimpin yang tirani. Dan salah satu contoh pemerintahan tirani menurut Qut}b adalah pemerintahan Fir’aun. Lihat James Piscatori, Ekspresi Politik Islam, penerjemah Rofik Suhud (Bandung: Mizan, 1998), 81.
78 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 682.
Penafsiran Qut}b di atas, menggambarkan bahwa Qut}b menekankan pada konsep kedaulatan Tuhan. Dan untuk menjelaskannya, Qut}b pada penafsiran sebelumnya memulainya dengan konsep akidah dalam Islam serta karakteristiknya yang shumu>l (komprehensif). Maka, segala peraturan dan hukum yang mengatur perilaku manusia sudah sepantasnya berdasarkan syariat Allah. Hal ini, kemudian diperjelas oleh Qut}b dengan pengkategorian muslim atau kafir. Yakni, Qut}b setelah menerangkan hubungan antara akidah dengan syariah, ia menjelaskan bahwa karena islam itu mencakup segala aspek, maka penerapan konsep kedaulatan Tuhan di Bumi— dengan menjalankan syariat-Nya—berhubungan dengan kafir atau
muslimnya seseorang. 79 Tujuan Qut}b tersebut makin terlihat tatkala ia menjelaskan
lebih dalam konsep kedaulatan tersebut. Qut}b menerangkan apa yang ia tulis mengenai pengkategorian antara Islam dengan kafir, Islam
dengan jahiliyah, syariat dan hawa nafsu manusia. Menurutnya, muslim adalah mereka yang menjalankan syariat Islam dan hukum-
hukumnya. Sedangkan kafir, fasik dan zalim adalah mereka yang tidak menjalankannya. Dan kategori kedua ini, terbagi menjadi dua kategori. Pertama, para hakim dan kedua rakyat sipil yang berada di bawah kuasa mereka. Bagi Qut}b, baik hakim maupun masyarakatnya yang tidak menjalankan syariat dan hukum Allah, serta masyarakat yang tidak menerima keputusan hakim yang berdasarkan syariat Allah masuk dalam golongan kafir, fasik dan zalim. Sedangkan para hakim yang menjalankannya, begitu juga rakyat mereka yang menerima keputusan hakim yang memutuskan berdasarkan syariat, maka mereka
masuk dalam kategori muslim. 80
79 Konsep kedaulatan Tuhan dalam teori Qut}b, adalah perluasan dari konsep akidah. Yang jika diperinci, merupakan kelanjutan dari konsep ulu>hiyah yang
diartikan dengan kedaulatan, rubu>biyah, rabba>niyah yang diartikan dengan ketuhanan dan kekuasaan. Hal ini sebenarnya bukan masalah selama Qut}b tidak mencampuradukkan konsep akidah tersebut dengan pelaksanaan syariat. Sehingga semua yang tidak menjalankan hukum Allah dianggap seperti menolak kedaulatan- nya. Akibat dari konsep kedaulatan Tuhan ini, adalah pengkategorian manusia menjadi kafir, muslim, Islam dan jahiliyah, syariat atau hawa nafsu. Bandingkan dengan R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World , 91, John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism , 207-209 dan Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin, penerjemah Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), 119-120.
80 Akibat dari konsep kedaulatan Tuhan ini, adalah pengkategorian manusia menjadi kafir, muslim, Islam dan jahiliyah, syariat atau hawa nafsu. Karena menurut
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa tema yang diusung Qut}b dalam rangkaian ayat Q.S. al-Ma>idah (5): 41-
50 adalah konsep kedaulatan Tuhan. Dan dari apa yang ditulis Qut}b tersebut, terlihat pengaruh dari keadaan sosial politik yang ia rasakan. Lebih jelasnya, Qut}b yang berjuang bersama anggota IM untuk menjadikan syariat Islam sebagai sistem politik Mesir saat itu, harus berbenturan dengan pemerintahan baru Republik Mesir yang dahulu mereka bantu dalam melakukan revolusi penggulingan pemerintahan monarki saat itu. Pemerintah dengan tegasnya menolak saran yang diberikan Qut}b dan IM. Mereka lebih memilih mengadopsi sistem sekular daripada syariat Islam. Ditambah lagi, siksaan yang diterima Qut}b dan anggota IM lainnya pasca perbedaan pendapat antara kedua kekuatan tersebut, membuat Qut}b yakin bahwa Nasser beserta rezim pemerintahan saat itu berada dalam lembah jahiliyah modern lantaran telah menolak kedaulatan Tuhan yang absolut. Dan sesuai dengan bunyi Q.S. al-Ma>’idah (5): 44, mereka adalah kafir. 81
Qut}b memberikan banyak detil dalam penafsiran ini. Hal tersebut dimulai dengan kekuasaan Allah yang mutlak, dilanjutkan dengan keutamaan syariat islam. Kemudian, penjelasan tersebut dihubungkan kepada konsep h}a>kimiyah, karena konsep kedaulatan Tuhan tersebut hanya bisa diterapkan jika syariat Islam telah diaktualisasikan. Dan jika membandingkan hal ini dengan penafsiran yang sebelumnya, terlihat adanya perbedaan. Pasalnya, pada penafsiran sebelumnya Qut}b tidak memberikan detil begitu banyak hanya untuk menerangkan konsep h}a>kimiyah, berbeda dengan penafsirannya kali ini. Hal ini menandakan bahwa ayat al-Ma>’idah
Qut}b, pengkategorian berdasarkan ras sebagaimana yang timbul dari ‚nasionalisme‛ serta Pan Arabisme‛ hanya mengkotak-kotakkan muslim dan mencerai-beraikannya. Sedangkan Allah dan Muhammad menyeru kepada kesatuan umat tanpa perbedaan, karena yang membedakan hanya takwa. Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism , 207-209. Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 367.
81 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 888, Hisha>m Ja’far,‚Manhaj al- Naz}ar ila> Mafhu>mayy al-H{a>kimiyah wa al-Ja>hiliyah,‛ onislam (10 Agustus 2010),
http://www.onislam.net/arabic/madarik/concepts/90810-2010-08-09-071215.html (diakses pada 6 April 2014) John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism, 203, AB. Rahman, Nooraihan Ali dan Wan Ibrahim, ‚The Influence of al-Aqqa>d and Di>wa>n School of Poetry on Sayyid Qut}b’s Writings‛ International Journal of Humanities
1 (Juli 2008): 158, www.ijhssnet.com/journals/Vol._1No._8;_July_2011/18.pdf (diakses pada 15 Januari 2014
and Social
Science
vol.
adalah ayat utama dalam menafsirkan konsep h}a>kimiyah. Di dalamnya, Qut}b dengan panjang lebar menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan tersebut mulai dari konsep dasar, yakni konsep tauhid hingga berlanjut kepada tatatan praktik. Tidak hanya itu, ia juga menjelaskan makna dari ‚jahiliyah modern‛ yang kini banyak mewabah di dunia modern,
bahkan di negara yang mayoritas warganya muslim. 82 Lebih jelasnya mengenai detil yang diberikan, terlihat ketika
Qut}b menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan dalam penafsiran umumnya terhadap Q.S. al-Ma>’idah (5): 41-50 ini. Yakni, ia menjelaskan bahwa syarait Islam bersifat komprehensif. Selain itu, ia juga memiliki karakteristik berupa ulu>hiyah, rubu>biyah dan rabba>niyah. Maka ketika syariat Islam ini dalam setiap lini kehidupan, maka ia adalah seorang muslim sejati. Begitu juga sebaliknya, jika tidak menjalani syariat Islam secara komprehensif, maka hal ini berarti penolakan terhadap syariat-Nya, baik datangnya dari perbuatan, atau
hanya dengan lisannya. 83 Apa yang dikatakan Qut}b di atas, terlihat mengambang.
Generalisasi yang ia lakukan tatkala menjelaskan definisi dari penolakan terhadap syariat islam, yang tidak lain adalah penolakan terhadap kedaulatan Tuhan, dapat membuat kesalahpahaman dalam memahami kedaulatan Tuhan. Karena terdapat banyak alasan ketika seorang muslim tidak menjalani syariat Islam. Oleh karena itu, sebagian peneliti mengatakan bahwa membaca penafsiran Qut}b
82 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 888-889. Adapun mengenai konsep jahiliyah modern, sangat berhubungan dengan konsep kedaulatan Tuhan. Karena
selama sebuah komunitas atau individu belum menjalankan totalitas dalam syariat Allah, maka mereka berada dalam sebuah kejahiliyahan modern, yang bahkan lebih buruk dari jahiliyah pra-Islam. Tidak hanya itu, menurut Qutb, jahiliyah modern tersebut selain disematkan bagi sebuah negara atau sistem yang berseberangan dengan syariat Allah dan lebih memilih sistem buatan manusia, kata tersebut juga disematkan untuk ahli kitab, Yahudi dan Nasrani, dan terakhir disematkan kepada masyarakat komunis. Konsep jahiliyah modern maupun kedaulatan Tuhan, menurut beberapa peneliti berkembang sejak Qut}b berada di Amerika, kemudian semakin berkembang saat ia dipenjara. Bandingkan dengan Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights (Florida: university Press of Florida, 2003),64-65, John L. Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 137 Tauseef Ahmad Parray, ‚Operational Concept of Islamic Democracy: Khila>fah, Shu>ra, Ijma’ and Ijtihad,‛ Journal of Humanity and Islam vol. 1, no. 1 (2011): 22-23, http://www.hgpub.com/index_files/jhi/pdf2011/jhi.2231-7252.2011.0101.1127.2.pdf (diakses pada 05 Maret 2014).
83 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 889 83 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 889
terima dari pemerintah yang berkuasa. Generalisasi yang ia lakukan akan terlihat lebih jelas ketika Qut}b masuk ke dalam penafsiran terperinci terhadap ayat Q.S. al- Ma>’idah (5): 44. 45. 47. Lebih jelasnya, tatkala Qut}b menerangkan Q.S. al-Ma>’idah (5): 44, ia menafsirkan bahwa kata ‚ka>fir‛ tersebut disematkan bagi semua yang tidak menjalankan hukum dan syariat Allah. Adapun penyebabnya, masih menurut Qut}b, adalah tidak dilaksanakannya hukum Allah sama saja dengan menolak ketuhanan
Allah. 85 Pada penafsiran Qut}b di atas, terlihat bahwa ia menggeneralisir
definisi orang yang kafir dalam ayat tersebut. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut penolakan yang bagaimana yang menjadikan ia kafir.
Karena konsep kedaulatan Tuhan itu sendiri memiliki dua aspek, teori dan praktik. Namun Qut}b dalam menjelaskan hal tersebut tidak
menjelaskannya lebih detil. Ia menggeneralisir hal tersebut sehingga implikasinya adalah, pemahaman bahwa setiap yang tidak
menjalankan hukum Allah adalah kafir. 86
84 Di antaranya adalah H{assan H{anafi> (1935 M- ). Menurutnya, konsep kedaulatan Tuhan Qut}b bukanlah khit}a>b di>ni>, melainkan siya>si. Karena di dalam
konsep kedaulatan Tuhan tersebut, telah banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik Qut}b saat itu. Oleh karenanya, dalam memahami konsep ini pun, diperlukan tidak cukup hanya dengan analisis teks semata, mealinkan diperlukan pula analisis terhadap kondisi sosial politik yang terjadi saat itu. Tidak berbeda dengan Hanafi>, abu> Zayd (1943-2010) juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, apa yang ia alami pada tahun 50-an dan 60-an telah mewarnai pemikirannya, khususnya mengenai konsep kedaulatan Tuhan ini. Bandingkan dengan Nas}r H{a>mid abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabi>, 2007), 126 dan H{assan
al-Quba>’: 1998),474, http://books.google.co.id/books?id=327IhhnJI6kC&dq=%D8%AD%D8%B3%D9%8 6+%D8%AD%D9%86%D9%81%D9%8A+%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%A7 %D9%83%D9%85%D9%8A%D8%A9+%D9%82%D8%B7%D8%A8&hl=id&sourc e=gbs_navlinks_s (diakses pada 6 April 2014).
H{anafi>,
H<{iwa>r
al-Ajya>l
(Da>r
85 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 896-900. 86 Bandingkan dengan Hisha>m Ja’far, al-Ab’a>d al-Siya>siyah li Mafhu>m al-
H}a>kimiyah, 55 dan Hisha>m Ja’far,‚Manhaj al-Naz}ar ila> Mafhu>mayy al-H{a>kimiyah wa
Agustus 2010), http://www.onislam.net/arabic/madarik/concepts/90810-2010-08-09-071215.html (diakses pada 6 April 2014).
al-Ja>hiliyah,‛
onislam
Lebih jelasnya mengenai generalisasi tersebut, terlihat ketika dikomparasikannya penafsiran Qut}b dengan penafsir lainnya. Pertama, mengenai sebab turunnya ayat. Mengutip perkataan ibn Jari>r, bahwa ayat tersebut diturunkan pada saat beberapa Yahudi bertanya kepada Nabi Muhammad tentang hukuman orang yang berzina yang telah menikah. Nabi menjawab bahwa hukumannya adalah rajam, namun pemuka agama Yahudi tersebut menolak dan mengatakan bahwa dalam Taurat hukuman bagi pezina yang telah menikah adalah dihitamkan mukanya dan diarak. Padahal, hukuman sebenarnya adalah rajam, sama dengan apa yang diberitahukan Muhammad. Oleh karena itu, Yahudi tersebut dinyatakan telah kafir lantaran mengganti hukum
Allah dengan yang lainnya. 87 Signifikansi yang dapat diambil, bahwa ayat tersebut meskipun
diturunkan kepada Yahudi, namun jika menggunakan kaidah al-‘ibrah bi ‘umu>m al-lafz}, maka personal dalam ayat tersebut dapat diperluas
dengan menjaga sebabnya, yaitu menolak hukum Allah serta menggantinya dengan yang lain, dengan alasan ingkar. 88 Hal ini
semakin diperjelas dengan penafsiran al-A>lu>si> (1802 M-1854 M) terhadap kata ‚al-ka>firu>n.‛
Al-A<lu>si> dalam tafsirnya Ru>h{ al-Ma’a>ni> menjelaskan bahwa ayat tersebut digunakan kelompok khawarij untuk mengkafirkan semua yang tidak menjalankan hukum Allah. Hal ini menurutnya adalah sebuah kesalahpahaman, karena meskipun lafaz ‚h}ukm‛ mencakup semua amalan baik amalan hati atau perbuatan, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah amalan hati. Begitu juga dengan lafaz ‚man,‛ meskipun ia bersifat umum namun keumuman tersebut dikhususkan dengan sebab turunnya ayat. Maka, kategori kafir dalam ayat tersebut, diperuntukan bagi mereka yang menolak hukum Allah dengan hati, atau dengan kata lain ingkar terhadap syariat-Nya. 89
Adapun Qut}b, ia menggunakan lafaz ‚man‛ sebagai dalil untuk megumumkan kategori kafir kepada semua yang tidak menjalankan hukum Allah. Padahal, penafsir lainnya memberikan detil yang lebih
87 Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n, vol. 10, 345. 88 Lihat Qas}abi> Mah}mu>d Zalla>t}, ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Dubai: Da>r al-Qalam,
1987), 52 dan Hisha>m Ja’far,‚Manhaj al-Naz}ar ila> Mafhu>mayy al-H{a>kimiyah wa al- Ja>hiliyah,‛
Agustus 2010), http://www.onislam.net/arabic/madarik/concepts/90810-2010-08-09-071215.html (diakses pada 6 April 2014).
onislam
89 Bandingkan dengan al-A>lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol. 4, 500.
lanjut mengenai kategorisasi kafir dalam ayat Q.S. al-Ma>’idah (5): 44. Seperti al-A>lu>si>, ibn ‘A>shu>r (1879 M-1973 M) dalam tafsirnya al- Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, juga menjelaskan bahwa ayat tersebut tak bisa diartikan secara umum, yakni dengan menggeneralisir semua yang tidak menjalankan hukum Allah adalah kafir, seperti yang dilakukan khawa>rij. Karena terdapat banyak alasan ketika seorang Muslim tidak menjalankan hukum Allah. Oleh karenanya, makna ayat tersebut dikembalikan kepada sebab turunnya ayat, yakni penolakan yang dilakukan Yahudi atas penerapan hukum Allah. Maka, dengan ini mereka yang disebut kafir oleh ayat ini adalah yang menolak hukum Allah dengan hati, atau dengan kata lain mengingkari hukum dan
syariat Allah sebagaimana yang dilakukan Yahudi. 90 Apa yang dipaparkan al-A>lu>si> dan ibn ‘A>shu>r adalah contoh
penafsir yang memberikan detil untuk menjelaskan siapa yang termasuk kafir dalam Q.S. al-Ma>’idah (5): 44 tersebut. Namun Qut}b
tidak memberikan detil tersebut sehingga menimbulkan kerancuan dalam memahami ayat tersebut. Generalisasi itu pun kembali terlihat dalam penafsiran ayat selanjutnya. Pada Q.S. al-Ma>’idah (5): 45, Qut}b mengatakan bahwa predikat zalim di dalamnya adalah sifat tambahan selain sifat kafir. Lebih jelasnya, mereka disebut kafir karena telah meninggalkan hukum Allah, dan disebut zalim karena mereka
mengajak manusia lainnya kepada hukum manusia. 91 Penafsiran Qut}b di atas jika dikomparasikan dengan penafsir
lainnya terdapat kejanggalan. Al-A>lu>si> misalnya, meskipun ia meyebutkan pendapat lain yang berbunyi, bahwa ketiga sifat tersebut—kafir, zalim dan fasik—ada yang menyematkannya pada satu golongan saja, yakni mereka yang dianggap kafir dalam Q.S. al- Ma>’idah (5): 44, namun ada sedikit perbedaan dengan apa yang disampaikan Qut}b. Yakni, yang dimaksudkan kafir, fasik dan zalim adalah mereka yang meninggalkan hukum Allah yang disertai dengan pengingkaran. Hal itu menurut al-A<lu>si>, karena selain mereka tidak mengingkari hukum Allah, mereka juga mengajak manusia lainnya untuk meninggalkan hukum Allah, sehingga disebut dengan orang yang fasik dan zalim. 92 Namun Qut}b, masih menggeneralisir sifat zalim tersebut sama ketika ia menggeneralisir kata kafir. Dan hal ini
90 Lihat ibn ‘A<shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r (Tunisia: Da>r al-S{ah{nu>n, 1965), vol. 4, 207.
91 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 897. 92 Al-A<lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol.4, 500.
masih berlanjut sampai Qut}b menjelaskan sifat ketiga, yaitu fasik dalam Q.S. al-Ma>’idah (5): 47. 93
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penafsiran Qut}b terhadap ayat Q.S. al-Ma>’idah (5): 44, 45 dan 47
bersifat ahistoris. Pasalnya, Qut}b menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan tidak sesuai dengan sebab turunnya ayat. Penafsiran tersebut juga bersifat ahistoris, karena ayat tersebut memiliki konsep kedaulatan Tuhan bermakna akidah, namun Qut}b mengartikannya dengan maknanya yang siya>si>. Selain itu, penafsirannya kali ini mengindikasikan kepada pemikiran yang radikal. Karena di dalam tulisannya tersebut, Qut}b menyatakan setiap yang tidak menjalankan hukum Allah adalah kafir. Dan penafsirannya ini, menjadi legitimasi
atas tindakan radikal yang timbul setelahnya. 94 Kesimpulan tersebut didukung dengan kosa kata (leksikon)
yang digunakan. Dalam menjelaskan konsep h}a>kimiyah kali ini, ia banyak menggunakan kata-kata yang kontras, seperti i>ma>n-kufr,
Isla>m-ja>hiliyyah, shar’un-hawa>. Sedangkan pada penjelasan sebelumnya, ia tidak memakai kata tersebut saat menerangkan konsep h}a>kimiyah. Efek dari penggunaan kata-kata yang kontras ini, dapat membuat pembaca kepada pengkafiran satu sama lain, apalagi jika tidak membacanya dengan teliti dari segi historisitas ayatnya. 95
Adapun mengenai struktur penafsirannya, Qut}b sebelum menjelaskan ayat al-Ma>’idah (5): 41-50 secara terperinci ia mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut memiliki esensi yang sama, yaitu menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan. Dan konsep kedaulatan
93 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 375. 94 Konsep kedaulatan Tuhan ini adalah dasar ideologi gerakan Islam radikal.
Implikasi dari hal ini, adalah penolakan terhadap negara sekular serta gerakan jihad untuk menumbangkan negara jahiliyah, dan menggantinya dengan negara islam. Bandingkan dengan David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973- 1993 (London: Frank Cass and CO. LTD, 1995), 50-51, Husain Haqqani, ‚Islamists and Democracy: Cautions from Pakistan,‛ Journal of Democracy vol. 24, no. 2 (April 2013): 11-13, http://www.journalofdemocracy.org/sites/default/files/Haqqani-24- 2.pdf (diakses pada 5 Maret 2014) dan Khaled Abou el-Fadl, ‚Islam and Challenge of Democratic Commitment,‛ Fordham International Law Journal vol. 27 no. 1 (2003): 13-14,
http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1911&context=ilj
(diakses pada 5 Maret 2014).
95 Menurut van Dijk, dibalik pemilihan suatu leksikon, terdapat ideologiasi penulisnya. Oleh karena itu, dengan melihat pilihan kata yang digunakan,
ideologisasi dapat diungkapkan. Teun van Dijk, Ideology and Discourse , 55, http://www.discourses.org (diakses pada 12 Desember 2013).
Tuhan ini tidak lain berasal dari konsep tauhid. Oleh karenanya, siapa saja yang tidak menjalankan hukum Allah berarti kafir, juga fasik dan zalim, tanpa memberikan detil yang lebih mengenai hal tersebut. Dan melihat struktur penafsiran, detil dan leksikon yang digunakan, terlihat bahwa Qut}b menjadikan konsep kedaulatan Tuhan sebagai tema
sentral dari ayat-ayat tersebut. 96 Ayat selanjutnya, yaitu al-Ma>’idah (5): 3, nampaknya benih
radikal masih terlihat meskipun hanya sebatas hikmah yang implisit dari ayat. Hal ini terlihat ketika Qut}b menafsirkan firman Allah al- yawma akmaltu lakum di>nakum wa rad}i>tu lakum al-isla>ma di>na>. Dalam menerangkannya, Qut}b menyatakan bahwa ayat tersebut menandakan setidaknya dua hal; pertama bahwa agama Allah termasuk peraturan-peraturan-Nya adalah satu kesatuan, meskipun mencakup banyak aspek, seperti permasalahan akidah, ibadah, negara
bahkan halal dan haramnya sesuatu. 97 Apa yang dikatakan Qut}b tersebut memang benar adanya. Karena Islam mencakup berbagai macam prisip kehidupan. 98 Namun,
yang menjadi permasalahan adalah ketika Qut}b mencampuradukkan konsep kedaulatan Tuhan bermakna tashri>’iyah, siya>siyah dan antara
aspeknya yang berbentuk teori dan praktik. 99 Hal ini terbukti tatkala Qut}b menjelaskan lebih lanjut efek dari karakeristik Islam yang
komprehensif. Ia mengatakan bahwa karena kesatuan ini lah, maka tidak menaati salah satu dari peraturan Allah tersebut, berarti keluar dari keseluruhan peraturan, dan hal itu berarti pula keluar dari agama ini. Dengan kata lain, Qut}b menginginkan totalitas dalam menjalankan syariat Islam. Menurut John Calvert, totalitas dalam menjalani syariat
96 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 375 97 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 835-836. 98 Bandingkan dengan Yu>suf al-Qarad}a>wi>, al-Khas}a>is} al-‘A>mmah li al-Isla>m
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), 95-114 99 Qut}b membangun konsep kedaulatan Tuhan di atas konsep tauhid. Selain
itu, ia juga memperkuat konsep kedaulatan Tuhan dengan karakteristik Islam yang komprehensif. Dan salah satu bukti dari kelengkapan Islam adalah syariat Islam yang mencakup berbagai lini kehidupan manusia. Permasalahan kemudian timbul ketika Qut}b mempertanyakan, jika hanya kedaulatan Tuhan yang absolut, lalu pantaskah kekuasaan manusia lebih diutamakan daripada kekuasaan Allah? Dari pertanyaan ini Qut}b kemudian mencampuradukkan antara teori dan praktik dalam aktualisasi konsep kedaulatan Tuhan. Lihat John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism, 208-209 dan Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporary Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 22-23.
Islam adalah salah satu tujuan Qut}b dalam mendeskripsikan konsep kedaulatan Tuhan. Maka, jika seorang Muslim hanya menjalani sebagian saja dari syariat Islam, dan sebagian lainnya beracuan pada
sistem manusia berarti ia telah masuk dalam lembah jahiliyah. Qut}b, juga menyebutkan bahwa Islam adalah sebuah ‚manhaj‛ atau sistem. Dan bagi Qut}b, juga para islamis lainnya, yang mereka maksudkan dengan sebuah sistem bukanlah sekedar sistem atau program biasa. Baginya, kata tersebut membuat sesuatu telah terbuka dan jelas. Yakni, seorang Muslim tidak cukup hanya menjadi muslim, namun seorang muslim harus mengikuti praktik-praktik dan bukan
hanya teori agar menjadi seorang Muslim. 101 Melihat latar yang digunakan, terlihat bahwa Qut}b kembali
menjadikan hubungan antara aspek akidah dengan praktiknya untuk mengeluarkan seseorang dari agama ini. Pasalnya, Qut}b menggunakan karakteristik Islam yang komprehensif sebagai alasan untuk
mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya lantaran tidak menjalankan totalitas dalam menjalankan syariat Allah. Maka, dengan
ini ia telah mencampuradukkan antara h}a>kimiyah bermakna tashri>’iyah dengan siya>siyah. Hal tersebut didukung dengan leksikon yang ada, yang menjadikan seorang Muslim yang tidak menjalani sebagian peraturan keluar dari agamanya, karena peraturan Allah itu adalah satu kesatuan sebagaimana yang tertera di penafsirannya. Hal ini membuktikan bahwa Qut}b kembali telah mencampuradukkan antara
aspek teori dan praktik dalam konsep kedaulatan Tuhan. 102 Adapun melihat historisitas yang ada, ayat ini turun pada hari
arafah. Dalam ayat tersebut, Allah memberitahukan Muhammad dan orang-orang mukmin, bahwa segala peraturannya telah diturunkan. Dan ayat ini, menurut sebagian ulama adalah tanda bahwa Muhammad tidak lama lagi akan meninggalkan dunia ini. 103 Dengan kata lain, ayat
100 John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism, 212. Lihat pula Husain Haqqani, ‚Islamists and Democracy: Cautions from Pakistan,‛
Journal of Democracy
2 (April 2013): 9, http://www.journalofdemocracy.org/sites/default/files/Haqqani-24-2.pdf
(diakses pada 5 Maret 2014)
101 Lihat James Piscatori, Ekspresi Politik Islam, penerjemah Rofik Suhud (Bandung: Mizan, 1998), 55 danThameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of
Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse (2007): 167-168. 102 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 896.
103 Badingkan dengan ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m vol. 3, 26-27 dan al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A>yi al-Qur’a>n vol.9, 518.
ini menurut beberapa penafsir tidak mengindikasikan kepada keluarnya seorang muslim dari agamanya. Namun Qut}b, karena menekankan kepada konsep h}a>kimiyah dengan aspek qad}a>iyah, membuatnya keluar dari koridor yang ada. Berdasarkan hal ini, peneliti menyimpulkan bahwa penafsiran Qut}b kali ini tidak hanya ahistoris, tapi juga radikal.
Struktur penulisan Qut}b turut mendukung kesimpulan tersebut. Pasalnya, ia menyebutkan penafsiran-penafsiran di atas tatkala menjelaskan makna umum dari ayat tersebut. Hal ini, dalam analisis teks van Dijk, merupakan bentuk dari ideologisasi. Karena sesuatu yang ingin ditekankan akan diletakkan di awal atau di akhir
penafsiran sebagai suatu kesimpulan. 104 Adapun dalam penafsiran secara terperinci, Qut}b hanya menjelaskan tiga pelajaran yang dapat
dipetik dari ayat tersebut, pertama penyempurnaan agama Islam, kedua penyempurnaan nikmat-Nya berupa agama, ketiga keridaan
Allah dalam agama Islam. Ketiga hal ini semuanya kembali kepada makna umum ayat, kesatuan antara akidah dan syariah dalam Islam. 105 Hal tersebut jika dikomparasikan dengan penafsir lainnya, memang benar bahwa ayat tersebut menyatakan akan kelengkapan Islam sebagai agama, serta bahwa hanya Islam lah agama yang diridai Allah. Hanya saja para penafsir tersebut tidak menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan, apalagi dengan mencampuradukkan aspeknya yang teori dan
praktik. 106 Maka, dengan ini peneliti menyimpulkan bahwa penafsiran Qut}b kali ini bersifat ahistoris, karena tidak menafsirkan konsep
kedaulatan Tuhan sesuai dengan makna dasar ayat. Selain itu, penafsiran ini juga terlihat radikal karena di dalamnya terdapat leksikon yang mengindikasikan bentuk pengkafiran kepada orang lain.
Adapun ayat selanjutnya, yaitu al-An’a>m (6):1-2, nampaknya benih radikal tidak terdapat di dalamnya. Hanya saja, ideologisasi terhadap apa yang ia tekankan dengan konsep kedaulatan Tuhan masih terlihat. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Qut}b memulainya dengan menjelaskan makna dasar dalam ayat. Yakni terdapat dua cara untuk menghadapi kejahiliyahan, pertama dengan dali>l al-khalq dan kedua dengan dali>l al-kawn. Adapun yang pertama, terwujud dalam Q.S al-
104 Teun van Dijk, Ideology and Discourse , 55. 105 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 2,1030-1031. 106 Bandingkan dengan al-A>lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol. 4, 376, Sayyid T{ant}a>wi>,
al-Tafsi>r al-Was}i>t}, vol.1, 1172 dan Muh}ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: al- Hay’ah al-Mis}riyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1990), vol. 6, 129.
An’a>m (6):1 yang menceritakan bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah. Sedangkan kedua, atau dali>l al-kawn, yang terdapat dalam al- An’a>m (6): 2, memberitahukan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dari tanah. Dua hal ini, selain ampuh untuk menghadapi kejahiliyahan pada masa pra-Islam, juga digunakan untuk menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan. Namun yang khas di sini, Qut}b melanjutkannya dengan ide-ide ahli kitab, Yahudi dan Nasrani dalam menjatuhkan Islam. Menurut Qut}b, Yahudi dan juga Nasrani tidak akan berhasil dalam memalingkan semua umat Muslim ke dalam agama mereka. Hanya saja, mereka berhasil dalam hal yang lain yaitu
membuat Islam tidak lebih dari sekedar ritual dan ibadah. 107 Cara yang digunakan ahli kitab tersebut, menurut Qut}b,
adalah dengan mendirikan berbagai instansi, sistem pemerintahan yang menggunakan nama Islam namun tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar dan tujuannya. Dan cara ini, masih menurut Qut}b, telah
berhasil mengelabui umat Islam, sehingga muslim saat ini terbiasa hanya menjalankan Islam dengan ritual dan ibadahnya saja dan bukan
dalam kehidupan mereka yang luas seperti ekonomi dan politik. Tidak hanya itu, usaha ahli kitab untuk menghancurkan Islam juga meluas
dengan menciptakan perang dan perseteruan melawan umat muslim. 108 Melihat uraian singkat di atas, terlihat kembali pengaruh
kondisi sosial politik pada masa Qut}b saat itu. Pasalnya, Qut}b yang sejak remaja telah memperhatikan dunia politik saat itu, mengalami dua rezim penguasa di Mesir, yang keduanya bersekutu dengan ahli kitab, baik kekuasaan saat itu dipegang oleh kerajaan ataupun repubik. Ketidaksukaannya terhadap ahli kitab semakin diperkuat tatkala ia tinggal di Amerika selama dua tahun, dan melihat kebahagian warga saat itu atas kematian H{assan al-Banna (1906 M-1949 M). Maka, tidak
107 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1030. Salah satu ide Qut}b yang sering dijadikan rujukan oleh gerakan Islam radikal adalah pendapatnya mengenai
ahli kitab,Yahudi dan Nasrani. Menurut Qut}b, ahli kitab tersebut adalah otak dibalik kehancuran Islam kini. Sebut saja emansipasi wanita yang kian tidak wajar semakin meluas, ide-ide pemerintahan seperti Pan Arabisme, Nasionalisme, dan lain sebagainya. Hal ini diperkuat dengan ayat yang menyatakan, ahli Kitab tersebut sudah membuat janji untuk melawan Islam sejak zaman Muhammad. Bassam Tibi, ‚From Sayyid Qut}b to HAMAS: The Middle East Conflict and the Islamization of Antisemitism,‛
Series (2010): 11-12, http://www.isgap.org/wp-content/uploads/2011/10/bassam-tibi-online-working- paper-20101.pdf (diaskes pada 9 April 2014). 108
Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1031.
heran jika Qut}b kemudian mengundurkan diri dari kementerian pendidikan sepulangnya dari Amerika. Hal ini diperkuat ketika para pemimpin Republik Mesir menolak syariat Islam sebagai dasar negara, dan lebih memilih sistem buatan manusia sebagai dasar negaranya, seperti nasionalisme, demokrasi dan Pan-Arabisme. Oleh karenanya, tidak heran jika Qut}b menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai tema
dalam penafsirannya terhadap ayat ini. 109 Adapun hubungannya dengan konsep kedaulatan Tuhan.
Qut}b menjadikan konsep kedaulatan Tuhan ini sebagai obat dan penyelamat dari keterjerumusan umat muslim dari lembah jahiliyah. Karena menurutnya, jahiliyah modern itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, masyarakat komunis, kedua segala sistem yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar, walaupun menggunakan Islam sebagai nama. Dan ketiga adalah para ahli kitab, yang telah menolak syariat-Nya, serta berusaha untuk memusnahkan Islam, seperti para
zionis Israel. 110 Bukti lain atas keterpengaruhan Qut}b terhadap kondisi sosial
politik pada saat itu, ketika ia menjelaskan panjang lebar bahwa banyak sistem pemerintahan atau organisasi yang mengatasnamakan Islam, namun sebenarnya mereka tidak menjadikan syariat islam sebagai dasar mereka. Hal ini sangat tercermin pada pemerintahan Nasser. Pada masa itu, ia mengandeng Islam sebagai alat untuk memperoleh simpati dari rakyatnya. Padahal, partai yang ia ikuti tidak berorientasi kepada sistem Islam, melainkan berkiblat kepada nasionalisme. Tak pelak para ulama Azhar pun ia dekati, juga pengelolaan masjid yang ada di Mesir kemudian berada di bawah kekuasaannya. Hal itu ia gunakan untuk melegitamasi kebijakan- kebijakannya seperti nasionalisme dan Pan arabisme sebagai tandingan
109 Bandingkan dengan JohnL. Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 68-69 dan Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic
Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science
11, vol. 12 (2012): 92-94, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume 12/11-From-Social-Justice-to.pdf (diakses pada 16 Januari 2014).
110 Untuk terlepas dari jahiliyah modern ini, adalah dengan mendirikan negara Islam yang diawali dengan adanya komunitas muslim yang menjalankan
syariat Allah, kemudian ummat ini bersatu untuk menggulingkan negara jahiliyah dengan jalan revolusi. Lihat Husain Haqqani, ‚Islamists and Democracy: Cautions from Pakistan,‛ Journal of Democracy vol. 24, no. 2 (April 2013): 11-13, http://www.journalofdemocracy.org/sites/default/files/Haqqani-24-2.pdf
(diakses pada 5 Maret 2014).
dari Pan Islamisme. Tapi bagi Qut}b, apa yang dilakukan oleh Nasser tersebut berarti penolakan Nasser terhadap penggunaan syariat Islam sebagai dasar negara. Dan hal itu sama saja dengan merebut kedaulatan Tuhan. Hal ini lah yang membuat hubungan antara Qut}b
dan IM dengan pemerintahan semakin jauh. 111 Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
penafsiran Qut}b memang harus dilihat pula dari kondisi sosial politik saat itu. Akibat dari pengaruh itulah konsep kedaulatan Tuhan yang seharusnya bermakna akidah, diartikan dengan maknanya yang siya>si>. Hanya saja, hal tersebut belum sampai kepada leksikon yang menjerumuskan kepada pengkafiran. Oleh karena itu, penafsiran kali ini menurut peneliti bersifat ahistoris namun tidak radikal. Kesimpulan ini juga terlihat dari struktur penafsiran Qut}}b. Pasalnya, di awal penafsiran ia memang menjelaskan apa itu dalil khalk dan dalil kawn. Kemudian, ia menjelaskan keburukan ahli kitab ketika berusaha untuk
menyerang Islam dengan proporsi yang cukup banyak. Hal itu dilanjutkan dengan mengulas obat dari keterpurukan ini, yaitu dengan
konsep kedaulatan tuhan yang dibangun atas dasar akidah. Dan konsep akidah ini lah yang telah tergambar dari ayat Q.S. al-An’a>m (6):1-2. 112
Adapun ayat selanjutnya, berbeda dengan ayat yang telah dibahas di atas. Dalam penjelasannya terhadap ayat ini; al-An’a>m (6):
12, terdapat kata-kata (leksikon) yang dapat menjurus kepada pemikiran yang radikal. Hal ini terlihat dari struktur kalimat yang Qut}b gunakan saat menjelasakan firman Allah ‚ Qul liman ma> fi> al- sama>wa>ti wa al-ard} qul lilla>h..‛ Tatkala ia menjelaskan potongan ayat tersebut, ia menggunakan konteks masyarakat Arab pra-Islam sebagai latar, untuk kemudian dianalogikan dengan masyarakat masa kini yang menurutnya tidak lebih baik dari masyarakat pra-Islam. Oleh karena itu, masyarakat Islam masa kini yang tidak menjalani shariat Allah bukan hanya memiliki sifat kafir, tapi juga zalim dan fasik. 113
Penafsirannya kali ini, terlihat sama dengan penafsiran yang peneliti
yaitu penekanannya kepada ketidakpatuhan manusia masa kini pada shariat Allah. Namun, di sisi
bahas
sebelumnya,
111 Bandingkan dengan Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London: Routledge, 1994), 138-140, Peta Tarlinton,
‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ 173- 174 dan John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality,
71 dan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism, 202. 112 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1031. 113 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1032.
lain terdapat pula perbedaannya, yakni pada penafsirannya kali ini ia berpendapat bahwa jika pada masa pra-Islam masyarakatnya disebut masyarakat ja>hiiyyah dan mereka telah menjadi musyrik karena menyekutukan Allah, maka masyarakat modern kali ini, menurut Qut}b, lebih buruk dari pada mayarakat ja>hiiyyah karena mereka telah menolak semua sifat ketuhanan-Nya. Oleh karena itu, Qut}b mengatakan bahwa masyarakat modern saat ini menjadi kafir, fasik dan zalim. Dengan kata lain, dalam ayat ini, Qut}b menuliskan kata-
kata yang menyatakan muslim lainnya telah kafir. 114 Menurut beberapa peneliti, penyebab mengapa Qut}b menyebut
masyarakat masa kini dengan masyarakat jahiliyah modern, lantaran muslim saat ini bukanlah muslim sejati. Pasalnya, muslim saat ini tidak memahami konsep kedaulatan Tuhan dalam arti sebenarnya, karena mereka tidak menjalani syariat islam secara total. Dan bagi Qut}b, seorang muslim adalah muslim yang hidupnya berada di bawah
naungan syariat, insa>n ka>mil, itulah sebutan yang pas bagi orang tersebut. Dengan kata lain, kata ‚ja>hiliyah‛ tidak lagi merujuk kepada
masa pra-islam bagi Qut}b, namun lebih populer dengan komunitas yang anti islam atau tidak Islami. 115
Kesimpulan di atas didukung pula dengan leksikon yang digunakan. Dalam penafsiran Qut}b di atas, ditemukan bahwa ia menggeneralisir semua manusia yang tidak menjalankan syariat Allah dalam sebutan munsyrik. Padahal, predikat musyrik itu sendiri disematkan dalam sisi akidah atau menyangkut keyakinan seseorang di hatinya dan bukan dari perbuatan semata. Maka, predikat musyrik tersebut pantas disematkan dalam perkataan yang dengan nyata
114 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1032. Lihat pula Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights (Florida: University
Press of Florida, 2003), 64-65, John L. Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 137 Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, 176.
115 L. Carl Brown, Wajah Islam Politik, penerjemah Zainul Am, 228 dan John L. Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 137, dan Paul Brykczynski,
‚Radical Islam and the Nationalism in the Political Thought of Hassan al-Banna and Sayyid Qut}b,‛ History of Intelectual Culture no. 1, vol. 5 (2005): 8-10, http://www.ucalgary.ca/hic/files/hic/pbrykczynski.pdf (diakses pada 27 Januari 2014) dan Alexander R. Alexiev, ‚The Wages of Extremism: Radical Islam’s Threat to the West and the Muslim World,‛ Hudson Institute
(Maret 2011): 22, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EtUKgTrj8QwJ:www.huds on.org/content/researchattachments/attachment/875/aalexievwagesofextremism0320 11.pdf+&cd=18&hl=id&ct=clnk (diakses pada 10 April 2014).
mendustakan agama atau mengolok-oloknya atau juga dengan perbuatan yang sangat jelas menggambarkan pengingkaran hatinya atas Islam. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak boleh dengan mudahnya mengkafirkan muslim yang lain. Bahkan, jika masih terdapat keraguan atas perbuataan atau perkataan seseorang, apakah mencerminkan pengingkarannya atas agama atau tidak, maka ia masih menjadi Muslim dan tidak boleh serta merta mengkafirkan orang
tersebut. 116 Penjelasan di atas, kembali ditemukan tatkala Qut}b
menjelaskan Q.S. al-An’a>m (6): 12-19. Seperti kebiasaannya dalam menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan, ia kembali menerangkan bahwa ayat-ayat dalam rangkaian Q.S. al-An’a>m (6): 12-19 membicarakan konsep tauhid. Kemudian, ia mengambil bukti empirik hal tesebut dari kejadian di masa Muhammad serta para sahabatnya. Dan kali ini, ia menjadikan kisah Rub’i bin ‘A<mir sebagai contoh dan
menganalogikannya dengan masa kini. 117 Lebih jelasnya, dalam penjelasannya kali ini Qut}b kembali
menggunakan sejarah masa lalu sebagai latar dalam menilai ja>hiliyah modern. Dan pada penafsirannya kali ini, Qut}b menggunakan apa yang dikatakan oleh Rub’i bin ‘A>mir kepada Rustum, panglima perang masyarakat Persia ‚sesunguhnya kami datang untuk membebaskan kalian dari penyembahan manusia kepada manusia menuju penyembahan yang hakiki kepada Allah yang Maha Esa.‛ Dalam analogi yang ia gunakan kali ini, peneliti menemukan bahwa apa yang ia (Rabi’ bin ‘A>mir) hadapi saat itu adalah non-Muslim. Oleh karena itu, nampaknya kurang tepat jika dianalogikan kepada apa yang terjadi pada masa Qut}b saat itu. Pasalnya, organisasi-organisasi tersebut masih beranggotakan muslim, meskipun terdapat di dalamnya organisasi yang berasaskan nasionalisme. 118
Kebencian Qut}b terhadap rezim Nasser terlihat dalam penafsirannya kali ini. Pasalnya, Nasser dan anggota revolusi telah
116 Mana>l Sami>r Ra>fi’I, Dira>sa>t fi> ‘Ilmi al-Tawhi>d (Kairo: Maktabah al- Rishwa>n, 2006), 168 dan Muh}ammad ‘Ima>rah, ‚al-Di>n wa al-Siya>sah,‛ al-Ummah 23
Februari 2014, http://www.al-omah.com/newsDetail.aspx?NewsID=32435 (diakses pada 10 April 2014) dan ‘Abdu al-H{afi>z}, ‚al-Takfi>r ‘Inda Muh}ammad ‘ima>rah,‛ al- Jumhu>riyah
8 Februari 2013, http://www.algomhoriah.net/articles.php?id=37567 (diakses pada 10 April 2014).
117 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1047-1048.. 118 Bandingkan dengan L. Carl Brown, Wajah Islam Politik, penerjemah
Zainul Am , 226-227, Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1048.
banyak didukung dan dibantu oleh Qut}b dan IM untuk mewujudkan revolusi tersebut. Namun, usai revolusi Nasser justru memproklamasikan sosialisme Arab sekular dan nasionalisme. Hal ini lah yang menjadikan hubungan antara Nasser dengan IM menjauh hingga berbuntut kepada tindak kekerasan. Akhhirnya, pemerintah yang memiliki kekuasaan, memboikot IM serta mempernjarakan banyak anggotanya serta disisksa. Dan semasa di penjara inilah, pemikiran radikal Qut}b semakin terbentuk. Apalagi setelah ia dan teman-temannya menerima banyak sisksaan. Oleh karenanya, Qut}b menganggap pemerintahan Nasser serta masyarakat yang mendukung pemerintahan ini sebagai komunitas jahilyah. Karena pemerintahan yang mengaku menjunjung tinggi keadilan ini justru memangkas keadilan tersebut. Selain itu, baik Nagib dan Nasser telah menolak syariat Islam untuk menjadi dasar negara, dan menerima sosilaisme dan nasionalisme yang merupakan produk Barat dan zionis. Hal inilah
yang dianggap Qut}b sebagai bukti bahwa Nasser dan rezimnya saat itu telah merampas kedaulatan Tuhan. Dan untuk bebas dari ini, hanya
dengan mengimplementasikan konsep tauhid secara total. 119 Apa yang dikatakan Qut}b dalam panafsiran di atas, adalah
untuk membuktikan bahwa sistem buatan manusia tidak bisa dibandingkan dengan sistem Allah. Dan hal inilah yang sering ia jadikan alasan untuk menegakkan konsep kedaulatan Tuhan. Seperti kebiasaannya, Qut}b setelah beragumentasi bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dalam melihat konsep kedaulatan Tuhan ini, ia melanjutkannya dengan melihat sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat. Setelah itu, Qut}b mengkontekstualisasikannya dengan masa
kini. 120 Kesimpulan di atas didukung dengan generalisasi pada kata
‚organisasi-organisasi, gerakan-gerakan‛ dan ‚penyembahan manusia
119 Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism, 203-205, Jon Armajani, Modern Islamist Movement , 59.
Bandingkan dengan Larbi Sadiki, ‚Political Islam: Theoretical underpinnings,‛ dalam Interregional challenges of Islamic extremist movements in North Africa,
ed. Muna Abdallah (Pretoria: the Institute for Security Studies, 2011), 10-11, www.issafrica.org (diakses pada 11 April 2014), Alexander R. Alexiev, ‚The Wages of Extremism: Radical Islam’s Threat to the Westand the Muslim World,‛ Hudson
2011): 22, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EtUKgTrj8QwJ:www.huds on.org/content/researchattachments/attachment/875/aalexievwagesofextremism0320 11.pdf+&cd=18&hl=id&ct=clnk (diakses pada 10 April 2014).
Institute
(Maret (Maret
bahwa penafsiran Qut}b kali ini bersifat radikal. 121 Generalisasi serupa juga didapati ketika Qut}b menjelaskan kata
‚wali>‛ pada Q.S. al-An’a>m (6): 14. Dalam penafsirannya tersebut, ia menafsirkan kata wali> dengan pendekatan linguistik, sama halnya ketika ia menafsirkan kata t}a>ghu>t pada Q.S. al-Nisa> (4): 51. Dalam penafsirannya kali ini, Qut}b mengartikan kata
wali> dengan segala sesuatu yang tercakup dalam arti dasar kata tersebut, seperti orang yang ditaati, dan diminta pertolongan 122 tanpa memberikan detil yang
cukup bahwa hal tersebut diikuti dengan penyekutuan kepada Allah. Berbeda dengan al-T{abari> yang menjelaskan lebih detil bahkan memberikan dalil sebuah riwayat yang mendukung pernyataannya bahwa yang dimaksud dengan kata wali> tersebut adalah yang disembah
selain Allah. 123 Makna dasar dari rangkaian ayat tersebut, berada dalam kontek
akidah. Pada Q.S. al-An’a>m (6): 12, ayat tersebut adalah bukti yang membenarkan keesaan Allah. Dan hal tersebut dilakukan dengan
121 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1048. Salah satu pemikiran Qut}b yang banyak dikritisi oleh para peneliti adalah leksikon yang ia gunakan seperti ‚sistem
buatan manusia.‛ Leksikon ini sering digunakan dalam menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan. Lebih jelasnya, ia menggunakan leksikon tersebut untuk mengkontraskan antara sistem Islam dengan sistem buatan manusia. Kemudian ia pun menjelaskan bahwa sistem manusia, banyak memiliki kelemahan tidak seperti sistem Islam yang langsung dari Tuhan. Lihat Larbi Sadiki, ‚Political Islam: Theoretical underpinnings,‛ dalam Interregional challenges of Islamic extremist movements in North Africa,
ed. Muna Abdallah (Pretoria: the Institute for Security Studies, 2011), 10-11, www.issafrica.org (diakses pada 11 April 2014).
122 Lihat ibn Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab, vol. 15, 405 dan Perkumpulan Ahli Bahasa Arab di Kairo, Al-Mu’jam al-Waji>z (Kairo: Kementerian Pendidikan Kairo,
123 Bandingkan dengan al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l ‘A<yi al- Qur’a>n, vol. 11, 282.
menyebutkan ciptaan Allah di alam semesta ini. 124 Kontek akidah juga terdapat dalam Q.S. al-An’a>m (6): 19. Ayat ini turun ketika terjadi
pembicaraan antara musyrik Mekkah dengan Nabi Muhammad. Lebih jelasnya, para pemuka Quraish Mekkah bertanya kepada Muhammad mengenai bukti bahwa Muhammad adalah rasul utusan Allah. Pemuka suku Quraish tersebut berdalih bahwa mereka telah bertanya kepada Yahudi dan Nasrani mengenai bukti akan kenabian Muhammad. Namun, para ahli kitab tersebut justru mengatakan bahwa mereka tidak melihat adanya pemberitahuan dalam kitab suci mereka. Oleh karenannya, ayat ini memberitahukan bahwa Allah adalah saksi akan kenabian Muhammad. 125
Adapun Qut}b, dalam penjelasan umum mengenai rangkaian Q.S. al-An’a>m (6): 12-19 mengatakan juga bahwa rangkaian ayat tersebut berada dalam kontek tauhid, yakni untuk menegaskan prinsip
ketuhanan Allah juga kedaulatan-Nya. 126 Hal ini juga dipertegas kembali dalam penafsiraannya yang terperinci terhadap rangkaian Q.S.
al-An’a>m (6): 12-19. Hanya saja, Qut}b kemudian melebarkan permasalahan tersebut kepada konsep kedaulatan Tuhan. Pada Q.S. al- An’a>m (6): 12 misalnya, Qut}b menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan dengan menganalogikan sejarah masyarakat jahiliyah Pra-Islam dengan masa kini, untuk dijadikan latar dalam melabeli masyarakat masa kini dengan jahiliyah modern yang menurutnya lebih buruk dari masyarakat jahiliyah pra-Islam. Adapun dalam Q.S. al-An’a>m (6):19, Qut}b menampilkan konsep kedaulatan Tuhan sebagai hikmah dari rangkaian ayat Q.S. al-An’a>m (6): 12-19. Dan pada kesempatan kali ini, ia menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan dengan proporsi yang lebih banyak. Dan dalam penafsirannya ini pula, ia mengatakan bahwa mementingkan sistem buatan manusia daripada sistem Allah sama saja dengan keluar dari konsep tauhid, yang artinya adalah keluar dari agama. Baik hal tersebut dilakukan oleh sekelompok orang atau individu. 127
Berdasarkan uraian singkat di atas, terbukti bahwa selain penafsiran Qut}b bersifat radikal, ia juga ideologis. Karena
124 Lihat ibn ‘a>shu>r, al-Tah{ri>r wa al-Tanwi>r, vol. 4, 373 dan Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h{ al-Ghaybi, vol. 6, 230.
125 Ibn ‘A>shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, vol. 4, 364, al-Kha>zin, Luba>b al- Tak’wi>l fi>Maka>n al-Tanzi>l (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), vol. 2, 375 dan Muhammad
Sayyid T{ant}a>wi>, Tafsi>r al-Was}i>t}, vol. 1, 1441. 126 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1047-1049.
127 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1047-1049 127 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1047-1049
membahas konsep kedaulatan Tuhan bermakna perintahan. 128 Pada penjelasan selanjutnya, Qut}b mengatakan bahwa
penjelasan mengenai hari akhir dapat menyadarkan manusia untuk menegakkan konsep kedaulatan Tuhan dengan menjalankan syariat-
Nya. Kemudian ia kembali menegaskan, sekalipun manusia di Bumi meggunakan syarait selain yang dibuat oleh Allah, amal perbuatannya
akan tetap dihitung dengan menggunakan syariat Allah sebagai parameternya. Oleh karena inilah, masih menurut Qut}b, jika manusia tidak menjalankan syariat Allah secara total—hanya dalam ritual ibadahnya semata—maka hal ini lah yang akan dihitung pertama kali. Dan perbuatan ini, sama saja dengan menyekutukan Allah. Dan hal tersebut, dapat mengeluarkannya dari agama. Sama saja, hal tersebut dalam aspek sosial, ekonomi, hubungan antara manusia dan lain- lain. 129
Berdasarkan penafsiran di atas, terlihat bahwa Qut}b menjadikan hari pembalasan sebagai latar untuk menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan, dan ini termasuk dalam aspek akidah, yang berbasis asas tauhid. Konsep tauhid ini, adalah dasar dari konsep kedaulatan Tuhan Qut}b. Karena konsep tauhid tersebut mencakup berbagai macam aspek, yang berhubungan dengan alam semesta dan isinya. Oleh karena itu, implikasi dari hal ini adalah kewajiban manusia dalam mengimplementasikan syariat Islam, juga menjaga keadilan bagi sesama manusia. Maka jika salah satu aspek ini hilang, pelaku tersebut masuk ke dalam lembah jahiliyah. Tidak hanya konsep tauhid, dalam penafsiran Qut}b terhadap Q.S. al-An’a>m (6): 62 ini, ia juga menggunakan konsep al-shumu>l . Konsep ini adalah kelanjutan dari
128 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123 129 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123-1124.
konsep tauhid, di mana manusia akan dibawa untuk mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. 130
Kosa kata yang digunakan juga mencerminkan ideologisasi tersebut, seperti kata shariat al-ard} al-bashariyyah (shariat manusia)
yang dikontraskan dengan shariat Allah. Kata ini bahkan tidak hanya digunakan pada ayat ini, namun juga pada ayat-ayat yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa Qut}b memang sangat berkonsentrasi kepada peraturan-peraturan yang dibuat manusia, yang tidak sesuai dengan shariat Allah. Sayangnya, ia membiarkan hal tersebut melebar tanpa detil yang cukup, sehingga
membuat kerancuan dalam diri pembacanya. 131 Lebih jelasnya, dalam penafsiran di atas Qut}b telah melakukan
generalisasi ketika menjelaskan bahwa manusia yang tidak menjalankan syariat dan perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari— sebagaimana pada ritual ibadah mereka—maka golongan tersebut
termasuk telah menyukutkan Allah, dan mereka menjadi murtad atau keluar dari Islam. Hal ini tentu memerlukan penjelasan lebih detil,
karena jika dibiarkan, maka implikasinya para pembaca akan mudah
130 James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual
University Press),106, http://books.google.co.id/books?id=g20SfqSYT5YC&pg=PA307&lpg=PA307&dq= qutb+ISIM&source=bl&ots=ikhU0fGG4u&sig=7kgZt9e9bY3Fx986bGDLNN53A1g &hl=id&sa=X&ei=1_tIU92kBYTLrQeKroCYDw&redir_esc=y#v=onepage&q=qutb %20ISIM&f=false
2014) dan Patrick Anderson,‚Understanding Transnational Radical Islamism,‛ Journal of Conflict Studies (2009):16, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:_VRY- gCrRncJ:www.ucalgary.ca/hic/issues/vol5/4+&cd=2&hl=id&ct=clnk (diakses paa 14 April 2014).
131 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123-1124. Kata tersebut (sistem buatan manusia), sering digunakan Qut}b untuk membuktikan kelemahan sistem itu sendiri.
Ia beralasan, bahwa sistem buatan manusia adalah lemah jika dilihat dari sumbernya. Meskipun demikian, ia tidak melarang adanya pembaruan, yang ia tentang adalah jika hal tersebut berseberangan dengan syariat Islam. Karena bagaimanapun, syariat Allah sudah memiliki jaminan. Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism, 208 dan James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of
Intellectual, 106-108, http://books.google.co.id/books?id=g20SfqSYT5YC&pg=PA307&lpg=PA307&dq= qutb+ISIM&source=bl&ots=ikhU0fGG4u&sig=7kgZt9e9bY3Fx986bGDLNN53A1g &hl=id&sa=X&ei=1_tIU92kBYTLrQeKroCYDw&redir_esc=y#v=onepage&q=qutb %20ISIM&f=false (diakses pad 14 April 2014).
a Radical
Islamic Islamic
Menurut peneliti, penafsiran tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang ia rasakan. Pemerintahan Nasser saat itu, memang
giat menggandeng Islam untuk mengambil hati rakyat dan warga lainnya di semenanjung Arab. Walhasil, ia mendekati para dosen Azhar dan mengatur urusan mesjid-mesjid Mesir. Tidak hanya itu, kebijakan-kebijakanya juga tidak luput dari dukungan ulama Azhar. Nasser mulai membangun citranya yang Islami, namun dalam pemerintahannya justru tidak memakai syariat Islam melainkan menerima sistem sekular. Hal ini lah yang membuat Qut}b tidak bisa diam. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam penafsiran kali ini, Qut}b mengatakan bahwa masyakat yang hanya menjalankan syariat Islam dalam urusan ibadah saja, tidak dalam semua sektor termasuk sosial ekonomi dan pemerintahan adalah musyrik, karena dianggap telah 133 menjadikan Allah sekutu.
Ideologisasi di atas juga dapat dibuktikan dengan melihat konteks ayat tersebut. Ayat Q.S. al-An’a>m (6): 62 menjelaskan bahwa hanya Allah lah yang akan menghitung perbuatan manusia di Bumi ini. Dan perhitungan Allah tidak akan pernah melewatkan hal sekecil
apapun. 134 Dengan kata lain, ayat tersebut berada dalam kontek akidah. Lebih jelasnya lagi, ibn ‘A>shu>r dalam tafsirnya mengatakan
bahwa ayat Q.S. al-An’a>m (6): 62 adalah salah satu ayat yang
132 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123-1124 133 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1124, Ibrahim
Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qutb’s Discourse,‛ Global Journal Of Human Social Science Sociology, Economics
11 (2012): 97, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume12/11-From-Social-Justice-to.pdf (diakses pada 14 April 2014) dan Thameem Ushama, ‚Sayyid Qutb: Individual to Collective Action,‛
& Political
Science vol.
no
1 (2004): 18- 20,http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/viewFile/258/249 (diakses pada 14 April 2014) dan Mhd. Syahnan,‚A Study of Sayyid Qutb's Quran Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z{Ila>l Al-Qur’a>n with Specific Reference to Selected Themes,‛ Thesis Universitas Mc Gill Canada (1997): 23, http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/s4/f2/dsk2/ftp01/MQ37238.pdf (diakses apda
IntellectualDiscourse vol
no
14 April 2014). 134 Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l ‘A>yi al-Qur’a>n, vol. 11, 413,
Muh}ammad Sayyid T{ant}a>wi>, al-Tafsi>r al-Was{i>t}, vol. 1, 1472, Na>s}iru al-Di>n al- Bayd}a>wi>, Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l (Beirut: Da>r al-Kutub, 2011), vol. 2, 164.
membuktikan kekuasaan Allah yang agung. Dan arti kata al-h}ukm dalam ayat, bisa dikembalikan kepada jenis al-h}ukm itu sendiri, yakni kekuasaan, namun pada ayat ini memang dikhususkan kepada Allah. Jadi maknanya, hanya kekuasaan Allah lah—baik di dunia maupun akhirat—yang sempurna, tidak dengan yang lain. Dan kata tersebut juga bisa diartikan dengan kekuasaan Allah, namun yang sedang dibicarakan adalah kekuasaan Allah khusus di akhirat, yakni pada saat hari pembalasan. Terlepas dari perbedaan ini, kata al-h}ukm tersebut tetap menjelaskan akan kekuasaan Allah atas makhluk-Nya. Dan ini,
berada dalam kontek akidah yang umum. 135 Adapun dalam penafsiran Qut}b, terlihat bahwa ia membawa
penjelasannya kepada konsep kedaulatan Tuhan bermakna siya>siyah, juga membawa predikat kafir sebagai implikasi dari hal tersebut. Oleh karenanya, menurut peneliti penafsirannya terhadap Q.S. Al-An’a>m (6): 62 bersifat ahistoris dan radikal. Dan hal tersebut nampaknya terlihat pula dalam Q.S. al-An’a>m (6): 114.
Ayat 114 tersebut, turun untuk menjelaskan bahwa suku Quraish Mekkah, pada saat itu meminta kepada Muhammad untuk memilihkan hakim sebagai penengah antara kaum mereka dengan agama Muhammad dari golongan Yahudi atau Nashrani. Oleh karena itu, Allah mengingkari apa yang mereka lakukan melalui ayat tersebut. Karena bagaimanapun, hukum dan ketetapan Allah paling adil dan bijak dibanding siapa pun. 136
Melihat penjelasan di atas, diketahui bahwa ayat tersebut berada dalam konteks akidah. Allah mengingkari sikap suku Quraish Mekkah, yang pada saat itu lebih memilih golongan Yahudi atau Nashrani untuk menjadi penengah bahkan mengatur urusan agama mereka, khususnya dalam aspek akidah daripada Allah sendiri. Namun dalam penjelasan Qut}b, ia terlihat lebih berkonsentrasi pada penjelasan konsep h}a>kimiyah dengan aspek siya>siyah. Hal ini terlihat dalam detil yang ia berikan. Lebih lanjut mengenai hal ini, Qut}b terlihat sering mengkontraskan kata hukum Allah dengan selain hukum Allah. Memang hal ini benar adanya, bahwa menjadikan selain Allah pegangan adalah hal yang tidak benar. Namun, pada saat ia menjelaskan hal tersebut Qut}b menggunakan kata ‚hukum manusia‛
135 Ibn ‘A>shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, vol. 4, 470. 136 Lihat al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol.5, 495 dan al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n
fi> Ta’wi>l ‘A>yi al-Qur’a>n, vol. 12, 60.
sebagai ganti dari hukum selain Allah tanpa memberikan detil yang cukup, menjadikan penafsirannya mengambang. 137
Qut}b, pada penafsirannya kali ini kembali memunculkan sosok ahli kitab, baik Yahudi atau Nasrani, sebagai otak di balik kemunduran
umat Islam saat ini. Hal itu disebabkan, para ahli kitab tersebut semakin gencar menyebarkan ideologi mereka khususnya pada masyarakat Muslim. Dan hal tersebut, tidak hanya dalam sektor budaya tapi juga dalam sektor pemerintahan. Karena para ahli kitab ini, umat Muslim sudah terbiasa untuk hanya menjadikan Islam dalam ritual ibadah saja, tidak dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam
urusan ekonomi dan pemerintahan. 138 Pemilihan kata-kata, juga disebut salah satu strategi yang
dipilih penulis untuk menyampaikan pikirannya. 139 Hal ini pula yang menjadi dasar peneliti dalam menyimpulkan bahwa Qut}b
menggunakan kata-kata yang mengiindikasikan kepada kerancuan, sehingga berujung pada tindakan kekerasan. Hal ini terbukti dengan
pilihan kata ‚buatan manusia‛ ketika mengkontraskannya dengan ‚buatan Tuhan.‛ Selain itu, kata tersebut juga tidak diberi detil yang cukup tentang peraturan macam apa yang Qut}b maksud dalam penafsirannya. Berdasarkan ini, peneliti menyimpulkan bahwa
penafsiran Qut}b kali bersifat ideologis. 140 Ideologisasi di atas, juga dapat dibuktikan dengan melihat
struktur penafsiran Qut}b. Pada penjelasan umumnya mengenai
137 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1193. 138 Mengutip Mhd. Syahnan, bahwa ide-ide tersebut mulai muncul ketika ia
berada di Amerika. Dan hal ini semakin berkembang setelah terjadinya pembantaian besar-besaran kepada anggota IM di penjara tahun 1957, selain dari keberpihakan rezim pemerintahan kepada ide-ide Israel dan Amerika. Bandingkan dengan Mhd. Syahnan,‚A Study of Sayyid Qutb's Quran Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z{Ila>l Al-Qur’a>n with Specific Reference to Selected Themes,‛ Thesis Universitas
(1997): 23, http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/s4/f2/dsk2/ftp01/MQ37238.pdf (diakses apda 14 April 2014).
139 Lihat Erianto Analisis Wacana (Jakarta: LKIS, 2001), 229 140 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1193, John L.
Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 68-69 dan Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political
12 (2012): 92-94, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume 12/11-From-Social-Justice-to.pdf (diakses pada 16 Januari 2014).
Science
vol.
rangkain ayat Q.S. al-An’a>m (6):114-127, Qut}b menjelaskan bahwa inti dari rangkaian ayat ini adalah untuk membuktikan bahwa kedaulatan Tuhan harus ditegakkan. Adapun perintah yang di dalam rangkain ayat tersebut—seperti menyembelih hewan dengan nama Allah—adalah salah satu bukti keharusan manusia untuk menjalankan syariat-Nya. Karena hal tersebut adalah cara dalam menegakkan
konsep kedaulatan Tuhan. 141 Dan mengutip apa yang dikatakan van Dijk, bahwa apa yang dituliskan seseorang baik pada bagian awalnya,
abstrak atau kesimpulan memiliki nilai lebih. Yakni hal tersebut menggambarkan hal apa yang sedang ditekankan oleh sang penulis. 142
Berdasarkan hal ini, peneliti menyimpulkan bahwa penafsiran Qut}b ini bermuatan ideologis dan ahistoris. Selain itu, karena Qut}b juga mengatakan bahwa siapa saja yang hanya menjalankan syariah dalam ritual ibadah saja, tidak pada seluruh aspek kehidupan berarti keluar dari Islam, maka penafsiran ini juga bermuatan ide radikal.
Terlepas dari apa yang dikatakan Qut}b di atas, ia tetap menyebutkan makna dasar ayat tersebut. Yakni, ayat tersebut adalah
hiburan bagi Muhammad atas pengingkarana ahli kitab (yahudi dan nasrani), meskipun mereka sebenarnya mengetahui bahwa al-Qur’an
tersebut adalah benar adanya. 143 Namun dalam penjelasan selanjutnya, ia justru melebar kepada konsep h}a>kimiyah beraspek siya>siyah. Dan
tatkala Qut}b menjelaskan Q.S. al-An’a>m (6): 117, ia menegaskan lanjutan penafsirannya pada al-An’a>m (6): 114, bahwa hanya Allah lah yang menjadi rujukan dalam menentukan mana yang baik dan mana yang batil, dan bukan dikembalikan pada masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya, masih menurut Qut}b, jika masyarakat yang menjadi parameter dalam hal tersebut baik dalam sektor pertanian, ekonomi atau pemerintahan, maka masyarakat itu bukan masyarakat Islami>, tapi masyarakat ja>hili>, dan masyarakat jahiliyah tersebut adalah masyarakat musyrik. 144 Dan hal ini, memperkuat ide-ide radikal di dalamnya.
Ideologisasi di atas, terlihat pula dalam pembahasan ayat selanjutnya, al-Anfa>l (8): 27. Hal ini dapat dilihat dari historisitas ayat tersebut. Mengutip apa yang dikatakan ibn Kathi>r bahwa ayat
141 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 129 142 Teun A van Dijk, Macrostructures, 10-14, www.discourses.org (diakses
pada 12 Nopember 2013). 143 Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A>yi al-Qur’a>n vol. 3 , 131.
144 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1193.
tersebut, adalah teguran bagi ibn abi> Balta’ah yang sudah membocorkan rencana Muhammad kepada suku Quraish. Hal ini, masih menurut ibn Kathi>r, tidak mengikat signifikansi dari kata ‚khianat.‛Oleh karenanya, menurut ibn Kathi>r, yang dimaksud dengan ‚khianat‛ di sini adalah segala macam dosa, baik dosa kecil maupun besar. Penjelasan ini sah-sah saja karena ia berlandasan kaidah al- ‘ibrah bi> ‘umu>m lafz}. 145
Adapun menurut Qut}b, berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan tidak menjalankannya amanat umat Islam di dunia. Yakni, menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Penjelasan Qut}b ini, terlihat tidak begitu jauh dengan pendapat ibn Kathi>r. Namun, sayangnya Qut}b kemudian melebarkan penjelasannya untuk menjelaskan urgensitas konsep h}a>kimiyah. Lebih lanjut mengenai hal ini, dalam paragraf pertama, setelah Qut}b menjelaskan bahwa berkhianat kepada Allah dan Rasul adalah dengan tidak
menjalankannya amanat sebagai umat Islam, ia melanjutkannya dengan apa yang terpenting dalam agama ini. Qut}b menggunakan
prediksi yang dimilikinya tentang masyarakat masa pra-Islam—masa ja>hiliyah—bahwa penyekutuan terhadap Allah kebanyakan terjadi karena mereka hanya menempatkan konsep kedaulatan Tuhan (dengan menerapkan syariat-Nya) di dalam sektor ibadah saja. Kemudian Qut}b mengatakan bahwa tugas utama dalam Islam ini bukanlah dengan mengajak manusia kepada keesaan Allah, namun dengan mengajak mereka menjalankan h}a>kimiyatulla>h, dan ini adalah tugas utama umat Islam. Hal ini, karena ia melihat bahwa kebanyakan manusia menjadi musyrik lantaran mengakui selain Allah sebagai Tuhan, yang tercermin dalam tidak menjalankan h}a>kimiyatulla>h dalam kehidupan sehari-hari. Keterangan yang diberikan Qut}b ini, seolah-olah menunjukkan bahwa Qut}b ingin mengatakan—meskipun hal ini ia ungkapkan secara implisit—bahwa berkhianat kepada Allah dan Rasul terletak pada ketidaktepatan penempatan konsep kedaulatan Tuhan,
yakni hanya menjalankan syariat-Nya dalam ritual ibadah saja. 146 Apa yang dikatakan Qut}b di atas, diperkuat dengan penafsiran
umum yang ia berikan untuk rangkaian ayat Q.S. al-Anfa>l (8): 1-29. Qut}b dengan jelas mengatakan bahwa Islam, terdiri dari sebuah keyakinan, ritual ibadah dan penegakan konsep kedaulatan Tuhan, dengan menjalankan syariat Allah pada segala aspek kehidupan. Dan
145 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol.4, 41. 146 Sayyid Qut}b. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1193-1194.
jika salah satu dari aspek tersebut tidak ada, maka ia telah keluar dari Islam. Hal ini menurut Qut}b, banyak terlihat pada masa kini. Mereka hanya menganggap bahwa Islam dapat dicapai dengan sebuah keyakinan dan ritual ibadah semata. Padahal, masih ada konsep kedaulatan Tuhan yang harus ditegakkan, yakni menjalankan syariat
Allah. 147 Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas aspek shumu>l dalam
karakteristik Islam disalahartikan oleh Qutb. Padahal, meskipun Islam memiliki karakteristik shumu>l (mencakup berbagai aspek), bukan berarti hal tersebut menjadi legitimasi dalam mengakfirkan muslim yang lain. Karena dalam urusan mengkafirkan muslim yang lain, haruslah disertai bukti yang kuat. Yakni, jika seorang Muslim tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang Muslim tidak serta merta membuatnya keluar dari Islam. Karena hal tersebut baru dapat menjadikannya musyrik jika alasan meninggalkan syariat tersebut
disertai dengan pengingkaran hati. Jadi, amal perbuatan tidak serta merta membuat seseorang keluar dari Islam sampai hal tersebut
dilakukan dengan disertai pengingkaran hati akan kewajiban penegakan syariat tersebut. 148
Kesimpulan di atas dibuktikan pula dengan struktur penafsirannya. Hal ini, sebagaimana yang telah peneliti jelaskan bahwa dalam penafsiran umumnya mengenai rangkaian ayat tersebut, Qut}b menjelaskan hakikat dari seorang Muslim, yakni tidak hanya dalam segi keyakinan dan ibadah namun juga dalam perbuatan sehari-hari di berbagai aspek kehidupan. Dan apa yang ia ucapkan tersebut, juga
dikatakan kembali ketika menjelaskan Q.S. al-Anfa>l (8): 27. 149 Bila melihat penafsiran Qut}b di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa penafsiran Qut}b tersebut adalah penafsiran yang ahistoris dan radikal. Pasalnya, setelah ia mengatakan makna dasar dari kata khianat tersebut, yaitu segala macam bentuk ketidakpatuhan kepada Allah dan
147 Sayyid Qut}b. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1193. 148 Bandingkan dengan Mana>l Sami>r Ra>fi’I, Dira>sa>t fi> ‘Ilmi al-Tawhi>d 168,
‘Abdu al-H{afi>z}, ‚al-Takfi>r ‘Inda Muh}ammad ‘ima>rah,‛ al-Jumhu>riyah 8 Februari 2013, http://www.algomhoriah.net/articles.php?id=37567 (diakses pada 10 April 2014)
la> Qud}a>t}, 33, http://www.scribd.com/doc/54579618/%D8%AD%D8%B3%D9%86%D8%A7%D9 %84%D9%87%D8%B6%D9%8A%D8%A8%D9%8A%D8%AF%D8%B9%D8%A7 %D8%A9-%D9%84%D8%A7-%D9%82%D8%B6%D8%A7%D8%A9
dan H{asan
Hud}aibi>,
Du’a>t
(diakses pada 13 April 2014). 149 Sayyid Qut}b. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1193-1194.
Rasul-Nya, ia kemudian mengerucutkan makna khianat kepada tidak berimannya seseorang karena tidak menjalankan syariat Allah, tanpa memberi detil yang cukup. Hal ini, tentu dapat membuat pembaca mudah mengkafirkan muslim yang tidak menjalankan syariat Allah. Dengan demikian, ia dengan terang-terangan menyatakan bahwa manusia kebanyakan menjadi musyrik lantaran tidak menjalani syariat
Allah secara keseluruhan. 150 Tidak hanya esensi dari seorang Muslim, Qut}b juga
menyinggung bagaimana cara untuk menanggulangi kejahiliyahan tersebut. Menurut Qut}b, untuk keluar dari lembah jahiliyah ini, dibutuhkan sekelompok Muslim yang benar-benar memahami esensi dari Islam serta kedaulatan Tuhan itu sendiri. Mengutip apa yang dikatakan Jon Armajani, bahwa menurut Qut}b, solusi untuk menghadapi jahiliyah modern ini dibutuhkan setidaknya dua langkah. Pertama, fase spiritual di mana sekelmpok masyarakat Muslim benar-
benar memahami konsep kedaulatan Tuhan ini. Kedua, adalah pertempuran untuk memerangi jahiliyah tersebut. 151
Adapun ayat selanjutnya adalah Q.S. al-Anfa>l (8): 72-75. Melihat makna dasar ayat-ayat tersebut, ayat ini menceritakan tentang keadaan orang-orang Muslim. Mengutip apa yang dikatakan al-Ra>zi> dalam tafsirnya, bahwa ayat-ayat tersebut membagi muslim di zaman Muhammad menjadi empat. Pertama, kaum muhajirin, kedua kaum ans}a>r, ketiga muslim di zaman Nabi namun tidak ikut berhijrah, empat, mereka yang awalnya tidak setuju untuk berhijrah kemudian mereka ikut berhijrah. 152
Jika melihat penafsiran Qut}b, ia tidak menjelaskan makna dasar tersebut secara panjang lebar. Ia lebih memilih untuk menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan sebagai hikmah yang eksplisit dari ayat-ayat tersebut. Lebih jelasnya, dari struktur penafsirannya saja, terlihat bahwa Qut}b menjadikan konsep kedaulatan Tuhan sebagai tema dalam ayat tersebut. Tatkala memberikan penafsiran umum misalnya, ia mengatakan bahwa ayat Q.S.al-Anfa>l (8): 72-75 ini memberitahukan sifat dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Namun hal tersebut baru
150 Sayyid Qut}b. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1497. 151 Lihat Jon Armajani, Modern Islamist, 58-6, John L. Esposito, The
Islamic Threat: Meat or Reality, 137 dan L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali, 122.
152 Bandingkan dengan Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 7, 449.
bisa diketahui dengan meneliti sejarah terbentuknya masyarakat Muslim pertama kali. Menurut Qut}b, manusia sepanjang sejarah tidak mengingkari akan adanya Tuhan, melainkan mereka salah dalam menafsirkan esensi dari beriman kepada Tuhan atau menyembah tuhan yang lain selain Allah. Dan kategori yang kedua ini lah yang kemudian
diperluas oleh Qut}b. 153 Qut}b, mengatakan bahwa menyembah tuhan selain Allah dapat
terjadi dalam segi akidah, ibadah, atau dalam menempatkan kedaulatan Tuhan, yakni menjalankan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika salah satu dari ketiga kategori ini tidak terpenuhi, maka orang tersebut dinyatakan telah keluar dari Islam. Apa yang disebutkan Qut}b di atas, menurutnya adalah esensi dakwah dalam Islam. Sedangkan tabiat masyarakat muslim sejati adalah usaha mereka dalam menumbangkan jahiliyah modern, dan menggantikannya dengan masyarakat muslim. Hal ini kemudian diperjelas dengan
penafsirannya yang terperinci dalam menjelaskan Q.S.al-Anfa>l (8): 72. Menurut Qut}b, ketetapan Muhammad saat di Mekkah sudah
sepantasnya diaplikasikan saat ini. Hal itu karena masa jahiliyah telah kembali dalam masa modern. Oleh karenanya, dorongan untuk berhijrah dalam membentuk sebuah komunitas Muslim pantas dilakukan. Karena dengan cara itulah masyarakat jahiliyah bisa ditumbangkan untuk kemudian digantikan dengan masyarakat
muslim. 154 Melihat penafsiran di atas, menurut peneliti, Qut}b mulai
memperkuat konsep kedaulatan Tuhan miliknya dengan konsep shumu>l dalam Islam. Hal ini terlihat tatkala Qut}b mejelaskan bahwa seorang muslim bisa keluar dari agamanya tidak hanya dalam hal syahadah, tapi juga dalam ibadah dan menjalankan syariat Islam. Dengan kata lain, secara definisi, kepercayaan kepada tauhid menyebabkan ketundukan total kepada otoritas-Nya baik dalam ranah ibadah maupun kedaulatan. Dan khusus yang terakhir, penghianatan terhadap kepercayaan itu tercermin dalam penyembahan kepada tuhan- tuhan lain dan kepatuhan kepada segala kedaulatan di luar kedaulatan ilahiah. Keduanya adalah syirik. Oleh karenanya, kepatuhan pada konteks politik disamakan dengan penyembahan. Maka tidak heran
153 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1497. 154 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1497-1498.
jika Qut}b kemudian menyamakan pemerintahan tirani (t}ughya>n) dengan penyembahan kepada berhala (t}a>ghu>t}). 155
Selain implikasi dari pemahaman yang salah terhadap konsep shumu>l ini, terlihat bahwa Qut}b menjadikan sejarah nabi Muhammad
sebagai latar. hal ini terlihat ketika ia mengatakan bahwa tabiat masyarakat Muslim seharusnya adalah bergerak untuk menumbangkan jahiliyah di Bumi ini. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa masyarakat muslim dianjurkan untuk berhijrah demi membentuk komunitas muslim yang baru. Untuk kemudian, komunitas muslim inilah yang menumbangkan jahiliyah dan menggantinya dengan sistem
yang baru. 156 Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dari
struktur penulisan Qut}b kali ini, terlihat bahwa konsep kedaulatan Tuhan masih menjadi tema penafsirannya. Lebih tepatnya, ia menjadikan urgensi dari didirikannya komunitas Islami untuk
menghadapi krisis jahiliyah tersebut, sebagai tema. Dan masyarakat Islami tersebut dapat terbentuk jika mereka memahami esensi dari
islam, yakni akidah, ibadah dan konsep h}a>kimiyah. Hal ini didukung dengan latar yang ia berikan. Yakni, Qut}b menjadikan masa Nabi Muhammad sebagai latar, khususnya ketika umat Islam saat itu diwajibkan untuk berhijrah. Detil penafsiran yang diberikan juga turut mendukung kesimpulan tersebut. Pasalnya, di akhir penafsirannya,
155 Memang benar bahwa Islam memiliki karakteristik shumu>l, hanya saja, kelompok radikal menjadikan konsep tauhid ini sebagai legitimasi dalam pengkafiran
terhadap orang lain dalam kehidupan politik. Bandingkan dengan L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali, 122-123, Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights, 15.
156 Qut}b sering sekali menganjurkan pembacanya untuk membentuk sebuah komunitas muslim yang baru, yang nanti akan berjuang melumpuhkan sistem
jahiliyah dan menetapkan sistem Islam. Kendati demikian, Qut}b tidak memberi detil lebih lanjut bagaimana caranya melakukan hal tersebut. Ia hanya menjelaskan perlu dilakukannya revolusi serta jihad fisik melawan sistem jahiliyah tersebut. Oleh karenanya, banyak yang menyalahartikan tulisan Qut}b tersebut sebagai legitimasi dalam melakukan pembunuhan dengan dalih jihad bertaraf internasional seperti al- Qaeda atau bertaraf nasional seperti al-takfi>r wa al-hijrah di Mesir. Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism (United Kingdom:
C. Hurst and Co, 2010), 227, Asyraf Hj Abd. Rahman, Nooraihan Ali dan Wan Ibrahim, ‚Twentieth Century Muslim’s Thought and Their Influence on Sayyid Qut}b Writings,‛
‘ulu>m Isla>miyyah Journal vol. 7 (Desember 2011): 92- 94,http://www.ijhssnet.com/journals/Vol._1_No._8;_July_2011/18.pdf (diakses pada
17 April 2014) dan David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973- 1993, 41-42.
Qut}b kembali memberikan banyak detil untuk memperkuat argumentasinya bahwa yang diperlukan saat ini adalah masyarakat islami, yakni masyarakat yang berlandasakan akidah. Menurutnya, masyakat Islami dapat mempersatukan semua umat manusia, baik dalam segala ras, warna kulit dan bangsa. Tidak seperti ‚nasionalisme‛
dan ‚pan Arabisme‛ yang mengkotak-kotakkan masyarakat Muslim. 157 Melihat uraian singkat di atas, terlihat bahwa Qut}b telah
membawa penafsiran ayat tersebut kepada penafsiran yang politis. Lambat tapi pasti, ia mengantarkan pembacanya kepada suatu kesimpulan: bahwa kedaulatan Tuhan harus ditegakkan. Dan itu tidak hanya dengan bersyahadat atau melakukan ritual ibadah semata, namun juga dengan menegakkan kedaulatan Tuhan dalam bentuk implementasi syariat-Nya dalam berbagai aspek kehidupan. Tidak hanya itu, dalam penafsirannya tersebut ia juga menggeneralisir kata- kata ‚tidak menjalankan syariat Allah‛ yang baginya merupakan
wujud dari aktualisasi konsep kedaulatan Tuhan. Kendati demikian, dalam paragraf-paragraf berikutnya maksud Qut}b semakin jelas, yakni
yang dimaksud adalah segala sistem yang tidak berdasarkan syariat Islam, termasuk di dalamnya—masih menurut Qut}b—sistem
nasionalisme dan Pan Arabisme. 158 Adapun ayat selanjutnya, yakni Q.S al-Taubah (9): 112
nampaknya turut mendukung ideologisasi yang telah dilakukan. Lebih lanjut mengenai hal ini, ideologisasi tersebut terlihat tatkala ia
157 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1498. Dalam penafsiran Qut}b di atas, terlihat bahwa Qut}b memang tidak suka dengan kebijakan Nasser dalam
pemerintahan seperti nasionalisme dan Pan Arabisme. Hal ini menurut Qut}b, karena Nasser telah menolak syariat Islam sebagai dasar negara. Dan segala sistem yang tidak berdasarkan syariat Islam berarti telah melecehkan otoritas ilahiah, karena ia menyerahkan otoritas tersebut kepada manusia. Meskipun Nasser banyak menggunakan simbol Islam dan mendapatkan dukungan dari para ulama saat itu. Bandingkan dengan John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality,
71, dan L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2003), 120, Larbi Sadiki, ‚Political Islam: Theoretical underpinnings,‛ dalam Interregional challenges of Islamic extremist movements in North Africa,
ed. Muna Abdallah (Pretoria: the Institute for Security Studies, 2011), 40-42, www.issafrica.org (diakses pada 11 April 2014), Alexander R. Alexiev, ‚The Wages of Extremism: Radical Islam’s Threat to the Westand the Muslim World,‛ Hudson Institute
2011): 22, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EtUKgTrj8QwJ:www.huds on.org/content/researchattachments/attachment/875/aalexievwagesofextremism0320 11.pdf+&cd=18&hl=id&ct=clnk (diakses pada 10 April 2014).
(Maret
158 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1497-1498.
menafsirkan firman Allah al-a>miru>na bi al-ma’ru>f wa al-na>hu>na ‘an al- munkar. Pasalnya, dalam menjelaskan hal tersebut, Qut}b terlihat menekankan pada konsep kedaulatan Tuhan dengan maknanya yang siya>si>.
Kesimpulan peneliti di atas, didukung oleh struktur penafsiran Qut}b. Ketika ia menafsirkan Q.S al-Taubah (9):112, Qut}b terlihat memperluas penjelasannya terhadap kata ‚ al-ma’ru>f‛ dan ‚al-munkar.‛ Kedua kata tersebut, ia gunakan untuk mengukuhkan pendapatnya mengenai pentingnya komunitas Muslim. Lebih jelasnya, dalam menjelaskan kedua kata tersebut, Qut}b menggunakan apa yang terjadi pada era sahabat sebagai latar. Menurutnya, masyarakatnya muslim di era Mekkah hanya berkonsentrasi pada perwujudan kalimat tauhid, yang tidak lain merupakan arti dari konsep h}a>kimiyah. Oleh karenanya, al-amru bi al-ma’ru>f wa al-nahyi ‘an al-munkar pada saat itu hanya berpusat pada ajakan kepada mengesakanAllah, yang disebut
pula—dalam bahasa Qut}b—dengan al-ma’ru>f al-akbar, dan larangan untuk menyekutukan-Nya disebut al-munkar al-akbar. Adapun
relevansinya dengan masa kini, menurut Qut}b pemaknaan terhadap kedua konsep tersebut dengan berdakwah kepada hal-hal yang furu>’iyyah (yakni berjuang dalam ketaatan secara umum dan melarang kemaksiat secara umum) adalah tidak relevan. Karena masyarakat modern kembali lagi kepada masa jahliyah, maka tata cara dalam berdakwah juga disesuaikan dengan kondisi zamannya. Oleh karena itu, makna kedua konsep tersebut menurut Qut}b harus kembali kepada makna awal, yaitu al-ma’ru>f al-akbar dan al-munkar al-akbar. Dan al- ma’ru>f al-akbar dalam ayat diartikan Qut}b dengan mengajak manusia untuk mengakui keesaan Allah dan membuat komunitas muslim. Sedangkan yang dimaksud dengan al-munkar al-akbar adalah pemerintahan t}a>ghu>t, yakni pemerintahan yang tidak berdasarkan atas syariat Allah melainkan berdasarkan atas syariat manusia. 159
Apa yang Qut}b tafsirkan di atas, sebagaimana peneliti telah kemukakan dinilai merupakan akibat dari kondisi sosial politik yang ia rasakan. Qut}b telah merasakan kegagalan dua rezim sekaligus, rezim kerajaan dan rezim republik Mesir. Dan keduanya sama-sama menjadikan ahli kitab—Inggris pada zaman kerajaan dan Amerika pada zaman republik khususnya era Nasser—sebagai sekutu. Hal itu diperparah dengan kekerasan serta tindasan yang diterima Qut}b juga
159 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1716-1767.
rekan-rekannya yang dianggap sepihak telah berkomplot untuk menumbangkan pemerintahan saat itu. Akibatnya, pemikiran radikal Qut}b semakin berkembang seiring lamanya ia mendekam dipenjara. Maka tidak heran, jika ia menganggap rezim Nasser bagian dari jahiliyah. Karena selain kerjasama yang dibangun dengan ahli kitab, ketidakadilan yang diterima Qut}b dan penolakan Nasser atas syariat
Islam semakin memperkuat kejahiliyahan rezim tersebut. 160 Jika dalam struktur penafsiran, sudah terlihat ideologisasi Qut}b
atas penekanannya terhadap konsep kedaulatan Tuhan, maka detil yang ia berikan dalam mendefinisikan al-ma’ru>f al-akbar dan al- munkar al-akbar dapat dijadikan pendukung atas kesimpulan tersebut. Untuk lebih jelasnya, ada beberapa penafsir yang menafsirkan al- a>miru>na bi al-ma’ru>f dan al-na>hu>na ‘an al-munkar dengan mengajak kepada kebaikan secara umum dan melarang untuk berbuat kemaksiatan secara umum, hal yang tidak disetujui Qut}b dalam
tulisannya tersebut. Namun, ada pula penafsir lain yang mengatakan bahwa arti dari kedua konsep tersebut adalah al-ma’ru>f al-akbar, yakni
mengajak kepada ketauhidan dan al-munkar al-akbar, melarang untuk menyekutukan Allah . Adapun contoh dari penafsir pertama—yang
mengartikannya secara umum—di antaranya adalah ibn Kathi>r, 161 ibn
‘A>shu>r, 163 dan Sayyid T{ant}a>wi.> Sedangkan di antara penafsir yang mengartikannya dengan menyeru kepada keimanan dan melarang
untuk menyekutukan Allah termasuk di dalamnya berjihad di
antaranya adalah Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, 165 al-A>lu>si>, dan al-Baghawi> (w. 518 H). 166 Meskipun ada beberapa penafsir yang mengartikan kedua kata tersebut secara spesifik—yakni dengan mengartikan al- ma’ru>f al-akbar, yakni mengajak kepada ketauhidan dan al-munkar al-
160 Dale F. Eickelmen dan James Piscatori, Ekspresi Politik Islam, penerjemah Rofik Suhud, 55, R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution
Fundamentalism in The Arab World, 99, John L. Esposito dan Jon O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, penerjemah Rahman Astuti (Bandung: Mizan, 1999), 235, Husain Haqqani, ‚Islamists and Democracy: Cautions from Pakistan,‛ Journal
2 (April 2013): 10, http://www.journalofdemocracy.org/sites/default/files/Haqqani-24-2.pdf
of Democracy
(diakses pada 5 Maret 2014).
161 Ibn Kathi>r, Tafsi>r ibn Kathi>r, vol. 4, 219. 162 Ibn ‘A>shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, vol. 6, 390. 163 Muh}ammad Sayyid T{ant}a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t}, vol. 1, 2051. 164 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 8, 158. 165 Al-A<lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol. 7, 376. 166 Al-Baghawi>, Ma’a>lim al-Tanzi>l (Riyad}: Da>r al-Ti>bah, 1997), vol. 4, 99 161 Ibn Kathi>r, Tafsi>r ibn Kathi>r, vol. 4, 219. 162 Ibn ‘A>shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, vol. 6, 390. 163 Muh}ammad Sayyid T{ant}a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t}, vol. 1, 2051. 164 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 8, 158. 165 Al-A<lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol. 7, 376. 166 Al-Baghawi>, Ma’a>lim al-Tanzi>l (Riyad}: Da>r al-Ti>bah, 1997), vol. 4, 99
atas. 167 Berdasarkan struktur, leksikon dan detil yang digunakan,
disimpulkan bahwa Qut}b menjadikan pendirian komunitas muslim sebagai tema dalam penafsirannya kali ini. Dan hal ini adalah salah satu karakteristik Qut}b dari penekanan konsep kedaulatan Tuhan, yaitu penggunaan leksikon jihad, komunitas muslim atau mujtama’ isla>mi> dan manhaj (sistem). Dan dalam penafsirannya kali ini, ia berkonsentrasi pada konsep kemunitas muslim untuk melawan
jahiliyah modern. Hal di atas juga membuktikan, bahwa penafsiran Qut}b kembali menyinggung konsep kedaulatan Tuhan bermakna
politik. 168 Penekanan terhadap diwujudkannya sebuah masyarakat
muslim, dilakukan Qut}b dengan menjadikan berhijrahnya umat Muslim dari Mekkah ke Madinah (622 M.) sebagai latar. Menurutnya, berbagai hukum termasuk di dalamnya jihad, baru diperintahkan setelah terbentuknya masyarakat Muslim yang kuat, yakni yang terjadi di Madinah saat itu. Oleh karenanya, karena era jahiliyah kembali terjadi pada masa kini, maka segala perintah Allah kepada Muh}ammad untuk berhijrah dan membentuk sebuah masyakat Islam serta berjihad melawan kejahiliyahan kembali diwajibakan pada masa kini. Kendati demikian, dalam penafsiran Qut}b, ia tidak menyebutkan pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap jahiliyah. Ia hanya menyebutkan bahwa kewajiban muslim adalah melawan kejahiliyahan dengan menggantikan sistem jahiliyah dengan sistem Islami serta melakukan revolusi menumbangkan pemerintahan tirani. Hal ini di dasari atas argumennya yang menyatakan bahwa Islam itu tidak diam tetapi terus
167 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1720-1721. 168 Asyraf Hj Abd. Rahman, Nooraihan Ali dan Wan Ibrahim, ‚Twentieth
Century Muslim’s Thought and Their Influence on Sayyid Qut}b Writings,‛ ‘ulu>m Isla>miyyah
7 (Desember 2011): 94, http://www.ijhssnet.com/journals/Vol._1_No._8;_July_2011/18.pdf (diakses pada 17 April 2014).
Journal
vol.
bergerak. Dengan kata lain, Qut}b tidak menuliskan untuk diadakannya pembantaian atau pembunuhan seperti yang dilakukan para gerakan radikal saat ini. Namun, Qut}b ikut bertanggung jawab lantaran pemilihan leksikon serta penjelasannya yang mendikotomi antara Islam dengan jahiliyah, sistem Allah dan sistem manusia, yang disinyalir menjadi salah satu penyebab maraknya tulisan Qut}b
dijadikan legitimasi atas tindak terorisme. 169 Adapun pembahasan ayat h}a>kimiyah selanjutnya ada pada
Q.S. Yu>suf (12): 55. Dalam penafsiran Qut}b kali ini, nampaknya tidak jauh berbeda dengan ayat yang telah dibahas sebelumnya. Hal pertama yang menjadi perhatian adalah historisitas ayat dan penafsiran Qut}b. Pasalnya, ayat Q.S. Yu>suf (12): 55 sedang menceritakan kisah Nabi Yusuf yang ditawari jabatan oleh raja Mesir saat itu, dan Yusuf pun menjawab bahwa ia bersedia mengemban amanah tersebut namun dengan permohonan agar ia ditempatkan sebagai bendaharawan
sehingga dapat mengatur keuangan khususnya pangan negeri itu, sesuai dengan kecakapan yang ia miliki dan seperti apa yang ia lihat
pada mimpinya. 170 Adapun Qut}b, ia pun menjelaskan hal yang sama namun yang membuat ia berbeda dengan yang lainnya, setelah
menjelaskan hal tersebut ia melebarkan penjelasannya tersebut hanya untuk membahas hakikat dari syariat Islam dan bagaimana masyarakat
muslim itu terbentuk beserta apa saja yang menghalanginya. 171 Singkatnya, dalam skema penulisan Qut}b terlihat bahwa ia
menjelaskan panjang lebar bahwa hukum Islam itu tidak diam seperti perkara akidah, karena hukum Islam terus bergerak seiring dengan berputarnya waktu. Namun yang perlu diperhatikan, masih menurut Qut}b, masyarakat saat ini belum menjadi umat muslim seutuhnya, karena mereka tidak menjalankan syariat Islam secara sempurna. Pasalnya, umat Islam menurut Qut}b hanya menjalankan fiqh al-awra>q (hukum-hukum Islam yang tidak sesuai dengan realita). Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya bank-bank yang berasakan riba,
169 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721, David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993, 47-51, Jon Armajani, Modern
Islamist Movement 49-5 dan Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 178.
170 Bandingkan dengan Wahbah Zuhaili>, al- Tafsi>r al-Muni>r, vol.19, 20. 171 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721 170 Bandingkan dengan Wahbah Zuhaili>, al- Tafsi>r al-Muni>r, vol.19, 20. 171 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721
Kesimpulan di atas didukung dengan latar yang ia berikan. Qut}b menjelaskan sebab lain mengapa masyarakat masa kini belum menjadi umat Islam melainkan terus terpuruk dalam masyarakat jahiliyyah, yaitu karena para pemimpin yang tidak menjalankan syariat Islam (dalam bahasa Qut}b adalah t}a>ghu>t). Hal ini kemudian didukung oleh rakyat yang terus mendukung pemimpin yang seperti ini dan mengikuti mereka, dan orang-orang seperti ini menurut Qut}b telah menjadi musyrik. Alasanya, karena telah mengikuti perintah pemimpin yang tidak menjalani syariat Islam berarti mereka telah menjadikan para pemimpin mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan ini telah menjadikan mereka mushrik. 173
Berdasarkan penafsiran Qut}b di atas, terlihat bahwa ia masih menjadikan konsep kedaulatan Tuhan sebagai tema penafsirannya.
Dan hal tersebut ia kerucutkan menjadi tiga permasalahan. Pertama hakikat syariat Islam, kedua bagaimana masyarakat Islami terbentuk
dan terakhir penghalang terbentuknya masyarakat jahiliyah. Adapun yang pertama, dalam memahami hakikat syariat Islam adalah tha>bit atau konstan. Yakni, syariat Islam atau prinsip fundamental dalam Islam tidak akan pernah berubah, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Dan ini, tetap tidak menutup adanya pintu ijtihad. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah tidak berseberangnya dengan syariat Islam. Prinsip kedua dalam memahami syariat Islam adalah shumu>l atau Islam yang komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan, baik dalam segi ekonomi, ibadah, politik dan lain-lain. Dari prinsip ini lah, kemudian Qut}b mengambil kesimpulan bahwa, seorang muslim sejati atau insa>n ka>mil adalah mereka yang menjalankan seluruh kehidupannya dalam syariat Islam secara total. Oleh karena itu, Qut}b tidak setuju dengan dikotomi antara fikih ibadah dan fikih muamalah. Karena baginya hal itu hanya menjadikan manusia menjalankan sebagian syariat tidak dengan yang lain, termasuk dalam
172 Lihat Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721. Dalam hal ini, terlihat bahwa Qut}b sangat terpengaruh dengan kognisi yang ada di sekitarnya. Pasalnya,
ketiga contoh tersebut memang benar terjadi di Mesir saat itu. Lihat John L. Esposito, The Islamic Threat: Meat or Reality, 137
173 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721 173 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721
Prinsip shumu>l ini juga yang mengantarkan Qutb} akan adanya terminologi fiqhu al-awra>q, serta terwujudnya masyarakat jahiliyah dan penghalang-penghalangnya . Hal ini karena menurut Qut}b masyarakat telah kembali kepada jahiliyah, lantaran para pemimpin tidak lagi menjadikan syariat islam sebagai dasar negara. Hal ini berakibat kepada beberapa hukum Islam yang tidak terealisasikan seperti hukum h}udu>d, sedangkan Islam adalah agama yang komprehensif. Oleh karenanya, beberapa hukum yang tidak bisa terwujud tersebut hanya bisa diajarkan secara teori, tidak dengan praktik. Maka, fikih tersebut dinamakan fiqhu al-awra>q, yakni yang hanya berkutat dalam kertas dan tidak bisa direalisasikan. Oleh karena itu, masih menurut Qut}b, ada hal yang perlu dirubah yaitu sistem pemerintahannya. Karena pemerintahan memiliki peran penting dalam mengaplikasikan syariat Islam. Dan untuk itu, Qut}b menyeru akan
terbentuknya sebuah masyarakat Islami yang nantinya akan berjuang demi mewujudkan negara Islam. Dan ini, menurut Qut}b lebih penting daripada hanya mengajarkan beberapa hukum yang tidak bisa terwujud
lantaran dihalangi pemimpin jahiliyah. 175 Berdasarkan uraian di atas, dari struktur penafsiran, terlihat
bahwa Qut}b menggunakan proporsi lebih banyak hanya untuk menjelaskan konsep kedaulatan Tuhan. Dan konsep kedaulatan yang ia jelaskan adalah bermakna politik. Tidak hanya itu, bahkan detil yang membahas masalah pemerintahan lebih banyak ditemukan dibanding dengan kisah Yu>suf itu sendiri. Lebih jelasnya, ia menjadikan para pemimimpin yang tidak menjalankan syariat Islam dan para pendukungnya serta hukum-hukum negara yang tidak Islami sebagai contoh. Maka, berdasarkan hal ini penafsiran Qut}b bersifat ahistoris dan radikal. 176 Hal ini, sebagaimana peneliti kemukakan adalah implikasi dari sistem politik yang ia alami. Pasalnya, pemerintahan Mesir saat itu lebih memilih sistem nasionalis daripada sistem Islami. Selain itu, mereka juga banyak melakukan pembantaian dan
174 Bandingkan dengan L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali, 124, James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical
Islamic Intellectual, 100-102 dan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism, 209.
175 S{ala>h{ ‘Abdu al-Fatta>h}, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al-Mi>za>n, 243-244 dan James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual, 102.
176 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1722-1723 176 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1722-1723
yang percaya dan tunduk kepada pemrintahan ini. Ayat selanjutnya adalah Q.S. Ibra>hi>m (14): 52. Makna dasar ayat tersebut membicarakan bahwa al-Quran yang telah diturunkan kepada Nabi Muh}ammad adalah peringatan untuk seluruh umat, khususnya
dalam menyerukan manusia untuk mengesakan Allah. 178 Adapun Qut}b, juga menjelaskan hal yang sama, namun ia kembali menekankan pada
keesaan Allah yang berujung kepada konsep h}a>kimiyah beraspek siya>siyah. Hal ini dapat dibuktikan melalui detil yang digunakan. Sebelum Qut}b membawa penafsirannya kepada konsep h}a>kimiyah bermakna siya>siyah, ia mengajak pembaca untuk memahami urgensitas mengesakan Allah. Ia pun kemudian membahas bahwa pengesaan Allah itu tidak cukup hanya dalam ibadah, melainkan juga
dalam kehidupan sehari-hari. Dan dalam hal ini, ia mengambil masyarakat masa kini sebagai contoh. Menurutnya, masyarakat masa
kini hanya menyembah Allah dalam ritual ibadah saja, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, mereka menjadikan selain syariat Allah sebagai pegangan dan hal ini yang telah merubah mereka menjadi musyrik. 179
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bagaimana Qut}b memberikan begitu banyak detil mengenai masyarakat di masanya yang hanya menjalankan syariat Allah dalam ritual ibadah saja. Dan hal ini menurutnya berakibat kepada kemusyrikan. Turut mendukung kesimpulan ini, adalah leksikon yang digunakan Qut}b. Kali ini ia menggunakan leksikon nasionalis, sosial ekonomi, negara dan rakyat, yang kesemuanya ini dihubungkan kepada penyembahan selain Allah. Bahkan, hal tersebut disamakan dengan menyembah berhala-
berhala. 180 Struktur penulisan Qut}b, juga turut memperkuat ideologisasi
Qut}b. Pasalnya, setelah ia membahas mengenai makna yang eksplisit dari ayat, ia pun menghabiskan sisa penjelasannya untuk membahas
177 Lihat dengan Jon Armajani, Modern Islamist Movement , 60-61, Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, 141 dan John L.
Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality , 67-68. 178 Bandingkan dengan al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A>yi al-Qur’a>n,
vol. 17, 57. 179 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 2113
180 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 2113 180 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 2113
Muslim yang lain. 181 Menurut Qut}b, sistem nasionalis adalah buatan manusia. Hal ini
lebih disebabkan karena Nasser saat itu, menolak untuk menjadikan syariat Islam dan lebih memilih sistem nasionalis. Dan masih menurut
Qut}b, hal tersebut adalah pelecehan terhadap otoritas ilahiah oleh otoritas buatan manusia, yakni sistem nasionalis, sosialis, liberal dan komunis. Dalam semua sistem jahiliyah ini, otoritas legislatif bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusia, yang ditetapkan oleh badan sekular sipil. Dan badan ini mengklaim kedaulatan dengan mengatasnamakan rakyat, partai atau apapun, padahal kedaulatan
hanya milik Allah. 182 Melihat pembahasan ayat-ayat h}a>kimiyah di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa ketujuh belas ayat tersebut tidak semuanya bersifat ahistoris dan radikal. Dua ayat tidak ideologis atau historis, karena yang dilakukan oleh Qut}b hanya menjelaskan konsep h}a>kimiyah as}liyyah, dan sesuai dengan makna dasar atau kontek yang melatarbelakangi ayat tersebut . Sedangkan lima belas ayat lainnya bersifat ahistoris atau ideologis, karena penjelasan Qut}b terhadap konsep h}a>kimiyah tidak sesuai dengan historisitas ayat atau makna dasarnya, juga terdapat kerancuan dalam menafsirkan h}a>kimiyah
181 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 2113-2114 182 Lihat L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali,
120-121, Adnan Musallam, From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and the Foundations of Radical Islamism (New York: Preager Publisher, 2005), 138-139, dan Richard L. Rubenstein, ‚Jihad versus Jahiliyya: The Seminal Islamist Doctrine of Sayyid
(Februari 2010), http://www.newenglishreview.org/Richard_L._Rubenstein/Jihad_versus_Jahiliyya% 3A_The_Seminal_Islamist_Doctrine_of_Sayyid_Qutb/ (diakses pada 19 April 2014).
Qutb,‛
New
English
Review Review
Adapun kesimpulan kedua, terlihat bahwa penafsiran Qut}b yang ahistoris atau ideologis, tidak hanya dari ayat-ayat akidah atau yang berlandasan ibadah, tapi juga dari ayat-ayat yang menjelaskan hukum- hukum Islam. Hal ini membuktikan kebenaran penelitian ‘Abdu al- Fatta>h} al-Kha>lidi>, bahwa Qut}b dalam menafsirkan tafsir Fi> Z{ila>l al- Qur’a>n, memang memiliki orientasi untuk membuktikan kesatuan antara aspek akidah dan syariah. 183 Namun, yang menjadikan
penafsirannya ideologis adalah caranya memasukkan konsep h}a>kimiyah serta seberapa besar proporsi yang digunakan. Hal ini diperkeruh dengan kata-kata, detil, generalisasi, struktur kalimat dan lainnya, yang hal tersebut menunjukkan benih radikal di dalamnya.
Mendukung kesimpulan di atas, konsep h}a>kimiyah ini berasal dari konsep tawhi>d. Tawhi>d ini, bagi Qut}b terbagi menjadi dua;
ulu>hiyyah dan rubu>biyyah. Adapun ulu>hiyyah adalah kekuasaan Allah dalam perkara-perkara yang bersifat ijba>ri>, seperti pergantian malam dan siang dan lain-lain. Sedangkan rubu>biyah, adalah kekuasaan Allah dalam perkara-perkara ikhtiya>riyah. Oleh karenanya, dalam tawhi>d ulu>hiyah terdapat ayat-ayat beraspek akidah, dan dalam tawhi>d ikhtiya>riyah, terdapat ayat-ayat beraspek syar’iyyah. Dan konsep h}a>kimiyah adalah tujuan dari konsep tawhi>d. Maka, tidak heran jika dalam ayat-ayat akidah maupun syar’iyyah, Qut}b menjelaskan konsep h}a>kimiyah. 184
Kesimpulan ketiga, dari penafsiran-penafsiran Qut}b di atas, terlihat keterpengaruhannya dengan pengalaman-pengalaman yang ia alami terutama dalam pengalaman politiknya. Hal ini terlihat ketika Qut}b mengartikan konsep kedaulatan Tuhan dengan makna pemerintahan. Keadaan ini dimulai sejak ia melihat gaya hidup Amerika, sehingga ia merubah cara pandangannya dari pandangan liberalis menjadi seorang Islamis. Hal ini diperkeruh dengan hubungan yang menjadi buruk antara Qut}b, IM dengan pemerintahan Nasser,
183 Bandingkan dengan S{ala>h{ ‘Abdu al-Fatta>h}, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al- Mi>za>n , 56.
184 S{ala>h{ ‘Abdu al-Fatta>h}, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al-Mi>za>n , 56-58 dan Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and
Reality,‛ Intelectual Discourse (2007), 167-168.
sehingga berujung kepada pembantaian dan dipenjaranya anggota IM. Oleh karena itu, tidak heran jika Qut}b menggunakan leksikon, detil atau struktur penafsiran yang mengindikasikan kepada penafsriannya yang politis.
Kesimpulan di atas diperkuat dengan revisi yang ia lakukan terhadap konsep h}a>kimiyah. Hal ini karena tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n sendiri mengalami tiga tahap penulisan. Pertama, penulisan awal saat karyanya itu ditulis dalam sebuah artikel di jurnal al-muslimu>n. Hanya saja, sebelum ia menyelesaikan penafsirannya pada seluruh ayat, Qut}b kemudian dipenjara tahun 1954 atas tuduhan merencanakan pemberontakan terhadap pemerintahan saat itu. Namun, pihak penerbit saat itu meminta pemerintah untuk mengizinkan Qut}b meneruskan tulisannya di balik jeruji penjara, hingga akhirnya ia menyelesaikan tafsirnya tersebut tahun 1959. Dan cetakan inilah yang dinamakan cetakan kedua. Hanya saja, karena penulisannya tersebut
dibawah pengawasan ketat pemerintahan, ia berkeinginan untuk merevisi penulisan tafsir tersebut agar lebih sesuai dengan apa yang ia
rasakan. Oleh karena itu, pasca penulisan tahun 1959, ia membuat revisi dari cetakan kedua itu. Hanya saja, ia berhasil merevisi sampai surah ke-15 ( al-H{ijr). Adapun setelah itu, adalah penafsirannya yang sama dengan cetakan-cetakan sebelumnya yang ada di jurnal al-
muslimu>n. 185 Melihat uraian di atas, nampaknya sesuai dengan penelitian penulis yang menemukan, bahwa konsep kedaulatan Tuhan
ini ditemukan tidak melebihi surah 15, yakni hanya sampai pada Q.S. Ibra>him (14).
Kesimpulan keempat, konsep h}a>kimiyah ini berhubungan erat dengan konsep ja>hiliyyah. Hal ini terbukti dengan dijadikannya masa ja>hiliyyah tersebut sebagai latar untuk melihat masa kini. Dan dengan itu pula, Qut}b menyebut muslim yang tidak menjalankan syariat Islam dengan musyrik, sama seperti masyarakat ja>hiliyyah yang menyekutukan Allah dalam segi ibadah. Perbedaannya, muslim masa kini menyekutukan Allah di luar sektor ibadah, terutama dalam pemerintahan. 186 Selain itu, keterkaitan antara h}a>kimiyah-ja>hiliyyah beserta penafsiran politisnya membuktikan, bahwa kedua konsep ini
185 Bandingkan denganS{ala>h{ ‘Abdu al-Fatta>h, Madkhal ila> Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n al-Qur’a>n (Oman: Da>r al-‘Ama>r, 2000), 43-44, dan John Calvert, Sayyid Qut}b and
the Origin of Radicalism, 205. 186 Di antaranya adalah penafsiran Qut}b terhadap Q.S. al-An’a>m (6): 62,
Q.S. al-Anfa>l (8): 27 dan Q.S. Yu>suf (12): 55.
adalah bukti kuat atas ideologisasi radikalisasi Qut}b dalam tafsirnya. 187
Kesimpulan keempat ini, berbeda dengan pendapat al-Kha>lidi>, yang mengatakan bahwa konsep ja>hiliyah tersebut tidak
mengindikasikan kepada pengkafiran muslim. Karena yang dimaksud dengan masyarakat jahiliyah adalah suatu komunitas yang sesat, dan hal itu tidak selamanya mengindikasikan kepada keluarnya seorang muslim dari Islam. Alasan al-Kha>lidi>, kata j-h-l itu sendiri dalam al- Qur’an kembali kepada tiga macam; pertama tidak mengetahui (dan ini adalah arti dasar) kedua, meyakini sesuatu yang salah, dan ketiga melakukan sesuatu tidak benar, namun keyakininannya menolak hal
tersebut. 188 Kendati demikian, apa yang ada dalam tafsir Fi> Zila>l al- Qur’a>n menunjukkan hal berbeda. Pasalnya, Qut}b dengan terang-
terangan mengatakan bahwa masyarakat ja>hiliyah adalah musyrik, begitu juga
ja>hiliyah modern. Dan untuk membuktikan hal tersebut, juga seberapa jauh kaitan konsep h}a>kimiyah dengan ja>hiliyah, maka
peneliti akan membahasnya pad bab berikut.
187 Bandingkan dengan Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse
(2007): 167-168, AB. Rahman, Nooraihan Ali dan Wan Ibrahim, ‚The Influence of al-Aqqa>d and Di>wa>n School of Poetry on Sayyid Qut}b’s Writings‛ International Journal of Humanities and
1 (Juli 2008): 158, www.ijhssnet.com/journals/Vol._1No._8;_July_2011/18.pdf (diakses pada 15 Januari 2014), dan Hisha>m Ja’far, ‚Manhaj al-Naz}ar ila> Mafhu>mayy al-H{a>kimiyah wa al- Ja>hiliyah,‛
Social Science
8,
vol.
Agustus 2010), http://www.onislam.net/arabic/madarik/concepts/90810-2010-08-09-071215.html (diakses pada 6 April 2014).
onislam
(10
188 Bandingkan dengan S{ala>h{ ‘Abdu al-Fatta>h}, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al- Mi>za>n , 196.
BAB IV KONSEP KEDAULATAN MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN KONSEP KEDAULATAN TUHAN DALAM TAFSIR Fi> Z{ILA<L AL-QUR’A<N.
Peneliti dalam Bab III, telah menjelaskan konsep h}a>kimiyah Qut}b dengan melihat historisitas ayat serta analisis teks van Dijk. Maka dalam bab ini, peneliti akan membahas konsep ja>hiliyah Qut}b dan kaitannya dengan h}a>kimiyah dalam tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Dan yang akan peneliti bahas di sini adalah konsep ja>hiliyah modern (atau konsep kedaulatan manusia) versi Qut}b. Alasannya, karena yang menjadi perdebatan akademisi dalam wilayah takfi>r adalah konsep
ja>hiliyah modern Qut}b dan bukan ja>hiliyah pra-Islam. 189 Penelitian ini dilakukan guna menjawab, apakah konsep kedaulatan manusia Qut}b
ahistoris (ideologis) atau tidak? Dan apakah ahistorisitas konsep kedaulatan manusia Qut}b tersebut radikal atau tidak? Maka untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, akan digunakan metode yang sama seperti penelitian terhadap h}a>kimiyah.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, bab ini akan peneliti bagi menjadi dua sub bab. Sub bab pertama membahas konsep ja>hiliyah modern dalam ayat-ayat h}a>kimiyah, hingga diketahui hubungan antara keduanya . Dan sub bab kedua, akan membahas pembentukan masyarkat Islami versi Qut}b, yang dikatakan sebagai solusi untuk keluar dari kejahiliyahan. Namun, sebelum melangkah lebih jauh mengenai hal tersebut, peneliti mengajak pembaca untuk melihat kedua hal ini dari kaca mata teologi. Yakni, jika melihat makna dan aspek yang dimiliki konsep kedaulatan Tuhan dari kaca mata ilmu teologi, sebenarnya konsep ini kembali kepada salah satu
189 Di antara akademisi yang mengatakan kata ja>hiliyyah Qut}b tidak terdapat unsur pengkafiran adalah al-Kha>lidi>. Ia mengatakan bahwa kata ja>hiliyyah
dalam teori Qut}b tidak mengindikasikan kepada takfi>r atau pengkafiran Muslim lainnya, karena kata tersebut digunakan hanya untuk celaan bagi sistem yang tidak sejalan dengan syariat-Nya. Maka, dengan demikian kata tersebut tidak mengindikasikan kepada takfi>r . Dan di antara akademisi yang menyatakan sebaliknya adalah Peta Tarlinton. Lihat Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174 dan Thameen Ushama, ‚Sayyid Qut}b: individual to Collective
(2004): 173, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/viewFile/258/249 (diakses pada 18 Januari 2014), S{ala>h{ ‘Abdu al-Fatta>h al-Kha>lidi, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al-Mi>za>n (Oman: D ār 'Ammār, 2000), 172
Action,‛
Intelectual
Discourse Discourse
Allah. 190 Dengan memahami perbedaan dasar mengenai kedua sifat ini, sebenarnya kerancuan dapat dihindari. Hanya saja dalam praktiknya,
tidak semua orang memahaminya. Ditambah lagi, sebagian orang yang tidak memahami permasalahan ini atau memahami namun memilik
tujuan tertentu, menulis mengenai hal tersebut dan mengajak yang lain untuk berjihad melawan kejahiliyahan yang ada. Dan salah satunya, adalah Qut}b dengan sebagian penafsirannya mengenai konsep kedaulatan Tuhan dan manusia. Dan sub bab berikut akan mengupas lebih dalam hubungan kedua konsep tersebut dalam tafsir Fi> Z{ila>l al- Qur’a>n.