Peran dan Posisi Perempuan Tabanan dalam Politik:

3.2 Peran dan Posisi Perempuan Tabanan dalam Politik:

Masa Kerajaan sampai dengan Era Reformasi Budaya patrilineal yang mendasarkan garis keturunan keluarga

pada laki-laki kerap kali dianggap sebagai penyebab dominannya kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dalam berbagai hal. Bali sebagai Provinsi di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Hindu Bali, masih memberlakukan sistem pelapisan sosial masyarakat berdasarkan keturunan dari garis laki-laki. 1 Berdasarkan catatan

sejarah dan arkeologi, budaya patrilineal bahkan telah mengakar di Bali sejak zaman pra sejarah. 2 Adanya sistem pembagian harta waris suhunan-tanggungan yang mendasarkan pada purusa (kaum laki-laki) menunjukkan sistem sosial yang patrilineal. Sistem ini telah berlaku

sejak pemerintahan kerajaan pada zaman Bali Kuno. 3 Sistem pembagian harta waris tersebut jelas mencerminkan kedudukan laki- laki yang lebih tinggi daripada perempuan. Hal tersebut kemudian berdampak pada lebih diutamakan dan lebih dominannya laki-laki dibanding perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya,

1 Luh Riniti Rahayu, “Partisipasi Politik Perempuan Bali dalam Pemilu 1997- 2004 (Perspektif Kajian Budaya),”(Disertasi, Universitas Udayana, Denpasar 2010), hlm. 40.

2 I Wayan Ardika, I Gde Parimartha, A A Bagus Wirawan, Sejarah Bali: Dari Prasejarah Hingga Modern , (Denpasar: Udayana University Press, 2013), hlm. 160-

162. Terjadinya hegemoni kaum laki-laki terhadap kaum perempuan ini diawali oleh adanya pembagian kerja secara seksual. Perempuan mendapatkan fungsi di rumah tangga karena berkaitan dengan fungsi alamiahnya yang harus melahirkan anak, sehingga akan berbahaya bagi perempuan untuk bekerja berat di luar lingkungan rumah tangga. Oleh karena itu, laki-laki mendapatkan fungsi untuk mengerjakan berbagai pekerjaan di luar lingkungan rumah tangga seperti bertani.Kemudian, karena pekerjaan di luar rumah tangga dapat digunakan untuk mengumpulkan kekayaan, sehingga laki-laki menjadi lebih dominan dan berkuasa.

3 Ibid., hlm. 159-160. Dalam prasasti Trunyan AI Caka 833 atau tahun 911 M disebutkan pembagian harta waris dalam kehidupan keluarga. Jika ada kematian

yang menyebabkan terjadinya janda atau duda, maka perbandingan pembagian harta warisnya yaitu hak waris satu bagian (suhunan = habhagi) untuk istri dan dua bagian (tanggungan atau dwang bhagi) untuk suami. Ketentuan tersebut berarti bahwa jika suami yang meninggal, sebesar dua bagian akan diambil oleh lembaga adat untuk upacara kematiannya dan satu bagian untuk diberikan pada istrinya yang menjadi janda, sedangkan jika yang meninggal adalah istri, maka sebesar satu bagian akan diambil oleh lembaga adat untuk upacara kematiannya dan dua bagian untuk diberikan pada suaminya yang menjadi duda.

Atika Nur Kusumaningtyas 71

budaya patrilineal yang begitu erat mendorong tumbuh suburnya ideologi patriarki pada masyarakat Bali.

Keluarga Bali mendambakan adanya anak laki-laki karena anak laki-laki dianggap dapat meneruskan keturunan, membantu orang tua waktu usianya lanjut, dan membantu membukakan pintu ke surga apabila orang tua telah meninggal. Seorang anak perempuan kalau sudah menikah akan mengikuti suaminya, menjadi milik keluarga suaminya, sehingga pada zaman dahulu terdapat pandangan bahwa memberi pendidikan formal pada anak perempuan adalah suatu hal yang merugikan. Pendidikan informal yang diberikan orang tua di rumah, lebih menekankan anak perempuannya untuk tinggal di rumah membantu orang tua menyelesaikan urusan rumah tangga. Orang tua menanamkan kepada anaknya rasa pengabdian pada keluarga dan adanya hukum karma yang dapat mengenai semua orang. Kalau seorang perempuan telah menikah, maka apapun yang terjadi harus diterima dengan lapang dada sebagai suatu karma. Perceraian merupakan tindakan yang menjatuhkan martabat keluarga asal perempuan tersebut. Sejak kecil pada diri perempuan Bali tidak pernah ditanamkan bahwa perempuan adalah kaum lemah yang mempunyai kemampuan kurang dibandingkan laki-laki sehingga

harus dibantu dan dilindungi. 4

Meskipun di Bali terdapat catur wangsa 5 , yaitu Brahmana, Ksatriya, Wesya , dan Sudra, namun hal tersebut tidak memberikan

Luh Ketut Suryani, Perempuan Bali Kini, (Denpasar: BP, 2003), hlm. 45-46. 5 Menurut IBNS, dari kantor PHDI dari Griye Gde Puri Kerambitan, dalam

ajaran agama Hindu, terdapat suatu konsep yang disebur catur warna. Catur warna merupakan empat profesional yang diharapkan ada di setiap negara atau wilayah. Yang pertama disebut sebagai brahmana yaitu orang yang profesional di bidang spiritual, kedua, ksatria yaitu orang yang profesional di bidang kepemimpinan, ketiga, wesya yaitu orang yang profesional di bidang ekonomi atau perdagangan, dan yang keempat, sudra yaitu para pekerja kasar atau buruh. Jadi, dalam konsep catur warna tersebut, suatu pekerjaan hendaknya dikerjakan oleh orang yang memang ahlinya.Namun, dalam perjalanannya, dengan adanya sentuhan budaya, konsep catur warna tersebut kemudian mengalami pergeseran menjadi catur wangsa. Dalam konsep catur wangsa, masyarakat dibagi menjadi empat golongan sesuai dengan keturunannya. Pertama, golongan brahmana yaitu golongan yang berasal dari keturunan raja atau pendeta, kedua, golongan ksatria yaitu golongan yang berasal dari keturunan prajurit, ketiga, golongan wesya yaitu golongan yang berasal dari keturunan pedagang, dan keempat, golongan sudra yaitu golongan yang berasal dari keturunan buruh atau petani rendahan.