PENAFSIRAN AHISTORIS: SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB RADIKALISME ISLAM
BAB II PENAFSIRAN AHISTORIS: SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB RADIKALISME ISLAM
Radikalisme, 1 berasal dari kata radix yang artinya akar dengan isme atau ajaran. Jadi, radikalisme adalah ajaran yang mengajarkan
manusia untuk berpikir secara radikal sampai ke akar-akarnya. Dari sisi ini, maka radikalisme adalah ajaran yang mengajarkan manusia
untuk berpikir sampai ke akar masalahnya. 2 Dan dalam kamus Bahasa Indonesia, radikalisme berarti suatu paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis, dan dapat juga dikenal dengan sistem ekstrim
dalam satu aliran politik. 3 Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini, adalah radikalisme dalam pemikiran beragama Islam. 4
Membicarakan faktor penyebab radikalisme Islam, nampaknya tidak cukup hanya dengan satu faktor saja. Menurut penelitian yang
dilakukan Transnational Terrorism, Security, and the Rule of Law (TTSRL) di Eropa, bahwa radikalisme tumbuh karena beberapa faktor; politik, sosial dan individu. Dan setiap faktor ini memiliki pengaruh yang berbeda dalam setiap personalnya. Lebih lanjut, faktor eksternal,
1 Radikalisme, sering kali dihubungkan dengan Islam. Kendati demikian, secara definitif ia tidak merujuk kepada suatu kelompok agama manapun. Mengutip
apa yang dikatakan Jamhari dan Jajang Jahroni, bahwa gerakan radikal keagamaan juga muncul di India dengan berlatarkan Hindu, di Irlandia dengan berlatarkan katolik, bahkan di Amerika dengan berlatarkan sekularitasnya. Namun, menurut Shmuel Bar, beberapa dekade terakhir ini, kekerasan atas nama Islam sering kali didengar. Oleh karena itu, peneliti dalam tulisan ini akan fokus dalam radikalisme Islam beserta faktor-faktor yang menimbulkannya. Lihat Shmuel Bar, ‚The Religious Sources of Islamic Terrorism,‛ Stanford University,
1 Juni 2004, http://www.hoover.org/publications/policy-review/article/6475. (diakses pada 24 Mei 2014) dan Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2004), 43.
2 Soetrisni Hadi, ‚Darul Islam dan Kaitannya dengan Gerakan Radikal Islam di Indonesia,‛ dalam Agama dan Radikalisme di Indonesia,
ed. Bachtiar Effendy dan Soetrisno Hadi (Jakarta: Nuqtah, 2007), 314. 3 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia , ed.1 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 1152 4 Terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama. Agama, adalah
wahyu Ilahi yang tidak terbantahkan dan tidak pula ternodai, sedang pemikiran agama adalah hasil olah logika manusia yang sangat terbatas hakekat kebenarannya. Lihat Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam (Jakarta: Pustaka Azhari, 2004),147.
yang meliputi politik, ekonomi dan budaya, memiliki pengaruh yang tidak langsung dengan individu yang bersangkutan. Karena ia lebih banyak berperan dalam membentuk pandangan masyarakat. Sebaliknya, faktor sosial dan individual lebih banyak mempengaruhi pemikiran seseorang untuk berbuat radikal, karena ia bersentuhan langsung dengan individu tertentu. Kendati demikian, ketiga hal ini
memiliki kesinambungan dalam memunculkan radikalisme. 5 Penelitian di atas, nampaknya tidak mengeksplisitkan faktor
agama di dalamnya. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Achmad Najib Burhani dkk, bahwa radikalisme, khususnya radikalisme Islam muncul disebabkan lima faktor: teologi, politik,
ekonomi, sosial-budaya dan media. 6 Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan Shmuel Bar, John D. Johnson, Bachtiar Effendi dan Mun’im
A. Sirri, yang menyatakan bahwa radikalisme itu tumbuh dengan faktor agama, sosial ekonomi dan politik. 7
Lebih lanjut, radikalisme Islam menurut Roxanne L. Euben, tumbuh seiring dengan kondisi sosial-politik, ekonomi dan budaya
suatu negara. Contohnya seperti kekalahan rezim politik Timur Tengah, industrialisasi, westernisasi dan modernisme. Kendati demikian, ia tidak menafikan faktor agama yang terdapat di dalamnya. Karena menurutnya, landasan radikalisme hanya bisa diurai jika makna
5 Transnational Terrorism, Security, and the Rule of Law (TTSRL), ‚Causal factors
1 April 2008, http://www.transnationalterrorism.eu/tekst/publications/Causal%20Factors.pdf (diakses pada 24 Mei 2014).
of
radicalisation‛
6 Achmad Najib Burhani, Agus Muhammad, Edi Sudarjat, Khamami Zada, dan Nur Hidayah, ‚Factors Causing the Emergence of Radical Islam:Preliminary
4 (Agustus 2005): 1, http://www.academia.edu/3370341/Factors_Causing_the_Emergence_of_Radical_Isl am_A_Preliminary_Analysis (diakses pada 24 Mei 2014).
Analysis,‛ ICIP
Journal vol
no.
7 Shmuel Bar ‚The Religious Sources of Islamic Terrorism,‛ Stanford University
http://www.hoover.org/publications/policy- review/article/6475. (diakses pada 24 Mei 2014), Bachtiar Effendi dan Mun’im A. Sirri ‚Ekstremisme Islam: Bukan Sekedar Persoalan Teologis atau Penafsiran Keagamaan,‛ Agama dan Radikalisme di Indonesia,
1 Juni
ed. Bachtiar Effendy dan Soetrisno Hadi (Jakarta: Nuqtah, 2007): 45 dan John D. Johnson, ‚ Root Causes of Islamist Extremism: Nine Years Later,‛ Small Wars Jornal
10 Januari 2011 , http://smallwarsjournal.com/jrnl/art/root-causes-of-islamist-extremism-nine-years-
later (diakses pada 24 Mei 2014).
tindakan radikalisme diabstraksikan dari keyakinan religius yang menopang dan mengilhami tindakan tersebut. 8
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa munculnya radikalisme agama, termasuk Islam memang tidak bisa lepas dari pemeluk agama itu sendiri. 9 Dan dalam penelitian ini,
peneliti akan fokus terhadap faktor yang ada dalam Islam itu sendiri, yakni penafsiran ahistoris, sebagai faktor agama dalam munculnya radikalisme Islam.
Penafsiran Ahistoris: Faktor Agama dalam Radikalisme Islam Historis, dalam kamus Bahasa Indonesia berarti yang
berhubungan dengan sejarah atau masa lampau. 10 Maka, yang dimaksud dengan historisitas al-Qur’an di sini adalah muatan historis
saat teks itu muncul. Adapun ketika kata ini dibawa ke dalam ranah penafsiran, maka hal tersebut berarti, yang berisikan muatan historis
saat teks itu muncul dan saat teks itu ditafsirkan. Hal ini berimplikasi kepada ruang lingkupnya yang menjadi luas, tidak hanya mencakup
dunia teks, namun juga melangkah kepada dunia pengarang dan dunia pembaca. Berdasarkan hal ini, maka yang dimaksud dengan penafsiran ahistoris adalah, penafsiran yang mengabaikan kesadaran historisitas al-Qur’an, yakni konteks, teks dan kontekstualisasi, atau lebih
tepatnya disebut dengan penafsiran yang literal. 11 Adapun faktor agama dalam munculnya radikalisme Islam,
adalah pemahaman yang tekstual dalam menafsirkan al-Qur’an dan Hadis. Mengutip apa yang dikatakan Jamhari dan Jajang Jahroni, bahwa pemikiran yang tekstual mengimbas kepada pemahaman mereka terhadap sejarah dan peradaban. Masa keemasan Islam yang pernah terwujud pada zaman Nabi dijadikan sebagai proto-model bagi pembentukan negara. Oleh karena itu, dalam memperjuangkan negara, mereka merujuk zaman nabi dan ingin menerapkan apa adanya. Namun, mengapa pemahaman skripturalis ini justru yang marak
8 Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin:Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern (Jakarta: Serambi, 1999), 61-64.
9 Bachtiar Effendi dan Mun’im A. Sirri ‚Ekstremisme Islam: Bukan Sekedar Persoalan Teologis atau Penafsiran Keagamaan,‛ Agama dan Radikalisme di
Indonesia, ed. Bachtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, 36. 10 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , ed.1 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 527. 11 Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial
(Jogjakarta: Elsaq, 2005), 17-21.
kembali? Hal ini karena kecenderungan orang untuk kembali ke agama meningkat ketika orang berada dalam kondisi kritis. Selain itu, pemikiran skripturalis ini sangat mudah diikuti, terutama bagi mereka
yang baru memperdalami agama. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Bachtiar Effendi dan Mun’im A. Sirri. Menurut kedua peneliti ini, faktor agama dalam munculnya radikalisme Islam tidak luput dari penafsrian doktrin yang beragam. Lebih lanjut dalam konteks ini, sekurang-kurangnya ada dua model penafsiran atau ijtihad yang berbeda. Pertama, bersifat skripturalistik. Yakni yang lebih menitikberatkan pada teks-teks doktrin. Dua, bersifat lebih substansialistik yang menekankan kepada makna dan isi atau konteks. Perbedaannya, penafsiran yang pertama cenderung literalis dan legal-formalistik, karena lebih memusatkan perhatian pada regulasi kehidupan yang dipersepsikan sesuai dengan norma-norma agama. Sebaliknya, model kedua cenderung berupaya
menyelami elan dasar sebagai sumber moral dari pesan-pesan keagamaan. 13 Hal senada juga dikatakan oleh Ali Syu’aibi dan Gils Kibil dalam Meluruskan Radikalisme, salah satu faktor yang menimbulkan radikalisme Islam menurut keduanya adalah penafsiran yang tidak mengindahkan sebab turunnya al-Qur’an, khususnya dalam
memahami ayat-ayat perang. 14 Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa penafsiran literal,
atau disebut juga dengan skripturalis adalah faktor agama dalam menimbulkan radikalisme Islam. Penafsiran ini juga memiliki nama lain yaitu penafsrian ahistoris. Menurut Abou el-Fadl, sebagaimana dikutip oleh Achmad Najib dkk dalam sebuah jurnal, bahwa penafsiran al-Qur’an terbagi menjadi dua, historis atau penafsiran kontekstual dan ahistoris yang disebut juga dengan penafsiran tekstual. Penafsiran yang historis adalah penafsiran yang melihat aspek historis suatu teks, yakni dengan melihat kondisi sosio-hostoris saat ayat tersebut turun, kemudian mengkontekstualisasikannya pada masa kini. Sedangkan golongan radikal, menginterpretasikan ayat-ayat dengan tanpa melihat
12 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 43. 13 Bachtiar Effendi dan Mun’im A. Sirri ‚Ekstremisme Islam: Bukan Sekedar Persoalan Teologis atau Penafsiran Keagamaan,‛ Agama dan Radikalisme di Indonesia,
ed. Bachtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, 45. 14 Ali Syu’aib dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam (Jakarta:
Pustaka Azhari, 2004), 148.
konteks sosio-historis yang meliputi ayat, sehingga sang penafsir tidak bisa mendapatkan makna dasar dalam ayat. 15
demikian hendaknya mengharmioniskan antara jalur teks-konteks-kontekstualisasi, agar terhindar dari pembacaan yang ahistoris. Namun, meskipun para mufassir cenderung mengakui bahwa ketiga unsur tersebut harus diaplikasikan secara dialektis-dialogis dan berkesinambungan, realita yang ada menyatakan bahwa mereka tidak sepakat dalam unsur mana yang memainkan peran utama dalam proses interpretasi. Akibatnya, masing-masing pihak, mempertahankan intergritas keamanan masing- masing, sehingga penafsiran bercorak otoritarianisme sebagai akibat dari hubungan yang tidak harmonis, nampaknya tidak terelakkan lagi. 16
Sebuah penafsiran,
dengan
Melihat kecenderungan penafsir terhadap ketiga hal triadik di atas, maka para penafsir tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, penafsiran yang mengimbangi antara teks-konteks- kontekstualisasi. Kedua, penafsiran yang menitikberatkan kepada jalur
teks-konteks. Ketiga, menekankan pada jalur teks-kontekstualisasi. 17 Adapun jalur teks-konteks, yakni kesadaran konteks dan
mencukupkan diri dengan generasi masa lalu, hanya akan membawa
15 Achmad Najib Burhani, Agus Muhammad, Edi Sudarjat, Khamami Zada, dan Nur Hidayah, ‚Factors Causing the Emergence of Radical Islam: Preliminary
Analysis,‛ ICIP
4 (Agustus 2005): 3, http://www.academia.edu/3370341/Factors_Causing_the_Emergence_of_Radical_Isl am_A_Preliminary_Analysis (diakses pada 24 Mei 2014).
Journal vol
no.
16 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, penerjemah R. Cecep Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 185.
17 David membagi metode hermeneutika modern menjadi tiga bagian. Pertama hermeneutika obyektif-tradisionalis, yang memiliki ciri-ciri diantaranya;
mencari makna awal dari suatu ayat dengan memegang erat asba>b nuzu>l dan aspek linguistiknya, serta mengaplikasikan riwayat tersebut sebagai starting point dalam penafsiran pada setiap waktu dan tempat. Adapun yang kedua, hermeneutika subyektif, memiliki ciri-ciri di antaranya; menganggap bahwa makna awal dalam suatu penafiran tidak penting, menitikberatkan pada aspek reader daripada konteks masa lalu dan cara berfikir yang pragmatis. Sedangkan yang ketiga adalah hermeneutika obyektif-modernism. Model ketiga ini hampir terlihat serupa dengan yang pertama, hanya saja terdapat perbedaan tipis di antaranya yaitu; para penafsirnya tidak cukup dengan menggunakan asba>b nuzu>l, namun mencari makna tersembunyi darinya untuk diaplikasikan di masa kini. Bandingkan dengan Sahiron Syamsudin dan David Vishanof, ‚Quranic Hermeneutic,‛ UIN Sunan Kalijaga, 2013, http://faculty-staff.ou.edu/V/David.R.Vishanoff-1/Hermeneutics/index.htm (diakses pada 14 Juli 2013).
seseorang kepada reproduksi makna lama ke dalam masa kini, yang akan berujung kepada pemahaman yang asosial dan misplaced. Begitu juga sebaliknya, penafsiran yang hanya menekankan pada aspek kontekstualisasi, dan mengabaikan konteks awal pemaknaan teks akan berujung kepada ketidakmampuan penafsir dalam menangkap tujuan
utama dan 18 spirit teks. Bahkan, hal tersebut dapat berakibat pada hyper-reality. Dalam cara pandang kelompok ini, al-Qur’an dan Hadis
dituntut berbicara menyesuaikan diri dengan realitas. Oleh karena itu, cara pandang kelompok ini bersifat determinisme empiris. 19 Adapun
penafsiran yang tekstual, akan berakibat kepada sifat inklusif bahkan radikal. 20 Dan kecenderungan terakhir inilah yang akan menjadi fokus
dalam penulisan tesis ini. Hal ini peneliti lakukan karena begitu banyaknya penafsiran ahistoris yang menjadi pemicu tindak radikal.
Baik hal tersebut berskala nasional maupun internasional. 21 Adapun dalam bab II ini, peneliti akan membahas ketiga kecenderungan yang
telah disebutkan di atas, berikut representasi dari setiap kelompok.
A. PENAFSIRAN AHISTORIS: CORAK PEMIKIRAN KAUM KONSERVATIF Konservatif, dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti kolot, bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yg
berlaku. 22 Dalam dunia interpretasi, yang dimaksud dengan penafsiran konservatif yakni penafsiran yang kolot dan tidak mau berubah juga
18 Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Jogjakarta: Elsaq, 2005), 17-21.
19 Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial , 63. 20 Menurut Abdurrahman Wahid, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad
Shidqi, bahwa munculnya radikalisme didukung oleh dua faktor. Pertama, kekecewaan kaum Muslim sendiri terhadap ketertinggalan mereka dengan negeri- negeri non-Islam, khusnya mereka yang disebut negara Barat. Kedua, pengetahuan terhadap Islam yang dangkal, sehingga pembacaan mereka menjadi literalis- skripturalis. Lihat Ahmad Shidqi, Tuhan di Dunia Gemerlapku
(Yogyakarta: Kanisius: 2007), 51-52.
21 Adapun dalam skala internasional, hal ini telah dibuktikan oleh beberapa peneliti semisal Wiktorowicz dan dalam skala nasional, juga telah dibuktikan oleh
beberapa pengamat seperti Azyumardi Azra. Bandingkan dengan Quintan Wiktorowicz, The Management of Islamic Activism (New York: State University of New York, 2001), 112-113, dan Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam ( Jakarta: Paramadina, 1996), 110-111.
22 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia , ed.1 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 589 22 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia , ed.1 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 589
enggan mengakui bahwa era modern mengamanatkan perubahan. 23 Dengan demikian, salah satu ciri kaum konservatif adalah penafsiran
yang ahistoris. Pandangan kaum konservatif ini, adalah representasi dari penafsiran yang tekstual. Mengutip apa yang dikatakan oleh Saeed, bahwa penafsiran tekstual adalah penafsiran yang hanya menitikberatkan pada aspek linguistik suatu teks dan mengabaikan aspek sosio-historis. Baginya, parameter dalam suatu penafsiran
adalah apa yang terjadi pada masa Nabi. 24 Di antara kelompok ini adalah gerakan 25 (atau disebut juga sebagai Wahabi). Gerakan
salafi> puritanisme ini, muncul dalam era modern sebagai gerakan purifikasi
agama. Mereka meyakini bahwa Islam sekarang tidaklah semurni apa yang ada pada zaman Nabi Muhammad, para Sahabat serta Tabi’in. Dalam menjalankan tugas tersebut, mereka menggunakan sebuah jargon yang biasa dikenal dengan ‚kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah,‛ namun dengan pendekatan yang literalis atau tekstualis. 26
23 Khaled Abou el- Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, penerjemah Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2006), 130.
24 Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 220
25 Salafi>, dalam bahasa Arab berasal dari kata salaf, yang dalam tradisi Islam berarti tiga generasi awal dalam Islam, yakni zaman Nabi Muhammad,
Sahabat dan Tabi’in. Dan terminologi salafi, berarti para pengikut salaf. Gerakan ini dipelopori oleh Muh}ammad ‘Abduh dan Rashi>d Rid}a. Gerakan ini pertama-tama bertujuan untuk membenarkan Islam terhadap upaya westernisasi dan penolakan terhadap tradisionalisme buta. Namun, lambat laun gerakan ini kian bergeser dari tujuan aslinya, sehingga fanatisme tersebut berpindah ke dalam gerakan mereka sendiri. Dan akibatnya, pembacaan yang literal-skriptural menjadi pembenar atas fanatisme mereka. Lihat Quintan Wiktorowicz, The Management of Islamic Activism (New York: State University of New York, 2001), 112-113, Muhammah Sai>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, Salaf Sebuah Fase Sejarah Bukan Mazhab, penerjemah Futuhal Arifin (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 3, Mut’ab bin Suryan, Beda Salaf dengan Salafi, penerjemah Wahyuddin dan Abu Ja’far (Solo: Islamika, 2007), 23 dan L. Carl Brown, Wajah Politik Islam, penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), 204-205.
26 Bandingkan dengan Ahmad Badri Abdullah, dkk, ‚Postmodernism Approach in Islamic Jurisprudence (Fiqh),‛ Middle-East Journal of Scientific
Perlu dijelaskan di sini, bahwa pendekatan literalis bukan berarti penafsiran yang benar-benar tanpa ‚masa lalu,‛ melainkan esensi daripada aspek tersebut tidak digali dengan baik sehingga aspek reader dan aspek sosio-historis yang mengitarinya terpinggirkan. Dan akhirnya, penafsiran secara monolitik, tekstual dan rigid lebih cepat
didapatkan. 27 Gerakan salafi ini juga disebut-sebut sebagai salah satu
kelompok fundamentalsime. 28 Namun, sebelum masuk lebih dalam, peneliti ingin memaparkan bahwa dalam beberapa kasus, sebagian
pengamat cenderung membedakan antara kaum salafi dengan fundamentalis. Bagi pengamat yang membedakan, beralasan bahwa kaum fundamentalis lebih sering berkutat dalam gerakan regio-politik, sedangkan kaum salafi, lebih banyak bergerak dalam aspek ibadah
dalam mengejawantahkan gerakan purifikasi agama. 29 Ada juga yang membedakan mereka dengan beranggapan bahwa Fundamentalis,
adalah representasi dari gerakan awal, sedangkan salafi>, adalah perkembangannya di masa kini, khususnya setelah keluarga a>li> al-
Su’u>d menduduki Saudi Arabia. Oleh karena itu, kelompok salafi> sering disebut dengan ‚neo fundamentalis.‛ 30 Adapun pengamat
1 (2013): 40, http://www.academia.edu/3019715/Postmodernism_Approach_in_Islamic_Jurisprud ence_Fiqh_. (diakses pada 26 Agustus 2013) dan Quintan Wiktorowicz, The Management of Islamic Activism (New York: State University of New York, 2001), 112-113.
Research 13,
no.
27 Bandingkan dengan Adis Duderija, ‚Pre Modern and Critical Progressive Methodologies of Intepretation o f the Qur’an and Sunnah,‛ Journal of Qur’a>n and
H{adith Studies vol. 1, no. 2 (Januari-Juni 2012) , 189 28 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta:
Grasindo, 2004), vi dan Massimo Companini, The Qur’an: Modern Muslim Interpretation, alih bahasa ke dalam B. Ingris Caroline (New York: Routledge, 2011),
8-9. 29 Diantara mereka adalah Bassam Tibi, dan Quintan. Mereka lebih melihat
kaum fundamentalis sebagai gerakan politik, dibanding gerakan Islamis. Lihat Quintan Wiktorowicz, The Management of Islamic Activism (New York: State University of New York, 2001), 112-113 dan Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New Word Disorder (London: Universitas California, 2002), 27-29.
30 Peneliti sendiri lebih memilih pendapat kedua, yang mengatakan bahwa salafi adalah perkembangan dari kelompok ‚fundamentalisme.‛ Salafi> ini kemudian
berkembang menjadi tiga kelompok; salafi-puritan, salafi-jihadi, dan political salafi> . Yang pertama adalah mayoritas salafi>, yang memiliki ciri untuk tidak aktif dalam gerakan politik manapun. Target utama adalah penghambaan diri yang utuh kepada berkembang menjadi tiga kelompok; salafi-puritan, salafi-jihadi, dan political salafi> . Yang pertama adalah mayoritas salafi>, yang memiliki ciri untuk tidak aktif dalam gerakan politik manapun. Target utama adalah penghambaan diri yang utuh kepada
terhadap modernitas. 31 Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai keduanya, baik kaum salafi, yang dianggap cenderung bergerak dalam
purifikasi agama, dan fundamentalis yang dianggap cenderung bergerak dalam regio-politik, mereka sama-sama menggunakan penafsiran yang literalis-skriptularis, sehingga penafsiran yang
dihasilkan cenderung ahistoris. 32 Hal ini berimplikasi kepada pemikiran atau tindak anarki dengan mengatasnamakan Islam. Oleh
karena itu, peneliti cenderung menyebut mereka dengan gerakan Islamis-konservatif. 33
Allah. Oleh karenanya, mereka fokus terhadap ideologi dan ritual ibadah. Contohnya adalah al-Jama>’ah al-Salafiyyah al-Muh}tasibah (JSM). Political salafi>, adalah mereka yang berani melakukan protes terhadap kelompok salafi pertama. Mereka kebanyakan praktisi politik. Representasinya adalah Ikhwa>n al-Muslimi>n. Terakhir adalah yang menganggap politik selain khila>fah kafir, dan membenarkan kekerasan untuk menjalani ajaran agama, dengan al-Qaeda sebagai representasinya. Lihat Andreas Armborst, ‚A Profile of Religious Fundamentalism and Terrorist Activism,‛ Defence Against Terrorism Review vol. 2, no. 1 (2009): 51-53, http://www.coedat.nato.int/publications/datr3/04_Andreas%20ARMBORST.pdf (diakses pada 26 Agustus 2013) dan Itszchak Weismann, ‚Genealogies of Fundamentalism: Salafi> Discourse in Nineteenh-Century Baghdad,‛ British Journal of
2009): 268-270, http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13530190903007301?journalCode=cbj m20#.UhsGk9JHJkQ (diakses pada 27 Agustus 2013).
Middle Eastern
Studies
(Agustus:
31 Di antara mereka Jamhari dan Jajang Jahroni dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Azymardi Azra dalam bukunya, Pergolakan Politik Islam dan
L. Carl Brown, dalam Wajah Islam Politik. Lihat Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 54-55, L. Carl Brown, Wajah Politik Islam, penerjemah Abdullah Ali, 190-196 dan Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, 107-114.
32 Carool Kersten, ‚Islam, Cultural Hybridity and Cosmopolitanism: New Muslim Intellectuals on Globalization,‛ Journal of International and Global Studies
t.th: 90, http://www.lindenwood.edu/jigs/docs/volume1issue1/essays/89-113.pdf (diakses pada 27 Agustus 2013).
33 Pendapat ini penulis ambil dari penelitian L. Carl Brown. Ia menyebutkan bahwa wacana Muslim radikal, muncul dari gerakan-gerakan Islamis modern saat ini.
Mereka memiliki cara penafsiran yang rigid dan kaku, juga menjadikan masa lalu sebagai patokan yang pasti. Oleh karena itu, baik Fundamentalis maupun Salafi, termasuk dalam kategori gerakan Islamis-konservatif. Lihat L Carl Brown, Wajah
Islam Politik, penerjemah Abdullah Ali 195-196 dan Ahmad Badri Abdullah, dkk, ‚Postmodernism Approach in Islamic Jurisprudence (Fiqh),‛ Middle-East Journal of Scientific
Research
no.
Paparan di atas membuktikan bahwa penafsiran ahistoris menghasilkan tindak anarki. Contohnya adalah penafsiran Qut}b. Menurut beberapa pengamat, tindak kekerasan pada zaman modern dinilai bangkit kembali setelah adanya reinterpretasi Sayyid Qut}b terhadap konsep h{a>kimiyah (kedaulatan Tuhan) dan ja>hiliyah modern. Menurut Musallam, Qut}b adalah rujukan utama bagi kelompok radikal. Tulisan-tulisannya mengenai h{a>kimiyah dan ja>hiliyah banyak dijadikan landasan utama bagi kelompok tersebut, dan akibatnya adalah pengkafiran terhadap Muslim yang tidak sepakat dengan
mereka. 34 Bahkan, Qut}b dijuluki sebagai good father dalam gerakan islam radikal. Adapun buku-buku yang sering dijadikan rujukan adalah
tafsir 35 Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n dan Ma’a>lim fi> al-T{ari>q. Namun kendati tulisan-tulisan Qut}b dijadikan rujukan utama mereka, jika diteliti lebih
lanjut ditemukan bahwa kelompok radikal yang timbul setelah kematian Qut{b tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dituliskan dan
dilakukan Qut}b. Sayyid al-Sawa>d misalnya, dalam resensi terhadap karya Calvert mengenai Qut}b, ia menyimpulkan bahwa apa yang
sekarang dijalani oleh semisal al-Qaeda adalah tidak mutlak serupa dengan ajaran Qut}b. Karena jihad menurut Qut}b dilancarkan kepada rezim otoriter. Sedangkan apa yang dilakukan teroris saat ini adalah
serangan yang membabi buta bahkan terhadap rakyat sipil. 36 Sebagaimana yang dikatakan Calvert, bahwa doktrin ja>hiliyah-
h{a>kimiyah adalah penyebab menyebarnya kelompok radikalis, Richard
http://www.academia.edu/3019715/Postmodernism_Approach_in_Islamic_Jurisprud ence_Fiqh_. (diakses pada 26 Agustus 2013).
34 Adnan A. Musallam,‚ From Secularism to Jihad: Sayyid Qut}b and the Foundations ofRadical Islamism,‛ The Middle East Journal vol. 60, no 4 (2006):
778, http://www.jstor.org/stable/4330322(diakses pada 24 Maret 2012). 35 Menurut Calvert, tulisan-tulisan Qut{b telah menjadi legitimasi bagi para
radikalis di dunia. Bandingkan dengan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism (New Tork: Columbia University Press: 2010), 4, http://www.amazon.ca/Sayyid-Qutb-Origins-Radical-Islamism/dp/0231701047 (diakses pada 1 September 2013) dan Richard Phelps, ‚Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism‛, The Middle East Quarterly vol. 18, no. 2 (2011) http://www.meforum.org/2945/sayyid-qutb-and-the-origins-of-radical-islamism (diakses pada 1 September 2013).
36 Lihat Sayyid al-Sawwa>d, ‚Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism,‛ resensi buku Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism oleh John
Calvert, Digest of Middle East Studies vol. 21, no. 1, 2012, http://www.academia.edu/2090924/Sayyid_Qutb_and_the_Origins_of_Radical_Isla mism (diakses pada 1 September 2013).
L. Rubenstein juga menyatakan hal yang sama. Menurut Rubenstein, bahwa doktrin ja>hiliyah Qut{b adalah hasil dari apa yang dirasakan Qut{b selama dipenjara. Rubenstein menambahkan bahwa interpretasi Qut{b terhadap ja>hiliyah adalah ahistoris. Karena kata tersebut hanya muncul dalam al-Qur’an sebanyak empat kali, dan semuanya tidak ada yang serupa dengan apa yang ditafsirkan Qut}b, yakni negara yang tidak menjalani syariat Islam. Implikasinya, bagi negara yang mendapatkan predikat seperti itu, maka bagi umat Muslim di dalamnya, harus berjihad untuk melawan kejahiliyahan tersebut, sebagaimana nabi Muhammad melawannya pada zaman sebelum
Islam. 37 Ja>hiliyah dalam perspektif Qut}b bukanlah representasi dari masa
pra-Islam, melainkan reperesentasi dari ketidakpatuhan manusia kepada syariat Allah dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, ja>hiliyyah adalah bentuk dari penyerahan h}a>kimiyah atau kedaulatan Tuhan kepada manusia, sedangkan Islam adalah penyerahan dominasi kedaulatan tersebut hanya kepada Tuhan. Oleh karena itu, mereka yang masuk ke dalam lembah ja>hiliyyah haruslah dilawan, dan ini
adalah salah satu bentuk jihad yang sah. 38 Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa ja>hiliyyah dan konsep kedaulatan Tuhan memiliki
hubungan yang erat. 39 Dan karena konsep kedaulatan Tuhan ini berhubungan erat dengan ja>hiliyyah, maka penelitian ini akan
membahas kedua konsep tersebut.
37 Kata ‚ja>hiliyyah‛ ada dalam empat tempat di al-Qur’an; pertama adalah 'Ali> ‘Imra>n (3):154, kedua al-Ma>’idah (5):50, ketiga al-Ah}za>b (33):33 dan keempat
al-Fath} (48):26. Kesemuanya itu menggambarkan kelompok yang tidak percaya kepada Allah dan perasaan sombong. Bandingkan dengan Richard L. Rubenstein, ‚Jihad versus Jahiliyya: The Seminal Islamist Doctrine of Sayyid Qutb,‛ New English
2010): 2, http://www.newenglishreview.org/Richard_L._Rubenstein/Jihad_versus_Jahiliyya% 3A_The_Seminal_Islamist_Doctrine_of_Sayyid_Qutb/ (diakses pada 1 September 2013).
Review
(Februari
38 Lihat William E. Shepard, ‚Sayyid Qut>b’s Doctrine of Ja>hiliyya,‛ Internasional Journal Middle East Studies vol. 35, no, 4 (2003): 521-522, Azyumardi
Azra , Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme , 117-119 dan L. Carl Brown, Wajah Islam Politik, 228.
39 Hal ini juga dikatakan oleh peneliti lain seperti Sayed Khatab dalam pengantar salah satu bukunya. Lihat Sayed Khatab, The Political Thought of Sayyid
Qutb: The Theory of Jahiliyyah (New York: Routledge, 2006), 1-2.
B. PENAFSIRAN SUBSTANSIALIS: KARAKTERISTIK NEO MODERNIS Neo modernis, adalah istilah baru yang dilontarkan pada penghujung dekade 1970-an oleh seorang penulis produktif bernama Fazlur Rahman. Istilah ini adalah salah satu gerakan dari empat gerakan pembaruan dalam Islam, yaitu revivalis, modernis klasik, neo
revivalis dan neo modernis. 40 Pertama adalah revivalis pra modernis yang muncul pada abad
ke-18 dan 19. Wahha>biyah di Saudi Arabia dan Sanusiah di Afrika utara adalah salah satu represenatasi dari gerakan ini. Gerakan kedua adalah modenis klasik atau revivalis pasca modernis. Gerakan ini muncul pada pertengahan abad ke-19 dan abad 20-an di bawah pengaruh Barat. Yang menarik dalam gerakan ini, adalah usaha mereka dalam membuat ikatan yang baik dengan Barat. Muhammad Abduh di Mesir dan Sir Ahmad Khan di India adalah salah satu tokoh dalam
gerakan ini. Adalah neo revivalis, gerakan yang muncul sebagai respon dari gerakan kedua tersebut. Gerakan ini lebih reaksioner dibanding
gerakan sebelumnya, dan ini yang membuat mereka berbeda. Pasalnya, jika modernisme klasik cenderung berteman baik dengan Barat, dengan catatan mengambil yang baik dari Barat, maka neo revivalis ini lebih memisahkan diri dari Barat. Oleh karena itu, muncullah gerakan keempat yang dikenal sebagai neo modernisme. Gerakan yang keempat ini muncul sebagai respon dari gerakan ketiga, neo revivalis. Dan Rahman mengklaim dirinya sebagai salah satu dari gerakan ini. Gerakan neo modernisme ini memiliki keunikan dalam hubunganya kepada Barat maupun kepada warisan mereka sendiri. Yakni sikap kritis kepada warisan Barat maupun Timur atau lebih tepatnya ‚berfikir obyektif.‛ Dan menurut Rahman, metode inilah yang mampu mengantarkan Islam kembali kepada kejayaannya, karena karakteristik dari metode ini adalah tidak meninggalkan tradisi klasik di saat tradisi Barat mulai dipelajari. 41 Oleh karena itu, peneliti memasukkan gerakan
40 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 173 dan M. Atho
Mudzar, ‚Perkembangan Islam Liberal di Indonesia,‛ Jurnal Harmoni vol. IX, no.33 (Januari-Maret 2010): 10.
41 Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo Modrnisme Islam Fazlur Rahman, penyunting Taufik Adnan Amal (Bandung:
Mizan, 1987), 19-20 dan Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, 173.
ini menjadi representasi kelompok yang menyeimbangkan antara teks- konteks-kontekstualisasi.
Neo modernis, memiliki tujuan penting salah satunya adalah mengembangkan suatu metodologi al-Qur’an yang memadai. Menurut Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Taufik Adnan Amal, kegagalan dalam memahami al-Qur’an berimplikasi kepada perkembangan Islam saat ini. Oleh karena itu, Rahman menganggap bahwa kehadiran neo modernisme ini memang ditujukan untuk membuat metode tersebut lebih berkembang. Apalagi dalam tradisi klasik, sabab nuzu>l terlihat kurang diapresiasi dengan baik, sehingga dibutuhkan penafsiran yang merangkul tradisi klasik dengan kontemporer. 42 Dengan kata lain, penafsiran klasik—yang dimaksud
adalah penafsiran klasik yang berbasis riwayat—dapat dikategorikan dalam jalur teks-konteks. Dan penafsiran neo modernis ini adalah penyempurnaan dari penafsiran klasik yang mecakup aspek teks-
konteks-kontekstualisasi. Mengutip apa yang dikatakan Abdullah Saeed, bahwa penafsiran
dalam tradisi klasik, memang kurang menggunakan aspek historis ayat dengan baik. Kendati demikian, para penafsir klasik berbeda dengan penafsiran yang tekstualis. Karena penafsir klasik, tetap menggunakan sabab nuzu>l ayat, meskipun tidak seluas aspek sosio-historis yang digunakan oleh kelompok neo modernis. Sedangkan penafsiran yang
tekstual, hanya mengutamakan aspek linguistik dari ayat tersebut. 43 Lebih lanjut mengenai metode neo modernis ini, Rahman
menjanjikan bahwa metode ini dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang sewenang-wenang dan liar. 44 Pertumbuhan selanjutnya dari
42 Taufik Adnan Amal ‚Pendahuluan,‛ dalam Fazlur Rahman , Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam Fazlur Rahman,
2 dan Abdul Mustkaim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 184-185. 43 Menurut Saeed, penafsiran berbasis riwayat, atau disebut juga dengan
interpretation based on tradition atau tafsir>, berbeda dengan penafsiran tekstual. Karena bagaimanapun, penafsiran klasik tersebut, masih menggunakan sabab nuzu>l. Adapun interpretation based on reason atau disebut juga dengan ta’wi>l, maka ia lebih kontekstual menurut Saeed daripada tafsi>r. bandingkan dengan Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach, 25.
44 Rahman, sebagaimana yang dikutip oleh Ghufran A. Mas’adi, mengatakan bahwa pokok penelitiannya memang ditujukan kepada al-Qur’an secara
epistemologi dan ontologi, hal yang berebda dengan pembaharu sebelumnya yang bergerak dalam tatanan aksiologi. Menurutnya, untuk memajukan Islam tidak cukup dengan aksi-aksi yang mengatasnamakan Islam, tetapi harus merambah kepada rekonstruksi pemikiran Islam. Dan oleh karenanya, neo modernis dinilai sangat epistemologi dan ontologi, hal yang berebda dengan pembaharu sebelumnya yang bergerak dalam tatanan aksiologi. Menurutnya, untuk memajukan Islam tidak cukup dengan aksi-aksi yang mengatasnamakan Islam, tetapi harus merambah kepada rekonstruksi pemikiran Islam. Dan oleh karenanya, neo modernis dinilai sangat
Jika dilihat dari tulisan-tulisan Fazlur Rahman, memang tampak bahwa ia begitu menekankan kepada pendekatan historis. Karena menurutnya, pendekatan tersebut mampu membawanya kepada tujuan-tujuan al-Qur’an, sekaligus membedakan antara tujuan al- Qur’an atau ideal moral al-Qur’an dengan legal spesifiknya. Dan yang terkhir inilah—baca: ideal moral—yang dituju dalam sebuah penafsiran. Karena ideal moral lah yang akan diterapkan dalam dunia
praktis, bukan legal spesifiknya. 46 Lebih lanjut mengenai gerakan ganda milik Rahman, ia
mengadopsi dua pendekatan, pendekatan historis dan pendekatan hermeneutik. Adalah dipilihnya pendekatan historis, karena ia dinilai
mampu menemukan makna teks juga menyelamatkan pembaca dari penafsiran yang sewenang-wenang. Hal ini, menurut Ahmad Syukri Saleh, karena dalam pendekatan sejarah yang digunakan Rahman, dapat mengantongi dua analisis sekaligus, analisis kritik sejarah dan
berbeda dengan yang sebelumnya. Lihat Ghufran A. Mas’adi, Pemikiran fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 1997),
60-61 dan Taufik Adnan Amal ‚Pendahuluan,‛ dalam Fazlur Rahman , Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam Fazlur Rahman, 21 45 Salah satu yang terpengaruh dengan metode neo modernis ini adalah
Adnan Amal dan Panggabean. Dalam penelitian amal dan Panggabean, mereka berkesimpulan bahwa, dalam menafsirkan al-Qur’an dibutuhkan langkah-langkah berikut; memahami tema yang menghubungkan antara keadaan masa kini dan masa lalu, mencari tujuan dari suatu ayat dengan menggunakan konteks sosio-historis dari suatu ayat, mempelajari keadaan masa kini yang akan diteliti dengan baik, mengaplikasikan tujuan-tujuan al-Qur’an yang telah dipelajari dalam masa kini. Lihat Izza Rahman, ‚New Approaches in Interpreting the Qur’an,‛ Studi Islamika vol.14, no. 2 (2007): 212-213.
46 Dalam gerakan ganda milik Rahman ini, pembaca akan sering berhadapan dengan terminologi ‚ratio legis‛ dan ‚ideal moral.‛ Adapun yang dimaksud dengan
ratio legis, adalah ‘ illat h{ukum yang diungkapkan secara implisit dalam ayat. Sedangkan ideal moral adalah tujuan atau prinsip moral-sosial yang dituju dalam suatu ayat. Jadi, ideal moral lebih umum daripada ratio legis. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’a>n (Chicago: The University of Chicago
Press , 2009), 33, Ghufron A. Mas’udi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, 153, dan Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam Fazlur Rahman, penyunting Taufik Adnan Amal, 20-21.
analisis sosial. Adapun analisis sosial sejarah akan mengantarkan kepada pemahaman terhadap konteks mikro (sebab turunnya al- Qur’an) dan makro (kondisi sosiologis), sementara kritik sejarah berperan dalam menggali prisisp-prinsip yang terdapat dalam al- Qur’an untuk dikembangkan dalam kehidupan kontemporer seperti
sekarang ini. 47 Adapun dalam pendekatan kedua, yaitu pendekatan
hermeneutik, Rahman cenderung mengikuti aliran obyektif. Pertengkaran lama antara obyektivisme dan subyektifisme, ternyata membuat Rahman bersemangat dalam merumuskan sesuatu sebagai hasil dari penelitiannya antara kedua aliran tersebut. Yakni, dengan memahami teks secara keseluruhan tidak sepotong-sepotong, memahami teks menurut kehendak penciptanya dan menghidupkan
kembali dalam situasi subyek yang menafsirkannya. 48 Namun, kendati Rahman mencoba melerai perkelahian antara dua kubu tersebut,
nyatanya Rahman menyangkal heremeneutik subyektif Gadamer, dan menerima heremeneutika Betti, bahkan menyempurnakannya. Oleh
karena itu, beberapa peneliti mengatakan bahwa Rahman memang cenderung mengikuti heremenutika Betti. 49
47 Salah satu alasan Rahman menggunakan pendekatan ini, karena menurutnya, penelitian dalam Islam sedikit sekali yang menggunakan historisitas
atau sejarah daripada obyek itu sendiri. Dan sehubungan dengan ini, Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, Islam normatif dan Islam historis. Yang pertama adalah Islam berdasarkan teks seperti al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan Islam Historis adalah Islam yang diaktualisasikan dalam kehidupan praksis. Bandingkan dengan Ahmad Syukri Saleh, Tafsir al-Qur’an Kontemporer, 66-67, Ghufron A. Mas’udi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, 62-65 dan ‚Jejak Hidup
14 Januari 2013, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/14/mglaeo-jalan- hidup-sang-pembaru-1, (diakses pada 18 Mei 2013).
Sang Pembaharu,‛
Republika
Online,
48 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’a>n, 7 49 Di antara peneliti tersebut adalah Taufik Adnan Amal dan Ahmad Syukri
Saleh. Adapun penyempurnaan Rahman terhadap hermeneutik Betti adalah; berpegang teguh pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an, dan mempertimbangkan latar belakang atau situasi obyektif masa turun al-Qur’an. Dan dengan cara ini, Rahman mengatakan dapat menghindari subyektifitas penafsir. Lihat Ghufron A. Mas’udi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam,
71, Ahmad Syukri Saleh, Tafsir al-Qur’an Kontemporer, 78-79 dan ‚Metodologi Tafsir Fazlur Rahman,‛
14 Januari 2013, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/14/mglc66- metodologi-tafsir-fazlur-rahman-2habis, (diakses pada 18 Mei 2013).
Republika
Online,
Kedua pendekatan inilah, yang terwujud dalam gerakan ganda atau ‚double movement.‛ Dengan demikian, pendekatan sejarah Rahman dapat dikatakan sebagai upaya dekonstruksi, dan pendekatan hermeneutik adalah upaya rekonstrukinya. Adapun cara kerja metode ini, adalah dengan melihat al-Qur’an dalam tatanan kronologisnya, untuk kemudian ia gunakan dalam membedakan legal spesifik dengan ideal moral dalam suatu ayat. Adapun gerakan kedua, adalah membawa prinsip umum ini ke dalam masa kini untuk diaplikasikan. Jadi, gerakan pertama adalah berpikir dari ayat-ayat yang spesifik menuju kepada prinsip atau ideal moral yang umum. Sedangkan gerakan kedua, adalah upaya perumusan prinsip-prinsip umum dan
tujuan-tujuan al-Qur’an kedalam situasi saat ini. 50 Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
metode yang digagas oleh Rahman, meskipun nampak baru dalam dunia Islam, namun jika diperhatikan lebih lanjut merupakan
kepanjangan dari metode klasik, yang kemudian ditambahkana dengan metode modern seperti hermeneutika. Karena upayanya dalam
menemukan ideal moral dengan legal spesifiknya seperti qiya>s dalam tradisi us}u>l fiqh. Oleh karena itu, Mas’adi dalam bukunya mengatakan, bahwa metode tersebut hanya cocok jika diterapkan dalam ayat-ayat hukum, tidak mengenai ibadah mah}d}ah, karena Rahman menggunakan prinsip ideal moral dan legal spesifik yang cenderung ke arah qiya>s dalam diskursus us}u>l fiqh. Maka, dari sini penulis menyimpulkan bahwa metode ini tidak sepenuhnya baru, melainkan adalah pengembangan dari tradisi klasik yang dibumbui dengan metode Barat, sesuai dengan cita-cita Rahman dengan metode tafsir ‚ala‛ neo
modernisme. 51 Keunikan dalam metode yang digagas oleh Rahman ini bukan
berarti terjadi tanpa sebab. Ia memiliki alasan dan tujuan dalam mengembangkan metode double movement tersebut. Di antara alasan tersebut adalah penetrasi tahayul ke dalam ajaran Islam. Ajaran Islam sering kali digambaran dengan hal-hal yang tidak rasional. Oleh karena itu, ia menginginkan metode yang ia bawa mampu berbuat adil terhadap tuntutan intelektual dan integritas moral. Selain itu, ia juga
50 Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’a>n, 33, Ghufron A. Mas’udi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, 62-72 dan Ahmad
Syukri Saleh, Tafsir al-Qur’an Kontemporer, 64-67 dan 79-82. 51 Bandingkan dengan Ghufron A. Mas’udi, Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, 79-80.
mengaku merasa kecewa terhadap perilaku ulama modern-klasik, yang lebih cenderung menjadikan tafsir al-Qur’an tidak sistematis. Hal itu kemudian mengakibatkan kegagalan dalam memahami al-Qur’an sebagai suatu kesatupaduan yang membuahkan weltanscauung yang pasti. Karena alasan inilah Rahman menggagas suatu metode yang diharapkan mampu membuktikan bahwa Islam adalah agama yang
rasional dan mampu berhadapan dengan dunia modern saat ini. 52 Salah satu contoh dari penafsiran Rahman adalah kasus
poligami. Menurut Rahman asas pernikahan adalah monogami. Sedangkan poligami yang termaktub dalam surat al-Nisa> (4):2, 53
adalah sebagai alternatif bagi kebiasaan manusia yang saat itu terbiasa beristri lebih dari satu, bahkan lebih dari empat. Karena itu, poligami menurut Rahman adalah boleh, tetapi dalam keadaan darurat bukan dalam keadaan normal, untuk menyeimbangkan dengan apa yang banyak terjadi saat ini seperti marginalisasi peran perempuan ataupun
kekerasan terhadap mereka. Dalam contoh tersebut, terlihat bahwa Rahman mendasari penelitian tersebut dengan dalil al-Qur’an
kemudian Sunah dan Ijtihad. 54
52 Alasan lainnya adalah keinginan untuk menjembatani antara Islamic law dengan human rights. Lihat Moataz El Fegiery, ‚Attempts to Bridge the Gap
between the Universality of Human Rights and Religious and Cultural Particularities‛ Human Rights Across Cultural Dialogue ( Conference Proceedings Copenhagen ) ( 15-16 Desember 2010): 16-17, http://hrcd.dihr.org/wp/, (diakses pada 18 Mei 2013), Heiner Bielefeldt, "Western" versus "Islamic" Human Rights Conceptions?: A Critique of Cultural Essentialism in the Discussion on Human Rights,‛
1 (Feb. 2000): 109, http://www.jstor.org/stable/192285, (diakses pada 18 Mei 2013) dan Ahmad Syukri Shaleh, Tafsir al-Qur’an Kontemporer, 124-125.
Political
Theory vol.
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah dengan wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja, atau dengan budak-budak yang kamu milki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S. al- Nisa> (4): 3.
54 Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’a>n, 32, Aliyudin, ‚Poligami dalam Pemikiran Fazlur Rahman,‛ Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Jati Bandung, 22 Maret 2012, http://www.fshuinsgd.ac.id/?p=1053 (diakses pada 17 Mei 2013). Lia Noviana, ‚Persoalan Praktik Poligami dalam Masyarakat Islam,‛ Ejournal UIN Maulana Malik Ibrahim volume 15, no. 1 (Juni 2012):
Tak ada gading yang tak retak. Memang Rahman telah menggagas sebuah metode yang dianggap mengagumkan—meskipun metode itu tidak baru karena ia berasal dari prinsip sabab nuzu>l dalam studi ilmu al-Qur’an klasik dan metode qiyas dalam ushul fiqh— namun, hal itu tentu masih jauh dalam kesempurnaan. Salah satu kelemahannya adalah ketika ia menafsirkan ayat-ayat metafisis. Menurut Abdul Mustakim, Rahman tidak sepenuhnya menggunakan metode double movement ini dalam segala ayat. Tapi, hanya dalam ayat-ayat hukum saja, bukan dengan ayat metafisis. Karena dalam ayat tersebut, Rahman mengunakan metodologi intertekstualis dan
tematik. 55 Rahman, dengan ini telah menggagas sebuah metode yang
dianggap mengagumkan, meskipun metode itu tidak baru karena ia berasal dari prinsip sabab nuzu>l dalam studi ilmu al-Qur’an klasik dan metode
qiyas dalam ushul fiqh. Namun, metode yang ia gagas ini setidaknya telah menjembatani antara masa lalu dengan apa yang
terjadi pada masa kini. Selain Fazlur Rahman yang mencoba untuk mengurangi subyektivitas dengan aspek sosio historis, ada juga Khaled Abou el-Fadl. Dalam bukuya yang fonumenal Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, ia menjelaskan tentang teks, ideologisasi dan otoritas. Menurutnya, pembacaan ideologis yang
berujung kepada otoritarianisme 56 bahkan radikalisme dalam interpretasi al-Qur’an maupun Hadis, kebanyakan terjadi karena
pendekatan yang digunakan bersifat ahistoris. Jadi, teks dipaksa untuk tunduk kepada ideologi penafsir dengan mengabaikan aspek historis teks tersebut, sehingga dampak yang ditimbulkan adalah bias penafsir
yang menggantikan teks. 57
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/1101/1184_umm_scientif
ic_journal.pdf.(diakss pada 18 Mei 2013). 55 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontempor, 178.
56 Otoritarianisme yang dimaksud oleh Abou el-Fadl adalah tindakan dari orang-orang yang menggunakan simbolisme dari komunitas interpretasi hukum
tertentu untuk mendukung argumen mereka. Singkatnya, mereka menggunakan seperangkat bentuk-bentuk simbolis yang mengebiri otoritas budaya hukum demi melayani kepentingan si pelaku. Lihat Khaled Abou el-Fad{l, Atas Nama Tuhan, penerjemah R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 160.
57 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, penerjemah R. Cecep Lukman Yasmin, 154 dan Hujair Sanaky, ‚Gagagasan Khaled Abou Fadl tentang Problem
Otoritarianisme Tafsir Agama,‛ al-Mawarid , edisi XVI (2005): 234.
Abou el-Fadl, menggunakan metode hermeneutika yang biasa disebut ‚hermeneutika otoritatif.‛ Hermeneutika yang ditawarkan Abou el-Fadl ini adalah suatu pendekatan yang berfungsi sebagai media ‚negosiasi‛ antara komponen teks, pengarang, dan pembaca dalam menentukan kompetensi otentisitas teks, penentuan makna dinamis teks, dan komitmen moral pembaca dalam memahami maksud teks. Karena menurut analisis Abou El Fadl, fenomena dalam pemikiran Islam, merupakan akibat dari kesalahan dalam menempuh prosedur metodologis yang terkait dengan relasi antara ketiga unsur;
pengarang, teks, dan pembaca. 58 Lebih lanjut mengenai otoriarianisme, menurut Khaled,
permasalahan utama terletak dalam aspek pembaca. Yakni, ketika pembaca tengah meneliti sebuah teks. Maka kemungkinannya hanya dua: pertama, pihak pembaca menyatu dengan teks tersbut, kedua, ia menjadikan teks bersifat ekslusif. Dan dalam proses kedua, teks
tunduk pada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Oleh karena itu, seorang pembaca yang mengunci teks dalam
sebuah makna tertentu, berarti ia telah merusak integritas pengarang dan teks itu sendiri. 59 Hal senada juga dikatan oleh Hilman Latief.
Menurutnya, proses pembacaan atau intepretasi yang dilakukan oleh pembaca memiliki peran penting. Karena memahami konteks pembaca juga merupakan bagian dari proses kontekstualisasi. Dan lebih dari itu, produk interpretasi, sangat tergantung dengan temporalitas sang pembaca atau penafsir. Maka, dalam menafsirkan sebuah teks, aspek historis yang melatarbelakangi teks tidaklah cukup. Melainkan dibutuhkan pula aspek pembacanya. Maka, jika ada yang mengatakan ‚saya (individu, kelompok, organisasi, institusi), mengerti benar akan apa yang dimaksud oleh pengarang,‛ hal tersebut sudah mengarah
58 Bandingkan dengan M. Hadi Masruri, ‚Otoritarianisme dalam Beragama: Pembacaan Hermenuetik Atas Jurisprudensi Islam Ala Khaled Abou el-
Fadl,‛ Harmoni vol. IX, no. 36 ( Oktober-Desember 2010): 28-29, 141 59 Bandingkan dengan Nasrullah, ‚Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou
El Fadl: Metode Kritik Atas Penafsiran Otoritarianisme Dalam Pemikiran Islam,‛ Jurnal Hunafa vol. 5, no. 2 (Agustus 2008): 143, dan Rendra Khaldun,
‚Hermeneutika Khaled Abou El Fadl : Sebuah Upaya untuk Menemukan Makna Petunjuk Kehendak Tuhan Dalam Teks Agama,‛ Jurnal Edu-Islamika vol. 3, no.1 (Maret 2012): 116.
kepada interpretative despotism, baik kata-kata tersebut dikatakan secara implisit ataupun eksplisit. 60
Demi membuktikan pernyataannya tersebut, Abou el-Fadl menjadikan fatwa-fatwa juga pemikiran Wahabi sebagai obyek penelitiannya. Hal itu ia lakukan karena gerakan Wahabi menjadi mazhab yang dominan di dunia Islam dewasa ini. Ditambah lagi, produk intelektual para ahli hukum dari mazhab tersebut melambangkan bentuk otoritarianisme interpretatif. Yakni, gerakan Wahabi ini, mengambil jalan pintas dalam penetapan hukumnya dengan dalih, kembali kepada al-Qur’an dan sunah secara tekstual. Sehingga metode mereka sangat selektif, tidak sistematis dan oportunis. Yang lebih parah lagi adalah klaim kebenaran mereka dengan anggapan bahwa hukum mereka yang pasti dan absolut, sebagai kesimpulan hukum yang ‚dikehendaki‛ oleh Tuhan. Oleh karena itu, menurut Abou el-Fadl, jargon tersebut semestinya dikembaikan kepada 61 asba>b nuzu>l dan asba>b wuru>d.
Lebih lanjut mengenai diskurkus otoritarian, menurut Abou el- Fadl, diperlukan tiga perkara untuk mengatasinya; pertama, masalah kompetensi (otentisitas). Yakni, bagaimana menggandeng sumber- sumber yang otoritatif, yang benar-benar memeiliki wewenang dengan bersumber dari Allah. Dan dengan landasan iman, Abou el-Fadl tidak mempermasalahkan keotentikan al-Qur’an. Ia percaya bahwa al- Qur’an memang berasal dari Allah, begitu juga Sunnah. Kedua, penetapan makna. Yakni, bagaimana ketiga komponen inti, pengarang- teks-pembaca memainkan perannya masing-masing secara seimbang, atau yang ia istilahkan dengan hermeneutika berbasis negosiasi antara ketiga unsur triadik di atas. Maka, tidak ada yang tumpang tindih antara satu sama lain. Karena dominasi salah satu aspek menjadikan suatu interpretasi otoriter. Ketiga, berkaitan dengan ‚perwakilan Tuhan‛ di dalam penetapan makna. Karena dalam Islam, kedaulatan secara mutlak hanya milik Allah. Namun, hal tersebut tidak berarti
60 Lihat Hilman Latief, ‛Kritisisme Tekstual dan Relasi Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks al-Qur’an‛ dalam Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya
(Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), 99-100 dan Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, xii
61 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, 144, M. Hadi Masruri, ‚Otoritarianisme dalam Beragama: Pembacaan Hermenuetik Atas Jurisprudensi
Islam Ala Khaled Abou el-Fadl,‛ Harmoni vol. IX, no 36 (Oktober-Desember 2010): 28-29 dan Hujair Sanaky, ‚Gagagasan Khaled Abou el-Fadl tentang Problem Otoritarianisme Tafsir Agama,‛ al-Mawarid , edisi XVI (2005): 230.
bahwa manusia tidak memiliki wewenang sedikit pun di dalamnya. Karena masusia diciptakan untuk menjadi khalifah di Bumi ini. Akan tetapi, masih menurut Khaled, wewenang tersebut memiliki beberapa syarat di dalamnya. Pertama, jujur ( honesty), dalam memahami perintah Tuhan; kedua, kesungguhan (diligence) dengan dipastikan telah mengerahkan segenap kemampuan rasionalnya (ijtihad) dalam memahami
kemenyeluruhan (comprehensiveness) dengan dipastikan telah melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk memahami kehendak Tuhan; keempat, rasionalitas (rasionality) dengan dipastikan telah melakukan upaya pemahaman dan penafsiran terhadap perintah Tuhan secara rasional; dan kelima, pengendalian diri (self-restraint) dengan dipastikan upaya yang dilakukan dalam memahami dilandaskan pada sikap batin dengan dasar rendah hati dan pengendalian diri, tidak bersikap emosional
dalam menjelaskan kehendak Tuhan. 62 Berdasarkan uraian di atas, metode yang dipaparkan oleh
Rahman dan Abou el-Fadl termasuk dalam kelompok yang berorientasi kepada penyeimbangan antara teks-konteks-kontekstualisasi, atau disebut juga dengan penafsiran historis dan penafsiran substansialistik. Hal ini mereka lakukan karena ketiga unsur tersebut, mempengaruhi ideologisasi dalam penafsiran. Adapun kelompok yang menekankan pada aspek teks-kontekstualisasi, akan peneliti paparkan pada sub bab berikut ini.
C. DETERMINASI EMPIRIS: READER ORIENTED Mengutip apa yang dikatakan Khaled Abou el-Fadl, bahwa
pembacaan teks, jika hanya mengejar kenikmatan estetikanya saja, maka pembacaan yang ahistoris dinilai cukup. Tetapi, jika yang diinginkan adalah menganalisis petunjuk-petunjuk dan menarik implikasi normatif darinya, maka pembacaan teks yang diperlukan adalah yang bersifat historis. Dan semua mufassir, masih menurut Khaled, sepakat dengan ketiga hal triadik di atas, akan tetapi tidak semuanya dapat meyeimbangkan antara ketiga aspek tersebut. 63
Metodologi yang digagas oleh para penafsir kontemporer saat ini, menurut Ilham B. Saenong dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
62 Bandingkan dengan Nasrullah, ‚Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou El Fadl: Metode Kritik Atas Penafsiran Otoritarianisme Dalam Pemikiran Islam,‛
147 63 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, 191.
hermeneutika metodis, yang mana metode ini berangkat dari makna teks yang kurang lebih bersifat obyektif, kemudian menuju kepada realitas. Kedua, hermeneutika filosofis, yang berangkat dari realita terlebih dahulu, baru kemudian menuju ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dalam al-Qur’an. Dan representasi dari golongan pertama adalah Fazlur Rahman, sedangkan untuk golongan kedua, terlihat dalam hermeneutika yang bercorak pembebasan seperti H{assan H{anafi
dan Amina Wadud. 64 Bila diteliti lebih jauh, perbedaan ini sebenarnya berakar kepada
pemakaian aspek sosio-historis suatu ayat. Konteks ini, pada dasarnya tercermin dalam sabab nuzu>l. Bedanya, para penafsir klasik hanya melihatnya sebagai suatu riwayat, tanpa menggali lebih jauh apa yang ada di dalamnya. Dan hal ini lah yang kemudian dikembangkan oleh penafsir modern, dengan dipelopori oleh Fazlur Rahman dengan
gerakan neo modernisnya. 65 Sedangkan mereka yang lebih mengedepankan aspek pembaca daripada aspek sosio-historis suatu
ayat, dinilai membawa cara pandang yang hyper reality. Dan pandangan hyper reality ini, meminjam bahasa Faiz, akan terjebak pada cara berpikir determinisme empiris (pandangan yang terbatas
pada realita). 66 Dan dalam sub bab ini, peneliti akan membahas mengenai kelompok para heremeneut yang mengedepankan aspek
realita sehingga mengalahkan aspek sosio-historis turunnya ayat. Di antara ciri-cirinya adalah penggunaan heremeneutika bercorak pembebesan seperti H{assan H{anafi>.
Berbicara mengenai hermeneutika pembebasan milik H{anafi>, menurut Ilham adalah perpaduan antara hermeneutika metodis dan filosofis. Namun, pada akhirnya, metodenya tersebut cenderung lebih berpihak kepada hermeneutika filosofis. Oleh karena itu, implikasi dari hal ini adalah penafsiran yang berpihak kepada problematika
64 Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan (Jakarta: Teraju, 2002), 94- 95.
65 Bandingkan dengan Abdullah Saeed, ‚Trends in Contemporary Islam: A Preliminary Attempt at a Classification,‛ The Muslim World vol. 97 (Juli 2007): 402,
http://suraj.lums.edu.pk/-ss182/common/Trends_in_Contemporary_Islam.pdf (diakses pada 21 Agustus 2013) dan ‚Jalan Hidup Sang Pembaharu,‛ Republika, 14 Januari
2013, http://www.republika.co.id/berita/dunia- islam/khazanah/13/01/14/mglaeo-jalan-hidup-sang-pembaru-1Fazlur
Rahman, penyunting Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam Fazlur Rahman, 21.
66 Bandingkan dengan Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, 62-63.
kontemporer tanpa harus terikat dengan aturan metodis. Selain itu, hermeneutika yang bercorak filosofis, cenderung menolak pernyataan bahwa penafsiran adalah untuk menemukan makna obyektif. Karena menurut mereka, makna obyektif hanya bisa didapat dalam hal teoritik
saja. 67 Lebih jelasnya mengenai hermeneutika pembebasan H{anafi>,
karyanya tersebut bisa dibilang mendapat banyak muatan dari luar, karena selain metode klasik ia juga banyak menambahkan metode kontemporer seperti hermeneutika fenomenologi dan Marxisme. Adapun metode klasik, yaitu metode us{u>l fiqh, seperti na>sikh wa mansu>kh, asba>b nuzu>l dan mas}lah}ah} mursalah. Sedangkan dalam metode kontemporer, H{anafi> menggandeng hermeneutika filosofis ala Gadamer, yang berimbas kepada pemahaman bahwa penafsiran teks
tidak mungkin terbebas dari subyektivitas penafsir. 68 Hermeneutika H{anafi>, selain diperkaya dengan hermeneneutika
filosofis, juga dilengkapi dengan konstribusi fenomenologi. Darinya H{anafi> menggandeng pemahaman bahwa pengetahuan yang didapat
tidak boleh berasal dari keragu-raguan, akan tetapi harus dibangun atas dasar kesadaran akan realitas. Pemikiran lain yang ikut mempengaruhi adalah Marxisme. Berkat pemikiran ini, H{anafi> memulai kecurigaannya terhadap klaim hermeneutika obyketif, yang dibelakangnya mungkin saja bersembunyi kepentingan kelas tertentu. Metode-metode di atas, turut mewarnai pemikiran H{anafi. Yang mana
67 Bandingkan dengan Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 110 dan Mohammad Hipni, ‚Hermeneutika: Seni Memahami Teks al-Qur’an (sebuah
studi kritis),‛ Religia vol. 14, no 1 (April 2011): 18, http://e-journal.stain- pekalongan.ac.id/index.php/.../30/30.(diakses pada 21 Agustus 2013).
68 Pada dasarnya, hermeneutika pembebasan H{anafi> adalah hasil dari jerih payahnya dalam mengembangkan tradisi masa lalu. Hal itu ia lakukan dengan
menggandeng metode-metode modern tanpa meninggalkan apa yang telah diwarisi oleh ulama terdahulu. Lihat H{assan H{anafi>, Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis, penerjemah Miftah Faqih (Yogyakarta: LkiS, 2003), 102-124, H{assan
H{anafi>, Dira>sat al-Falsafaiyah (Beirut: Da>r al-Tanwi>r, 1995), 265, ‚New Release: Hassan Hanafi tackles the Arab world's post-uprising reality,‛ Ahramonline,
2012, http://english.ahram.org.eg/NewsContentPrint/18/0/47564/Books/0/New-Release- Hassan-Hanafi-tackles-the-Arab-worlds-.aspx (diakses pada 21 Agustus 2013) dan ‚Hanafi to speak on future of religious thought in Egypt Tuesday
14 Juli
,‛ Ahramonline, 25 Februari 2013 http://english.ahram.org.eg/NewsContentPrint/18/0/65530/Books/0/Hanafi-to-speak- on-future-of-religious-thought-in-.aspx (diakses pada 21 Agustus 2013).
di satu sisi, memperkaya heremeneutika pembebasannya, namun di sisi lain metode tersebut membuat kontradiksi metodologis yang tidak ia
sadari. 69 Berdasarkan hal tersebut, bisa dikatakan bahwa konteks sosial
teks menjadi terpinggirkan. Menurut Ilham, H{anafi> mengaku bahwa metode hermeneutikanya tidak lepas dari konteks sosial teks, karena ia memahami bahwa hermeneutika adalah suatu produk pemikiran yang tidak mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk apa ia dibangun. Akan tetapi, sisi historis di sini, tidak seperti pemahaman para penafsir lainnya, karena yang dimaksud adalah historisitas penafsir. Pendek kata, ia lebih dekat kepada pembaca. Ditambah lagi, sebuah penafsiran menurutnya adalah kegiatan produktif dan bukan hanya reproduksi makna. Tugasnya adalah untuk menemukan dimensi- dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan, bahkan oleh makna awalnya. Hal ini karena makna awal menurutnya tidak
akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks eksistensialnya. Maka, makna awal tersebut, sekalipun ditemukan hanya bertugas
untuk merefleksikan adanya kegiatan antara teks dan realita. 70
69 H{anafi dinilai sebagai intelektual kontemporer yang dapat memadukan antara tradisi Islam dan modernisasi. Hal tersebut kemudian ia tuangkan ke dalam
karyanya al-tajdi>d wa al-thawrah. Oleh karena itu, ia banyak menggunakan rasio dan pendekatan-pendekatan modern. Dan karena usahanya untuk menyerasikan antara Islam dan modernitas, pemikiran H{anafi> ini kemudian disebut-sebut sebagai tipologi reformistik. Lihat Nashrullah Aghajani, ‚The Criticism and Investigation of Historical and Civilied Approach of Hassan Hanafi to Islam and Islamic Heritage,‛ History of Islam vol. 10, no 40 (2010), http://www.cuprimedia.com/home/iranian- journal-article/criticism-and-investigation-historical-and-civilized-approach-hassan- hanafi (diakses pada 23 Agustus 2013), Luthfi Assyaukanie, ‚Tipologi dan Wacana Pemikiran
Arab Kontemporer,‛ Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab1.html (diakses pada 23 Agustus 2013). dan Massimo Companini, ‚Hassan H{anafi>‛ Encyclopedia.com (2006), http://www.encyclopedia.com/topic/Hassan_Hanafi.aspx (diakses pada 21 Agustus 2013).
70 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 110. Menurut Nashrullah Aghajani, Hassan H{anafi> percaya bahwa setiap interpretasi adalah produksi
zamannya. Oleh karena itu, ia mengguanakan pendekatan historis dalam penelitian- penelitiannya. Lihat Nashrullah Aghajani, ‚The Criticism and Investigation of Historical and Civilied Approach of Hassan Hanafi to Islam and Islamic Heritage,‛ History of Islam vol. 10, no 40 (2010), http://www.cuprimedia.com/home/iranian- journal-article/criticism-and-investigation-historical-and-civilized-approach-hassan- hanafi (diakses pada 23 Agustus 2013), lihat juga Eliane ettmueller, ‚The Conceptualization of Progress and Reform :an Interview with Hassan Hanafi Hassanien,‛ Religion, Reform and Progress : Critical Voices from Egypt (Konrad-
Menurut uraian di atas, terlihat adanya kontradiksi dalam pemakain sabab nuzu>l, dengan sisi praksis dalam hermeneutika pembebasan ini. Karena penggunaan sabab nuzu>l adalah untuk menjadi pegangan dalam menafsirkan suatu ayat, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai, apakah yang dijadikan tolak ukur sisi khusus dari sabab nuzu>l ataukah sisi umumnya. Namun, hal tersebut berbeda dengan apa yang H{anafi> ambil. Menurutnya, sabab nuzu>l dugunakan untuk menunjukkan supremasi realitas dan makna awal, bukanlah tolok ukur dalam penafsiran. Hal itu, menurut H{anafi>, menunjukkan bahwa manusia sanggup memahami realitas dengan fitrahnya dan secara bersama-sama disepakati oleh masyarakat sebagai kepentingan
bersama. 71 Menurut Ilham, untuk menjawab hal tersebut perlu diperhatikan
masalah orisinalitas dari metode tersebut. Menurutnya, meskipun H{anafi> mengaku menggunakan landasan
us}u>l fiqh, namun hermeneutikanya justru berkembang mengikuti arus fenomenologi,
Marxisme dan hermeneutika filiosofis. Jadi, landasan heremeneutika pembebasan H{anafi, berpijak pada ketiga metode di atas. Sedangkan landasan us}u>l fiqh, seperti sabab nuzu>l, na>sikh mansu>kh hanyalah
peran pendukung dan selaput tipis di atasnya. 72 Maka dengan ini, dapat dibuktikan bahwa hermeneutika pembebasan H{anafi, bergerak
kian maju ke arah praksis. Termasuk dalam kelompok ketiga ini, adalah Muh}ammad Shah}ru>r. Dalam menggunakan hermeneutikanya, ia menggunakan
Adenauer-Stiftung, 2008), 6-7, http://www.kas.de/wf/doc/kas_14769-544-1-30.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).
71 H{assan H{anafi, Dira>sa>t Falsafiyah, 262, 263 dan Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 121
72 Lebih jauh lagi, pemikiran H{anafi> ini dinilai sebagai segi tiga emas karena memadukan ketiga unsur dari tradisi klasik, tradisi Barat dan kekinian. Namun,
menurut Ilham tradisi Barat nampaknya mendominasi pemikirannya. Lihat H{assan H{anafi, Dira>sa>t Falsafiyah, 285, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 164, Nashrullah Aghajani, ‚The Criticism and Investigation of Historical and Civilied Approach of Hassan Hanafi to Islam and Islamic Heritage,‛ History of Islam vol. 10, no 40 (2010), http://www.cuprimedia.com/home/iranian-journal-article/criticism- and-investigation-historical-and-civilized-approach-hassan-hanafi (diakses pada 23 Agustus 2013) dan Aries Musnandar, ‚ Menyimak Pemikiran Keislaman H{assan H{anafi,‛
12 Oktober 2011, http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2696 :rekonstruksiteologi-menyimak-pemikiran-keislaman-hassan-hanafi- 2&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 (diakses pada 24 Agustus 2013).
Universitas
Islam
Negeri
Malang, Malang,
akal dan realitas. 73 Keakrabannya dengan present context daripada historical
context juga diakui oleh M. Thohar al-Abza dalam kajiannya mengenai hermeneutika Shah}ru>r. Ia menyimpulkan bahwa kecenderungan para penafsir yang seperti itu, biasanya berpegang pada sifat universalitas al-Qur’an, sama seperti mayoritas ulama pada umumnya. Akan tetapi
pemahaman mereka tersebut berbeda, karena yang dimaksud dengan universalitas tersebut adalah teks al-Qur’an bisa berdiri sendiri, tanpa dibantu dengan melihat historical context pada masa lalu. Karena jika tidak, maka al-Qur’an tidak lagi bersifat universal, lantaran masih
terikat dengan masa di mana al-Qur’an itu turun. 74 Lebih lanjut mengenai hermeneutika Sharu>r ini, ia membagi
term al-Qur’an—yakni ‚al-Qur’an‛ dalam pengertian mayoritas ulama—menjadi dua; al-Kita>b dan al-Qur’a>n. Yang pertama (al-Kita>b) adalah sekumpulan tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad beserta kandungannya. Selanjutnya al-Kita>b ini kemudian dibagi lagi menjadi dua; al-Kita>b al-Risa>lah dan al-Kita>b al-Nubuwwah. Adapun al-Nubuwwah ini, yang nantinya akan menjadi ‚Al-Qur’an‛ dalam definisi Shah}ru>r (pembagian kedua dari term al-Kita>b), yang berarti ayat-ayat mutasha>biha>t (dalam definisi Shah}ru>r adalah ayat-ayat non hukum, dan juga ayat-ayat saintifik). Sedangkan al-Risa>lah, berisikan ayat-ayat 75 muh}kama>t, yakni ayat-ayat hukum dalam definisi Shah}ru>r.
73 Abdul Mustakim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 131, Sahiron Syamsudin dan David Vishanof, ‚Quranic Hermeneutic,‛ UIN Sunan Kalijaga ,
2013, http://faculty-staff.ou.edu/V/David.R.Vishanoff-1/Hermeneutics/index.htm (diakses pada 14 Juli 2013) 74 M. Thohar al-Abza, ‚Kritik Muhammad Shah}ru>r dalam Penafsiran al- Qur’an,‛ Journal of Quran and Hadith Studies vol. 1, no. 1 (2011), 41-42. 75 Lihat Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah
(Damaskus: al-Aha>li>, tt), 35 Loay Mudhoon, ‚The Reformist Islamic Thinker
Akibat dari pembagian ini, adalah diterapkannya metode yang berbeda secara ketat, sesuai dengan keadaan setiap definisi tersebut. Dan metode tersebut adalah metode takwil dan metode ijtihad. Metode ijtihad adalah metode yang dipakai untuk al-kita>b al-risa>lah. Al-risa>lah sebagaimana yang telah peneliti singgung di atas, menurut Shahru>r adalah kumpulan ayat-ayat muh}kama>t, atau ayat-ayat hukum. Maka dari itu, Sharu>r menggunakan metode ijtihad dengan pendekatan teori batas (teori h}udu>d), sebuah metode yang digunakan dalam memahami ayat-ayat hukum sesuai dengan konteks sosial masyarakat kontemporer. Dan metode ini, hanya digunakan dalam ayat-ayat yang memuat h}udu>dullah, dan bukan dalam al-sha’a>’ir yaitu yang berisikan tentang ibadah ritual, karena hal tersebut bersifat ta’abbudi>. Baginya, al-Qur’an hanya memuat batasan maksimal saja, sedangkan batasan minimal ditentukan setelah melihat kondisi sosial manusia yang sedang mengalami hal tersebut. Pendek kata, teori
76 h}udu>d ini hanya digunakan dalam ayat-ayat hukum.
Shah}ru>r dalam bukunya al-Kita>b wa al-Qur’a>n, memang mengatakan bahwa dalam al-risa>lah atau ayat-ayat hukum terdapat sabab nuzu>l. Kendati demikian, dengan adanya metode ijtihad dan pendekatan teori limit, aspek sosio-historis masa lalu tidak lagi menjadi parameter saat menafsirkan. Hal tersebut karena dalam teori
Muhammad Shahrur: In the Footsteps of Averroes,‛ Qantara. de, 14 September 2009,
http://en.qantara.de/In-the-Footsteps-of- Averroes/9511c9610i1p224/index.html (diakses pada 4 Agustus 2013) dan Halimah B, ‚Konsep H{udu>d Muh}ammad Shah}ru>r,‛ Al-Risalah vol. 1, no. 2 (Nopember 2010), 303,
http://www.uin-alauddin.ac.id/download-10.%20KONSEP%20BATAS%20- halimah%20175-192.pdf (diakses pada 14 Juli 2013).
76 Contonya adalah hukuman bagi orang yang mencuri yaitu potong tangan. Berbeda dengan mayoritas ulama, menurut Shah}ru>r hukuman tersebut adalah batas
maksimalnya. Sedangkan batas minimal baru bisa ditentukan setelah melihat kondisi manusia saat itu. Dan hal itu bisa saja berupa vonis penjara, membayar denda dan sebagainya. Lihat Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah,
453, Andreas Christmann, ‚Normative Islam versus Historical Islam: a Critical Distinction for Our Times and the Modern Epistemological Tools that Make it Possible,‛ Report Of The International Symposiumon: Social, Ethical,Political and Policy Implications ofInterpretations of Islam’s FoundationalText: The Qur’an (New York:
World, 2011), 16, http://islamuswest.org/publications_islam_and_the_West/INTERPRETATIONS-of- the-Quran/ (diakses padaa 30 Juli 2013) dan Nyak Arif Fadillah, ‚Alquran Sebagai Sumber Hukum Syariah,‛
Jurnal Mentari vol. 11, no 2 (2008), http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php/mentari/article/view/24 (diakses pada 14 Juli 2013).
limit terdapat aspek istiqa>mah yang bersifat tetap dan konstan, dan aspek h}ani>fiyah yang keluwesan dan perubahan. Oleh karena itu, jika hukum-hukum yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan representasi dari aspek istiqa>mah, maka realita saat ini adalah representasi dari aspek h}ani>fiyah yang memberikan umat Islam keluwesan dalam menjalankan syariat. 77
Teori h}udu>d milik Shah}ru>r ini berbeda dengan teori h}udu>d dalam tradisi klasik. Karena dalam tradisi klasik, teori h}udu>d bersifat tetap, rigid dan tidak bisa dirubah, sedangkan dalam metode Shah}ru>r, teori h}udu>d bersifat dinamis dan fleksibel. Meskipun ayat-ayat hudu>d tersebut dipandang sebagai qat}’iyyuddila>lah, yakni yang tidak bisa dirubah dalam tradisi klasik, namun menurut Shah}ru>r hal tersebut mungkin dilakukan, dengan bertolak dari pemahamannya terhadap definisi istiqa>mah dan h}ani>fiyah. Pendek kata, aspek istiqa>mah adalah representasi dari teori
h{udu>d, sedangkan h}ani>fiyah adalah representasi dari putaran zaman dan tempat-tempat yang berubah. Jadi, hubungan
dari keduanya adalah, manusia bergerak dalam ruang h}ani>fiyah, namun tetap berada dalam batas-batas 78 istiqa>mah.
Adapun tolok ukur yang digunakan adalah kondisi sosial masyarakat kontemporer saat itu dan bukan situasi pada saat ayat
turun. Hal ini berbeda dengan mayoritas penafsir 79 yang menjadikan
77 Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah, 452-453 dan The Qur"an, Muh}ammad Shah}ru>r, Morality and Critical Reason: The Essential
Muhammad Shahrur , penerjemah Andreas Christmann (Leiden: Brill, 2009), 178- 179.
78 Lihat ringkasan simposium internasional yang diselenggarakan oleh Center for Dialogues: Islamic World—U.S.—theWest, Social, Ethical, Political, And
Policy Implications Of Interpretations Of Islam’s Foundational Text: The Qur’an (New York: Center for Dialogues: Islamic World, 2011), 16, http://islamuswest.org/publications_islam_and_the_West/INTERPRETATIONS-of- the-Quran/ (diakses padaa 30 Juli 2013) dan Abdul Mustakim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 196-197.
79 Dalam isu-isu hermeneutika dan ‘ulu>m al-Qur’a>n, penerimaan teori sabab nuzu>l oleh para penafsir bisa dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah
penafsir yang menolak teori ini. Di antara alasannya adalah bahwa teori sabab nuzu>l hanya memperkecil lingkup suatu ayat, karena teori tersebut hanya membahas apa yang terjadi pada masa lalu, yang tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi pada masa kini. Oleh karena itu, kelompok ini menggunakan pendekatan bahasa dan korelasi antar ayat. Di antara mereka adalah Muh}ammad Shah}ru>r. Adapun kelompok kedua, adalah penafsir yang menerima teori ini. Dan kelompok kedua ini dibagi menjadi dua golongan. Pertama, mereka yang mengikuti tradisi penafsir klasik. Sedangkan kedua, mereka yang disebut penafisr modern. Perbedaan di antara penafsir yang menolak teori ini. Di antara alasannya adalah bahwa teori sabab nuzu>l hanya memperkecil lingkup suatu ayat, karena teori tersebut hanya membahas apa yang terjadi pada masa lalu, yang tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi pada masa kini. Oleh karena itu, kelompok ini menggunakan pendekatan bahasa dan korelasi antar ayat. Di antara mereka adalah Muh}ammad Shah}ru>r. Adapun kelompok kedua, adalah penafsir yang menerima teori ini. Dan kelompok kedua ini dibagi menjadi dua golongan. Pertama, mereka yang mengikuti tradisi penafsir klasik. Sedangkan kedua, mereka yang disebut penafisr modern. Perbedaan di antara
realitas empiris. 80 Otonomi teks, yang merupakan solusi bagi Shah}ru>r, nampaknya
menjadi salah satu kelemahan penafsirannya. Karena penafsiran tanpa situasi historis didalamnya, akan menimbulkan pemaksaan atau takalluf saat menafsirkan, bahkan dengan memasukkan gagasan non- Qur’ani di dalamnya. Contohnya seperti dalam teori hudu>d tersebut, ia mendasarkan teori limit dengan dua aspek dalam al-Qur’an,
h}ani>fiyah dan istiqa>mah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ilham,
ditemukan bahwa Shah}ru>r mengambil ayat-ayat yang berkenaan dengan dua kata tersebut tanpa melihat siya>q al-kala>m di dalamnya,
sehingga ayat-ayat yang diambil kebanyakan bersifat teologis. 81 Contohnya dalam surat al-Fa>tih}ah{ (1):6. Siya>q al-kala>m dalam ayat
tersebut berada dalam aspek teologis, yaitu permintaan (doa) untuk meminta tawfi>q kepada Allah, agar selalu dipertemukan dengan jalan yang benar, begitu juga dengan ayat-ayat sebelumnya. Maka, kata mustaqi>m, diartikan sebagai jalan yang lurus, yakni yang mengikuti agama Allah. 82
Contoh lain juga datang dari surat al-An’a>m (6): 79. Menurut Sayyid T}ant}awi> dalam tafsirnya, ayat tersebut menceritakan apa yang
keduanya, adalah penggunaan teori tersebut, di mana penafsir modern memperluas penggunaan sabab nuzu>l dengan melihat kondisi sosio-historis dari suatu komunitas. Adapaun penafsir klasik, hanya menngunakannya dari segi riwayat. Lihat David.R.Vishanoff, ‚Hermeneutical Issues in Ulum al-Qur’an,‛ dalam Classical Qur'anic
2013, http://faculty- staff.ou.edu/V/David.R.Vishanoff-1/, 2013, Hermeneutics/Classical.html (diakses pada 4 Agustus 2013). 80 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Sturkturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer ‚ala‛ Shah}ru>r (Jogjakarta: ELSAQ Press, 2007), 169. 81 Lihat Abdul Mustakim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, dan M. Latif Fauzi, ‚Pendekatan Linguistik dan Sastra dalam Tafsir,‛ Mukaddimah vol. 19, no. 1, (2013): 121.
82 Lihat Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m (Kairo: Da>r al-A<tha>r, 2009), vol. 3, 288 82 Lihat Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m (Kairo: Da>r al-A<tha>r, 2009), vol. 3, 288
dan jauh dari agama yang 83 ba>t}il. Selain ayat-ayat tersebut, ada juga
84 Q.S. al-S{affa>t (37): 118 85 dan al-Ru>m (30):30. Dan semuanya itu menunjukkan makna yang sama, yakni jalan yang lurus atau agama
yang haq, yang berasal dari Allah. Jika diteliti lewat kamus-kamus bahasa Arab, juga disebutkan bahwa arti kata h}ani>fa>, adalah mengikuti agama nabi Ibrahim, yakni agama yang haq dan belum terdapat campur tangan manusia seperti agama yang telah lalu. Hal tersebut dikatakan oleh Ibn Manz}u>r dalam
Lisa>n al-‘Arab, 86 juga oleh Ra>ghib al-As}faha>ni> dalam Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n. 87
Kelemahan lainnya dalam teori limit ini, adalah tidak adanya tolok ukur dalam menentukan batasan teori tersebut selain redefinisi
h}anifiyah dan istiqa>mah. Ditambah lagi, redefenisi tersebut sudah
83 Lihat Sayyid T}ant}a>wi>, Tafsi>r al-Wasi>t, vol. 1, 1487 84 Adapun ayat yang dimaksud adalah:
Artinya: ‚Dan kami tunjukkan keduanya jalan yang lurus.‛ Ayat tersebut menceritakan kisah Nabi Musa dan Harun yang telah
diberikan berbagai nikmat, diantaranya adalah kemenangan melawan orang-orang zalim yaitu Fir’aun dan kaumnya yang diberikan hidayah dan tawfik-Nya. Maka, arti dari istiqa>mah di sini sama dengan yang ada dalam surat al-Fa>tihah. Lihat Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 7, 26.
‚Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah.‛ Q.S. al- Ru>m (30):30 Ayat di atas adalah tasliyah atau hiburan bagi Nabi Muhammad agar tidak terlarut dalam kesedihan jika ada kaumnya yang masih belum beriman. Oleh karenanya Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk tetap teguh dalam memegang syariat-Nya. Maka, kata h}ani>fa disini berarti agama Allah. Lihat Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol.6, 313
86 Ibn Maz}u>r, Lisa>n al-‘arab (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), vol. 9, 56 87 Al-As}faha>ni>, Mufrada>t Ghari>b al-Qur’a>n (Kairo: al-Maktabah al-
Tawfi>qiyyah, 2003), vol. 1, 33 Tawfi>qiyyah, 2003), vol. 1, 33
Hal lainnya yang perlu diperhatikan, adalah kecenderungannya terhadap aspek realitas dalam teori limit ini. Yaitu dengan memasukkan teori matematika dalam penafsirannya, serta kutipan yang sering ditunjukan kepada Isac Newton. Hal ini nampaknya biasa, namun jika rujukan tersebut mengalahkan konteks internal dalam ayat tersebut, menjadi suatu yang tidak biasa. Implikasi dari hal ini, akan terlihat corak matematis di dalamnya sekaligus munculnya istilah- istilah yang bersifat matematis seperti al-h}ad al-adna, al-h}ad al-a’la, dll, yang kesemuanya itu berjumlah enam kategori. Meskipun hal tersebut adalah sesuatu yang baru dan patut diberikan apresiasi, namun aspek linguistik terlalu mendominasi. Sehingga Shah}ru>r terjebak kepada subyektifitasnya sendiri. 89
Contohnya saat menafsirkan ayat tentang aurat wanita dalam Q.S al-Nu>r (24): 31. Menurut Shah}ru>r, kata juyu>b berasal dari kata
jayaba seperti dalam kata jabtu al-qamis}a yakni aku melubangi saku baju. Maka, juyu>b adalah apa yang berlubang dan berlekuk dalam tubuh wanita seperti lubang di antara dua payudara, bagian bawah payudara dan di bawah dua ketiak, kemaluan dan bokong. Dan implikasi dari penafsiran ini, ada dua perhiasan dalam tubuh wanita, yang zahir dan tersembunyi. Adapun yang zahir adalah yang biasa terlihat yaitu, muka, telapak tangan dan kaki. Sedangkan yang tersembunyi seperti apa yang dimaksud dengan juyu>b menurut Shah}ru>r. Dengan kata lain, al-h}ad al-a’la adalah seluruh bagian tubuh wanita kecali muka, telapak tangan, sedangkan al-h}ad al-adna> adalah
88 Sahiron Syamsudin dan David Vishanof, ‚Quranic Hermeneutic,‛ UIN Sunan
http://faculty-staff.ou.edu/V/David.R.Vishanoff- 1/Hermeneutics/index.htm (diakses pada 14 Juli 2013).
Kalijaga,
89 Dalam mengembangkan teori limit maupun teori ta’wi>l, Shah}ru>r menggunakan setidaknya dua acuan utama. Pertama, redefenisi al-kita>b menjadi al-
risa>lah dan al-nubuwwah. Yang kedua adalah ilmu-ilmu eksakta terutama matematika dan fisika. Yang kedua ini, ia lakukan sebagai bukti bahwa tidak ada
pertentangan antara wahyu dan realitas. Lihat Nyak Arif Fadillah, ‚al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Syariah,‛ Jurnal Mentari vol. 11, no 2 (2008), http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php/mentari/article/view/24 (diakses pada 30 Juli 2013) dan Muhammad In’am Esha, ‚Pemikiran Muhammad Shahrur tentang Relasi Filsafat Bahasa dan Modernitas,‛
Lingua vol. 6, no. 3 (Desember 2011),http://www.jurnallingua.com/edisi-2011/16-volume-6-nomor-1-april-
2011/143-pemikiran-muhammad-shahrur-tentang-relasi-filsafat-bahasa-dan-
modernitas.html(diakses pada 30 Juli 2013).
apa yang dimaksud dengan juyu>b. Oleh karena itu, implikasi dari pemahaman Shah}ru>r, wanita yang hanya menutup payudara dan kemaluannya dinilai sudah menutup aurat, karena telah termasuk
dalam batas minimal. Berdasarkan urain di atas, kecenderungan Shah}ru>r terhadap alam realita, menjadikannya enggan dalam menggunakan asba>b nuzu>l tatkala menafsirkan dan lebih mementingkan sisi linguistik serta saintifiknya. Menurutnya, jika al-Qur’an terikat dengan asba>b nuzu>l
itu berarti menghilangkan universalitas al-Qur’an. 91 Terlepas dari hal ini, meskipun Shah}ru>r enggan menggunakan konteks sosio-historis
dari suatu ayat, ia tetap menggunakannya disaat hal itu menguntungkannya. 92
Adapun mengenai keberpihakannya terhadap aspek linguistik suatu ayat, menurut Amal dan Panggabean, sebagaimana dikutip oleh Izza rahman, untuk menghindari subyektifitas penafsir memang
dibutuhkan konteks kesusatraan. Namun, hal tersebut harus disertai dengan konteks historis pada saat ayat al-Qur’an turun, agar titik temu
antara present context dan historical context dapat terlihat. Dan hal ini telah terlihat dalam penafsiran Shah}ru>r, seperti dalam permasalahan
jilbab yang telah dipaparkan di atas. 93 Namun, menurut penelitian M.
90 Lihat Muh}ammad Shah}ru>r, The Qur’a>n Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Shahrur , 196, M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq,
‚Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’an: Tinjaun terhadap Pemikiran Muhammad Shah}ru>r dalam ‚Bacaan Kontemporer,‛ dalam Islam Garda Depan,
ed. M. Aunul Abied Shah (Bandung: Mizan, 2001), 245-246, Halimah, ‚Konsep Hudud Muhammad Syahrur,‛
Al-Risalah |vol. 10, no. 2 (Nopember 2010), 316, dan M. Faishal Hamdani, Metode Hermeneutika Shahru>r (Jakarta: Gaung Persada, 2012), 237-239, (diakses pada 29 Juli 2013).
91 M. Thohar al-Abza, ‚Kritik Muhammahd Shah}ru>r terhadap Asba>b Nuzu>l dalam Penafsiran al-Qur’an,‛ Journal of Qur’a>n and Hadi>th Studies vol. 1, no. 1
(2011): 44-45. Alasan ini, dapat ditepis dengan adanya kaidah dalam ‘ulu>m al- Qur’a>n; al-‘ibrah bi> ‘umu>m al-lafz} dan al-‘ibrah bi> khus}u>s} al-sabab. Kedua teori ini, sekilas terlihat bertentangan. Namun jika diteliti lebih lanjut, keduanya melahirkan out put yang tidak jauh berbeda, meskipun jalan yang digunakan tidak sama. Lihat Qas}abi> Mahmu>d Zalat}, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Dubai: Da>r al-Qalam, 1987), 78.
92 Misalanya saat menafsirkan hukum potong tangan dan pembagian warisan. Lihat Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’an, 455-456 dan M. Thohar
al-Abza, ‚Kritik Muhammahd Shah}ru>r terhadap Asba>b Nuzu>l dalam Penafsiran al- Qur’an,‛ Journal of Qur’a>n and Hadi>th Studies vol. 1, no. 1 (2011): 59.
93 Izza Rahman, ‚New Approaches in Interpreting the Qur’an,‛ Studi Islamika, vol. 14, no 2, (2007): 213.
Thohar al-Abza, tidak selamanya pendekatan linguistik semata mendatangkan kerancuan. Karena terkadang, penafsiran seperti itu
tidak berbeda dengan penafsiran ulama lain pada umumnya. 94 Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penafsiran yang menekankan hanya pada teks-kontekstualisasi, akan menyebabkan apa yang disebut oleh Faiz dengan hyper-relity atau kecenderungan untuk berpihak kepada realita saja tanpa melihat masa lalu . Hal ini, jika dalam ranah hermeneutika tentu akan berpengaruh pada tujuan awal suatu ayat tidak ditemukan. 95 Namun, menurut para
hermeneut yang meyakini bahwa tolok ukur dalam sebuah penafsiran adalah realitas empiris, hal tersebut adalah keharusan. Karena masa di mana teks lahir berbeda dengan masa di mana teks ditafsirkan. Maka, mengutip apa yang dikatakan Shah}ru>r, bahwa menggandeng aspek historis al-Qur’an tidak sesuai dengan universalitas al-Qur’an, karena
sejarah itu sendiri tidak bersifat universal. 96 Dengan kata lain kelompok ini memaknai bahwa semakin ahistoris sebuah penafsiran,
semakin membumi.
94 Thohar mencontohkannya dengan pembagian warisan dalam al-Qur’an. Ada sebuah teori khusus dalam ilmu pembagian warisan dalam Islam yang
mengatakan bahwa ‚laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.‛ Namun menurut para penafsir kontemporer seperti Abu> Zayd dan Shah}ru>r, hal tersebut tidaklah mutlak. Batas maksimal bagi laki-laki adalah 66,6%, sedangkan untuk perempuan 33,3%. Oleh karena itu, ada potensi bagi laki-laki maupun perempuan mendapatkan bagian yang sama. Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 602 dan M. Thohar al-Abza, ‚Kritik Muhammahd Shah}ru>r terhadap Asba>b Nuzu>l dalam Penafsiran al-Qur’an,‛ Journal of Qur’a>n and Hadi>th Studies vol. 1, no. 1, (2011): 44-45.
95 Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial , 63. 96 M. Thohar al-Abza, ‚Kritik Muhammahd Shah}ru>r terhadap Asba>b Nuzu>l
dalam Penafsiran al-Qur’an,‛ Journal of Qur’a>n and Hadi>th Studies vol. 1, no. 1, (2011), 45.