KONSEP KEDAULATAN MANUSIA DALAM TAFSIR FI> Z{ILA>L AL-QUR’A>N
A. KONSEP KEDAULATAN MANUSIA DALAM TAFSIR FI> Z{ILA>L AL-QUR’A>N
Sebagaimana yang telah peneliti kemukakan pada bab III, bahwa peneliti akan membahas konsep ja>hiliyah Qut}b dan kaitannya dengan h}a>kimiyah. Tujuan dari penelitian ini, selain untuk menjawab apakah konsep ja>hiliyah juga mengindikasikan kepada pengkafiran atau tidak? Penelitian ini juga untuk menganalisa bagaimana konsep ja>hiliyah diterapkan pada ayat-ayat h}a>kimiyah. Dan untuk mengetahui hal tersebut lebih lanjut, peneliti akan membahasnya pada sub bab ini lebih detil.
Kata ja>hiliyyah, berasal dari verba j-h-l. Verba tersebut, memiliki banyak arti seperti tidak mengetahui, tidak memiliki pengalaman dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperlukan. 191
190 Bandingkan dengan Muh}ammad Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, Kubra> al- Yaqi>niya>t (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1982), 117-118.
191 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘arab (Beirut: Da>r al-S{adr, tth), vol. 11, 129.
Adapun dalam al-Qur’an, mengutip apa yang dikatakan Ra>ghib al- As}faha>ni>, bahwa kata j-h-l dalam al-Qur’an memilki tiga arti; tidak mengetahui, meyakini sesuatu yang salah, dan terakhir mengerjakan sesuatu yang salah, meskipun hatinya mengetahui yang benar. Adapun kata j-h-l beserta derivasinya dalam al-Qur’an, menurut Ra>ghib paling sering digunakan sebagai celaan, seperti dalam ayat al-H{ujura>t (49):
6. 192 Adapun kata ja>hiliyah itu sendiri, terdapat dalam al-Qur’an
sebanyak empat tempat, berbeda dengan h}a>kimiyah yang hanya terdapat konsep dasarnya saja dalam al-Qur’an. Dan melihat penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bari mengenai konsep ja>hiliyah dalam al- Qur’an, bahwa keempat ayat tersebut mengindikasikan kepada ketidakpatuhan terhadap syariat dan lebih mengikuti hawa nafsu. Baik dalam segi sangkaan, kesombongan, melaksanakan ketetapan Allah,
dan dalam segi moral. 193 Namun, dalam penelitian ini peneliti tidak membahas kata ja>hiliyah secara h}arfiyah dalam al-Qur’an, tetapi lebih
melihatnya dalam segi konsep, dan hubungannya dengan konsep h}a>kimiyah dalam tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n.
Mengutip apa yang dikatakan oleh H{asan Hud{aybi> (pemimpin IM kedua, 1891-1973), bahwa term ja>hiliyah termasuk salah satu kata yang digunakan al-Qur’an maupun hadis. Dan arti dari kata tersebut adalah keluar dari aturan agama. Hanya saja, yang dimaksud dengan keluar dari aturan agama di sini tidak selalu bermakna murtad, karena murtad tidaknya seseorang dilihat dari alasan yang ia bangun, apakah karena ingkar atau karena alasan lain.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Q.S al-H{ujura>t (49): 6. Lihat: Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n (Kairo: al-Maktabah al- Tawfi>qiyyah, 2003),vol. 1, 33.
193 Pertama adalah 'Ali> ‘Imra>n (3):154, kedua al-Ma>’idah (5):50, ketiga al- Ah}za>b (33):33 dan keempat al-Fath} (48):26. Dan mengenai penafsiran Qut}b terhadap
ayat-ayat tersebut, telah diteliti oleh Abdul Bari. Lihat Abdul Bari, ‚Ja>hiliyyah dalam Alquran: Kajian atas Penafsiran Sayyid Qu ṭb dalam Tafsir Fi> Z{ila<l al-Qur’a>n,‛ Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , 2005
Oleh karena itu, kata ‚ja>hiliyah‛ dapat berarti keluar dari agama atau murtad dan bisa juga tidak. 194
Tidak jauh berbeda dengan H{asan Hud}aybi>, Salim Bahnasawi dan al-Qarad}a>wi> mengatakan bahwa kata ja>hiliyah tidak selalu
bermakna keluar dari Islam atau murtad. Lebih lanjut, dalam bukunya yang telah diterjemahkan, yaitu Butir-Butir Pemikiran Sayyid Qut}b, ia mengatakan bahwa kata jahiliyah tersebut dibagi menjadi dua, jahiliyah keyakinan atau kufr—yang berlandaskan atas ayat Q.S. al-
Ma>-idah (5): 50 195 —dan jahiliyah perbuatan atau maksiat, yang berlandaskan atas Q.S.al-Ahza>b (33): 33. 196 Adapun al-Qarad}a>wi> dalam
situs resminya mengatakan, bahwa kata ja>hiliyah bukanlah suatu masa sebelum Islam seperti yang banyak diartikan oleh masyarakat luas, melainkan suatu keadaan yang memiliki ciri tersendiri, di mana hal itu
didapat maka itu berarti masuk ke dalam lembah jahiliyah. 197 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata
jahiliyah, tidak hanya berarti suatu masa sebelum datangnya Islam, namun dapat diartikan dengan keluar dari agama. Dan yang dimaksud
dengan keluar dari agama di sini, bisa diartikan dengan keluar dari Islam atau murtad dan juga bisa tidak, tergantung dari alasan yang ia
Qud}a>t, 148, http://www.scribd.com/doc/54579618/%D8%AD%D8%B3%D9%86%D8%A7%D9 %84%D9%87%D8%B6%D9%8A%D8%A8%D9%8A%D8%AF%D8%B9%D8%A7 %D8%A9-%D9%84%D8%A7-%D9%82%D8%B6%D8%A7%D8%A9
H{asan
Hud}aybi>,
Du’a>t
la>
(diakses pada 13 April 2014). ) 195 50 ( َىىٌُِقىُي ٍمْىَقِل اًوْكُح ِ َّاللَّ َيِه ُيَسْحَأ ْيَهَو َىىُغْبَي ِتَّيِلِهاَجْلا َنْكُحَفَأ Artinya: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (al-Ma>’idah (5): 50
Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Q.S. al-Ahza>b (33): 33.
196 Salim Bahnasawi, Butir-Butir Pemikiran Sayyid Qut}b, penerjemah Abdul Hayy al-Kattani, Taqiyyuddin Muhammad dan Ahmad Ikhwani (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003),80. 197 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, ‚al-Mawdu>di> Mus}lih{an wa Da>’iyan li al-Taghyi>r,‛
Qaradawi.net, www.qaradawi.net/new/library2/295-2014-01-26-18-55-14/4052- (diakses pada 21 April 2014).
bangun. Dengan kata lain, kata jahiliyah tidak selamanya berarti keluar dari Islam. Namun, bagaimana dengan jahiliyah modern versi Qut}b? Sebagaimana yang telah peneliti sampaikan bahwa para peneliti berbeda pendapat dalam memandang jahiliyah modern Qut}b. Sebagian mereka mengatakan bahwa Qut}b telah mengkafirkan muslim lainnya dengan kata tersebut, dan sebagian lagi menolak pernyataan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti akan membahasnya lebih lanjut dalam sub bab berikut ini. Dan kasus penelitian ini adalah ayat-ayat yang berisikan konsep kedaulatan Tuhan, yang telah peneliti bahas dalam bab III. Hal ini dilakukan, karena definisi jahiliyah bagi Qut}b adalah penolakan untuk tunduk pada konsep kedaulatan Tuhan, baik dalam ranah keimanan, ibadah, hukum maupun perundang- undangan. Maka dengan penelitian ini, diharapkan pertanyaan mengenai, apakah konsep jahiliyah modern ini mengindikasikan kepada ekskomunikasi atau pengkafiran terhadap muslim lainnya atau
tidak, dapat terjawab. Jahiliyah bagi Qut}b, bukanlah suatu masa yang identik
dengan masa sebelum Islam. Namun jahiliyah, adalah suatu keadaan yang memiliki ciri khas tersendiri, di manapun dan kapanpun karakteristik itu ditemukan, maka keadaan tersebut berubah menjadi masa jahiliyah. Oleh karena itu, bagi Qut}b masa jahiliyah tidak berakhir pada masa lalu, namun dapat terwujud kapanpun dan dimanapun. Hal ini lah yang Qut}b jelaskan tatkala menafsirkan Q.S. al-Ma>idah (5): 50. 198
Selanjutnya, apakah karakteristik jahiliyah tersebut? Karakteristik dari jahiliyah modern ini bisa dikerucutkan menjadi tiga hal penting. Pertama, segala macam sistem yang tidak berdasarkan syariat Islam. Karena hal itu berarti menyerahkan kedaulatan Tuhan kepada manusia, baik dengan nama rakyat, partai atau negara sekalipun. Kedua, sistem komunis. Dan ketiga adalah para ahli kitab yang tidak beriman. Hal ini karena mereka telah merubah agama mereka sendiri karena dorongan hawa nafsu serta menolak apa yang dibawa Muh}ammad. Selain itu, kebencian mereka kepada Islam yang tidak pernah putus sehingga mereka menjadi dalang dari kemunduran Islam akhir-akhir ini. 199
198 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 904 199 Jon Armajani, Modern Islamist Movement (Oxford: John Wiley and
Sons, 2012), 59, James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual
(New
York:
Oxford
University
Press, 2013), 106,
Jika melihat apa yang ditafsirkan Qut}b, menurut peneliti tidak berseberangan dengan arti jahiliyah yang telah peneliti kemukakan. Hanya saja, kemudian Qut}b menganggap muslim yang berada dalam jahiliyah modern ini dengan keluar dari Islam (murtad) atau tidak? Maka untuk menjawabnya, peneliti akan menganalisa satu persatu dari ketiga ciri khas jahiliyah modern Qut}b dalam tafsirnya.
Adapun yang pertama, yakni segala sistem yang tidak berdasarkan syariat Islam, Qut}b, selain membangun konsep jahiliyah ini dengan konsep akidah ia juga menjadikan salah satu karakteristik Islam yakni shumu>l (komprehensif dan mencakup berbagai aspek) sebagai dasar. Namun yang sangat disayangkan, Qut}b mencampuradukkan masalah keyakinan dan perilaku, yang berujung kepada pengkafiran. Oleh karena itu, menurutnya, segala sistem yang tidak berdasarkan syariat Islam berarti jahiliyah, karena ia telah menyerahkan otoritas yang seharusnya dimiliki Tuhan kepada
manusia. Maka, tidak heran jika Qut}b sering mengkontraskan ‚buatan manusia‛ dengan ‚buatan Allah,‛ dan menyatakan bahwa mengikuti
sistem manusia ini berarti menyerahkan otoritas Tuhan kepada manusia. Tidak hanya itu, ia juga mengkontraskan leksikon Islam atau jahiliyah, iman atau kafir. Dan hal ini terlihat ketika ia menafsirkan
Q.S. al-Ma>idah (5): 50. 200 Lebih lanjut mengenai penafsrian Qut}b tersebut, bisa dilihat
dari struktur penafsiran Qut}b. Pasalnya, ia menjelaskan keterkaitan antara ja>hiliyah, syariat Allah dan status ‚musyrik‛ dari muslim yang tidak menjalankan syariat Allah dengan proporsi yang besar. Bahkan hal ini terus berlanjut sampai akhir ayat tersebut. Tidak hanya itu,
http://books.google.co.id/books?id=g20SfqSYT5YC&pg=PA307&lpg=PA307&dq= qutb+ISIM&source=bl&ots=ikhU0fGG4u&sig=7kgZt9e9bY3Fx986bGDLNN53A1g &hl=id&sa=X&ei=1_tIU92kBYTLrQeKroCYDw&redir_esc=y#v=onepage&q=qutb %20ISIM&f=false (diakses pada 10 April 2014) dan Adnan Musallam, From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and the Foundations of Radical Islamism (New York: Preager Publisher, 2005), 138-139
200 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 904, Samuel Helfont, ‚The Sunni Divide: Understanding Politics And Terrorism In Thearabmiddle East,‛ Foreign
Policy Research Institute (September 2009), http://www.fpri.org/pubs/Helfont.SunniDivide.pdf (diakses pada 21 April 2014), Larbi Sadiki, ‚Political Islam: Theoretical underpinnings,‛ dalam Interregional challenges of Islamic extremist movements in North Africa (ed.) Muna Abdallah (Pretoria: the Institute for Security Studies, 2011), 10-11, www.issafrica.org (diakses pada 11 April 2014), dan James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual, 100-102.
sebelum ia menjelaskan ayat secara terperinci, ia menjelaskan terlebih dahulu inti dari ayat tersebut. Dan menurut Qut}b, hal tersebut adalah kejelasan antara dua kubu, kubu Islam dan kubu ja>hiliyyah, tidak ada yang ketiga. Dan hal ini, yakni mengkontraskan satu kosa kata dengan
yang lain, menurut van Dijk telah menjadi bukti akan ideologisasi. 201 Selain itu, Qut}b juga menggeneralisir kata ‚mengikuti buatan
manusia,‛ dan membiarkan pembaca untuk memahaminya sendiri. Padahal, jika diteliti lebih lanjut sebab turunnya ayat, akan terlihat apa yang ditinggalkan Qut}b dalam penafsirannya kali ini. Mengutip apa yang dikatakan oleh al-A>lu>si> bahwa ayat tersebut turun sebagai pengingkaran atas permintaan Yahudi kepada Muh}ammad. Mereka meminta agar Muh}ammad menjadi penengah antara pemuka Yahudi dengan Yahudi yang lain, agar memenangkan para pembesar Yahudi tersebut, dan jika itu dilakukan para pembesar itu berjanji untuk mengikuti Muh}ammad dan mengajak Yahudi yang lainnya untuk
mengikuti mereka. Oleh karena itu, masih menurut al-A<lu>si>, bahwa yang dimaksud dengan kata al-ja>hiliyah adalah mengikuti hawa nafsu
sehingga merendahkan syariat Allah dan tidak menjalankannya. 202 Pendapat al-T{abari> dalam tafsirnya, memperjelas penjelasan
al-A>lu>si> di atas. Menurutnya, kaum Yahudi pada saat itu menolak untuk menggunakan syariat Allah yang dibawa Muh}ammad, dan lebih memilih hawa nafsu mereka sebagai pegangan. Dari pendapat kedua penafsir ini, terbukti bahwa kaum Yahudi telah menolak syariat Allah secara terang-terangan, serta menjadikan hawa nafsu mereka sebagai ganti dari syariat Allah, dan ini adalah makna dasar ayat ini. 203
Hal ini menandakan bahwa penafsiran Qut}b terhadap kata ‚h}ukma al-ja>hiliyyah‛ dengan sistem buatan manusia, telah bersifat ideologis dan ahistoris. Pasalnya, makna dasar ayat tersebut menandakan kepada jahiliyah keyakinan, oleh karena itu subyek dalam ayat menjadi kafir. Sedangkan Qut}b, mengartikannya dengan jahiliyah maksiat, dan kemudian membawa pelakunya kepada pengkafiran. Dan hal ini dibuktikan dengan kata-kata yang mengindikasikan kepada pengkafiran terhadap orang lain. Lebih lanjut, sebagaimana yang telah
201 Teun van Dijk, Ideology and Discourse , 55, http://www.discourses.org (diakses pada 12 Desember 2013).
202 Bandingkan dengan al-A>lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2005), vol. 5, 14.
203 Bandingkan dengan al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l A>yi al-Qur’a>n (Kairo: Maktbah tawfi>qiyyah, 2003) , vol. 10, 394.
peneliti katakan bahwa Qut}b mengartikan kata al-ja>hiliyah dengan sistem buatan manusia atau kedaulatan manusia. Kemudian, ia menggeneralisir hal itu dan menganggap pelakunya telah menolak ketuhanan Allah. Dan itu berarti menjadi musyrik. Tidak hanya itu, Qut}b juga mengatakan bahwa siapa saja yang tidak menjalankan syariat Allah dan menjalankan syariat buatan manusia berarti kafir, fasik dan zalim. Qut}b juga mengatakan bahwa alasan yang sering dilontarkan seperti karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk menjalankan syariat Islam, ancaman dari lawan sebenarnya tidak bisa menjadi alasan, karena menjalankan syariat itu wajib hukumnya. Oleh karena itu, muslim yang tidak menjalankan syariat Allah berarti masuk
dalam lembah jahiliyah, dan tidak ada kategori lain bagi mereka. 204 Apa yang terlihat dari penafsirannya di atas, menandakan
bahwa dalam penafsirannya terlihat pengaruh keadaan sosial politik yang ia alami. Pasalnya, Qut}b terlihat tidak suka terhadap segala
sistem buatan manusia. Mengutip apa yang dikatakan John Calvert, kata-kata tersebut sebenarnya ditujukan kepada rezim Nasser serta
kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Pasalnya, rezim Nasser lebih memilih nasionalisme daripada syarait Islam. Padahal, kedaulatan Tuhan bersifat mutlak. Dan hal ini dapat diaktualisasikan dengan menjadikan syariat Islam sebagai dasar. Dengan kata lain, dalam membuat undang-undang, maka syariat Islam haruslah ditegakkan secara total. Dan jika hal ini tidak dilakukan, maka sistem yang
dibentuk menjadi ilegal karena telah merampas kedaulatan Tuhan. 205 Hal yang sama juga dikatakan Ali Syu’aib dan Gils Kibil.
Menurutnya, penafsiran ahistoris Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia disebabkab oleh kondisi politik dan psikologi yang ia terima. Lebih lanjut, sebagaimana yang telah peneliti kemukakan bahwa kedua konsep tersebut didasari atas konsep tauhid, ulu>hiyah dan ‘ubu>diyah. Dan masyarakat yang tidak menjalani syariat Islam, berarti telah menyerahkan ‚karakteristik‛ dari konsep kedaulatan Tuhan ( h}a>kimiyah) dalam sistem kehidupan, meskipun mereka meyakini akan ketuhanan atau ulu>hiyah Allah. Begitu juga para penguasanya, karena menurut Qut}b para penguasa yang tidak menjalani syariat Islam berarti adalah penguasa yang zalim, karena telah menuntun manusia kepada jalan hidup yang mereka ciptakan
204 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 905. 205 John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism (United
Kingdom: C. Hurst and Co, 2010), 212-215.
dengan meninggalkan Kitab Allah, atau termasuk juga ke dalam penguasa yang tirani, yang menjadikan dirinya sebagai obyek penghambaan, memerintah dengan ambisinya dan bukan dengan prinsip-prinsip yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah. Dan hal ini, telah dirasakan Qut}b selama lebih dari sepuluh tahun di balik jeruji besi yang disiapkan oleh Nasser untuknya dan anggota Ikhwan yang lain. Pasalnya, Nasser seolah memberikan mereka pilihan, antara mengikuti sosialisme Arab ‘ala’ Nasser atau tinggal di balik jeruji besi
disertai siksaan-siksaan. 206 Ideologisasi ini juga terlihat dalam ayat h}a>kimiyah lainnya,
yakni ketika menafsirkan Q.S. al-An’a>m (6): 12. Tidak jauh berbeda dengan Q.S. al-Ma>idah (5): 50, dalam ayat Q.S. al-An’a>m (6): 12 ini, Qut}b lebih menitikberatkan kepada totalitas dalam menjalankan syariat Islam. Hal ini dimulai ketika Qut}b menjadikan masyarakat jahiliyah pra-Islam sebagai latar dalam menilai masyarakat muslim
masa kini. Dan menurut Qut}b, masyarakat muslim masa kini lebih buruk dari masyarakat jahiliyah pra-Islam, karena mereka—
masyarakat pra-Islam—masih mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, hanya saja mereka tidak mengesakan-Nya dengan menyembah berhala. Adapun masyarakat modern saat ini, mereka menyerahkan kedaulatan Tuhan yang absolut kepada manusia, dan hal tersebut berarti sama
dengan menolak ketuhanan Allah. 207 Melalui penafsirannya tersebut, Qut}b juga mengatakan
bahwa akte kelahiran ataupun tanda apapun yang menyatakan seseorang muslim tidak akan mengeluarkannya dari lembah jahiliyah kecuali jika disertai dengan amal perbuatan. Selain itu, menurutnya masa jahiliyah modern lebih buruk dari jahiliyah pra-Islam. Hal tersebut karena jahiliyah pra-Islam masih mengakui ketuhanan Allah, meskipun mereka tidak mengesakan-Nya dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Adapun jahiliyah modern, telah salah dalam menempatkan konsep kadaulatan Tuhan, dan hal ini sama dengan tidak mengakui ketuhanan-Nya. Oleh karena itu, jahiliyah modern bagi Qut}b tidak hanya kafir, tapi juga fasik dan zalim. 208
206 Ali Syu’aib dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam, penerjemah Muhtarom (Jakarta: Pustaka Azhari, 2004), 23-25.
207 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1032 dan Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic
Fundamentalism, ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami (Oxford: Westview Press, 1996), 22. 208 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1032.
Apa yang dikatakan Qut}b di atas, dikarenakan ia menjadikan konsep shumu>l sebagai salah satu dasar dari konsep kedaulatan Tuhan. Oleh karena itu, baginya totalitas dalam menjalani syariat Islam sangat penting, karena Islam mencakup berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dalam ibadah, namun juga dalam ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan. Hanya saja, yang sangat disayangkan, Qut}b mencampuradukkan antara masalah keyakinan dan perbuatan. Sehingga, tidak menjalani sebagian dari syariat-Nya dianggap tidak menempatkan kedaulatan Tuhan dengan tepat, dan hal tersebut berarti jahiliyah, yang berarti keluar dari Islam meskipun ia memiliki tanda
seperti akte kelahiran yang menyatakannya sebagai Muslim. 209 Melihat apa yang ditafsirkan al-T{abari> dan Sayyid al-T{ant{a>wi>,
bahwa ayat tersebut berada dalam konteks akidah. Pasalnya, Allah menegaskan kepada nabi Muh}ammad, agar berkata kepada mereka yang telah menyekutukan Allah, siapa yang menciptakan langit dan
Bumi juga isinya. Hal ini dilakukan untuk menjadi bukti atas kekeliruan mereka (penyembah selain Allah) bahwa yang mereka
sembah tidak memiliki apapun atau kuasa apapun seperti Allah yang Maha Kuasa dan Pencipta. 210 Maka berdasarkan hal ini, ayat Q.S. al-
An’a>m (6): 12 berada dalam konteks akidah. Namun, ketika melihat penafsiran Qut}b, ia membawa penafsirannya kepada konsep ja>hiliyah ma’s}iyah, kemudian diakhiri dengan nilai ja>hiliyah i’tiqa>diyah. Hal itu terlihat ketika Qut}b mencampuradukkan antara jahiliyah maksiat, yang tidak berujung kepada keluarnya seseorang dari Islam kecuali dengan pengingkaran, kepada jahiliyah kufr yang berujung kepada keluarnya subyek dari agama Islam. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa penafsiran Qut}b terhadap jahiliyah bersifat ahistoris dan radikal.
209 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1032, Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights (Florida: university Press of
Florida, 2003), 15-16, Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami (Oxford: Westview Press, 1996), 22 dan James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual (New York: Oxford
Press), 106, http://books.google.co.id/books?id=g20SfqSYT5YC&pg=PA307&lpg=PA307&dq= qutb+ISIM&source=bl&ots=ikhU0fGG4u&sig=7kgZt9e9bY3Fx986bGDLNN53A1g &hl=id&sa=X&ei=1_tIU92kBYTLrQeKroCYDw&redir_esc=y#v=onepage&q=qutb %20ISIM&f=false (diakses pada 10 April 2014).
University
210 Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l ‘A>yi al-Qur’a>n, vol. 11, 273, Muh}ammad Sayyid T{ant}a>wi>, al-Tafsi>r al-Was{i>t}, vol. 1, 1436
Penafsiran yang serupa juga didapati saat Qut}b menafsirkan Q.S. al-An’a>m (6): 62, yakni saat menjelaskan lahu al-h}ukmu wa huwa asra’u al-h}a>sibi>n. Qut}b, setelah menyebutkan makna dasar ayat yang menceritakan tentang hari akhir, mengatakan bahwa penjelasan mengenai hari akhir dapat menyadarkan manusia untuk menegakkan konsep kedaulatan Tuhan dengan menjalankan syariat-Nya. Kemudian ia kembali menegaskan, sekalipun manusia di Bumi menggunakan syarait selain yang dibuat oleh Allah, amal perbuatannya akan tetap dihitung dengan menggunakan syariat Allah sebagai parameternya. Oleh karena inilah, masih menurut Qut}b, jika manusia tidak menjalankan syariat Allah secara total—hanya dalam ritual ibadahnya semata—maka hal ini lah yang akan dihitung pertama kali. Dan perbuatan ini, sama saja dengan menyekutukan Allah. Dan hal tersebut, dapat mengeluarkannya dari agama. Sama saja, hal tersebut dalam aspek sosial, ekonomi, hubungan antara manusia dan lain-
lain. 211 Apa yang ditafsirkan Qut}b tersebut, serupa dengan ayat yang
sebelumnya peneliti bahas (Q.S. al-An’a>m (6): 12). Yakni, ayat yang berlatarkan akidah dicampuradukkan dengan aspek syariah. Hal ini terbukti ketika Qut}b menyampaikan bahwa tidak menjalankan syariat Islam secara total—yakni hanya dalam ritual ibadah saja, tidak dalam
sistem kehidupan—adalah kafir atau keluar dari Islam. 212 Generalisasi tersebut, membuat penafsiran Qut}b seolah mengkafirkan semua
Muslim yang hanya menjalankan sebagian syariat, tidak seluruhnya. Apa yang telah peneliti sampaikan, bahwa Qut}b membangun konsep jahiliyah modern serta konsep kedaulatan Tuhan atas konsep akidah juga terlihat dalam penafsirannya yang lain. Dalam penafsirannya terhadap Q.S. al-A’ra>f (7): 2, ia menjelaskan bahwa masyarakat saat ini semuanya jahiliyah. Hal itu karena masyarakat jahiliyah modern adalah masyarakat yang terbelakang, karena mereka kembali kepada masa jahiliyah yang lalu lantaran tidak menempatkan konsep kedaulatan Tuhan sebagaimana mestinya. Dan menempatkan kedaulatan Tuhan sebagaimana mestinya adalah dengan menjalankan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai aspek kehidupan. Karena dengan itulah, manusia bisa terbebas dari penghambaan manusia terhadap manusia. Dan masyarakat jahiliyah ini
211 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123-1124. 212 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123-1124.
disebut juga masyarakat yang terbelakang, atau dengan istilah yang lebih Islami, masyarakat jahiliyah yang musyrik. 213
Leksikon yang digunakan Qut}b pada penafsirannya tersebut mengindikasikan kepada takfi>r. Hal ini terlihat dalam akhir perkataan
Qut}b ‚masyarakat jahiliyah yang musyrik.‛ Sebutan tersebut, menurut Qut}b adalah sebutan bagi mereka yang tidak mengimplementasikan syariat Islam secara total. Hal ini secara jelas menegaskan bahwa, penjelasannya mengenai konsep ja>hiliyah modern\ membawa kepada unsur radikal. 214
Detil yang diberikan Qut}b pun turut mendukung kesimpulan ini. Pasalnya, ia memberikan detil yang seluruhnya mengindikasikan bahwa tidak menjalankannya syariat Islam berarti kembali kepada ja>hiliyah, dan ja>hiliyah ini berarti penyembahan sesama manusia yang berujung kepada kemusyrikan. Selain itu, sturktur kalimat juga mendukung kesimpulan tersebut. Karena Qut}b menghabiskan
penafsirannya terhadap ayat ini untuk mengkontraskan antara masyarakat Islami dengan masyarakat ja>hili>, serta ciri-ciri dari
keduanya. 215 Beberapa contoh yang telah peneliti sebutkan, membuktikan
bahwa salah satu karakteristik dalam jahiliyah modern Qut}b adalah segala sesuatu yang tidak berdasarkan syariat Islam. Dan hal ini, dapat terjadi meskipun dalam masyarakat muslim, yang mana ketidakpatuhan terhadap syariat Islam hanya dalam sebagian aspek
saja. 216 Selain itu, melihat penafsiran-penafsiran di atas diketahui pula
213 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 3, 188. 214 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 2, 1124., Alexander R. Alexiev, ‚The Wages
of Extremism: Radical Islam’s Threat to the Westand the Muslim World,‛ Hudson Institute
2011): 22, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EtUKgTrj8QwJ:www.huds on.org/content/researchattachments/attachment/875/aalexievwagesofextremism0320 11.pdf+&cd=18&hl=id&ct=clnk (diakses pada 10 April 2014) dan Christopher Angevine, ‚The Vanguard: The Genesis and Substance of al-Qaeda's Conception of Itself and its Mission,‛ Yale Journal of International Affairs (Winter: 2008): 111, http://yalejournal.org/wp-content/uploads/2011/01/083108angevine.pdf
(Maret
(diakses pada 21 April 2014).
215 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 1123-1124.. 216 Dalam uraian di atas, terlihat jelas aspek shumu>l dalam karakteristik
Islam disalahartikan oleh Qutb. Padahal, meskipun Islam memiliki karakteristik shumu>l (mencakup berbagai aspek), bukan berarti hal tersebut menjadi legitimasi dalam mengkafirkan muslim yang lain. Karena dalam urusan mengkafirkan muslim yang lain, haruslah disertai bukti yang kuat. Yakni, jika seorang Muslim tidak Islam disalahartikan oleh Qutb. Padahal, meskipun Islam memiliki karakteristik shumu>l (mencakup berbagai aspek), bukan berarti hal tersebut menjadi legitimasi dalam mengkafirkan muslim yang lain. Karena dalam urusan mengkafirkan muslim yang lain, haruslah disertai bukti yang kuat. Yakni, jika seorang Muslim tidak
kepada pengkafiran yang lain. 217 Penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan manusia juga
terlihat ketika ia menafsirkan Q.S. Yu>suf (12): 55. Ayat tersebut menceritakan tentang kisah Nabi Yusuf yang ditawari jabatan oleh raja Mesir saat itu, dan Yusuf pun menjawab bahwa ia bersedia
mengemban amanah tersebut namun dengan permohonan agar ia ditempatkan sebagai bendaharawan sehingga dapat mengatur
keuangan khususnya pangan negeri itu, sesuai dengan kecakapan yang ia miliki dan seperti apa yang ia lihat pada mimpinya. 218
Adapun Qut}b, ia pun menjelaskan hal yang sama namun yang membuat ia berbeda dengan yang lainnya, setelah menjelaskan hal tersebut ia melebarkan penjelasannya hanya untuk membahas hakikat
melakukan kewajibannya sebagai seorang Muslim tidak serta merta membuatnya keluar dari Islam. Karena hal tersebut baru dapat menjadikannya musyrik jika alasan meninggalkan syariat tersebut disertai dengan pengingkaran hati. Jadi, amal perbuatan tidak serta merta membuat seseorang keluar dari Islam sampai hal tersebut dilakukan dengan disertai pengingkaran hati akan kewajiban penegakan syariat tersebut. L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali, 122-123, Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights, 15.
217 Lebih lanjut, penafsiran Qut}b terhadap jahiliyah dinilai terbuka, di mana penguasa dan birokrasi yang zalim bisa menjadi satu-satunya model jahiliyah, atau
masyarakat secara keseluruhan yang tunduk kepada pemerintahan ini. Hal ini kemudian menjadi perbincangan setelah Qut}b meninggal. Implikasi yang terlihat, senjata pengkafiran selanjutnya jatuh ke tangan orang-orang sektarian yang tidak bisa dikendalikan, dengan menjadikan teks Qut}b yang dinilai sebagian orang ambigu sebagai landasan berpikir. Bandingkan dengan Ali Syu’aib dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam, penerjemah Muhtarom, 34.
218 Bandingkan dengan Wahbah Zuhaili>, al- Tafsi>r al-Muni>r vol.19-20, 218.
dari syariat Islam dan bagaimana masyarakat muslim itu terbentuk beserta apa saja yang menghalanginya. 219
Lebih tepatnya lagi, setelah Qut}b menjelaskan bahwa meminta jabatan hukumnya boleh dalam syariat Yu>suf, namun tidak dalam syariat Muh}ammad, ia menjelaskan mengenai apa yang disebut dengan hukum Islam. Yakni, dalam penafsirannya tersebut Qut}b menjelaskan bahwa masyarakat jahiliyah adalah mereka yang tidak menjalankan syariat Islam secara total. Tidak hanya itu, ia juga menambahkan bahwa masyarakat modern saat ini adalah contoh dari masyarakat jahiliyah. Pasalnya, mereka hanya menjalankan fiqhu al-
awra>q, yakni beberapa hukum fikih yang tidak dapat diterapkan dalam realita masa kini, atau dengan kata lain hanya dapat dipelajari secara teori tidak dalam praktik. Sedangkan lawannya yaitu fiqhu al-h}arakah adalah hukum fikih yang tidak hanya dalam teori saja namun juga dapat dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Qut}b dalam hal ini, adalah menyerukan perubahan pada masyarkat muslim, agar tidak
hanya menghabiskan waktu dan duduk diam untuk memperlajari hukum Islam yang tidak bisa dipraktikan lantaran tidak ada sistem Islam yang menjadi legitimasinya. Oleh karena itu, Qut}b lebih mementingkan untuk lebih dahulu mendirikan sebuah masyarakat Islami, yang kiranya dapat membentuk syariat Islam dan mengganti
sistem jahiliyah menjadi yang lebih Islami. 220 Berdasarkan penjelasan Qut}b di atas, disimpulkan bahwa
masyarakat Muslim tidak bisa didapati hanya dengan melakukan ritual ibadah
saja, melainkan harus dengan totalitas ketika mengimplementasikan syariat-Nya. Oleh karena itu, kemudian ia membedakan fikih menjadi dua, fiqhu al-awra>q dan fiqhu al-h}arakah. Dan hal ini juga menandakan bahwa Islam itu ada dengan pergerakan ( h}arakah). Oleh karena itu, tidak heran jika Qut}b ketika membicarakan cara dalam menghadapi kejahiliyahan, menyeru untuk membuat pergerakan, yakni dengan terbentuknya sebuah masyarakat Islami dalam tahap awal, yang kemudian melakukan revolusi dalam
219 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 3, 1721 220 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721, S{a>lih{ ‘Abdu al-Fatta>h} al-
Kha>lidi>, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al-Mi>za>n (Oman: D ār 'Ammār, 2000), 242, dan Jon Armajani, Modern Islamist Movement, 60.
mengganti sistem jahiliyah yang dipimpin oleh t}a>ghu>t atau pemerintahan tirani dengan sistem Islami. 221
Masih dalam rangka mengkritik sistem jahiliyyah, selain penggunaan leksikon t}a>ghu>t sebagai ganti dari pemerintahan tirani,
Qut}b memberikan contoh-contoh dari sistem yang dianggap jahiliyah seperti program keluarga berencana dan asuransi. Hal ini jika diteliti lebih lanjut adalah salah satu kebijakan dalam rezim Nasser. Dan ini nampaknya menjadi bukti pendukung akan ketidaksukaannya terdadap
rezim Nasser yang sekular. 222 Selain kata t}a>ghu>t, pengaruh kondisi sosial politik juga
terlihat ketika Qut}b menyinggung masalah politik secara langsung dengan leksikon yang ia gunakan. Yakni, tatkala Qut}b menafsirkan ayat Q.S. Ibra>hi>m (14): 52. Lebih jelasnya, setelah ia menjelaskan makna dasar ayat, yang membicarakan tentang al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai peringatan untuk seluruh
umat, Qut}b kemudian menjelaskan bahwa Islam tidak hanya mencakup ritual ibadah saja, namun mencakup di dalamnya aspek sosial
ekonomi, politik dan kemasyarakatan. Tidak berhenti di sana, Qut}b juga menyebutkan bahwa termasuk dari kejahiliyahan, adalah dengan mengatasnamakam sistem nasionalis, rakyat atau bangsa dalam pemerintahan, namun tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar. Karena hal itu menurut Qut}b sama dengan penyembahan berhala, karena penyembahan berhala atau penyembahan selain Allah tidak selalu dalam bentuk batu atau pohon, tapi juga dapat berbentuk lambang atau semboyan yang diusung selain syariat Islam, 223
Penafsiran di atas, Q.S. Ibra>hi>m (14):52 terlihat berbeda dengan makna dasar ayat. Pasalnya, meskipun Qut}b menyebutkan makna dasar ayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an turun sebagai peringatan terhadap seluruh manusia, namun kemudian ia melebarkan penjelasannya kepada karakteristik al-Qur’an yaitu shumu>l (komprehensif), dengan menjadikan keadaan sosial politik yang ia alami sebagai bukti. Tidak hanya itu, ia kemudian mengatakan bahwa sistem buatan manusia seperti nasionalisme dan sosialisme Arab
221 David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993 (London: Frank Cass and CO. LTD, 1995), 40-41, dan John L. Esposito, The Islamic
Threat: Myth or Reality (New York: Oxford University Press, 1999),137. 222 Lihat John L. Esposito, Islam dan Politik, penerjemah Joesoef Sou’yb
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 178-179. 223 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 4, 2113 (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 178-179. 223 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 4, 2113
sesuai dengan penafsiran makna dasar ayat tersebut. 224 Kesimpulan di atas juga didukung dengan penafsiran Qut}b
yang lain pada Q.S. al-An’a>m (6): 36-37. Dalam penafsirannya tersebut, Qut}b secara eksplisit menyatakan bahwa produk Barat seperti faham sosialis dan demokrasi, meskipun diakui oleh sebagian orang dapat dijalani dengan ruh Islam, namun hal tersebut tetap tidak sama dengan syariat Islam dan merupakan buatan manusia. Sedangkan seorang muslim tidak sepantasnya menggunakan sistem selain Allah. Selain itu, leksikon yang digunakan pun sering kali mengkontraskan
antara buatan manusia, yang diwakili dengan sosialisme, demokrasi, dengan sistem Islam yang merupakan buatan Allah. Bahkan, Qut}b
kemudian menyimpulkan bahwa hal ini termasuk perbuatan syirik 225 Penafsiran di atas, cukup menjelaskan bahwa Qut}b tidak
setuju dengan segala sistem yang diimpor dari Barat, meskipun pemerintah menyetujui hal itu. Oleh karenanya, Qut}b dengan jelas mengatakan bahwa Islam adalah Islam, demokrasi adalah demokrasi, dan meskipun berbagai sistem impor tersebut didampingi dengan kata ‚Islam,‛ sistem tersebut tetap berbeda dengan syariat Islam. Mengutip apa yang dikatakan Ali Syu’aib dan Gils Kibil, bahwa titik tolok konsep kedaulatan Tuhan dan manusia ini adalah kebenciannya akan Barat, berikut dengan sistem kapitalis ataupun sosialis milik mereka. Hal itu kemudian ditambah dengan sikap pemerintah yang memaksakan kehendak mereka demi ideologi dan hawa nafsu penguasa itu sendiri. Maka, tidak heran jika Qut}b banyak menyebut Barat
224 Ayat Q.S. Ibrahim (14): 52 berlatarkan akidah, karena ia menegaskan bahwa al-Qur’an adalah peringatan bagi semua hamba-hamba Allah. Selain itu, ayat-
ayat sebelumnya, Q.S. Ibrahim (14): 44-51, menerangkan tentang siksa yang akan diterima manusia dalam neraka nanti. Dan ini menguatkan bahwa ayat-ayat tersebut berlatarkan akidah. Adapun Qut}b, membawanya kepada jahiliyah maksiat kemudian menjadikan jahiliyah kufr sebagai hasil akhir (dengan menjadikan mereka yang tidak menjalankan syariat Islam masyarakat jahiliyah). Lihat Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 4, 515.
225 Qut}b Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 2, 1082-1083.
beserta sistem yang diimpornya sebagai ja>hiliyah h}adi>thah (jahiliyah modern). 226
Adapun jika melihat makna dasar ayat, mengutip apa yang dikatakan al-Ra>zi>, bahwa ayat 36 adalah pemberitahuan Allah kepada Nabi Muhammad sekaligus hiburan kepadanya, atas tidak berimannya orang-orang kafir Quraish. Lebih lanjut Allah mengumpamakan mereka (kafir Quraish) dengan mayat yang tidak mendengar. Dan sebagaimana Allah mampu untuk menghidupkan yang telah meninggal, Ia juga mampu untuk menghidupkan keimanan dalam hati orang kafir tersebut, dan bukan Muhammad sekalipun Muhammad adalah seorang Rasul. Oleh karena itu, Nabi Muhammad hendaknya tidak terlalu bersedih hati atas ketidakimanan mereka. Adapun ayat selanjutnya, menceritakan permintaan orang-orang kafir untuk diturunkannya mukjizat sebagai tanda akan kenabian Muhammad. Namun, Allah menjawab bahwa sesungguhnya Ia telah menurunkan mukjizat tersebut—yakni al-Qur’an—namun kebanyakan dari mereka
tidak mengetahui. Dan menurut al-Ra>zi>, jika Allah menolak untuk mengabulkan permintaan kafir tersebut bukan berarti bahwa Allah itu lemah. Karena Ia melakukan segala sesuatu hanya karena keinginan- Nya, lagi pula jika Ia memberikan apa yang diminta orang kafir tersebut, padahal al-Qur’an yang merupakan mukjizat tertinggi telah diturunkan, maka niscaya orang-orang kafir tersebut tidak akan pernah berhenti meminta mukjizat, karena permintaan mereka itu didasari
atas pengingkaran. 227 Berdasarkan uraian di atas, penafsiran Qut}b tersebut terbukti
ideologis, karena telah dibawa kepada ranah politik. Juga bersifat ahistoris, karena jika dilihat dari makna dasar dan sebab turunnya ayat-ayat di atas, orang-orang kafir dalam ayat-ayat tersebut menolak al-Qur’an karena ingkar, sedangkan Qut}b lagi-lagi menjadikan penafsiannya tersebut sebagai alat untuk menolak segala sistem yang tidak berlandasan syariat, termasuk sistem-sistem Barat, dengan menggeneralisir hal itu tanpa menjelaskan alasan yang bagaimana yang menjadikan mereka kafir.
Beberapa contoh di atas adalah salah satu dari penafsiran Qut}b yang menyatakan bahwa segala sistem atau peraturan yang tidak berdasarkan syariat Islam adalah jahiliyah. Dan hal ini, adalah
226 Ali Syu’aib dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam, penerjemah Muhtarom, 34-36.
227 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, vol. 6, 274.
cerminan dari kritik Qut}b terhadap pemerintahan Nasser yang sekular. Oleh karenanya, beberapa peneliti mengatakan bahwa konflik antara Qut}b dengan Nasser adalah konflik politik. Hanya saja, Qut}b kemudian menjadikan hal ini konflik agama dan inilah salah satu kekuarangan dari penafsrian Qut}b. Bahkan, menurut beberapa peneliti, konsep kedaulatan Tuhan Qut}b bertujuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem politik negara, karena negara memiliki peran yang penting. Tanpa negara, sistem politik Islam tidak mendapat
legitimasi. 228 Adapun karakteristk kedua dalam kedaulatan manusia versi
Qut}b, adalah sistem komunis ( al-shuyu>’i>yah). Membicarakan mengenai sistem komunis, menurut Qut}b komunis adalah salah satu rencana Yahudi dalam menghancurkan Islam. Hal ini dikatakan secara eksplisit tidak hanya dalam satu tempat namun dalam beberapa penafsirannya. Contohnya saat ia menjelaskan Q.S. al-An’a>m (6): 42.
Pada penafsirannya tersebut, ia mengatakan bahwa komunisme adalah salah satu alat Yahudi untuk menghancurkan Islam, dengan cara
menyebarkan faham ketidakpercayaan kepada Tuhan. Dan hal ini adalah ancaman yang besar bagi umat Muslim. Oleh karena itu,
menurut Qutb masyarakat komunis adalah masyarakat jahiliyah. 229 Lebih lanjut mengenai penafsrian Qut}b tersebut, ia
menjelaskan komunisme ini ketika memberikan makna umum dari Q.S. al-An’a>m (6): 42. Qut}b mengatakan, bahwa fitrah manusia pada sarnya mengenal akan adanya keesaan Tuhan. Namun, beberapa faktor seperti hawa nafsu manusia menutupi fitrah manusia tersebut sehingga mereka akhirnya menyatakan akan ketiadaan Tuhan. Dari sinilah Qut}b kemudian menerangkan bahwa ateisme, adalah salah satu program Yahudi dan Nasrani dalam menghancurkan Islam. Dan termasuk dalam
228 Bandingkan dengan R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World (Syracuse University Press, 1985), 51, Youssef
Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporary Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 24-25 dan Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London: Routledge, 1994),138.
229 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol.2, 1088, dan Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2003), 118, dan Hendrik
Hansen dan Peter Kainz, ‚Radical Islamism and Totalitarian Ideology: a Comparison of Sayyid Qutb’s Islamism with Marxism and National Socialism,‛ Totalitarian Movements and Political Religion vol. 8, No. 1 (Maret 2007): 61, 72, http://wwws.phil.unipassau.de/poltheorie/Downloads/Hansen/Hansen_Kainz_Radical _Islamism.pdf (diakses pada 21 April 2014).
usaha menyebarkan ateisme adalah faham komunisme. Karena menurut Qut}b komunisme turut mengambil peran dalam menyebarkan ateisme. Namun, penjelasan ini tidak melebar ketika ia mulai menafsirkan ayat secara terperinci. Pasalnya, Qut}b terlihat fokus terhadap makna dasar ayat, yang menceritakan perihal umat-umat terdahulu yang telah mengingkari utusan-utusan yang telah diutus oleh Allah kepada mereka, maka Allah memberikan kelapangan dunia untuk mengulur waktu mereka, dan melihat apakah mereka akan bertaubat. Dan jika tidak, maka azab Allah akan datang secara tiba-
tiba tatkala kelapangan itu benar-benar mereka rasakan. 230 Penafsiran Qut}b di atas, mencerminkan ideologisasinya. Ia
memasukkan sistem komunisme dalam ayat-ayat akidah, dan menyatakan bahwa hal itu adalah buatan Yahudi untuk menghancurkan Islam. Penafsiran dengan gaya seperti ini juga terlihat saat menafsirkan Q.S. al-An’a>m (6):1. Pada saat itu, Qut}b mengatakan
bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah putus asa dalam menjatuhkan Islam dengan menyebarkan komunisme serta kristenisasi di negara
yang mayoritas penduduknya Muslim. Oleh karena itu, mereka kini mencoba dengan cara lain, yaitu dengan menjadikan umat Muslim hanya menjalankan syariat Islam dalam ritual ibadah saja, tidak dalam
berbagai aspek kehidupan. 231 Lebih lanjut, menurut Qut}b sistem komunis ini tidak sesuai
dengan Islam, meskipun tujuannya untuk mensejahterakan ekonomi. Hal itu karena komunisme, tidak membangun hal tersebut di atas kemanusiaan dan persamaan, melainkan dengan perbedaan kelas. Maka, mereka yang tidak termasuk dalam partai komunis tidak memiliki suara dan hak dalam menentukan ekonominya sendiri. Hal yang sangat berbeda dengan Islam, yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi umat manusia. 232 Tidak hanya itu, komunis menurut Qut}b
230 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. 3, 256 dan Qut}b, Fi> Z}ila>l al- Qur’a>n vol.2, 1088-1090
231 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol.2, 1031. 232 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol.2, 1031., Alexander R. Alexiev, ‚The
Wages of Extremism: Radical Islam’s Threat to the Westand the Muslim World,‛ Hudson
2011): 24, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EtUKgTrj8QwJ:www.huds on.org/content/researchattachments/attachment/875/aalexievwagesofextremism0320 11.pdf+&cd=18&hl=id&ct=clnk (diakses pada 10 April 2014) dan Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
Institute
(Maret
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 25.
telah menjadai prototipe bagi negara Barat, terutama Amerika dan Eropa. Oleh karena itu, ia setelah kepulangannya dari Amerika, berusaha keras agar Mesir tidak menjadi negara yang dikuasai oleh
faham komunis. Adapun karakteristik yang ketiga, yaitu ahli kitab, juga termasuk dalam kategori jahiliyah modern. Mengutip apa yang dikatakan John Calvert, para ahli kitab baik Yahudi dan Nasrani, termasuk dalam jahiliyah karena mereka telah merubah kitab suci mereka. Selain itu, ahli kitab ini, juga dinilai sebagai otak dari
kemunduran Islam. 234 Dan yang terakhir ini yang biasa dijelaskan Qut}b dalam penafsirannya. Contohnya saat ia menjelaskan Q.S. Al-An’a>m
(6): 114. Ayat Q.S. al-An’a>m (6): 114, turun untuk menjelaskan bahwa suku Quraish Mekkah, pada saat itu meminta kepada Muhammad untuk memilihkan hakim sebagai penengah antara kaum mereka
dengan agama Muhammad dari golongan Yahudi atau Nashrani. Oleh karena itu, Allah mengingkari apa yang mereka lakukan melalui ayat
tersebut. Karena bagaimanapun, hukum dan ketetapan Allah paling adil dan bijak dibanding siapa pun. 235
Qut}b pun menjelaskan hal ini, hanya saja setelah ia menjelaskan makna dasar tersebut, Qut}b kemudian menjelaskan bahwa kebencian ahli kitab tersebut tetap terlihat hingga saat ini. Dan yang paling membahayakan dari usaha ahli kitab ini, adalah apa yang mereka lakukan dalam mempengaruhi umat Islam agar tidak menjalani konsep kedaulatan Tuhan. Yakni, mereka (para ahli kitab) berusaha agar umat Islam untuk tidak menjalankan syariat Islam secara keseluruhan atau hanya dalam sebagian aspek saja. Dan sebagai gantinya, mereka menggunakan syariat buatan manusia. Di antara produk-produk ahli kitab adalah sosialisme, nasionalisme dan komunisme. Dan yang amat disayangkan Qut}b, pemimpin-pemimpin muslim mulai mengambil produk ahli kitab tersebut sebagai ganti dari syariat Allah. 236
233 David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993 (London: Frank Cass and CO. LTD, 1995), 37.
234 John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radicalism (United Kingdom: C. Hurst and Co, 2010), 217.
235 Lihat al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol.5, 495 dan al-T{abari>, al-Baya>n fi> Ta’wi>l ‘A>yi al-Qur’a>n, vol. 12, 60.
236 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 3, 133 dan vol. 2, 1194.
Kekecewaan tersebut juga terlihat ketika Qut}b menafsirkan Q.S. AL-Nisa> (4): 51. Saat menjelaskan ayat tersebut, Qut}b menjelaskan salah satu keburukan Yahudi, yakni lebih memilih untuk mengikuti paranormal dan pemuka agama yang berani merubah syariat
Allah. 237 Selain itu, Qut}b juga membongkar kebobrokan Yahudi lainnya, yaitu bersekutu dengan pemerintahan t}a>ghu>t (tirani, dalam
bahasa Qut}b) untuk menghancurkan Islam. Menurut Qut}b, apa yang diceritakan Q.S. al-Nisa> (4): 51, mengenai persekongkolan antara Yahudi dengan Quraish Mekkah dalam menjatuhkan Islam, juga terjadi pada saat ini. Lebih lanjut mengenai hal ini, menurut Qut}b tidak hanya Yahudi, namun Nasrani pun ikut bersekongkol dalam menjatuhkan Islam. Terlebih lagi, dalam era modern saat ini, mereka menggunakan cara yang lebih efektif, yakni lewat media massa. Mereka menjelek-jelekkan Islam dengan menyerang gerakan-gerakan
Islam yang dinilai berhasil dalam berdakwah. 238 Menurut peneliti, persekongkolan antara Yahudi dengan kafir
Mekkah memang benar adanya. Hanya saja, jika hal tersebut kemudian digunakan untuk menggeneralisir hukum seorang muslim yang tidak menjalankan syariat Allah dalam sistem kehidupan nampaknya tidak sesuai dengan makna dan konteks ayat. Pasalnya, ayat-ayat yang menceritakan penolakan Yahudi di atas disertai dengan pengingkaran terhadap hukum dan syariat Allah. Dan hal tersebut yang menjadikan mereka kafir.
Apa yang dikatakan Qut}b tersebut bukannya tanpa alasan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Mesir sejak Muhammad Ali (pendiri Mesir modern, dinasti yang ia didirikan bertahan hingga revolusi 1952, lahir 1769-1849), hingga rezim Nasser, mengikuti jalan sekular ala Barat. Dan jalan sekular ini menurut Qut}b adalah buatan Yahudi. Oleh karena itu, Qut}b meyakini campur tangan ahli kitab, khususnya Amerika dan belakangan adalah Israel, dalam urusan politik di Mesir adalah salah satu penyebab kemunduran Islam. Maka, tidak heran jika Qut}b banyak menjelaskan bahwa pemerintahan yang tidak menjalani syariat adalah jahiliyah. Karena Nasser telah menolak syariat Islam menjadi dasar negara, dan menggantinya dengan sistem buatan Yahudi. Ditambah lagi, pembantaian besar-besaran bagi IM, baik menggunakan kekerasan maupun dengan media massa. Hal ini
237 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 1, 675-676. 238 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 1, 675-676.
membuat Qut}b yakin bahwa pemerintahan Nasser sudah melupakan Tuhan. 239
Penafsiran Qut}b yang lain, juga menyatakan bahwa ahli kitab adalah otak di balik menyebarnya faham kapitalisme, sosialisme, demokrasi serta pemerintahan yang tirani. Hal ini ia jelaskan dalam Q.S. al-An’a>m (7): 2. Lebih lanjut mengenai penafsirannya tersebut, menurut Qut}b semua manusia berada dalam masa jahiliyah. Golongan pertama adalah mereka yang tidak mempercayai Tuhan atau ateisme. Kedua, adalah golongan para penyembah berhala, yang telah menyekutukan Allah dengan dengan menyembah selain-Nya. Ketiga adalah ahli kitab atau Yahudi dan Nasrani, yang mereka ini telah mengatakan bahwa Allah memiliki anak. Selain itu, mereka juga telah menyebarkan faham-faham seperti nasionalisme, demokrasi, sosialisme, kapitalisme, yang semua ini adalah buatan manusia yang tidak bisa dibandingkan dengan buatan Allah. Dan keempat adalah golongan yang mengaku mereka muslim, namun mengikuti ahli kitab
tersebut, termasuk di dalamnya sistem-sistem buatan Yahudi. Dan hal tersebut dapat mengeluarkan muslim yang mengikuti para ahli kitab
keluar dari agama. 240 Penafsirannya di atas, memperlihatkan bahwa Qut}b
mengatakan dengan jelas bahwa faham-faham yang banyak tersebar di berbagai negara, termasuk di negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, adalah buatan Yahudi. Termasuk di dalamnya materialisme Barat dan sekularisme. Oleh karena itu, setelah Qut}b meyakini hal tersebut, ia pun berusaha untuk memperingati masyarakat muslim khususnya masyarakat Mesir lewat tulisan- tulisannya. Karena menurutnya, masyarakat Mesir telah dikuasai oleh westernisasi. Dan dalam hal tersebut, masih menurut Qut}b, terdapat campur tangan Yahudi. 241
239 Bandingkan dengan John L. Esposito, Islam dan Politik, 176-177, Hendrik Hansen dan Peter Kainz, ‚Radical Islamism and Totalitarian Ideology: a
Comparison of Sayyid Qutb’s Islamism with Marxism and National Socialism,‛ Totalitarian Movements and Political Religion vol. 8, No. 1 (Maret 2007): 59-60, http://wwws.phil.unipassau.de/poltheorie/Downloads/Hansen/Hansen_Kainz_Radical _Islamism.pdf(diakses pada 21 April 2014).
240 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 2, 1032-1033. 241 Bandingkan dengan Christopher Angevine, ‚The Vanguard: The Genesis
and Substance of al-Qaeda's Conception of Itself and its Mission,‛ Yale Journal of International Affairs (Winter: 2008): 107-108, http://yalejournal.org/wp- content/uploads/2011/01/083108angevine.pdf (diakses pada 21 April 2014),
Westernisasi, adalah salah satu yang paling banyak dikritisi Qut}b. Dalam hal ini, ia pun sering menyebut negara Amerika sebagai contoh. Menurutnya, masyarakat Amerika, hanya mementingkan sisi materi semata. Adapun nilai-nilai rohani, bukanlah suatu yang penting bagi mereka. Mereka tinggal di lingkungan yang maju, baik dalam sisi pendidikan maupun teknologi. Namun hal ini, justru menjadi tujuan hidup mereka, sehingga sisi rohani dalam jiwa mereka terkesan
diabaikan. 242 Lebih lanjut mengenai hal tersebut, sikap materialistis
masyarakat Barat membuat mereka semakin jauh dari Agama. Hal ini terjadi jika materi menjadi tujuan hidup. Oleh karenanya, masyarakat yang termasuk dalam karakteristik tersebut disebut dengan masyarakat ja>hiliyyah. Tidak hanya itu, masyarakat jahiliyah ini juga disebut dengan masyarakat yang terbelakang. Dan keterbelakangan ini tidak berdasarkan kemajuan ilmu dan teknologi suatu masyarakat,
melainkan karena keterbelakangan mereka dalam segi agama. Selain leksikon ‚masyarakat terbelakang‛ ia juga menyamakan budaya
Amerika dengan binatang. Pasalnya, manusia yang menjunjung tinggi materialisme lebih dari apapun, maka mereka sama saja atau bahkan
Alexander R. Alexiev, ‚The Wages of Extremism: Radical Islam’s Threat to the Westand the Muslim World,‛ Hudson Institute
(Maret 2011): 98, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EtUKgTrj8QwJ:www.huds on.org/content/researchattachments/attachment/875/aalexievwagesofextremism0320 11.pdf+&cd=18&hl=id&ct=clnk (diakses pada 10 April 2014).
242 AB. Rahman, Nooraihan Ali dan Wan Ibrahim, ‚The Influence of al- Aqqa>d and Di>wa>n School of Poetry on Sayyid Qut}b’s Writings‛ International
Journal of Humanities and Social Science 8, vol. 1 (Juli 2008): 158- 159www.ijhssnet.com/journals/Vol._1No._8;_July_2011/18.pdf (diakses pada 15 Januari 2014,Christopher Angevine, ‚The Vanguard: The Genesis and Substance of al-Qaeda's Conception of Itself and its Mission,‛ Yale Journal of International Affairs
http://yalejournal.org/wp- content/uploads/2011/01/083108angevine.pdf (diakses pada 21 April 2014),Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 22 dan Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science
11, vol. 12 (2012): 92-94, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume 12/11-From-Social-Justice-to.pdf (diakses pada 16 Januari 2014).
lebih buruk dari binatang. Dan persamaan antara keduanya, adalah ketamakan. 243
Masyarakat terbelakang, yang merupakan sebutan lain bagi masyarakat jahiliyah, membuktikan bahwa Qut}b melihat bahwa sikap materialistis ini adalah masalah yang serius, yang jika dibiarkan hal ini tentu akan membawa manusia semakin jauh dari agama. Penjelasan tersebut terlihat dalam penafsiran Qut}b terhadap Q.S. al-A’ra>f (7):
2. 244 Penafsiran Qut}b
mengkontraskan antara karakteristik masyarakat Islam dengan masyarakat jahiliyah. Masyarakat Islam, adalah mereka yang menjunjung tinggi kemanusiaan serta menjalankan syariat Allah. Sedangkan masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang menjunjung tinggi materialisme. Kendati demikian, Qut}b menjelaskan lebih lanjut bahwa Islam juga mementingkan hal-hal duniawi, namun dengan tetap mengindahkan
tersebut,
peraturan-peraturan Allah. Dan hal tersebut tidak didapatkan dalam masyarakat jahiliyah seperti masyarakat Amerika. 245
Kesimpulan tersebut didukung dengan struktur penafsirannya. Hal itu Qut}b sampaikan, setelah ia menjelaskan makna dasar ayat, yakni bahwa al-Qur’an turun sebagai peringatan kepada manusia. Namun, di antara manusia tersebut ada yang menerima peringatan, yakni umat Muslim, dan ada yang tidak menerimanya, yaitu selain Muslim. Pada penjelasan berikutnya, Qut}b menjelaskan panjang lebar bahwa faham materialisme termasuk salah satu karakteristik masyarakat jahiliyah. Dan salah satu akibat dari materialisme ini, adalah mengabaikan aspek rohani juga moral masyarakat itu sendiri. Dan semua ini hanya bisa dihadapi dengan membentuk kembali masyarakat muslim. 246
243 Bandingkan dengan Luke Lubodo, ‚The Thought of Sayyid Qut}b,‛ Ashbrook Statesmanship Thesis, 2004, 13 dan Peta Tarlinton, ‚Understanding the
Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005):173-174.
244 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 3, 1254-1259. 245 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 3, 1254-1259.
Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n vol. 3, 1254-1259., Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174 dan Thameen Ushama, ‚Sayyid Qut}b: individual to Collective Action,‛ Intelectual Discourse (2004): 173, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/viewFile/258/249 (diakses pada 18 Januari 2014) dan Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal
Melalui penafsiran Qut}b di atas, diketahui bahwa Qut}b percaya Yahudi dan Nasrani adalah otak di balik kemunduran Islam. Dan salah satu produk ahli kitab adalah westernisasi. Selain westernisasi, termasuk dalam usaha ahli kitab dalam menghancurkan Islam adalah dengan merusak moral umat Islam. Hal ini terlihat ketika Qut}b menafsrikan Q.S. al-Nisa> (4): 16.
Lebih lanjut mengenai hal ini, setelah Qut}b menjelaskan hukum-hukum perkawinan yang terkandung dalam ayat tersebut, ia kemudian mejelaskan hikmah di balik perintah dan larangannya yang ada dalam ayat. Yaitu, adalah menjaga kesucian masyarakat Islam itu sendiri. Karena menurut Qut}b, salah satu ciri khas masyarakat jahiliyah adalah kerusakan moral, yang terjadi dalam hubungan lawan jenis tanpa adanya pernikahan. Hal ini, masih menurut Qut}b, diperburuk dengan adanya sebutan ‚hak asasi manusia‛ ‚kesenian‛ dan ‚kemajuan‛ sebagai sebutan untuk hubungan lawan jenis yang tanpa
pernikahan tersebut. Dan hal ini telah terjadi di Amerika. 247 Keyakinan tersebut merupakan buah dari perjalanannya ke
Amerika selama dua tahun. Selama ia berada di sana, Qut}b tidak semakin kagum kepada Barat, tetapi justru merasa bahwa Barat serta budayanya tidak sesuai dengan Islam. Oleh karena itu, Qut}b menolak nasionalisme Arab, demokrasi, pendidikan dan sistem yang berasal dari Barat. Dan sebagai gantinya, Qut}b mendukung ide adanya ummah atau masyarakat muslim sebagai lawan dari Nasionalisme Arab. Karena bagi Qut}b, al-Qur’an tidak mengajarkan untuk hanya bersatu berdasarkan ras, suku, bangsa atau warna kulit, namun al-Qur’an menyuruh umat muslim untuk bersatu atas nama islam dan bukan bangsa. Islam juga tidak mengenal dikotomi antar bangsa. Yang ada, masih menurut Qut}b, hanya dikotomi antara muslim atau kafir, tauhid dan musyrik. 248
of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science 11, vol. 12 (2012): 93.
247 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 1, 601-603 248 Bandingkan dengan Paul Brykczynski, ‚Radical Islam and the
Nationalism in the Political Thought of Hassan al-Banna and Sayyid Qut}b,‛ History of
5 (2005): 8-10, http://www.ucalgary.ca/hic/files/hic/pbrykczynski.pdf(diakses pada 27 Januari 2014) dan Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
Intelectual Culture
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 26-27.
Ayat-ayat di atas, adalah penafsiran yang menggabungkan antara konsep h}a>kimiyah-ja>hiliyah. Dan dengan menggabungkan antara penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan dengan ja>hiliyah ini, peneliti menyimpulkan bahwa definisi konsep ja>hiliyah bagi Qut}b, bila diperinci memiliki tiga karakteristik, pertama sistem yang tidak didasari syariat Allah, sistem komunis dan ketiga adalah produk-produk ahli kitab. Dan ketiga karakteristik ini kembali pada satu tujuan, menyeru manusia kepada penerapan konsep kedaulatan Tuhan. Dengan kata lain, jahiliyah modern versi Qut}b ini adalah kata lain dari konsep kedaulatan manusia. Oleh karenanya, masyarakat Amerika dan ahli kitab bahkan muslim sendiri—yang tidak menerapkan kedaulatan Tuhan di dunia dan mengikuti jejak masyarakat Barat juga ahli kitab—termasuk dalam masyarakat jahiliyah. Tidak hanya itu, termasuk dalam kategori jahiliyah adalah penganut komunis serta materialisme juga kerusakan moral yang
ditimbulkan oleh westernisasi. Karena westernisasi ini adalah produk Barat yang tidak lain telah bekerjasama dengan ahli kitab untuk
menghancurkan Islam. Konsep ja>hiliyah ini, kebanyakan digunakan Qut}b sebagai latar dalam menjelaskan konsep h}a>kimiyah. Pasalnya, ia menganalogikan masa kini dengan masa lalu dengan menjadikan konsep ja>hiliyah sebagai ‘illat. Konsep ja>hiliyah ini pula, yang menjadikan dasar bagi pembagian masyarakat di dunia; masyarakat jahiliyah dan masyarakat Islami. Hal ini membuktikan bahwa pernyataan beberapa akademisi seperti al-Kha>lidi>, bahwa konsep ja>hiliyah ini tidak diperuntukkan untuk masyarakat namun untuk sebuah sistem, dapat dipatahkan. Dengan ini, terbukti bahwa konsep ja>hiliyah, yang kemudian melahirkan pembagian tipologi masyarakat menjadi Islami dengan jahiliyah, menjadi salah satu dari penjelasan Qut}b yang mengindikasikan kepada takfi>r. Selain itu, tidak sedikit penjelasan Qut}b yang menyatakan bahwa masyarakat jahiliyah tersebut adalah masyarakat yang musyrik, karena dinilai telah memberikan karakteristik Allah yaitu konsep h}a>kimiyah kepada manusia, walaupun hanya dalam sistem kehidupan. 249
249 AB. Rahman, Nooraihan Ali dan Wan Ibrahim, ‚The Influence of al- Aqqa>d and Di>wa>n School of Poetry on Sayyid Qut}b’s Writings‛ International
Journal of Humanities and Social Science 8, vol. 1 (Juli 2008): 158, www.ijhssnet.com/journals/Vol._1No._8;_July_2011/18.pdf (diakses pada 15 Januari 2014 dan Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots
B. MAYARAKAT ISLAMI: SEBUAH SOLUSI Kritik yang diajukan Qut}b kepada hal-hal yang mengindikasikan kepada jahiliyah modern, bukan tanpa disertai solusi. Oleh karena itu, ketika ia membahas aspek-aspek yang membawa seorang manusia kepada lembah jahiliyah, ia akan menyampaikan solusi untuk keluar dari kejahiliyahan tersebut. Dan solusi untuk keluar dari hal itu adalah membentuk masyarakat Islami atau disebut juga dengan ummah. Hal ini diperjelas, dengan kesimpulan beberapa pemikir. Di antara mereka, menyatakan bahwa pemikiran-pemikiran politik Qut}b terletak dalam konsep kedaulatan Tuhan, jahiliyah dan
masyarakat Islami. 250 Jika disederhanakan, mereka yang tidak menempatkan konsep kedaulatan Tuhan telah masuk ke dalam
jahiliyah. Dan solusi untuk keluar dari jahiliyah ini, adalah dengan adanya masyarakat Islami yang menjunjung tinggi kedaulatan Tuhan.
Jadi, masyarakat Islami ini memiliki karakteristik khusus, yakni menjunjung tinggi kedaulatan Tuhan. Oleh karenanya, segala sistem
atau peraturan yang tidak berdasarkan syariat Islam berarti kehilangan legitimasinya, kemudian mereka masuk ke dalam lembah jahiliyah. 251
Pemikiran Qut}b mengenai masyarakat Islami ini, dibangun atas keyakinan Qut}b bahwa masyarakat saat ini semuanya jahiliyah. Qut}b melihat dunia ini seperti hitam dan putih, Islam dan jahiliyah. Oleh karenanya, dalam tulisan-tulisan Qut}b, ia sering kali
of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174 dan Thameen Ushama, ‚Sayyid Qut}b: individual to Collective Action,‛ Intelectual Discourse
173, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/viewFile/258/249 (diakses pada 18 Januari 2014).
250 Lihat Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth
(2007): 167-168, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/view/49 (diakses pada 18 Januari 2014), Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174 dan Thameen Ushama, ‚Sayyid Qut}b: individual to Collective Action,‛ Intelectual Discourse
and Reality,‛
Intelectual
Discourse
173, http://www.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/viewFile/258/249 (diakses pada 18 Januari 2014) dan Jon Armajani, Modern Islamist Movement (Oxford: John Wiley and Sons, 2012), 61.
251 Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse (2007): 167-168 dan Nazih N. Ayubi, Political
Islam: Religion and Politics in the Arab World, 140.
mendikotomi antara dua hal tersebut, Islam dengan jahiliyah, iman dan kafirnya seseorang. Dan kebiasaan ini, yakni pemikiran dikotomis,
yang kemudian menjadi karakteristik pemikiran radikal. 252 Lebih lanjut mengenai konsep masyarakat Islami ini. Qut}b
memiliki definisi dan karakteristik khusus. Adapun definisi masyarakat Islami, menurut Qut}b kembali kepada definisi da>r al-isla>m dan da>r al-h}arb. Hal ini dijelaskan Qut}b saat menafsirkan Q.S. al- Ma>’idah (5): 27-40. Rangkaian ayat tersebut menceritakan kisah anak Adam sekaligus pembunuhan pertama yang terjadi di muka Bumi. Adapun kaitannya dengan konsep masyarakat Islam, menurut Qut}b, ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana Islam melindungi jiwa dan harta manusia dengan syariatnya. Dan untuk terwujudnya hukum Islam tersebut, dibutuhkan sebuah komunitas yang disebut dengan masyarakat Islami. Lebih jelasnya, defenisi da>r al-isla>m menurut Qut}b adalah negara yang mengimplementasikan syariat dan hukum Islam
dalam segala aspek. Adapun yang dimaksud dengan da>r al-h}arb adalah negara yang tidak dijalankannya syariat dan hukum Islam, meskipun
yang tinggal di dalamnya adalah muslim. Maka, yang disebut masyarakat muslim adalah mereka yang tinggal di dalam negara Islam. Dengan kata lain, parameter dalam menentukan antara negara Islam berikut masyarakat Muslim atau bukan adalah penggunaan syariat dan
hukum Islam. 253 Definisi negara Islam menurut Qut}b ini, nampaknya perlu
digarisbawahi. Pasalnya, apa yang dikatakan Qut}b berbeda dengan beberapa peneliti dan ulama seperti Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i> (ulama asal Syiria, 1929 M-2013 M). Menurut al-Bu>t}i>, negara Islam adalah negara di mana kepemilikan kekuasaan dan kebebasan dipegang oleh umat Muslim, di mana masing-masing mereka bebas menerapkan dan
252 Bandingkan dengan Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 367, R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World (Syracuse
University Press, 1985), 91, Shmuel Bar ‚The Religious Sources of Islamic Terrorism,‛
1 Juni 2004, http://www.hoover.org/publications/policy-review/article/6475. (diakses pada 24 Mei 2014) dan Luke Loboda, ‚The Thought of Sayyid Qutb,‛ Ashbrook Statesmanship Thesis (2004): 4, http://www.ashbrook.org/wp-content/uploads/2012/06/2004- Loboda-The-Thought-of-Sayyid-Qutb-PDF.pdf (diakses pada 25 April 2004).
Stanford
University
253 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 873-875, R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World,
91 dan Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174.
meninggikan hukum dan syariat Islam. Dengan kata lain, syariat Islam bukanlah syarat dalam menentukan sebuah negara termasuk dalam negara Islam atau bukan. Hanya saja, jika masyarakat muslim yang ada dalam suatu negara tidak menjalani syariat Islam, maka mereka akan berdosa. Kendati demikian hal tersebut tidak lantas membuat mereka menjadi kafir, selama alasan dalam melakukan hal tersebut bukan
karena ingkar. 254 Al-Qarad}a>wi, juga tidak mempersempit definisi negara Islam.
Menurut al-Qarad}a>wi>, sebutan negara madani tidak berbeda dengan negara Islam. Pasalnya, negara madani berdiri atas konsep musyawarah, dan adanya wakil rakyat yang mengawasi pemerintah, dan hal ini ada dalam negara Islam. Oleh karena itu, menurut al- Qarad}a>wi>,
demokrasi tidak mengeluarkannya dari sebutan negara Islam. 255
Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa definisi masyarakat Islami bagi Qut}b terletak pada penerapan syariat dan hukum Islam. Lebih
lanjut, adapun syarat khusus untuk terbentuknya masyarakat Islami ini, adalah aspek akidah. Yakni, masyarakat Islami sesuai dengan namanya, terbentuk dengan pemahaman akidah yang benar. Dan pemahaman akidah ini dapat ditemui dengan memahami konsep tauhid, la> ila>ha illa Alla>h. Hal ini, tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki kesempatan untuk berijtihad. Hanya saja, jika hal tersebut tidak berdasarkan syariat Islam, maka ia kehilangan legitimasinya dan berakhir dalam lembah jahiliyah. Berdasarkan konsep tauhid ini, pembentukan masyarakat Islami adalah suatu kewajiban dan bukan pilihan. Hal ini menurut Qut}b, karena Allah menciptakan manusia
untuk menyembah-Nya. 256 Konsep tauhid, dengan demikian adalah watak dari sebuah
masyarakat Islami. Oleh karena itu, untuk membentuk masyarakat Islami,Qut}b berargumen bahwa hal tersebut akan tercapai dengan
254 Sai>d Ramadha>n al-Bu>t}i>, penerjemah M. Abdul Ghofar, Fiqh Jihad
(Jakarta: Pustaka an-Naba’, 2001), 76-77. 255 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fikih Negara, penerjemah Syarif Halim
(Jakarta:Rabbani Press, 1997), 78. 256 Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism:
An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science
11, vol. 12 (2012): 92-94, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume 12/11-From-Social-Justice-to.pdf(diakses pada 16 Januari 2014) dan Lubodo, ‚The Thought of Sayyid Qut}b,‛ Ashbrook Statesmanship Thesis, 2004, 13.
memberikan pemahaman yang cukup mengenai arti dari konsep akidah serta konsep kedaulatan Tuhan yang terkandung di dalamnya. Hal ini ia jelaskan saat menafsirkan Q.S. ali ‘imra>n (3): 32. Lebih lanjut, saat menafsirkan ayat tersebut secara umum, Qut}b mengatakan bahwa masyarakat Islami hanya terbentuk dengan konsep tauhid. Dan implikasi dalam hal ini, adalah penghambaan total kepada Allah yang akan terwujud dengan menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, ekonomi, dan sosial politik. Penjelasan ini, juga didapati tatkala Qut}b menjelaskan Q.S. AL-Baqarah (2): 261-274 dan al-Nisa>
(4): 36-43. 257 Kelanjutan dari konsep tauhid dalam pembentukan
masyarakat Islami ini adalah pemahaman yang benar mengenai konsep kedaulatan Tuhan. Hal ini lah yang menurut peneliti, menjadikan Qut}b sering menjelaskan konsep kedualatan Tuhan dalam tafsir Fi> Z{ila>l al- Qur’a>n. Selain itu, implikasi dari hal ini adalah penolakan Qut}b terhadap sistem Barat, yang dinilai Qut}b merupakan kerja sama antara Barat, zionis, dan pemerintahan tirani untuk menyingkirkan Islam. Termasuk dalam sistem tersebut adalah nasionalisme, demokrasi dan pan Arabisme. Hal ini pula yang menyulut penolakan Qut}b terhadap rezim Nasser, lantaran pemerintahan Nasser lebih memilih pan Arabisme dibanding syariat Islam. Alasan Qut}b, Islam tidak membeda- bedakan umatnya dengan perbedaan kulit, ras ataupun bangsa, melainkan hanya melihat mereka berdasarkan ketakwaannya. Maka, siapa saja yang mengikuti sistem buatan manusia ini masuk ke dalam jahiliyah. 258
Lebih detil, penjelasan Qut}b terhadap masyarakat Islami, serta kritiknya terhadap nasionalisme terlihat tatkala ia menafsirkan Q.S. al-Anfa>l (8): 72-75. Lebih jelasnya, Qut}b tidak hanya mengkritik nasionalisme, tetapi ia juga menjelaskan panjang lebar mengenai tabiat masyarakat Islami dan metode yang nanti akan dijalankan oleh masyarakat Islami tersebut. Tabiat masyarakat Muslim menurut Qut}b adalah dakwah yang pernah dijalankan oleh Nabi Muhammad dahulu. Dan esensi dari dakwah ini adalah mengesakan Allah dengan segala
257 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 126 dan vol. 1, 358. 258 Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and
Human Rights , 15, Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174 dan Thameen Ushama, ‚Sayyid Qut}b: individual to Collective Action,‛ Intelectual
Discourse (2004): 173.
aspek yang mengelilinginya, yaitu akidah, ibadah dan sosial politik. Hal ini lah yang kemudian menjadi tujuan dari masyarakat Muslim, yakni menyeru umat manusia untuk keluar dari perbudakan manusia kepada manusia, serta penyembahan kepada sesama manusia. Dan hal tersebut terjadi ketika manusia tidak menjalankan syariat Islam secara
total dalam kehidupan mereka. 259 Adapun metode yang dilakukan untuk terbentuknya
masyarakat Islami adalah dengan bergerak maju dan tidak diam dalam menghadapi kejahiliyahan ini. Lebih lanjut mengenai hal ini, jahiliyyah sendiri memiliki watak yang terus bergerak dalam menyingkirkan masyarakat jahiliyah. Maka untuk menghadapi hal ini adalah dengan tidak diam, melainkan terus bergerak agar terwujud
masyarakat Islami yang sesungguhnya. 260 Jika disederhanakan, maka konsep masyarakat Islam menurut
Qut}b terbentuk dalam dua tahap. Pertama, kematangan spiritual (landasan inspirasi Qur’ani yang bertujuan membebaskan rakyat dari
kejahiliyahan). Kedua, perang melawan masyarakat jahiliyah. 261 Lebih lanjut mengenai masyarakat Islami ini, menurut Qut}b masyarakat ini
memiliki beberapa karakteristik. Di antaranya, adalah ketidakcocokan terhadap sistem nasionalisme dan Pan Arabisme. Hal ini menurut Qut}b, karena masyarakat Islam berdiri atas konsep akidah. Maka, cara untuk membentuk masyarakat Islami adalah dengan ikatan akidah. Dan ikatan akidah ini berbeda dengan ikatan darah, jenis, ras, warna
kulit ataupun bangsa tertentu. 262 Kelanjutan mengenai teori ‚pergerakan‛ yang dipimpin Qut}b
ini, berlanjut kepada apa yang dipahami mengenai masyarakat yang tinggal dalam da>r al-h}arb. Hal ini, karena menurut beberapa peneliti, definisi Qut}b mengenai da>r al-h}arb dan da>r Isla>m, seolah-olah menjadi legitimasi untuk melakukan jihad fisik terhadap masyarakat da>r al-
259 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.3, 1556-1558. 260 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.3, 1556-1558, Youssef Choueiri, ‚The
Political Discourse of Contemporaryi Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 28- 29,Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse (2007): 167-168 dan Jon Armajani, Modern Islamist Movement, 61
261 Ali Syu’aib dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam, penerjemah Muhtarom, 31.
262 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.3, 1556-1558.
h}arb. 263 Hal ini, menurut peneliti adalah wajar. Karena Qut}b tidak menjelaskan lebih lanjut kelanjutan dari pembagian kedua masyarakat
tersebut. Padahal, jika dikomparasikan lebih lanjut mengenai definisi da>r al-harb, berarti masyarakat di dalamnya berhak untuk diperangi.
Berbicara mengenai definisi da>r al-h}arb, bila merujuk versi Qut}b, maka yang dimaksud dengan da>r al-h}arb adalah sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Hal ini sebagaimana yang telah peneliti paparkan berbeda dengan apa yang dikatakan oleh ulama semisal al-Bu>t}i> dan al-Qarad}a>wi>. Hanya saja, jika mengutip fikih Hanafi>, definisi da>r al-h}arb adalah negara yang tidak menjalankan syariat Islam, sama seperti apa yang dikatakan Qut}b. Namun, jika merujuk kitab-kitab kontemporer, definisi kafir h}arbi> Qut}b masih terlalu umum. Dalam kitab al-Mausu>’ah al-Fiqhiyah misalnya, kafir terbagi menjadi empat bagian. Pertama, adalah kafir harbi, yaitu kafir yang boleh kita perangi, karena mereka telah melanggar perjanjian
dengan umat Muslim. Kafir mu’a>had, yaitu kafir yang melakukan perjanjian dengan pemimpin Muslim untuk tidak melakukan
peperangan dengan golongan muslim sehingga hidup dalam kedamaian. Ketiga, kafir musta’man. Yakni, kafir yang meminta perdamaian ketika masuk negara Muslim, begitu juga sebaliknya. Dan keempat yaitu kafir dhimmi>, yaitu kafir yang berdomisili di negara Muslim, dengan membayar upeti kepada negara Islam. Kendati demikian, asal hukum bagi kafir harbi adalah boleh diperangi oleh
umat Muslim. 264 Asal hukum dari kafir harbi adalah boleh diperangi, maka jika ia memasuki negara Islam tanpa memiliki jaminan
keamanan dari pemimpin muslim, kafir tersebut berhak untuk dimintai keterangan terlebih dahulu, dan tidak langsung memerangi atau membunuhnya. 265
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang kafir harbi, memang boleh diperangi. Kendati demikian, tidak semestinya kita mudah memberikan predikat kafir harbi. Karena hukum kafir harbi, berhubungan dengan hukum jihad. Lebih lanjut,
263 Di antaranya Jon Armajani, John Calvert dan Thameem Ushama. Jon Armajani, Modern Islamist Movement, 60-61, John Calvert, Sayyid Qut}b and the
Origin of Radicalism, 221-222 dan Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse (2007): 167-168.
264 Kementerian Wakaf Kuwait, al-Mawsu>’ah al-Fiqhiyah al-Kawniyah (al- Maktabah al-Sha>milah ) vol. 2, 2466.
265 Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam, penerjemah Kuswanto (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), 132-135.
dalam al-mausu>’ah al-fiqhiyah dikatakan bahwa perang melawan kafir h}arbi> ada dua macam. Pertama, ketika tidak ada perjanjian di antara keduanya dan dalam keadaan perang, maka kafir yang berperang tersebut boleh untuk diperangi. Dan jika tertangkap, mereka boleh dibunuh, dijadikan tawanan atau budak. Kedua, jika mereka (kafir harbi) meminta perlindungan atau memiliki perjanjian damai dengan penguasa muslim saat itu, maka mereka tidak boleh diperangi apalagi dilukai. Tetapi jika mereka tidak memiliki perjanjian atau meminta perlindungan dari penguasa muslim, maka mereka boleh dibunuh,
karena itu adalah hukum asal dari kafir harbi. 266 Sebagaimana yang telah peneliti katakan, bahwa untuk
membentuk masyarakat muslim, Qut}b menyarankan dua tahap. Pertama, dengan teori dan kedua dengan praktik. Pertama, dengan berdakwah mengajak muslim lainnya untuk menjalankan konsep kedaulatan Tuhan dalam berbagai lini kehidupan. Kedua, adalah
bergerak dan tidak diam menunggu, demi terwujudnya sebuah masyarakat Islami. Adapun yang pertama, telah banyak peneliti
paparkan dalam bab III, yakni saat menerangkan konsep kedaulatan Tuhan. Adapun kedua, Qut}b menawarkan cara untuk mengimplementasikan hal tersebut. Yaitu, dengan melakukan pergerakan dan revolusi untuk menumpas segala kejahiliyahan di
Bumi. 267 Masih mengenai teori pergerakan milik Qut}b, ia menjadikan
hijrah Nabi Muhammad ke Madinah sebagai latar. Yakni, sebagai bentuk dari perjuangan itu sendiri, masyarakat Islami adalah mereka yang mau untuk berhijrah atau berpindah dari tempat jahiliyah mereka, untuk membentuk komunitas muslim yang baru. Dan ini juga merupakan kareakteristik dari masyarakat Islami. Karena masyarakat Islami tidak hanya bisa dicapai dari populasi, atau keturunan semata,
266 Kementerian Wakaf Kuwait, al-Mawsu>’ah al-Fiqhiyah al- Kawniyah, vol. 2, 2466-2469. Bandingkan pula dengan Majid Khadduri, Perang dan Damai
dalam Hukum Islam, penerjemah Kuswanto, 135. 267 Sayyid Qut}b, Ma’a>lim fi> al-T{ari>q (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1979) 27-29,
Steven G. Zenishek, ‚Sayyid Qutb’s ‚Milestones and Its Impact on the Arab Spring,‛
(9 Mei 2013), http://smallwarsjournal.com/jrnl/art/sayyid-qutb%E2%80%99s- %E2%80%9Cmilestones%E2%80%9D-and-its-impact-on-the-arab-spring (diakses pada 28 April 2014) dan Ali Syu’aib dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam, penerjemah Muhtarom, 31-32.
Small
Wars
Journal Journal
Hal tersebut terlihat dalam penafsiran Qut}b terhadap Q.S. al- Nisa> (4): 89. Ayat ini menceritakan tentang kewajiban berhijrah ke Madinah dan apa yang akan dilakukan kepada mereka yang tidak berhijrah. Mengutip apa yang dikatakan al-Ra>zi> dalam tafsirnya, bahwa ayat ini adalah dalil atas kewajiban berhijrah sampai datangnya fathu Makkah (tahun ke-10 H). Namun, apa yang dimaksud dengan berhijrah itu sendiri? al-Ra>zi> menjelaskan bahwa kata hijrah, terakadang diartikan dengan berpindah tempat dari da>r al-harbi menuju da>r al-kufr atau diartikan dengan berpindahnya seseorang dari perilaku yang dilarang menuju perilaku yang diperintahakan Allah. 269
Penafsiran serupa juga dikatakan oleh al-A>lu>si> dalam tafsrinya, Ru>h{ al- Ma’a>ni>. Bahwasanya definisi hijrah itu sendiri memiliki tiga arti, pertama berpindah tempat ke negara Islam, kedua berpindahnya
seseorang kepada perlakuan yang baik dan sesuai dengan perintah Allah, ketiga adalah keluar untuk berperang. 270
Implikasi akan hal ini, terlihat dalam kelanjutan ayat, yang menyuruh untuk menawan kemudian membunuh mereka yang tidak mau berhijrah, karena berhijrah pada saat itu adalah wajib. Hanya saja, dalam ayat juga tertera dua pengecualian untuk hal itu, pertama adalah mereka yang telah memilki perjanjian dengan Nabi Muhammad dan kedua muslim yang tidak dapat berhijrah, kendati demikian mereka juga tidak mengikuti kafir Quraish dalam memerangi muslim dan bergitu juga sebaliknya, akibat kelemahan mereka. 271
Adapun Qut}b, menggunakan ayat ini untuk menjelaskan kewajiban berhijrah untuk membentuk sebuah komunitas Muslim. Dari sini, bisa ditemukan bahwa muslim yang tidak mau untuk berhijrah, berarti mereka tetap berada dalam da>r al-kufr. Maka implikasi dari hal
268 R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World,
92, Thameem Ushama, ‚Extremism in the Discourse of Sayyid Qut}b: Myth and Reality,‛ Intelectual Discourse (2007): 168 dan Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science
11, vol. 12 (2012): 93. 269 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb (Beirut: Da>r al-Fikr, 1980), vol.
Al-A>lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘arabi>, 1981),vol. 4, 173. 271 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, 325.
Apa yang dikatakan Qut}b di atas, didasari atas hijrah Nabi Muhammad bersama umat muslim Mekkah menuju Madinah dan diamini oleh penafsri lainnya. 273 Namun, apakah yang dimaksud
dengan berhijrah pada masa jahiliyah modern ini sama dengan berpindah tempat? Menurut peneliti, memang Qut}b menjadikan masa Nabi Muhammad sebagai latar, namun yang dimaksud dengan berhijrah pada teori masyarakat Islami Qut}b adalah melepaskan diri dari kekangan sistem jahiliyah, baik dari sisi ibadah, ekonomi, maupun sosial politik. Hal ini dapat terlihat ketika Qut}b menafsirkan al-Anfa>l (8): 72-75 secara umum.
Lebih lanjut, Qut}b mengatakan bahwa tujuan dari dibentuknya masyarakat Muslim adalah mengajak manusia untuk mengesakan Allah dengan penghambaan yang total. Dan hal ini dapat
terealisasi ketika manusia dapat menempatkan kedaulatan Tuhan pada tempatnya. Selain itu, tugas dari masyarakat Islami adalah agar semua
yang telah mengucapkan syahadat segera melepaskan diri dari jahiliyah yang ada. Yakni, dari segala kekuasaan jahiliyah tersebut, baik dalam permasalahan agama, politk, sosial, atau ekonomi. Hal ini karena menurut Qut}b, Islam itu tidak hanya diam tapi terus bergerak untuk melakukan perubahan. Karena inilah, masyarakat Islami diwajibkan untuk berpisah dari masyarakat jahiliyah. Dengan ini, peneliti menyimpulkan bahwa definisi ‚’uzlah‛ dalam pengertian Qut}b bukanlah mengasingkan diri seperti yang dipahami oleh gerakan- gerakan islamis setelah Qut}b, namun yang dimaksud dengan berhijrah adalah perpindahan perilaku umat Muslim dari apa yang dilarang menuju apa yang diperintahkan. Oleh karena itu, masyarakat Islami menurut Qut}b terlahir dari sebuah pergerakan yang menjunjung tinggi konsep tauhid dan kedaulatan Tuhan. 274
Qut}b telah menjadikan masyarakat muslim pada era Nabi sebagai contoh. Ia juga membandingkannya dengan masyarakat masa kini, hingga ia berkesimpulan untuk mencontoh apa yang Nabi
272 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 1, 732 dan R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World, 92.
273 Al-A>lu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol. 4, 173 dan Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, 325.
274 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1497dan David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993 (London: Frank Cass and CO. LTD, 1995), 50-
Muhammad lakukan di era Mekkah. Lebih jelasnya, menurut Qut}b, masyarakat pada zaman Nabi perlu dicontoh karena masyarakat tersebut mempelajari Islam langsung dari Muhammad, sementara umat masa kini mempelajari Islam namun dicampur dengan ide-ide Barat dan zionis. Masyarakat Nabi mempelajari al-Qur’an untuk dipraktikan dalam hidup, sementara masyarakat masa kini memperlajarinya hanya untuk pengetahuan belaka, budaya, ataupun informasi namun tidak untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, masyarakat pada masa Nabi menghentikan jahiliyah dengan usaha mereka sendiri, mereka tidak diam melainkan berusaha untuk keluar dari jahiliyah , sementara masyarakat masa kini hanya berdiam diri seolah tidak berdaya menghadapi kejahiliyahan ini. Oleh karena ini, Qut}b kemudian menjadikan masyarakat masa Nabi sebagai latar, juga menjadikan ‚hijrah‛ sebagai tahap lanjutan dalam membentuk masyarakat
Islami. 275 Apa yang dijelaskan Qut}b di atas, memang telah
menerangkan apa yang harus dilakukan kepada muslim yang tidak mau untuk berhijrah dalam definisi da>r al-h}arb miliknya. Hanya saja, ia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana sikap yang diambil dalam menghadapi kaum musyrik yang berada dalam da>r al- h}arb? Maka, tidak dipungkiri, bahwa definisi da>r al-h}arb dan da>r al- Isla>m menimbulkan banyak pertanyaan dan kesalahpahaman. Pasalnya, gerakan Islamis lokal seperti al-takfi>r wa al-hijrah, jama>’at al- muslimu>n dan gerakan islamis bersifat internasional seperti al-Qaeda menjadikan definisi tersebut beserta konsep kedaulatan Tuhan dan jahiliyah modern sebagai legitimasi untuk mengangkat senjata untuk membunuh mereka yang termasuk dalam da>r al-h}arb. Tidak hanya itu, mereka menganggap darah para pemimpin yang tirani dan tidak menjalankan syariat Islam adalah halal, selain mereka juga meyakini akan kewajiban hijrah dan menjauh dari masyarakat yang mereka sebut dengan masyarakat jahiliyah. 276
Sebagaimana yang peneliti katakan, bahwa tahap kedua dalam membentuk masyarakat Islami adalah membuat pergerakan.
275 Steven G. Zenishek, ‚Sayyid Qutb’s ‚Milestones and Its Impact on the Arab
(9 Mei 2013), http://smallwarsjournal.com/jrnl/art/sayyid-qutb%E2%80%99s- %E2%80%9Cmilestones%E2%80%9D-and-its-impact-on-the-arab-spring (diakses pada 28 April 2014).
Spring,‛ Small
Wars
Journal
276 Bandingkan dengan David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993, 46-47 danJon Armajani, Modern Islamist Movement , 61
Dan yang dimaksud dengan bergerak di sini, tidak hanya mengajak kepada ketauhidan dan mengaktualisasikan konsep kedaulatan Tuhan, namun juga diperlukan usaha untuk melepaskan diri kekuasaan jahiliyah yang ada, baik dari segi ibadah, ekonomi dan sosial politik. Karena Islam tidak berkembang hanya dengan diam, melainkan
dibutuhkan sebuah pergerakan untuk menghadapi sistem jahiliyah. 277 Hal tersebut terbukti ketika Qut}b menafsirkan Q.S. a>li ‘Imra>n
(3): 110. Lebih jelasnya, Qut}b tatkala memberikan penafsiran umum mengenai ayat tersebut, ia mengatakan bahwa salah satu tugas umat Islam adalah melaksanakan al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahyi ‘an al- munkar. Dan sebelum itu, dibutuhkan keimanan yang kuat kepada Allah dan pemahaman yang benar mengenai apa itu menyeru kepada kebaikan dan apa yang dimaksud dengan melarang akan kemunkaran. Setelah itu, barulah masyarakat muslim menjalankan tugasnya, sambil
memperingati para pemimpin yang tirani atau 278 t}a>ghu>t. Hal senada juga dikatakan ketika Qut}b menafsirkan Q.S. al-
Anfa>l (8): 72-75. Saat ia menjelaskan ayat-ayat tersebut secara umum, Qut}b mengatakan bahwa ayat-ayat ini menceritakan karakteristik masyarakat Islam, yaitu selain memahami konsep akidah berikut kedaulatan Tuhan yang absolut, terdapat karakteristik lain yaitu siap bergerak untuk menyingkirkan sistem jahiliyah dan menggantikannya dengan sistem Islami. Tidak hanya itu, ia juga menyebutkan bahwa masyarakat Islam harus menyendiri dari masyarakat jahiliyah, dan ini adalah tujuan dari masyarakat Islam. Dan yang dimaksud dengan menyendiri di sini adalah menjauh dari kekuasaan jahiliyah dalam segala aspek, seperti segi agama, ekonomi dan sosial politik. Jadi, yang dimaksud dengan pergerakan di sini, berdasarkan penafsiran Qut}b di atas, adalah menjauh dari kekuasaan jahiliyah, untuk kemudian menggantinya dengan sistem Islam. 279
Penafsiran di atas didukung dengan penafsiran Qut}b lainnya terhadap Q.S. Yu>suf (12): 55. Sebagaimana yang telah peneliti katakan, bahwa dalam menjelaskan ayat ini Qut}b menjelaskan panjang lebar mengenai konsep kedaulatan Tuhan, masyarakat Islam dan fiqh
277 Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, 140, Jon Armajani, Modern Islamist Movement , 60 dan David Sagiv,
Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993, 40. 278 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.1 , 446-447.
279 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1497.dan L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali, 122.
al-awra>q. 280 Adapun mengenai konsep masyarakat Islam dalam penafsirannya tersebut, ia menjelaskan bahwa watak dari masyarakat
Islam adalah terbentuk dari akidah yang benar. Setelah itu, dibutuhkan sebuah pergerakan untuk menyingkirkan sistem jahiliyah dan menggantinya dengan masyarakat Islami. Ini artinya, masyarakat Islam terlahir dari pergerakan yang benar dengan konsep akidah. Hal ini karena masyarakat Islami, bertugas untuk membebaskan masyarakat dari kejahiliyahan, yakni dari pemimpin yang tirani atau perbudakan manusia kepada manusia menuju penghambaan total kepada Tuhan. 281 Penafsiran-penafsiran Qut}b di atas, membuktikan
bahwa yang dimaksud dengan jihad melawan kejahiliyahan adalah melakukan revolusi dengan menumbangkan pemerintahan yang
tirani. 282 Pendapat tersebut terlihat ketika Qut}b menjelaskan Q.S. al-
Anfa>l (8): 39. Yakni saat ia menafsirkan wa qa>tilu>hum h}atta>a la> taku>na fitnatun wa yaku>na al-di>nu kulluhu> lilla>h. Lebih jelasnya, ia
menjelaskan bahwa ayat ini menjelaskan bahwa Islam datang untuk menghadapi jahiliyah. Menurut Qut}b, Islam datang untuk mengajak manusia agar menjalankan konsep akidah. Dan yang dimaksud dengan menjalankan konsep akidah ini, adalah membebaskan manusia dari belenggu perbudakan manusia kepada manusia. Dan ini terjadi jika dilakukan revolusi besar-besaran dalam menghadapi jahiliyah, yakni kedaulatan manusia baik dalam berbagai bentuk dan sistem, serta melawan sistem jahiliyah ini. Adapun caranya, Qut}b mengatakan bahwa cara yang pertama adalah menolong umat Muslim lainnya dari siksaan dan cobaan yang timbul dari sistem jahiliyah, serta mengajak mereka untuk keluar dari penghambaan manusia kepada manusia dalam sistem jahiliyah, menuju penghambaan total kepada Allah. Dan hal ini hanya bisa terwujud jika terbentuk masyarakat Islam, yang membantu mereka untuk keluar dari pemerintahan tirani. Dan cara kedua adalah dengan menghancurkan segala sistem di Bumi ini, yang mencerminkan penghambaan antara sesama manusia. Hal ini adalah tahap lanjutan setelah cara pertama dilakukan. Dan tahap-tahap ini juga membuktikan bahwa Islam tidak hanya mencakup akidah namun
280 Lihat hal. 107 pada bab III. 281 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1721 282 Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the
Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174.
juga terdapat di dalamnya ‚pergerakan‛ demi terwujudnya kedaulatan Tuhan dan bukan penghambaan antara manusia. 283
Penafsiran Qut}b di atas, setidaknya membuktikan bahwa jihad melawan kejahiliyahan dalam tulisan Qut}b tersebut bukan berarti memerangi semua orang yang termasuk dalam lembah jahiliyah. Namun, yang menjadi sasaran adalah pemerintahan yang tidak menjalankan syariat Allah. Hal ini terlihat ketika Qut}b mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‚pergerakan‛ dalam teori membentuk masyrakat Islami adalah melawan pemerintahan yang tirani atau t}a>ghu>t, agar manusia yang berada di bawah kekuasaannya dapat bebas dari belenggu kejahiliyahannya. Dan inilah yang juga menjadi tujuan atau 284 hadaf dari terbentuknya masyarakat Islam.
Kendati demikian, peneliti tidak menampik bahwa Qut}b memiliki pendapat yang berbeda mengenai konsep jihad. Dan menurut peneliti, hal ini yang menjadi salah satu pendorong kesalahpahaman
yang terjadi.Hal ini terlihat ketika Qut}b menjelaskan tujuan dari jihad itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk
menetapkan ketuhanan Allah di muka Bumi dan mengusir para pemerintahan yang t}a>ghu>t atau tirani dari muka Bumi, agar umat
manusia terbebas dari perbudakan antara manusia dengan manusia. 285 Apabila melihat tujuan daripada jihad yang dikatakan Qut}b,
nampaknya berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Wahbah Zuhaili>> ketika menafsirkan ayat jihad. Menurutnya, tujuan jihad itu adalah untuk menegakkan kalimat al-tawhi>d, juga untuk melindungi jiwa, negara dan kehormatan umat muslim. 286
Hal ini berbeda dengan yang dikatakan Qut}b, yang lebih memilih ‚melawan pemerintahan tirani sebagai tujuan jihad,‛ meskipun dasar dari hal itu adalah menegakkan kalimat al-tawhi>d. Ditambah lagi, Qut}b mengatakan bahwa jihad tersebut bukanlah difensif melainkan ofensif. Karena Islam adalah agama yang kuat dan melakukan pergerakan ke depan. Maka, yang sesuai dengan ruh Islam adalah dengan melakukan jihad yang ofensif, ketika keadaan kembali
283 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1508. 284 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 3, 1508 dan vol. 4, 319, R. Hrair
Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World, 93 dan Peta Tarlinton, ‚Understanding the Adversary: Sayyid Qut}b and the Roots of Radical Islam,‛ Australian Army Journal, vol. II, No 2 (2005): 173-174.
285 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 111. 286 Wahbah Zuhaili>, al-Tafsi>r al-Muni>r \ (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1991), vol. 2,
seperti apa yang dialami Muhammad, yakni kembali kepada masa jahiliyah. 287 Dalam penafsrian Qut}b di atas, memang terlihat bahwa
tujuannya adalah menyingkirkan jahiliyah dari muka Bumi. Ia memang menyebutkan bahwa ketika keadaan jahiliyah kembali, maka hukum jihad pun kembali diberlakukan. Namun, ia tidak memberi detil lebih banyak bahwa hal tersebut adalah dengan membunuh semua manusia yang berada dalam kejahiliyahan. Melainkan ia memberikan detil bahwa yang dimaksud dengan ‚pergerakan‛ dalam membentuk masyarakat Islam adalah melakukan revolusi demi menumbangkan pemerintahan yang tirani, agar rakyat yang berada di bawah kekuasaannya tidak mengalami paksaan dalam menjalankan urusan agama mereka. 288 Selain itu, ia juga mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan berhijrah, adalah hijrah dari kekuasaan tirani yang tidak menjalankan syariat Allah. Dan bagi muslim yang tidak ‚berhijrah‛ maka ia tidak mendapat perlindungan dari muslim yang
sudah berhijrah. 289 Berdasarkan penjelasan ini, maka Qut}b pada dasarnya tidak
menyeru muslim lainnya untuk membunuh semua yang termasuk dalam jahiliyah, atas nama jihad terhadap jahiliyah. Kendati demikian, peneliti tidak menampik bahwa penafsiran Qut}b yang lain, serta dikotomi dengan leksikon yang kontras lah yang turut menumbuhkan
kesalahpahaman tersebut. 290 Tidak hanya itu, dalam bukunya Ma’a>lim Fi> al-T{ari>q, dalam sebuah pemabahasan khusus mengenai ‚jihad‛, ia
menyatakan dengan jelas bahwa watak Islam itu sendiri adalah bergerak dan tidak diam. Maka, jihad yang benar bukan hanya jihad difensif tetapi juga ofensif. Yakni, jihad bukan hanya dengan lisan tapi juga dengan pedang. Karena sebagian kebanyakan Muslim saat ini mengingkari adanya jihad ofensif, lantaran kelemahan mereka dan ketakutan mereka akan beberapa tuduhan yang dilancarkan Barat kepada Islam. 291 Kendati demikian, menurut peneliti penulisan Qut}b
287 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 119 dan John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism, 221-224.
288 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.3, 400. 289 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 2, 210. 290 David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973-1993, 46-
48. Di antaranya adalah penafsiran Qut}b terhadap konsep kedaulatan Tuhan yang ahistoris,leksikon yang kontras seperti Isla>m dan ja>hliyah, i>man dan kufr, definisi ‚istiqla>l‛ miliknya dan lain-lain turut menyuburkan kesalahpahaman tersebut. Lihat John Calvert, Sayyid Qut}b and the Origin of Radical Islamism, 223-225.
291 Sayyid Qut}b, Ma’a>lim fi> al-T{ari>q, 64.
tersebut hanya untuk menegaskan bahwa jihad dalam Islam tidak hanya difensif tapi juga ofensif. Hal itu karena kebanyakan dalam tulisan Qut}b mengenai jihad melawan kejahiliyahan, diperjelas dengan menumbangkan pemerintahan yang tidak menjalankan syariat Islam, tidak dengan detil bahwa hal tersebut harus lah dengan pedang. Namun dalam kutipan yang peneliti tulis di atas, khusus dalam menerangkan jihad secara umum. Namun ketika Qut}b membahas mengenai cara menumpas jahiliyah di Bumi, ia lebih mengeksplisitkan untuk melakukan revolusi demi menumbangkan sistem jahiliyah modern. Karena baginya, jika sistem jahiliyah tersebut telah tumbang, maka masyarakat Muslim pun dengan bebas menghidupkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Karena penghalang satu-satunya dalah mereka para penguasa tirani, yang hanya mengaku Islam dari
lisannya saja, tidak dengan perbuatan. 292 Hal tersebut, memperkuat kesimpulan bahwa kedua konsep
tersebut sebenarnya adalah konflik politik yang kemudian dibawa keapda konflik agama. Karena terlihat bahwa Qut}b menonjolkan
ketidaksukaanya kepada pemerintah yang hanya mengaku Islam dari lisannya saja, tapi tidak dalam perbuatannya. Dan hal tersebut tercermin dari pemerintahan Nasser yang menjalankan ‚Islam formal‛ dan lebih mendengarkan saran-saran negara Barat dalam memerintah
dibandingkan dengan menjalankan syariat Islam. 293 Melihat uraian-uraian di atas, terlihat jelas konsep masyarakat
Islami menurut Qut}b. Yakni, jahiliyah yang kini telah menyebar ke dalam masyarakat tidak hanya dalam sisi teori melainkan juga dalam segi praktik. Maka untuk menghadapi kejahiliyahan ini adalah dengan membuat pergerakan serupa. Dan hal ini terwujud dengan membentuk komunitas muslim yang terus bergerak dan berjuang untuk menumbangkan sistem jahiliyah, untuk kemudian menggantinya dengan sistem Islami. 294 Oleh karena itu, dibutuhkan sekelompok muslim yang benar-benar mengerti esensi dari konsep kedaulatan Tuhan. Dan setelah masyarakat ini terbentuk, tugas mereka adalah
292 Sayyid Qut}b, Ma’a>lim fi> al-T{ari>q, 80.
Bandingkan dengan R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution Fundamentalism in The Arab World (Syracuse University Press, 1985), 51, Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporary Islamist Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism,
ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 24-25 dan Gils Kibili, Meluruskan Radikalisme Islam, penerjemah Muhtarom, 31-33. 294 Bandingkan dengan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.3, 446.
menumbangkan sistem jahiliyah dan menggantinya dengan sistem Islam. 295
Berdasarkan hal tersebut, bagi Qut}b terdapat dua tahap untuk membentuk masyarakat Islami. Pertama adalah masa pemantapan dalam memahami apa yang disebut jahiliyah modern dan konsep kedaulatan Tuhan, hal ini dilakukan agar terbentuk pemahaman yang benar akan konsep kedaulatan Tuhan dan sistem jahiliyah itu sendiri. Kemudian tahap kedua, adalah pertempuran melawan kejahiliyahan. Dan hal ini dilaksanakan dengan melakukan revolusi untuk menumbangkan sistem jahiliyah, agar masyarakat yang berada dalam kekuasaannya dapat terbebas dari kungkungan pemerintahan tirani tersebut. 296
Membicarakan mengenai konsep masyarakat Islami versi Qut}b ini, ternyata juga berpengaruh kepada eksistensi fikih Islam di dalam masyarakat Islam itu sendiri. Hal ini dijelaskan Qut}b ketika
menafsirkan Q.S. Yu>suf (12): 55. Menurut Qut}b, fikih Islam tidak berada dalam ruang kosong, karena fikih Islam itu ada dalam
masyarakat Islami yang notabenenya selalu melakukan perjuangan. Dengan kata lain, masyarakat Islam lebih dahulu ada dari hukum Islam. Karena masyarakat Islam lah yang mengadakan fikih Islam. Namun, masih menurut Qut}b, apa yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Mayarakat mengira bahwa dengan adanya ‚beberapa hukum fikih‛ saja, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang berada di dalamnya juga disebut masyarakat Muslim. Padahal, apa yang diajarkan tersebut tidak lebih dari fiqhu al-awra>q, yakni beberapa hukum fikih yang tidak bisa dipraktikan pada masa kini, namun hanya bisa dipelajari dari literatur yang ada. Hal ini, menurut Qut}b, dikarenakan negara tidak menjalankan syariat Islam, sehingga pelaksanaan syariat itu sendiri terganggu karena adanya negara. Oleh karena itu, tidak heran jika Qut}b menganggap bahwa mendirikan negara Islam adalah suatu bentuk keharusan 297 .
295 Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social
Science Sociology, Economics and Political Science 11, vol. 12 (2012): 92-94, https://globaljournals.org/GJHSS_Volume 12/11-From-Social-Justice-to.pdf (diakses pada 16 Januari 2014).
296 Jon Armajani, Modern Islamist , 60. 297 Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and
Human Rights (Florida: university Press of Florida, 2003), 14, S{ala>h{ ‘Abdu al-
Tidak hanya fikih Islam dalam penafsirannya terhadap Q.S. Yu>suf (12): 55 yang terpengaruh dengan konsep masyarakat Islam milik Qut}b, tetapi konsep tersebut juga mempengaruhi al-amr bi al- ma’ru>f wal-nahyu ‘an al-munkar. Contohnya tatkala Qut}b menjelaskan firman Allah Q.S. al-Tawbah (9): 112, yakni ketika menafsrikan al- a>miru>na bi al-ma’ru>f wa al-na>hu>na ‘an al-munkar. Ia menjelaskan bahwa untuk keluar dari jahiliyah modern adalah dengan membentuk masyarakat Muslim. Namun, ketika masyarakat itu tidak ada, dan yang ada hanya masyarakat jahiliyah, maka langkah pertama adalah mengajak umat Muslim untuk mengerti hakikat konsep kedaulatan
Tuhan yang sebenarnya. 298 Kembali kepada tahap pertama dalam membentuk masyarakat
Islam, konsep al-amr bi al-ma’ru>f wal-nahyu ‘an al-munkar turut dipengaruhi oleh tahap pertama dalam membentuk masyarakat Islami, yaitu dakwah secara umum. Oleh karena itu, konsep
al-amr bi al- ma’ru>f wal-nahyu ‘an al-munkar bagi Qut}b diperuntukkan terlebih
dahulu untuk berdakwah menuju penghambaan total kepada Allah. Dan karena tujuan dari terbentuknya masyarakat Islami adalah menghadapi sistem jahiliyah dan menggantikannya dengan sistem Islami, maka obyek dalam konsep tersebut adalah memahami konsep kedaulatan Tuhan secara total dalam segala aspek kehidupan, dan bukan menyibukan diri dengan berdakwah mengenai pembahasan
lain. 299 Alasan Qut}b adalah kisah Nabi Muhammad tatkala berhijrah
ke Madinah. Menurutnya, pada saat Muhammad berada di Mekkah sebuah komunitas Muslim belumlah terbentuk. Oleh karena itu, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk berhijrah, dan membentuk negara Islam di Madinah. Maka, masih menurut Qut}b, apa yang dilakukan
Fatta>h}, Fi> Zila>l al-Qur’a>n fi> al-Mi>za>n, 243-244 dan James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual, 102.
298 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n , vol. 3, 1716-1767. 299 Lihat Ibrahim Olatunde Uthman, ‚From Social Justice to Islamic
Revivalism: An Interrogation of Sayyid Qut}b’s Discourse,‛ Global Journal of Human Social Science Sociology, Economics and Political Science
11, vol. 12 (2012): 93. Dan menurut Azyumardi Azra, sebagaimana dikutip oleh M. Zaki Mubarok, gerakan Islam radikal terbagi menjadi dau arah. Pertama pemberantasan maksiat atas nama al-amr bi al-ma’ru>f wal-nahyu ‘an al-munkar , dan kedua aktualisasi ukhuwah islamiyah. Contoh kelompok pertama, adalah FPI dan gerakan kedua adalah kelompok salafi> yang apolotical. Lihat M. Zaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), 230.
oleh Muhammad dalam tahapan berdakwah patut dicontoh. Dan saat itu, Muhammad hanya mengajak kaum Quraish untuk mengesakan Allah atau dengan kata lain, hanya berdakwah mengajak manusia kepada ketuhanan Allah. Selain itu, kondisi jahiliyah pra-Islam kembali terjadi pada masa kini, oleh karenanya, tugas pertama umat muslim adalah menyeru orang lain kepada konsep tauhid, pengesaan
Allah dan penghambaan total kepada-Nya. 300 Pendapat Qut}b tersebut berbeda dengan pendapat al-
Qarad}a>wi>. Yakni, dalam hadis yang menerangkan bahwa mencegah kemunkaran terdapat tahapan yang dimulai dengan tangan,jika tidak
bisa dengan perkataan dan jika tidak dengan hati, 301 terdapat syarat- syarat yang harus dipenuhi dalam mencegah kemunkaran. Pertama,
kemunkaran tersebut benar-benar suatu yang diharamkan. Dalam arti, bukan sesuatu yang dianggap umu>r khila>fiyah. Dengan ini, diketahui bahwa kemunkaran tersebut tidak dikhususkan dengan menetapkan
kedaulatan Tuhan saja, melainkan semua kemunkaran yang terjadi di hadapan seorang Muslim, selama hal tersebut bukan umu>r khila>fiyah.
Kedua, kemampuan untuk merubah kemunkaran. Oleh karena itu, hadis riwayat abu> Sa’id tersebut berbunyi ‚dan jika tidak mampu, maka lakukanlah dengan lisanmu...‛ Dan ketiga, pencegahan kemunkaran tersebut tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar. Oleh karenanya, jika kemunkaran tersebut dilakukan oleh pemerintah, bagi yang ingin merubah kemunkaran tersebut harus memiliki kekuatan yang mirip seperti konsensus ummat ( ijma’). Dan jika pencegahan tersebut dilakukan secara parsial, maka bahaya yang
terjadi akan lebih besar. 302 Sebagaimana yang telah peneliti katakan, bahwa masyarakat
Islami adalah solusi untuk keluar dari jahiliyah. Dan masyarakat Islami
300 Richard L. Rubenstein, ‚Jihad versus Jahiliyya: The Seminal Islamist Doctrine of Sayyid Qutb,‛
New English Review (Februari 2010), http://www.newenglishreview.org/Richard_L._Rubenstein/Jihad_versus_Jahiliyya% 3A_The_Seminal_Islamist_Doctrine_of_Sayyid_Qutb/ (diakses pada 19 April 2014) dan Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 4, 88.
Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan angannya (kekuasaannya), dan jika tidak mampu maka dengan ucapannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya,dan yang terakhir ini adalah selemah- lemahnya iman seseorang. Al-Ima>m al-Nawawi>, al-Arba’u>n al-Nawawiyah (Kairo: Maktabah al-I>ma>n, 2009), 53.
302 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqih Negara, 152-162.
ini bisa dikatakan adalah praktik dari pelaksanaan konsep kedaulatan Tuhan. Adapun sistem Islami, bisa dikatakan adalah teorinya, yang nanti akan turut membangun masyarakat Islam. Lebih lanjut mengenai sistem Islami ini, atau disebut dengan niz}a>m Isla>mi>, adalah bukan seperti sistem yang biasa didengar. Yakni, yang dimaksud dengan sistem di sini adalah lebih luas, karena ia mencakup berbagai aspek kehidupan, lantaran didasari atas syariat Allah. Dan sistem ini
memiliki beberapa karakteristik. 303 Karakter pertama adalah tauhid. Yakni, yang membedakan
antara sistem Islami dengan sistem lainnya adalah karena sistem Islami berdiri atas konsep tauhid. Oleh karena itu, mewujudkan negara Islam dalam suatu negara menurut Qut}b bukanlah suatu pilihan, namun keharusan. Implikasi dari hal ini, segala sistem atau peraturan yang tidak berdasarkan syariat Islam adalah buatan manusia, dan oleh karena itu, peraturan tersebut kehilangan legitimasinya yang berarti
memasukkannya ke dalam kategori jahiliyah. Maka, tidak heran jika Qut}b menolak akan nasionalisme, sekularisme, pan Arabisme dan lain-
lain. Karena bagi Qut}b, sistem tersebut adalah buatan manusia, sehingga tidak bisa dibandingkan dengan buatan Allah. 304
Kedua, adalah konstan ( thaba>t). Yakni, sistem Islam pada dasarnya tetap, namun itu tidak berarti ia diam dan tidak bergerak. Karena, dalam Islam ada yang disebut dengan ijtihad, yang dapat memberi solusi bagi setiap permasalahan-permasalahan yang baru. Implikasi dari hal ini, ia menolak untuk mengadopsi westernisasi, dengan alasan bahwa apa yang ada dalam Islam sudah cukup. Oleh karenanya, tidak perlu mengimpor sistem-sistem dari Barat seperti nasionalisme dan pan Arabisme, terlebih lagi jika memaksakan diri dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang memperbolehkan hal tersebut. 305
Karakter ketiga, yaitu komprehensif ( shumu>l). Yakni, sistem Islam yang didasari atas syariat Islam juga bersifat komprehensif atau mencakup berbagai aspek. Oleh karenanya, Qut}b sering mengatakan bahwa Islam bukan hanya menjalani syariat-Nya dalam sisi ritual
303 James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic Intellectual , 164.
304 Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human Rights,
14 dan L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality, 96. 305 Youssef Choueiri, ‚The Political Discourse of Contemporaryi Islamist
Movement,‛ dalam Islamic Fundamentalism, ed. Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami, 26.
ibadah saja, namun juga menjalankannya alam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan sosial politik. 306 Keempat adalah
keseimbangan. Yakni, terdapat keseimbangan antara wahyu dengan apa yang diterima manusia. Maka, jika manusia menjalankan syariat- Nya, ia tidak akan dirugikan, karena syariat Islam adalah sistem Allah. Kelima, adalah percaya bahwa sistem Islam akan membawa kepada hal positif. Dan keenam adalah sesuai dengan realita. 307 Implikasi dari hal
ini, mengutip apa yang dikatan James Toth, kembali kepada tiga hal. Pertama, bebas dari sistem jahiliyyah. Karena bagi Qut}b, dalam pemerintahan jahiliyah manusia tidak dapat bebas menjalankan seluruh syariat Islam dalam kehidupan. Kedua, Persamaan, tanpa adanya dikotomi antar ras, suku dan bangsa. Karena dalam sistem Islami semuanya menyatu di bawah naungan akidah. Ketiga, yakin akan kebenaran syariat Tuhan. Karena sistem Islam berdiri atas syariat Allah yang notabenenya buatan Allah, berbeda dengan sistem buatan
manusia. 308
306 Bandingkan dengan L. Carl Brown, Musuh dalam Cermin ,‛ penerjemah Abdullah Ali, 122-123, Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy,
Pluralism, and Human Rights, 15 307 James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic
Intellectual, 119-121. 308 James Toth, Sayyid Qutb: The Life and Legacy of a Radical Islamic
Intellectual, 121.