Ronald Inglehart and Pippa Norris, Rising Tide: Gender Equality and Cultural Change Around the World (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2003), hlm.

55 Ronald Inglehart and Pippa Norris, Rising Tide: Gender Equality and Cultural Change Around the World (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2003), hlm.

68. 56 Matthew Carlson and Ola Listhaug, “Public Opinion on the Role of

Religion in Political Leadership: A Multi-Level Analysis of Sixty-three Countries,” Japanese Journal of Political Science 7,

57 Saeeda J. A. Shah, “Re-thinking Educational Leadership: Exploring the no. 3 (2006): 256. Impact of Cultural and Belief Systems,” International Journal of Leadership in Education

13 , no. 1 (2010): 27-44; dan Saeeda Shah dan Umbreen Shah, “Women, Educational Leadership and Societal Culture,” Education (Basel), 2 (2012): 33-44, via http://e-resources.pnri.go.id:2057/docview/1554606725?pq-origsite=summon (diakses 17 Februari 2015)

Pendahuluan

dan juga di Malaysia. 59 Dalam konteks agama manapun, KH. Husein Muhammad, mencatat bahwa para agamawan kerap melihat perem- puan dengan pandangan yang ambigu yaitu perempuan memiliki kehormatan dan martabat yang sama dengan laki-laki di hadapan Tuhan, tetapi pada saat bersamaan melalui tafsir patriakrhis teks-teks

agama para agamawan mendiskriminasi perempuan. 60 Ilustrasi hasil penelitian dari berbagai negara tersebut menge- nai pengaruh agama dalam persoalan kesetaraan gender dan menge- nai kiprah perempuan dalam politik terjadi juga di Indonesia. Harus dimengerti kecenderungan Indonesia sebagai sebuah faith based society dimana nilai dan norma agama menjadi rujukan dari sebagian besar individu dalam berpikir dan berperilaku. Tidak terkecuali dalam persoalah menyangkut seorang perempuan menjadi pemimpin politik lokal termasuk dalam setting sosial di Bali dengan agama Hindu yang kuat.

Kondisi perempuan Bali memang lebih baik daripada perem- puan Hindu-India. Praktik agama Hindu di Bali tidak akan sama persis dengan praktik agama Hindu di India yang mensitir Tahira Basharat (2009), cenderung sangat male-dominated dan tidak mem-

berikan penghargaan sama sekali terhadap perempuan, 61 misalnya praktik Sati (seorang istri membakar diri bersama dengan jenazah

suaminya yang sedang dikremasi) sebagai perwujudan ketaatan perempuan India menurut ajaran agama Hindu yang masih ditemui sampai dengan akhir abad ke-19. Namun demikian, dalam sosial- kemasyarakatan Bali, perempuan Bali masih ditempatkan sebagai subyek yang tidak otonom oleh adat beragama Hindu yang dibatasi

58 Asya Al-Lamky, “Feminizing Leadership in Arab Societies: The Perspectives of Omani Female Leaders,” Women in Management Review 22, no. 1 (2007): 64.

59 Maznah Mohamad, “Politicization of Islam in Indonesia and Malaysia: Women’s Rights and Inter-Religious Relations,” dalam Gender Trends in Southeast

Asia: Women Now, Women in the Future , ed. Theresa W. Devasahayam (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 96, 98, 106

60 KH. Husein Muhammad, “Pendahuluan,” dalam Perempuan Dalam Relasi Agama dan Negara, Modul Komnas Perempuan dan NORAD, Jakarta, 2010, hlm.

10. 61 Tahira Basharat, “The Contemporary Hindu Women of India: An

Overview,” Journal of South Asian Studies 24, no.2 (July-December 2009): 242-249.

Kurniawati Hastuti Dewi 23

kebebasannya. 62 Misalnya dalam tarian Sang Hyang Dedari, sebuah tarian sakral untuk mengatur keseimbangan dalam kosmologi religi Hindu Bali, para penarinya adalah anak-anak perempuan berumur

10 tahun yang harus melewati berbagai fase dipingit untuk menghindari gangguan roh jahat atau penyucian sebelum melakukan tarian, dan ketika mencapai trance tubuh mereka “dipersembahkan” sebagai “media” para dewi-dewi turun memberi berkah pada desanya; dalam konteks ini tubuh perempuan menjadi “media” dalam hubungan vertikal maupun horizontal yaitu merawat struktur sosial masyarakat Bali. 63

Diletakkan dalam konteks kuatnya patriarki di Bali, maka kemunculan Eka Wiryastuti yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di daerah mayoritas Hindu di Kabupaten Tabanan Bali pada tahun 2010, menjadi sebuah anomali. Fenomena ini memun- culkan pertanyaan kritis mengenai kemungkinan kontribusi agama Hindu Bali di balik kemunculan dan kemenangan politik Eka Wiryastuti yaitu apakah perannya mendorong atau justru menjatuh- kan, dan bagaimana Eka Wiryastuti menyikapinya. Hal-hal inilah yang sangat menarik untuk diungkapkan dalam penelitian ini.