Ahlam Irfani Ahistorisitas Penafsiran Radikalisme Islam

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

ii

KATA PENGANTAR

Pujisyukur alh}amdulillahatassegalanikmatdankarunia yang telah Allah SWT berikan, hinggapenulisbisamenyelesaikantesis yang

berjudul

Islam: KajianterhadapKonsepKedaulatanTuhandanKedaulatanManusiadalam Tafsir Fi> Z{ila>l al- Qur’a>n. Penelitianini, menggunakanmetode ‚epistemologi‛

‚AhistorisitasPenafsirandanRadikalisme

‚ideologis‛ abu>Zayd, dandiperkayadengananalisiswacanakritisdenganpendekatankognisisosi al van Dijk.

dan

Penelitianini, diharapkandapatmemberikanmanfaatbagiparapembaca, khususnyaparapegiattafsir al- Qur’an.Tidakhanyaitu, dengantesisini pula,

pengkafiranterhadap Muslim lainnyadapatdiminimalisir, sehinggakesan Islam yang ‚keras‛ setidaknyadapatdiperkecil.

penulisberharap

agar

Begitujugabagiparapembacatafsir Fi>Z{ila>l al- Qur’a>nagar

terhindardaripenjelasanQut}b yang ambigu, tanpaharusmeninggalkanmanfaat lain dalamtafsirtersebut. Pasalnya, apa

yang ditulisQut}bmemangtelahdiwarnaidengankondisisosial- politiksaatitu, sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan kepada pemikiran

Kendatidemikian, tafsirtersebutbukanberartiharusdihindari, karenaideologisasi yang ialakukan —menurutpenelitiantesisini— hanyasampaipadasuratkeempatbelas,

yang

radikal.

yaitusuratIbra>him. Dan inisejalandenganbuktihistrois,

yang mengatakanbahwaQut}bhanyasempatmerevisitafsirnyahinggasurat lima belas, yaitusurat al-H{ijr. Selainitu, tafsirinijugamemilikibahasa yang indahjugapenjelasan

unik.Maka, sayangrasanyajikatafsiriniditinggalkan. Tidaklupa,

yang

penulisinginberterimakasihkepadabeberapapihak yang turutberpartsipasidalampenulisantesisini.Pertama, kepada Prof DrKomaruddinHidayat MA (Rektor UIN SyarifHidayatullah, Jakarta), Prof DrAzyumardiAzra MA (DirekturSekolahPascasarjana UIN SyarifHidayatullah, Jakarta), Prof. DrYunan Yusuf

MA (selakupembimbing), Prof DrSyukronKamil MA, Prof. DrSuwito MA, Dr

DrFuadJabalidanlainnya yang telahmemberikanbanyak saran maupunkritikdalampenulisantesisini, baik saat ujian-ujian WIP berlangsung, maupun saat konsultasi.

Yusuf Rahman

MA,

iii

Kedua, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada orang tua atas segala dukungannya, suamiku tercinta atas segala kesabaran dan bantuannya selama ini, ummi, bang Akab dan segenap keluarga besar baik yang berada di Bangka IX maupun Benda-Kemang, dan tidak lupa my baby yang masih dalam kandungan, semoga kelak menjadi anak yang pintar, soleh dan sehat. A<min.

Ketiga, seluruhteman-teman UIN Pascasarjana, teman-teman guru Yayasan al-Itrohdanteman-teman di pengajian, kalian telahmemberiwarnadalamkeseharianpenulishinggaterusbersemangatdal ampenulisantesisini.

Penulismenyadari, bahwadalampenelitianinimasihterdapatbanyakkekurangan.Makapenuli smengharap

dankritikatasisibukuini agar dapatmenjadilebihbaiklagi.Tidaklupa

saran

pula, untukkepeduliansemuapihak

yang sudahmembantusecaralangsungmaupuntidaklangsungdalampenyelesai

antesisini, penulismendoakansemogasegalabantuan yang diberikandapatmenjadiamalshalehbagimereka, a>min ya>muji>ba al-sa>ili>n. [} ]

Jakarta, Juni 2014 Penulis

AhlamIrfani

iv

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawahini: Nama

: AhlamIrfani NIM

:11.2.00.0.05.01.0091

Menyatakandengansesungguhnyabahwatesis yang berjudul ‚AhistorisitasPenafsirandanRadikalisme

Islam: KajianterhadapKonsepKedaulatanTuhandanKedaulatanManusiadalam Tafsir

adalahbenar-benarkaryaaslisaya, kecualikutipan-kutipan yang disebutkansumber-sumbernya. Apabila di kemudianhariterbuktibahwakaryainibukanhasilkaryapenulis, ataumerupakanhasilplagiasidarikarya

Fi>Z{ila>l

al- Qur’an‛

orang lain, makapenulisbersediamenrimasanksiberupapencabutangelarsesuai yang berlaku di SekolahPascasarjanaUniversitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.

Demikiansuratpernyataaninisayabuatdengansungguh- sungguhdansebagaimanamestinya.

Jakarta, Juni 2014

AhlamIrfani NIM:11.2.00.0.05.01.0091

vi

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesisdenganjudul ‚AhistorisitasPenafsirandanRadikalisme Islam: KajianterhadapKonsepKedaulatanTuhandanKedaulatanManusiadalam

ditulisolehAhlamIrfani (11.2.00.0.05.01.0091)

Tafsir Fi>Z{ila>l

al- Qur’an‛

yang

dengankonsentrasiTafsir di SekolahPascasarjanaUniversitas

Negeri (UIN) SyarifHidayatullah

Islam

Jakarta. Tesisinitelahdiperiksadandisetujuiuntukdiajukankesidangujiantesis.

Jakarta: Juni 2014 DosenPembimbing

Prof. Dr. Yunan Yusuf

vii

viii

TANDA TERIMA TESIS

Tesis yang berjudul ‚Ahistorisitas Penafsiran dan Radikalisme Islam: Kajian terhadap Konsep Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Manusia dalam Tafsir Fi> Z{ila>l al- Qur’an,‛yang ditulis oleh Ahlam Irfani (11.2.00.0.05.01.0091), telah lulus dalam Ujian promosi di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 23 Juli 2014, dan telah diperbaiki sesuai dengan

Dewan penguji. Tesisinijugatelahditerbitkandengan ISBN

Jakarta, Oktober 2014 Dewan Penguji:

1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA

(Ketua Sidang) Tanggal

2. Prof. Dr. Suwito, MA

) (Sekertaris)

Tanggal

3. Prof. Dr. Salman Harun

(Penguji 1) Tanggal

4. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA

ix

(penguji 2) Tanggal

5. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, MA (.................................) (Promotor)

Tanggal

ABSTRAK

Penemuanbesartesisiniadalahsemakin penafsiranQut}bterhadapkonsepkedaulatanTuhandankedaulatanmanusia bersifat

semakinideologis. Penemuaninimembenarkansebuahteoribahwasemakinahistorissebuahpe nafsiran, semakinideologis, danbertentangandengansebagianakademisi yang

ahistoris,

mengatakanbahwapenafsiran yang ahistoris, justrumembuatmaknateksmembumi. Salah satuakademisi yang sependapatdenganteoripertama, adalahNas}r

(1943-2010 M). Dalampendapatnyatentang talwi>n

H{a>mid

Abu>Zayd

dan ta’wi>l, pembacaakanmendapatkanbahwasebuahpenafsiranideologis ( talwi>n), adalahpenafsiran

yang tidakmelihatkepadaaspeksejarahmasalaluatautidakterdapatkesinambu nganantaramasalaludenganmasakini.

Abu Zayd, adajugaKhaledAbouel-Fadl. Menurutnya, pembacaanideologis yang berujungkepadaotoritarianisme, bahkanradikaldalaminterpretasi al- Qur’an maupunHadis, kebanyakanterjadikarenapendekatan yang digunakanbersifatahistoris.Jadi, teksdipaksauntuktundukkepadaideologipenafsirdenganmengabaikanas pekhistoristekstersebut, sehinggadampak yang ditimbulkanadalah bias penafsir yang menggantikanteks.Adapunparaakademisi yang menolakteoriiniberanggapanbahwapenafsiran

Selain

yang ahistoris, justrumembuattekssemakinmembumi.Dan di antara mereka adalah Muh}ammad Shah{ru>r. Dalam menafsirkan al- Qur’an, ia menggunakan pendekatan strukturalisme-linguistik, yang mana aspek linguistik dari suatu teks lebih diutamakan daripada aspek historisnya. Selain Shah}ru>r

ada

pula

H{asan H{anafi>.

xi

Dalamhermeneutikapembebasanmiliknya, aspekhistorisbukanlah parameter dalammenentukanideologisatautidaknyasebuahpembacaan, melainkanaspekpraksisdaripenafsirantersebutlah

yang menjadisebuahtolokukur. Penemuantesisinimenolakteori

terakhir, yang mengatakanbahwapenafsiran

yang

yang ahistorisjustrumembuatnyasemakinmembumi.

Dan untukmembuktikannya, penelitiakanmemotretkonsepkedaulatanTuhandankedaulatanmanusia Qut}bdalamtafsir Fi> Z{ila>l al- Qur’a>n. Dan untukmengungkap ‚jejaktakterkatakan‛ini,

penelitiakanmenggunakanmetode content analysis danteori Abu>Zaydtentang ‚ideologi‛ dan ‚epistemologi.‛ Penelitianinijugadiperkayadengananalisiswacanakritis,danpendekatan

Dijk. Hal inipenelitilakukan, karenapendekatantersebutmencari bias

kognisisosialTeun A. van

ideologidalamsuatuteks, tidakhanyadilihatdaribahasa

yang digunakanmelainkanjugabagaimanaiadiproduksisertaaspeksosial yang mengelilinginya. Dan proses inilah yang dinamakanoleh van Dijkdengankognisisosial.

Olehkarenaitu, pendekataninilebihdikenaldenganpendekatankognisi social ( socio cognitive approach).

Kata Kunci: penafsiranahistoris, radikalisme, SayyidQut}b, KonsepkedaulatanTuhan ( h{a>kimiyah) dankedaulatanmanusia (ja>hiliyah )

xii

ABSTRACT

This thesis proves that Qut}b interpretation to sovereignty of God and man is ahistorical. And this interpretation causes ideological interpretation and radicalism. This study support the theory ‚more the interpretation become ahistorical, more ideologies,‛ and disprove the theory, ‚\more ahistorical, more close to reality.

There are modern scholars were agree with the first theory like Nas}r H}a>mid abu>Zayd(1943-2010)\. According to abu>Zayd, to prevent text from this kind of ideological manipulation (ideologically tendensious or talwi>n), the reading of the text must be productive reading. And the reading is produces when two aspects (original meaning and significanse) interacting continually and without ceasing. And the ideologically tendensious, happens when the socio historical context not interacting with the significance. Beside abu>Zayd, there is KhaledAbouel-Fadl. According to Abouel-Fadl, the ideologically tendensious which causes authoritarianism, caused by reading the ahistorical. It means, the text forced to follow readers ideology, because of ignoring socio historical aspect in interpretation. Thus, to prevent this interpretation from authoritarianism, what is need is always doing the negotiation process continuously between author, text and reader. While these scholars agree with the first theory, there

xiii xiii

attantion to language aspect. Like shahru>r, Hassan Hanafi>is is one of the scholars were attantion to the reality more than historical aspect.

He think that reality is determinant aspect in interpretation. This thesis, ignore the last theory that said, ‚more the interpretation become ahistorical, more close to reality.‛ For proving it, researcher will choose the sovereignty of God and man in tafsir Fi>Z{ila>l al- Qur’a>n, as the object in this research. Looking for ideology which hidden behind the text, researcher will use content analysis method and productive reading of abu>Zayd. This study, enriched too with critical discourse analysis and socio cognitive approach of TeunA. van Dijk. The reason is, this approach beside its

attantion to the text, its will attantion to socio cognitive aspect. Thus, this approach called by socio cognitive approach.

Keywords: reading ahistorical, radicalism, SayyidQut}b, sovereignty of God and sovereignty of man.

xiv

لاٌا ش١سفرٌا ْإ : يال ٜزٌا ش١خلأا ٞأشٌا عِ عساعرذ حٌاسشٌا ٖز٘ اِأ ً٠ٚأرٌا حِٕٙ سحاثٌا َذخرسا فاشرولاا از٘ س١ثثرٌ ٚ . علاٌٛا ٌٝا ٗتشم٠ ٟخ٠ساذ ً١ٍحرٌا ْلأ هٌرٚ . (van Dijk) هد٠د ْافٌ باطخٌٍ ٞذمٌٕا ً١ٍحرٌا ٚ ذ٠ص ٟتلأ

xv

xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Short: a = ´ ; i = ِ ; u= ِ

Long: a< = ا ; i> = ٞ ; ū = ٚ

xvii

xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Sebuah penafsiran, baik klasik maupun kontemporer, sangat

membutuhkan aspek historisitas al-Qur’an ketika proses penafsiran itu berjalan. Dan yang dimaksud dengan historisitas al-Qur’an di sini, adalah latar belakang sejarah yang melingkupi turunnya al-Qur’an. Adapun historisitas penafsiran, tidak hanya mencakup latar belakang sejarah yang melingkupi turunnya al-Qur’an, melainkan juga situasi saat ia ditafsirkan, yang kemudian disebut aspek sosio-historis. Hal ini bisa diketahui dengan mempelajari asba>b nuzu>l dalam tradisi klasik. Dan berdasarkan penggunaannya dalam dunia penafsiran, metode penafsiran al-Qur’an bisa dibagi menjadi dua. Pertama, dengan membawa masa kini ke masa lalu (golongan konservatif), dan kedua

yang membawa signifikansinya ke masa kini (kaum neomodernis). 1 Namun, sebelum melangkah lebih jauh, peneliti akan membahas

sedikit tentang historisitas yang dimaksud dalam penelitian ini. Historis ataupun sejarah, menurut ibn Khaldun—sebagaimana dikutip oleh Noeroezzaman Shiddiqi—bukanlah sekedar cerita masa lalu, melainkan upaya melibatkan spekulasi dan upaya untuk menemukan kebenaran, eksplanasi kritis tentang sebab dan genesis kebenaran sesuatu dan kedalaman pengetahuan tentang ‚bagaimana‛ dan ‚mengapa‛ mengenai peristiwa-peristiwa. Dengan kata lain, tugas sejarawan adalah ‚menyeleksi fakta dan meneliti penyebab- penyebabnya.‛ Maka, pengetahuan sejarah tidak hanya menyeleksi fakta-fakta apakah ia asli atau bukan? tetapi juga meneliti penyebab- penyebab terjadinya suatu peristiwa. Dan apabila poin kedua ini dikaitkan pada al-Qur’an, maka yang diperlukan adalah penyebab turunnya al-Qur’an ( asba>b nuzu>l), sebagai jalan untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Jadi, yang dimaksud dengan historisitas al-Qur’an di sini, tidak menyentuh ranah keaslian dari kisah-kisah atau ayat tersebut, melainkan menyentuh aspek

1 Bandingkan dengan Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n, Towards a Contemporary Approach

(New York: Routledge, 2006), 117 dan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika

(Bandung: Mizan, 2011), 25.

pemaknaannya, yang ditunjukkan dengan aspek historis ayat atau sebab turunnya ayat tersebut. 2

Historisitas yang menyentuh level pemaknaan atau interpretasi ini, telah lebih dahulu diadopsi oleh penafsir modernis semisal Abu> Zayd (ahli bahasa, heremeneut asal Mesir, 1943 M-2010 M), H{assan Hanafi>, Fazlur Rahman (pemikir Islam asal Pakistan, 1919 M-1988 M) dan Khaled Abou el-Fadl. Apa yang mereka lakukan ini, bukan berarti mengabaikian otentisitas al-Qur’an, karena penafsir-penafsir tersebut menganggap bahwa permasalahan mengenai otentisitas al-Qur’an telah selesai atau terbukti. Hal ini memang berbeda dengan pendapat sebagian orientalis, yang justru menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad, dengan menggunakan kritik historis sebagai pisau analisisnya. 3

Berdasarkan uraian ini, peneliti menegaskan bahwa yang dimaksud dengan historisitas di sini menyentuh ranah pemaknaan dan

bukan keaslian teks dalam sejarah. Oleh karena itu, peneliti menggunakan teori epistemologi dan ideologis Abu> Zayd, yang

2 Nourouzzaman Shiddiqi, ‚Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman,‛ dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar ,

ed. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1990), 69-70. 3 H{assan H{anafi> misalnya, sebagaimana yang diteliti oleh Ilham B. Saenong,

bahwa H>{anafi> menggunakan kritik historis dalam hermeneutika pembebasannya. Namun, kritik historis tersebut justru mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah asli dari Allah dan bukan buatan Muhammad. H{anafi> beralasan bahwa keaslian al-Qur’an dalam sejarah ditemukan ketika tidak ada syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Dan dalam kasus al-Qur’an, kata-kata yang diterima Muh}ammad adalah langsung oleh Tuhan melalui malaikat, kemudian langsung didiktekan oleh Muhammad kepada para penyalinnya pada saat pengucapan, dan lestari sampai saat ini dalam tulisan. Syarat lain menurut H{anafi> adalah keutuhannya. Artinya, wahyu tersebut tidak mengalami penambahan atau pengurangan dalam sejarah. Begitu juga dengan Fazlur Rahman, ia mengatakan bahwa kesimpulan yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad adalah tidak adil. Karena apa yang dilakukan orientalis tersebut, menurut Rahman lebih disebabkan oleh faktor ‚outsider.‛ Kendati demikian, Rahman tidak menggeneralisir hal tersebut pada semua non-Muslim yang meneliti Islam, karena baginya, syarat tambahan untuk diterimanya penelitian mereka adalah pemahaman yang tidak berprasangka, tidak sensitif dan berpengetahuan banyak. Selain itu, diperlukan pula verifikasi penafsiran mengenai Islam oleh Muslim sebagai syarat tambahan. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Bandung: Teraju, 2002), 115-116 dan Fazlur Rahman, ‚Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi

Agama,‛ dalam Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, ed. Richard C. Martin, penerjemah Zakiyuddin Baidhawi (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), 258-259.

menafsirkan al-Qur’an berdarkan historisitasnya, yakni sebab turunnya al-Qur’an, yang kemudian ia kembangkan menjadi teori ma’na dan maghza>. 4 Maka, yang dimaksud dengan penafsiran ahistoris dalam

penelitian ini adalah penafsiran yang tidak terdapat kesinambungan antara konteks sabab nuzu>l dengan kontekstualisainya.

Berdasarkan uraian ini, peneliti menegaskan bahwa yang dimaksud dengan historisitas di sini menyentuh ranah pemaknaan dan bukan keaslian teks dalam sejarah. Oleh karena itu, peneliti menggunakan teori epistemologi dan ideologis Abu> Zayd, yang menafsirkan al-Qur’an berdarkan historisitasnya, yakni makna dasar ayat yang dapat diambil dari sebab turunnya al-Qur’an atau ma’na,

yang kemudian ia sambungkan dengan signifikansi ayat atau 5 maghza>. Maka, yang dimaksud dengan penafsiran ahistoris dalam penelitian ini

adalah penafsiran yang tidak terdapat kesinambungan antara makna dasar yang salah satunya diketahui dari konteks

sabab nuzu>l, dengan signifikansi ayat pada saat kontekstualisainya.

Memang, tidak semua ayat-ayat al-Qur’an memiliki sabab nuzu>l. Dan ayat-ayat yang tidak memiliki sabab nuzu>l lebih banyak

daripada ayat-ayat yang memiliki 6 sabab nuzu>l. Oleh karena itu, dalam penelitian yang mengkhususkan pada konsep kedaulatan Tuhan ini,

apabila ada penafsiran Qut}b mengenai konsep tersebut yang tidak memiliki sabab nuzu>l maka peneliti akan menggunakan sha’nu al- nuzu>l, yakni apa yang diceritakan ayat itu sendiri, yang juga akan didukung dengan ilmu-ilmu ‘ulu>m al-Qur’an lainnya seperti ‘ilmu al- muna>saba>t dan lain-lain, guna mendapatkan makna yang kurang lebih obyektif. Kendati demikian, penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang tidak memiliki sabab nuzu>l tersebut dapat disebut ‚penafsiran ahistoris‛ dalam penelitian ini, karena peneliti menggunakan teori epistemologi abu> Zayd, yang mengartikan bahwa penafsiran ahistoris adalah kata lain adalah penafsiran yang tidak terdapat kesinambungan

4 Lihat Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an (Jakarta: Teraju, 2003), 79-80.

5 Lihat Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an (Jakarta: Teraju, 2003), 79-80.

6 Bandingkan dengan, S{ubh}i S{a>lih , Muh}ammad Abu> Shahbah, al-Madkhal lidira>sat al-Qur’a>n al-Kari>m (kairo: Maktabat al-Sunnah, 2002), 144 dan Qas}abi>

Mahmu>d Zalat}, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Dubai: Da>r al-Qalam, 1987), 55 Mahmu>d Zalat}, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Dubai: Da>r al-Qalam, 1987), 55

Berdasarkan hal tersebut, abu> Zayd menganggap penting ilmu sabab nuzu>l. Dan urgensi akan hal ini tidak hanya diakui oleh penafsir

klasik namun juga kontemporer. Fazlur Rahman misalnya, dalam metode gerakan ganda miliknya, ia menjadikan ilmu asba>b nuzu>l salah satu instrumen penting di dalamnya . Oleh karena itu, ilmu tersebut ia kembangkan menjadi pendekatan sosio-historis dalam hermeneutika miliknya. Abdul Mustaqim dalam bukunya mengatakan, bahwa pendekatan sosio-historis Rahman sebenarnya adalah pengembangan dari pendekatan sabab nuzu>l yang ada dalam tradisi klasik. Hanya saja, jika sabab nuzu>l dalam tradisi klasik kebanyakan hanya dijadikan sebagai informasi bagi kasus-kasus yang berhubungan dengan riwayat tersebut, maka dalam tradisi kontemporer, sabab nuzu>l selain dihubungkan dengan masa lalu, juga dihubungkan dengan masa kini,

sehingga out put yang ada tidak selalu kearab-araban. Oleh karena itu, Rahman meredefinisikan aspek historis al-Qur’an sehingga tidak

hanya mencakup asba>b nuzu>l—yang kemudian disebut sebagai aspek mikro—tapi juga mencakup lingkungan masyarakat Arab pada saat al-

Qur’an diturunkan (aspek makro). 8 Lebih lanjut mengenai historisitas al-Qur’an, pada dasarnya ia

berhubungan erat dengan proses pemaknaan teks itu sendiri. Karena fakta menunjukkan bahwa Allah menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa Arab sebagai mediasi, sedangkan bahasa yang merupakan pusat dalam memahami sebuah teks, berhubungan erat dengan sejarah. 9 Oleh karena itu, tidak heran jika Abu> Zayd berkesimpulam bahwa al-Qur’an

7 Nasr H{a>mid Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Maroko: al-Dar al-Bayda’, 2007),120.

8 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Jogjakarta: LKiS, 2012), 182-186. Sekilas apa yang dikatakan oleh Rahman tentang pendekatan sosio-

historis ini hampir serupa dengan apa yang dikatakan oleh Amin Khu>li> tentang konsep ma> h}awla al-Qur’a>n. Namun, hal tersebut belum terbukti secara ilmiah. Lihat Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada, 2007), 61.

9 Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Jogjakarta: Elsaq, 2005), 117-118, Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an,

Towards a contemporary Approach , 150-152 dan Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan Gadamerian (Jogjakarta: ar-Ruzz, 2008), 32-33.

adalah teks budaya 10 dan seorang Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh M. Yudhie R. Haryono, mengatakan bahwa al-Qur’an,

selain memiliki sisi ilahi, ia juga memiliki sisi manusiawi. 11 Berdasarkan uraian di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa

dalam membaca sebuah teks secara umum ataupun al-Qur’an secara khusus, aspek historis sangatlah urgen untuk diketahui. Pasalanya, ia dapat membantu para peneliti dalam menggali makna dari sebuah teks untuk kemudian diaktualisasikan pada masa kini. Dan inilah yang menjadi dasar bagi sebagian besar penafsir kontemporer seperti Fazlur

Rahman, 12 Amina Wadud (tokoh feminis asal Amerika, lahir 1952 M) 13 dan Abdullah Saeed (profesor dalam bidang Islamic Studies di Universitas Melbourne). 14 Namun, yang diperlukan di sini bukanlah

kesadaran terhadap aspek ‚masa lalu‛ saja, tetapi dibutuhkan juga kesadaran terhadap kekinian. Artinya, dalam suatu pembacaan dibutuhkan

konteks, dan kontekstualisasi. 15 Namun, dalam realita ternyata masih banyak yang

memilih untuk berpihak pada salah satu aspek dari ketiga aspek tersebut.

Aspek historis, selain untuk menemukan makna dari suatu teks, juga dinilai mampu mereduksi subyektivitas penafsir, 16 bahkan

10 Bandingkan dengan Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Tema-Tema Kontroversial, 98-99.

11 Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Qur’an (Bekasi: Gugus Press, 2002), 9.

12 Bandingkan dengan Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Jogjakarta: LKiS, 2012), 185

13 Baginya, dalam menafsirkan al-Qur’an harus memperhatikan keumuman suatu ayat dengan tetap memperhatikan aspek historisnya. Jadi, sabab nuzu>l suatu

ayat digunakan untuk menyampaikan pembaca kepada makna umum dari ayat. Untuk kemudian, pesan umum itu dibawa ke masa kini untuk diaplikasikan. Lihat Amina Wadud, al-Qur’a>n wa al-Mar’ah, penerjemah Sa>miyah ‘Adna>n (Kairo: Madbouli, 2006), 38.

14 Saeed, Interpreting the Qur’an Toward a Contemporary Approach, 112. 15 Dalam diskursus kontemporer, metode yang dipakai oleh para penafsir kontemporer dapat dibagi menjadi dua. Pertama, mereka yang berangkat dari makna- makna teks yang kurang lebih obyektif, baru setelah itu, beralih kepada realitas kekinian. Kedua, mereka yang berangkat dari realitas kekinian menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran al-Qur’an. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Bandung: Teraju, 2002), 94.

16 Sejatinya, memang tidak ada satu pembacaan pun yang bisa terlepas dari ideologi penulisnya. Hal ini bukanlah sesuatu yang negatif, sepanjang sudut pandang 16 Sejatinya, memang tidak ada satu pembacaan pun yang bisa terlepas dari ideologi penulisnya. Hal ini bukanlah sesuatu yang negatif, sepanjang sudut pandang

historisitas al-Qur’an. 17 Namun, sebagian lain justru memilih untuk menjadikan teks bersifat otonom, sehingga berdampak kepada

pemberian hak prerogatif kepada pembaca dalam menafsirkannya juga tersingkirnya aspek sejarah pada teks. Berdasarkan hal ini, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat dua golongan dalam memandang historisitas penafsiran dan pengaruhnya dalam ideologisasi. Kelompok pertama, melihat bahwa semakin ahistoris sebuah penafsiran, semakin

ideologis 18 (semakin radikal). Sedangkan kelompok kedua, berpendapat bahwa semakin ahistoris sebuah penafsiran, semakin

membumi. 19 Adapun yang termasuk dalam kelompok pertama di antaranya

adalah Khaled Abou el-Fadl. 20 Dalam penjelasannya tentang teks dan otoritas, ia menyatakan bahwa pembacaan ideologis yang berujung

penulis tidak mendistorsi objek dan tetap menjadikan teks itu terbuka bagi visi orang lain yang memandangnya. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 140.

17 Budhy Munawwar, Rachman dan Mohammad Shofan, Argumen Islam untuk Liberalisme (Jakarta: Grasindo, 2010 )169.

18 Pengertian ideologi dalam tulisan ini, merujuk kepada definisi Abu> Zayd. Menurutnya, ideologi adalah bias interpreter. Ia adalah orientasinya, keyakinan yang

kemudian membimbing, sementara seharusnya ia memeranginya. Dengan kata lain, ideologi adalah keyakinan yang belum terbukti secara akademik dan ilmiah, berbeda dengan epistemologi, yang menyentuh level kesepakatan bersama. Lihat Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an , 87 .

19 Maksud dari ungkapan pertama, semakin sebuah penafsiran tidak melihat kepada aspek sosio-historis dalam sebuah kontektusalisasi makna, semakin teks itu

mudah dikuasai oleh ideologi penafsirnya (khususnya dalam radikalisme Islam). Sedangkan yang kedua, semakin sebuah penafsiran itu tidak melihat kepada aspek sosio-historis, semakin ia membumi atau dekat dengan realita. Kedua teori ini berkaitan erat dengan pembagian metodologi penafsir kontemporer oleh Ilham B. Saenong. Lihat Ilham B. Saenong , Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al- Qur’an , 94.

20 Seorang guru besar bidang hukum Islam di universitas UCLA Los Angeles yang lahir di Kuwait tahun 1963. Ia banyak dianugerahi berbagai

penghargaan, diantaranya penghargaan atas pembelaannya terhadap HAM. Ia juga ditunjuk sebagai sebuah dewan komisi di Amerika yang khusus mengurusi kebebasan beragama. Ia juga banyak menulis buku-buku yang berkenaan tentang Islamic studies . Lihat ‚Khaled Abou el-Fadl‛ dalam UCLA School of Law , 2011, http://www.law.ucla.edu/faculty/all-faculty-profiles/professors/Pages/khaled-abou- el-fadl.aspx (diakses pada 14 Oktober 2012) .

kepada otoritarianisme 21 bahkan radikalisme dalam interpretasi al- Qur’an maupun Hadis, kebanyakan terjadi karena pendekatan yang

digunakan bersifat ahistoris. Jadi, teks dipaksa untuk tunduk kepada ideologi penafsir dengan mengabaikan aspek historis teks tersebut, sehingga dampak yang ditimbulkan adalah bias penafsir yang menggantikan teks. 22

Selain Abou el-Fadl ada juga Nas}r H{a>mid Abu> Zayd. 23 Ia memperkenalkan sebuah metode dalam pembacaan al-Qur’an, yaitu

metode ta’wi>l atau qira>‘ah muntijah sebagai lawan dari qira>‘ah mughrid}ah (pembacaan ideologis-tendensius). Singkatnya, sebuah penafsiran bisa dikategorikan sebagai qira>’ah muntijah jika terdapat kesinambungan antara ma’na> dari suatu ayat (dan ma’na> tersebut, bisa diketahui setelah menelaah aspek historis yang berkenaan dengan ayat yang bersangkutan) dengan signifikansinya (yang dapat diketahui dari ma’na itu sendiri). Dan untuk selanjutnya, signifikansi ini digunakan sebagai parameter dalam mengaktualisasikan ayat tersebut. Jadi, ta’wi>l miliknya ini, mengharuskan adanya kesinambungan antara ma’na> dan maghza>. Karena jika tidak, interpretasi tersebut menjadi

interpretasi ideologis-tendensius ( 24 talwi>n). Hal senada juga dikatakan oleh Abdullah Saeed. Menurutnya,

pembacaan ideologis terhadap al-Qur’an sering kali terjadi. Dan untuk mengatasinya, sebuah penafsiran disamping memperhatikan makna literalnya, juga memperhatikan aspek historis dalam proses kontekstualisasinya. Karena jika hanya mengambil makna literalnya

21 Otoritarianisme yang dimaksud oleh Abou el-Fadl adalah tindakan dari orang-orang yang menggunakan simbolisme dari komunitas interpretasi hukum

tertentu untuk mendukung argumen mereka. Singkatnya, mereka menggunakan seperangkat bentuk-bentuk simbolis yang mengebiri otoritas budaya hukum demi melayani kepentingan si pelaku. Lihat Khaled Abou el-Fad{l, Atas Nama Tuhan, penerjemah R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 160.

22 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, penerjemah R. Cecep Lukman Yasmin, 154.

23 Seorang guru besar bidang bahasa Arab dan studi al-Qur’an di Universitas Kairo, Mesir, juga dosen tamu di Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun 1955

hingga akhir hayatnya. Ia lahir pada tanggal 10 Juli 1943 dan wafat pada 5 Juli 2010. Lihat Hakim Taufik dan Muhammad Aunul Abied, ‚Nas}r H{a>mid: Reinterpretasi Pemahaman Teks al-Qur’an,‛ dalam Islam garda Depan,

ed. Muhammad Aunul Abied (Bandung: Mizan, 2001), 277.

24 Nasr H{a>mid Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Maroko: al-Dar al- Bayda’, 2007), 231 dan Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an

(Jakarta: Teraju, 2003), 84-85.

saja, makna sebuah penafsiran tidaklah berkembang, bahkan lebih dari itu, penafsiran tersebut bisa menjadi radikal. 25

Ketiga tokoh di atas, adalah sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa penafsiran yang ahistoris cenderung ideologis (baca: radikal). Adapun kelompok kedua, 26 di antaranya adalah Muhammad Shah}rur. .27 Dalam menafsirkan al-Qur’an ia menggunakan

pendekatan linguistik strukturalis, yang berujung kepada sikap otonomi teks. Salah satu implikasi dari pendekatan ini, adalah penolakan atas digunakannya asba>b nuzu>l. Kalaupun ia menggunakannya, hanya untuk mendukung teori yang cocok dengan pemikirannya, seperti yang terlihat pada metode h}udu>d dan ta’wi>l

yang digunakan. 28 Adapun dalam teori 29 h}udu>d, ia menggunakan pendekatan

analisis matematis yang dibingkai dengan analisis linguistik, sehingga menghasilkan enam konsep dasar dalam teori

h}udu>d fi> al-ah}ka>m. Yakni; al-h}addu al-a’la>, al-h}addu al-adna>, al-h}addu al-a’la wa al-as}ghar

25 Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, 112 26 Kelompok kedua ini, sering beranggapan bahwa menggunakan sabab nuzu>l tidak relevan untuk masa kini, khususnya dengan kaidah al-‘ibrah bi ‘umu>m lafz} . Hal ini sebenarnya dibantah dengan kaidah itu sendiri. Pasalnya, baik kaidah yang menyatakan bahwa pegangan dalam menafsirkan itu keumuman lafaz atau kekhususan sebabnya sama-sama menghasilkan out put yang sama dan sama-sama sepakat akan keumuman hukum. Yang membedakan hanya cara dalam menghasilkan pendapat tersebut. Apabila kaidah al-‘ibrah bi ‘umu>m lafz}, maka cara yang diapakai adalah dengan menjadikan ayat yang besangkutan sebagai dalil. Adapun kaidah al- ‘ibrah bi khus}u>s} al-sabab, dengan menjadikan metode qiya>s atau analogi. Bandingkan dengan Muh}ammad Abu> Shahbah, al-Madkhal li dira>sat al-Qur’a>n al- Kari>m, 146 dan }Qas}abi> Mah}mu>d Zala>t}, ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Dubai: Da>r al-Qalam, 1987), 52.

27 Lulusan teknik sipil ini, lahir di Suriah pada 11 April 1938. Ia mendapatkan gelar diploma di bidang Teknik Sipil di Moskow, Uni Soviet (sekarang

Rusia). Sedangkan program megister dan doktoral ia selesaikan di Irlandia. Ketika di Moskow inilah ia mulai terkesan dan terpengaruh dengan pemikiran Marxian, juga dengan tradisi Formalisme Rusia, yang mana akar-akarnya diadopsi dari strukturalisme linguistik yang digagas oleh de Saussure. Oleh karena itu, dalam menafsirkan al-Qur’an, nuansa linguistiknya amat kental. Bandingkan dengan Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer ‚ala‛ M. Shah}ru>r (Jogjakarta: ELSAQ Press, 2007),136.

28 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 190. 29 Adalah metode khusus yang digunakan dalam kita>b al-risa>lah, yakni,

bagian dari al-Qur’an yang hanya memuat ayat-ayat muh}kama>t, atau ayat-ayat hukum. Dan teori h}udu>d ini dibagi menjadi dua, fi> al-‘iba>dah dan fi> al-ah}ka>m. Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 215.

ma’an, al-h}addu al-mustaqi>m, al-h}addu al-a’la> du>na> al-mama>s bi al- h}addi al-adna> abadan, al-h}addu al-a’la> muja>b mughlaq la> yaju>z taja>wuzuhu, wa al-h}addu al-adna>al-sa>lib yaju>z taja>wuzuhu. Sedangkan metode ta’wi>l yang ia gunakan khusus dalam kita>b al-Qur’a>n— teminologi khusus yang berarti ayat-ayat mutasha>biha>t— menggunakan pendekatan linguistik dan teori sains modern. Dan tolok ukur dalam metode ini adalah realita. Jadi, dapat dikatakan bahwa metode ini tidak lepas dari latar keilmuannya sebagai ahli di bidang

fisika. 30 Berdasarkan uraian di atas, metode yang Shah}ru>r gunakan berimplikasi kepada otonomi teks, sehingga berakibat kepada

penolakan terhadap sabab nuzu>l, yang berujung kepada pemaksaan ( 31 takalluf) masuknya gagasan non-Qur’ani ke dalam penafsirannya.

Selain Shah}ru>r, ada pula H{asan H>>>{anafi> (guru besar di fakultas filsafat, universitas Kairo, lahir pada 1935 M) yang terkenal dengan

hermeneutika pembebasan. 32 Lebih lanjut mengenai hermenutika H{anafi>, ia mengatakan bahwa hermenutikanya bersifat ‚teoritik‛ dan

‚praktis‛. Oleh karena itu, dalam hemeneutika pembebasan ini, pembaca akan menemukan tiga fase untuk mewujudkan tujuannya tersebut. Pertama, kritik historis yang berguna untuk menemukan otentisitas sebuah teks. Karena baginya, sebuah interpretasi dapat dilakukan setelah mengetahui keotentikan suatu teks. Kedua adalah analisis makna. Menurutnya, dalam memulai penafsiran seorang penafsir harus memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, yakni tidak boleh ada kecuali analisis linguistiknya. Dan ketiga adalah kritik praksis. Jadi, pemahaman yang berangkat dari realitas masa kini menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran al-Qur’an. Oleh karena itu, sebuah dogma menurutnya, hanya dapat diakui eksistensinya jika dapat terealisasi dalam tindakan manusia. 33

Singkatnya, sebuah penafsiran menurut H{anafi>, tidak mungkin dapat mengungkap makna awal. Bahkan jika ditemukan, ia tidak akan relevan lagi, karena yang terpenting adalah teks dan realita. Oleh karena itu, menurut Ilham B Saenong, meskipun H{anafi> pada awalnya

30 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 227 31 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 360 32 Ahmad Nora Permata ‚Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur‛

dalam Paul Ricoeur , Filsafat Wacana, 125 33 Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-

Qur’an menurut H{asan H}anafi> (Jakarta: Teraju, 2002), 114.

mengaku bahwa heremeneutika miliknya menggabungkan antara teoritis dan praktis, namun seiring berjalannya waktu hermeneutikanya

cenderung ke arah praksis. 34 Termasuk dalam kelompok ini, adalah Ashgar Ali Engineer

(aktivis, penulis aktif, dan pemikir Islam berkebangsaan India, 1939 M-2013 M). Menurutnya, dalam menafsirkan al-Qur’an tidak perlu menarik masa kini kepada masa lalu seperti apa yang dilakukan oleh Fazlur Rahman. Karena al-Qur’an sebagai teks, hanya memiliki dua

makna: kontekstual dan normatif. 35 Dengan demikian, semangat revolusionernya cenderung bersifat praksis daripada teoritis, sehingga

terkadang menimbulkan kontroversi. Dan salah satu pendapatnya yang mengundang banyak kontroversi, adalah pandangannya tentang syariat. Menurutnya, syariat dapat berubah mengikuti zamannya, dan bukan bersifat tetap seperti apa yang dikatakan oleh kebanyakan

orang. 36 Melihat alasan dari masing-masing kelompok, dapat

disimpulkan bahwa kelompok kedua memandang bahwa penafsiran yang ahistoris, membuat teks semakin membumi. Sedang kelompok pertama cenderung menolaknya, karena hal tersebut bisa berdampak

kepada melebarnya bias kepentingan penafsir di dalamnya. 37 Dan pada perdebatan ini, peneliti sependapat dengan kelompok pertama. Adapun

untuk membuktikan hal tersebut, peneliti akan memotret penafsiran Sayyid Qut}b terhadap h}a>kimiyah (konsep kedaulatan Tuhan) dan ja>hiliyah (konsep kedaulatan manusia). Yakni, apakah penafsirannya

34 Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 110 dan Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , 73.

35 Ilham B Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 80. 36 Robby H. Abror, ‛Gugatan Epistemologis-Liberatif Asghar Ali Engineer‛

dalam Epistemologi Kiri , e.d. Listiyono Santoso (Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2010), 309

37 Nampaknya pendapat Komaruddin Hidayat dalam hubungan antara penafsiran sebuah teks dengan aspek psikologis dan historis pengarang, perlu untuk

dipaparkan. Menurutnya, terdapat dua kelompok di dalam permasalahan ini. Pertama adalah mazhab hermeneutika transendental. Yaitu yang beranggapan bahwa untuk menemukan kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkannya dengan sang pengarang, karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Kedua, adalah mazhab historis-psikologis. Yaitu yang berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pengarangnya, sementara kebenaran tidak mungkin terwadahi secara representatif oleh kerhadiran teks. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011), 214 dipaparkan. Menurutnya, terdapat dua kelompok di dalam permasalahan ini. Pertama adalah mazhab hermeneutika transendental. Yaitu yang beranggapan bahwa untuk menemukan kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkannya dengan sang pengarang, karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Kedua, adalah mazhab historis-psikologis. Yaitu yang berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pengarangnya, sementara kebenaran tidak mungkin terwadahi secara representatif oleh kerhadiran teks. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011), 214

ditangkap lewat bahasa dan ungkapan yang digunakan. 38 Adapun alasan peneliti memilih Qut}b, karena ia dinilai sebagai

salah seorang yang banyak mempengaruhi pemikiran orang-orang setelahnya, khususnya dalam gerakan-gerakan politik Islam. Namun, keterkaitan ini pun masih diperdebatkan, antara para akademisi yang menganggap bahwa Qut}b tidak mengajak kepada tindak anarki, melainkan pembaca lah yang salah mengerti tulisan Qut}b, hingga akademisi lainnya yang menilai bahwa Qut}b adalah tokoh yang paling bertanggung jawab atas wacana radikalisme Islam. Dan salah satu karyanya yang dinilai sarat nuansa politik adalah tafsir

39 Fi> Z}ila>l al- Qur’a>n dan Ma’a>lim fi> al-T{ari>q Menurut L. Carl Brown, teori politik

Qut}b secara sistematis menjelaskan tiga macam konsep, ja>hiliyah, h}a>kimiyah , dan jihad. 40

Ja>hiliyah dalam perspektif Qut}b bukanlah representasi dari masa pra-Islam, melainkan reperesentasi dari ketidakpatuhan manusia kepada syariat Allah dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, ja>hiliyah adalah bentuk dari penyerahan kedaulatan Tuhan atau ( h}a>kimiyah) kepada manusia, sedangkan Islam adalah penyerahan dominasi kedaulatan tersebut hanya kepada Tuhan. Oleh karena itu,

38 Hal ini terlihat tatkala Qut}b menafsirkan QS al-Ma>’idah (5): 45. Meskipun ia mejelaskan sabab nuzu>l dari ayat tersebut, namun maná dari ayat

tersebut tidak dijaga. Karena Qut}b menjadikan ayat tersebut umum tanpa ikatan apapun. Sedangkan menurut mayoritas ulama, ayat tersebut bersifat khusus. Karena yang dimaksud dengan mereka yang ka>firu>n, adalah yang memiliki sifat yang sama dengan Bani Israil saat itu, yaitu menolak syariat Allah dengan meremehkannya dan perasaaan benci. Bandingkan dengan Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al- Shuru>q, 2003), vol 2, 364 dan Ibn ‘A<shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r (Tunisia: Da>r S{uh}nu>n,1965), vol 4, 205.

39 William E. Shepard, ‚Sayyid Qut>b’s Doctrine of Ja>hiliyya,‛ Internasional Journal Middle East Studies

4 (2003): 521-522, http://www.jstor.org/stable/3879862 (diakses pada 24 April 2012) dan Ahmad Asroni, ‚Radikalisme Islam di Indonesia,‛ Religi vol VII, no 1 (2008), 2.

40 L. Carl Brown, Wajah Islam Politik (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), 228 dan Mansoor Moaddel, ‚The Study of Islamic Culture and Politics: an

Overview and Assesment,‛ Annual Reviews of Sosiology vol 28 (2002): 372, http://www.jstor.org/stable/3069246 (diakses pada 31 Mei 2001).

mereka yang masuk ke dalam lembah ja>hiliyah harus dilawan, dan ini adalah salah satu bentuk jihad yang sah. 41

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa ja>hiliyah dan

h}a>kimiyah memiliki hubungan yang erat. Oleh karena itu, peneliti menggabungkan keduanya dalam penelitian ini. Namun, ada hal lain yang menarik, yakni cara yang digunakan Qut}b dalam menghadirkan konsep-konsep tersebut hingga mempengaruhi banyak pembaca, khususnya pasca eksekusi yang dijatuhkan kepada dirinya. Hal ini ditambah dengan ketiadaan kata h}a>kimiyah secara harfiyah dalam al- Qur’an, hal yang berbeda dengan kata ja>hiliyah yang tertulis dalam al-

Qur’an meskipun hanya dalam empat tempat. 43 Kendati demikian, konsep dasar h{a>kimiyah ada dalam al-Qur’an. Hanya saja, tidak semua

ayat-ayat rersebut bernuansa politik seperti yang sering didengungkan oleh Qut}b. Pun secara etimologi, h}akama tidak hanya bermaknai ‚berhukum‛ tetapi juga memiliki makna lain seperti menetapkan,

berilmu, tekun dalam mengerjakan sesuatu, dan mencegah sesuatu yang buruk. 44

Hal tersebut ditambah dengan latar belakang turunnya ayat- ayat 45 h}a>kimiyah yang tidak bertendensi politik, sehingga jika ayat

tersebut dijadikan dalil untuk melakukan tindak kekerasan, terlihat layaknya sebuah ketidakwajaran. 46 Berdasarkan ini, permasalahan

41 Lihat William E. Shepard, ‚Sayyid Qut>b’s Doctrine of Ja>hiliyya,‛ Internasional Journal Middle East Studies vol. 35, no 4 (2003): 521-522,

http://www.jstor.org/stable/3879862 (diakses pada 24 April 2012), Azyumardi Azra , Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 117-119 dan L. Carl Brown, Wajah Islam Politik, 228.

42 Hal ini juga dikatakan oleh peneliti lain seperti Sayed Khatab dalam pengantar salah satu bukunya. Lihat Sayed Khatab, The Political Thought of Sayyid

Qutb: The Theory of Jahiliyyah (New York: Routledge, 2006), 1-2. 43 Pertama adalah 'Ali> ‘Imra>n (3):154, kedua al-Ma>’idah (5):50, ketiga al-

Ah}za>b (33):33 dan keempat al-Fath} (48):26. 44 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab (Kairo: Da>r Al-Ma’a>rif, t.th),vol 12,140 dan

Al-As}faha>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n (Kairo: al-Maktabah al- Tawfi>>qi>yah,t.th),124.

45 Di antaranya adalah ketiga ayat dalam QS al-Ma>idah (5): 45,46 dan 47. Lihat Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Teks Otoritas Kebenaran, penerjemah Sunarwoto

(Jogjakarta: LKiS),158 dan Abdou Filali Ans}ari, Pembaruan Islam, Dari Mana Hendak ke Mana, penerjemah Machasin (Jakarta: Mizan, 2009),44

46 Menurut al-A>lu>si>, ketiga ayat dalam surat al-Ma>idah itu membicarakan kisah Yahudi dan bukanlah umat Islam. Namun, ayat ini kemudian dibawa kepada

keumumannya, sehingga termasuk dalam kategori ayat-ayat itu adalah semua keumumannya, sehingga termasuk dalam kategori ayat-ayat itu adalah semua

B. PERMASALAHAN

1. Identifikasi Masalah Mengetahui aspek historisitas sebuah teks, membantu peneliti

dalam memperluas pengetahuannya tentang teks tersebut. Pasalnya, dengan mengetahui aspek historisitas suatu teks, tujuan utama yang terkandung di dalamnya dapat diketahui, untuk kemudian

diaplikasikan ke dalam masa kini. 47 Di samping itu, ia juga mampu membantu para pembaca dalam mereduksi subyektivitas yang ada

pada diri mereka, agar tidak menjadikan teks tersebut tertutup untuk pihak yang lainnya dan cenderung otoriter. 48 Oleh karena itu, sebagian

akademisi mengatakan bahwa pembacaan yang ahistoris, cenderung ideologis.

Sebagaimana yang telah peneliti paparkan di latar belakang masalah, permasalahan tentang penafsiran h{a>kimiyah (kedaulatan Tuhan) dan ja>hiliyah (kedaulatan manusia) begitu kompleks. Oleh karena itu, penelitian terhadap penafsiran Qut}b terhadap kedua konsep tersebut dilakukan, dengan memfokuskan kepada cara yang ia gunakan

manusia yang memiliki sifat yang sama seperti apa yang dimilki Yahudi pada saat itu. Lihat al-A<<lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1994), vol.5, 5 dan Ibn ‘A<shu>r, al-Tah}ri>r wa al- Tanwi>r, vol 4, 205.

47 Bandingkan dengan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, 244, Fakhrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, 15-17.

48 Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, 112.

dalam menggunakan aspek historis terhadap ayat-ayat yang dianggapnya berisikan konsep kedaulatan Tuhan dan ja>hiliyyah, serta hubungan keduanya terhadap timbulnya radikalsime modern. Adapun secara terperinci, permasalahan yang ada dalam kasus ini, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Apakah penafsiran Qut}b terhadap h}a>kimiyah atau konsep kedaulatan Tuhan bersifat ahistoris?

2. Apakah ahistorisitas penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan menyebabkan kepada perluasan ideologisasinya, yakni penafsiran yang politis?

3. Apakah penafsiran ideologis Qut}b tersebut mengindikasikan kepada faham radikal?

4. Bagaimana konsep ja>hiliyah modern (konsep kedaulatan manusia) versi Qut}b?

5. Apakah ahistorisitas penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan manusia mengindikasikan kepada pengkafiran ( takfi>r)?

6. Apa cara yang ditawarkan Qut}b untuk keluar dari ja>hiliyah tersebut?

2. Pembatasan Masalah Sebagaimana yang peneliti jelaskan, bahwa tesis ini akan concern

terhadap penafsiran h}a>kimiyah dan ja>hiliyah Qut}b. Hal ini peneliti lakukan, karena teori politik Qut}b dalam tafsirnya berpusat pada konsep h}a>kimiyah, ja>hiliyah dan jiha>d. Adapun pembatasan masalah ini selanjutnya, akan peneliti sederhanakan sebagai berikut:

1. Apakah benar penafsiran h}a>kimiyah (konsep kedaulatan Tuhan) dan ja>hiliyah (konsep kedaulatan manusia) Qut}b bersifat ahistoris?

2. Apakah penafsiran ahistoris tersebut memperluas ideologisasinya (penafsiran politis)?>

3. Dan apakah ahistorisitas konsep kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia Qut}b itu menjadi sebab akan timbulnya radikalisme Islam?

3. Perumusan Masalah Setelah masalah-masalah di atas telah dibatasi, masalah-masalah

ini akan dirumuskan lebih detil sebagai berikut:

1. Apakah penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia bersifat ahistoris?

2. Apakah ahistorisitas penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia bersifat radikal ?

C. PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN Penelitian tentang bias kepentingan dalam sebuah penafsiran,

sebenarnya sudah ramai dibicarakan orang. Di antaranya oleh Abu> Zayd. Dalam hermeneutika miliknya, pembaca akan diperkenalkan dengan sebuah metode yang disebut metode ta’wi>l. Dan ta’wi>l dalam terminologi Abu> Zayd merupakan lawan dari talwi>n (pembacaan ideologis-tendensius). Singkatnya, ta’wi>l dianggap sebagai penafsiran produktif karena terdapat kesinambungan antara dala>lah (meaning) dengan maghza> (significance). Dala>lah dapat diketahui dari aspek historis suatu ayat, sedangkan signifikansinya diperoleh dengan meneliti dala>lah yang telah didapatkan. Jadi, bisa dikatakan bahwa dala>lah merupakan representasi dari masa lalu, sedangkan maghza> 49 adalah awal dari masa kini.

Berikutnya ada H{asan H{anafi>. Hermeneutika pembebasan miliknya ini didasari atas sebuah tesis yang menyatakan bahwa, tidak ada penafsiran yang terbebas dari subyektivitas penafsirnya. Dengan demikian, bagi H{anafi>, penafsiran sebagai upaya reproduksi makna baru tidak mungkin dilakukan. Sebaliknya, yang mungkin adalah proses penafsiran equivalen dengan upaya terus menerus untuk menciptakan makna baru yang kreatif. Maka, untuk mengatasi subyektivitas yang dominan dalam sebuah penafsiran, ia menjadikan realita sebagai parameternya. Oleh karena itu, Ilham B. Saenong menyimpulkan bahwa hermeneutika H{anafi>, pada akhirnya lebih menekankan pada pembacaan yang bersifat praksis, sehingga terlalu

berpihak pada aspek 50 reader.