Kebangkitan Perempuan Tabanan Dalam Poli
KEBANGKITAN
PEREMPUAN TABANAN
DALAM POLITIK LOKAL
Penulis: Kurniawati Hastuti Dewi
Atika Nur Kusumaningtyas Fathimah Fildzah Izzati Esty Ekawati R. Siti Zuhro
Mahara Publishing
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal
Editor: Kurniawati Hastuti Dewi Layout: Yusradi Usman al-Gayoni Design Cover: Zulham Kautsar
Katalog Dalam Terbitan
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal.–/ Kurniawati Hastuti Dewi (ed.) .– Tangerang: Mahara Publishing, 2016. xiv, 187 hal.; 22 cm ISBN 978-602-6914-23-1
1. Buku
I. Judul
2. Majalah Ilmiah 3. Standar
ISBN 978-602-6914-23-1
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Diterbitkan atas kerjasama: Mahara Publishing (Anggota IKAPI) Jln. Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai Kota Tangerang, Banten-15145 HP: 081361220435 (WA) E-mail: [email protected] Website: www.maharapublishing.com Dengan Pusat Penelitian Politik LIPI Gedung Widya Graha Lantai XI Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10 Jakarta 12710
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal v
Pengantar Editor
B menyusul empat seri kajian berikutnya. Kajian ini merupakan salah
uku ini merupakan seri pertama kajian mengenai perempuan pemimpin politik lokal yang dimulai pertama kali pada tahun 2015. Rencananya dalam kurung waktu 2016-2019 akan
satu tema penelitian tim Gender dan Politik yang berada dalam kelompok penelitian politik lokal, Pusat Penelitian Politik LIPI.
Kajian mengenai perempuan pemimpin politik lokal ini lahir karena melihat semakin banyaknya perempuan pemimpin politik yang muncul dan mewarnai dinamika politik lokal, terutama sejak diperkenalkannya Pilkada langsung tahun 2005 (dengan UU No.32/2004 dan sekarang dalam konteks Pilkada serentak UU No. 8/2015), sementara kajian tentang hal tersebut masih sedikit.
Fenomena kemunculan dan kemenangan para perempuan dalam politik lokal ini menandakan adanya perkembangan baru mengenai gender, perempuan, agama, budaya, dan politik lokal di Indonesia paska-Suharto. Hal ini juga merupakan salah satu bagian penting demokratisasi politik yang harus didokumentasikan dan dianalisis secara utuh.
Selain didasari pentingnya memahami perkembangan empiris, kajian ini juga didasari oleh pemikiran kritis terhadap kecenderungan pengabaian pengalaman perempuan dalam analisis politik. Dengan mempergunakan perspektif gender dalam analisis politik, kajian ini berupaya untuk menghadirkan pemahaman baru dan empiris tidak saja mengenai faktor-faktor yang berperan penting dalam kemunculan dan kemenangan para perempuan dalam politik lokal, tetapi juga kemunculan ‘agency’ perempuan sebagaimana diperlihatkan oleh Ni Putu Eka Eka Wiryastuti dalam memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010.
vi Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal
Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan kontribusi praktis dan akademis untuk menyajikan secara utuh protret perempuan pemimpin politik lokal di Indonesia, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan praktis maupun akademis di Indonesia dan masyarakat internasional.
Semoga, kehadiran buku ini dapat membuka wawasan dan pemahaman baru mengenai kontribusi penting perempuan dalam menentukan arah dan mengisi demokratisasi Indonesia, khususnya dalam politik lokal paska-Suharto. Selamat membaca.
Jakarta, 14 April 2016 Editor
Dr. Kurniawati Hastuti Dewi
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal vii
Abstrak
elaksanaan Pilkada langsung telah membuka struktur kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berkiprah dalam politik lokal, dibandingkan dengan ketika pemilihan
masih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Salah satu dampak positif Pilkada langsung adalah bertambahnya perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah dalam berbagai seting sosial kemasyarakatan dan keagamaan baik mayoritas Islam, Kristen, maupun Hindu. Salah satu perempuan yang mampu memanfaatkan struktur kesempatan baru untuk muncul dan memenangkan Pilkada langsung dalam seting Hindu adalah Ni Putu Eka Wiryastuti. Eka Wiryastuti berhasil memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010 sehingga menjadi Bupati perempuan pertama di Tabanan (2010-2015), memperoleh kemenangan kembali pada Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015, dan menjadi Bupati Tabanan kedua kalinya (2015-2020). Fenomena kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam sebuah seting sosial keagamaan Hindu Bali dan dalam struktur sosial kemasyarakatan patriarki sangat menarik untuk dikaji.
Buku ini mengkaji kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Kajian difokuskan tidak saja pada peran agensinya dalam mengolah, menegosiasikan atau menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemunculan dan kemenangan politiknya, tetapi juga untuk memahami kontribusi agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat yang membentuk pranata gender (gender arrangement) dalam struktur sosial masyarakat Bali dalam kemunculan dan kemenangan politiknya.
viii Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal
Buku ini menemukan adanya dualisme dalam melihat posisi perempuan dalam adat dan dalam politik di Bali. Dalam konteks adat Bali, kondisi sosial budaya yang menempatkan perempuan Bali bukan sebagai pengambil keputusan di banjar-banjar adat meskipun mereka berperan penting dalam upacara keagamanaa dan adat, menjadi alasan logis bagi kemunculan politik Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Meskipun struktur adat tidak memberi ruang bagi perempuan termasuk Eka Wiryastuti untuk memperoleh peran strategis, perempuan Bali diperbolehkan memiliki posisi strategis dalam struktur sosial politik lebih luas di luar adat istiadat, asalkan tidak mengganggu pranata adat dan tetap menjaga harmoni sosial masyarakat Bali.
Buku ini menunjukkan Eka Wiryastuti mampu menjalankan peran agensi dalam mengolah, menegosiasikan, atau menyiasati agama Hindu Bali, budaya, adat istiadat sejak proses persiapan awal kemunculannya dan kemenangannya. Hal itu dimungkinkan karena Eka Wiryastuti memiliki beberapa modal individu yang kuat sebagai anak dari I Nyoman Adi Wiryatama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Bupati Tabanan selama dua periode (2000-2005, 2005-2010), bagian dari jaringan kekerabatan politik soroh Pasek, serta penguasaan berbagai sumber daya lokal Tabanan yang berbasis pertanian dan gender. Agama Hindu Bali sebagai bagian dari sebuah pranana gender dalam struktur sosial kemasyarakatan Bali menyediakan landasan relijius yang memadai bagi Eka Wiryastuti untuk muncul sebagai pemimpin perempuan lokal. Agama Hindu Bali tidak menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin politik.
Buku ini mendorong politisi perempuan untuk meningkatkan dan mendayagunakan modal individu yang dimilikinya, sembari secara cerdas memainkan berbagai potensi keagamaan, budaya dan adat istiadat yang tampaknya menjadi penghalang, untuk mendukung kemunculan dan kemenangan politik dalam politik lokal. Perempuan politisi termasuk para perempuan calon kepala daerah, harus menjadi subyek yang aktif mengubah keadaan dan tidak sekedar pasif menerima keadaan.
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal ix
Daftar Singkatan
BMI Banteng Muda Indonesia BTI
Barisan Tani Indonesia DPC
Dewan Pimpinan Cabang DPP
Dewan Pimpinan Pusat DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Gerwani Gerakan Wanita Indonesia Golkar
Golongan Karya KB
Keluarga Berencana KPUD
Komisi Pemilihan Umum Daerah
KNPI
Komite Nasional Pemuda Indonesia
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia MDP
Majelis Utama Desa Pakraman PBS
Poetri Bali Sadar PDIP
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PHDI
Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia PKI
Partai Komunis Indonesia PKK
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat UGM
Universitas Gajah Mada UI
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
xii Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Kondisi Sosial Tabanan dari Segi Pendidikan .........
46 Tabel 4.1 Pengertian Konsep Wangsa, Catur Warna, Kasta ...... 108 Tabel 4.2 Profil Pasangan Calon Kepala Daerah dalam
Pilkada Langsung Tabanan 2010 .............................. 116 Tabel 4.3 Agensi Eka Wiryastuti (dan timnya) dalam
Menggunakan/Menegosiasikan/Menyiasati Agama, Budaya, dan Adat Istiadat dalam Kampanye pada Pilkada Tabanan 2010 ............................................... 139
Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal xiii
Daftar Gambar
Gambar 1.1 “Gender Arrangement” yang melingkupi Ni Putu Eka Wiryastuti Sebagai Individu Yang Diteliti ...
16 Gambar 1.2 Ilustrasi mengenai Agama Hindu Bali, Budaya
dan Adat Istiadat di Bali Yang dilingkupi Globalisasi dan Demokratisasi ............................
30 Gambar 2.1 Peta Tabanan, Bali ...............................................
44 Gambar 2.2 Grafik PDRB Kabupaten Tabanan ......................
48 Gambar 2.3 Struktur Dadia ....................................................
51 Gambar 2.4 Garis Raja Tabanan .............................................
53 Gambar 3.1 Silsilah Dinasti Mengwi Raja Agung/Cokorda
Munggu ...............................................................
xiv Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal
Kurniawati Hastuti Dewi 1
Bab 1
Pendahuluan: Pilkada Langsung dan Kemunculan Perempuan Pemimpin Politik Lokal di Tabanan
Oleh: Kurniawati Hastuti Dewi
1.1 Pendahuluan
Indonesia memasuki era demokratisasi sejak lengsernya Suharto pada Mei 1998. Demokratisasi salah satunya ditandai dengan berbagai pembenahan struktural kelembagaan politik nasional maupun lokal. Demokratisasi di tingkat lokal dapat dilihat dalam pembenahan tata kelola pemerintahan daerah. Tata kelola pemerintahan daerah pada masa Orde Baru yang sangat sentralistik sesuai UU No. 5/1974, digantikan dengan UU No. 22/1999 yang dibangun dengan paradigma desentralistik dengan memberikan kewenangan kuat pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan mengurangi sedemikian rupa campur tangan presiden termasuk dalam memilih kepala daerah. Pada gilirannya UU No. 22/1999 di- gantikan dengan UU No. 32/2004 yang memperkenalkan mekanis- me pemilihan kepala daerah secara langsung, dimana rakyat memilih secara langsung kepala daerahnya dan tidak lagi melalui DPRD. Pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai UU No. 32/2004 efektif berlaku sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2014. Setelah melalui serangkaian kontestasi politik, mekanisme pemilihan kepala daerah langsung (selanjutnya disingkat Pilkada langsung) tetap diberlakukan untuk mengatur pemilihan gubernur/ bupati/walikota sejak tahun 2015 sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.8/2015 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. 1
Mekanisme Pilkada langsung telah membuka peluang partisipasi politik yang lebih besar pada berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan untuk ikut mewarnai dan menentukan arah demokrasi lokal. Bersamaan dengan banyaknya pelaksanaan Pilkada langsung di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 2005, bertambah pula jumlah perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan terpilih dalam Pilkada langsung. Sebagai ilustrasi, dalam 466 Pilkada langsung di provinsi/ kabupaten/kota dari tahun 2005-2008, terdapat 11 politisi perempuan yang terpilih (baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah) dalam Pilkada langsung di Pulau Jawa, dan 15 politisi perempuan terpilih di luar
Pulau Jawa. 2 Jika dikerucutkan pada perempuan terpilih pada posisi kepala daerah saja, pada periode pemilihan 2005-2008, terdapat 6 perempuan terpilih sebagai kepala daerah di Pulau Jawa dan 4
terpilih di luar Pulau Jawa. 3 Jumlah ini semakin meningkat, terlihat dari akumulasi pada periode pemilihan 2005-2014 yaitu terdapat 26 perempuan terpilih sebagai kepala daerah: 18 terpilih di Pulau Jawa,
dan 8 terpilih di luar Pulau Jawa. 4 Fenomena kemunculan dan
1 Lihat Undang-Undang No. 8/2015 tentang “Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang”, http://www.kpu-sumbarprov.go.id/pilkada 2015/UU-No-8-Tahun-2015-Pilkada.pdf (diakses 8 April 2015).
2 Diolah dari data Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Daftar Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Yang Telah Diterbitkan Keputusannya
Presiden Republik Indonesia Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005, 2006, 2007, dan Tahun 2008”, tanpa tahun. 3
Terpilih dalam periode 2005-2008 di Pulau Jawa adalah Rustriningsih Bupati Kebumen (2005-2010), Ratna Ani Lestari Bupati Banyuwangi (2005-2010), Haeny Relawati Rina Widyastuti Bupati Tuban (2006-2011), Siti Qomariyah Bupati Pekalongan (2006-2011), Rina Iriani Sri Ratnaningsih Bupati Karanganyar (2008- 2013), Atut Chosiyah Gubernur Banten (2006-2016). Di luar Pulau Jawa adalah Vonny Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara (2005-2010), Hj. Marlina Mona Siahaan Bupati Bolaang Mongondow (2006-2011), Hj. Suryatati A Manan Walikota Tanjung Pinang (2008-2013) dan Telly Tjanggulung Bupati Minahasa Tenggara (2008-2013).
4 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist
Journal , vol.3, no. 1 (August 2015): 52.
Kurniawati Hastuti Dewi 3
kemenangan banyak perempuan politisi dalam kontestasi Pilkada langsung sejak tahun 2005 sampai dengan 2014 menandakan adanya perubahan baru tidak saja dalam potret partisipasi politik perempuan di tingkat lokal, tetapi juga perubahan menyangkut narasi agama, budaya, dan gender yang mengiringi munculnya fenomena tersebut.
Akan tetapi, fenomena kemunculan para perempuan pemim- pin politik lokal dalam seting Pilkada langsung cenderung diabaikan oleh kalangan intelektual. Sejauh ini kajian politik lokal paska- Suharto lebih banyak menganalisis persoalan pembenahan kelem- bagaan dan kesiapan masyarakat dalam melaksanakan Pilkada langsung misalnya masalah konflik pada Pilkada langsung gubernur
dan bupati, 5 menelaah merebaknya politik uang dalam Pilkada langsung, 6 praktik pendanaan kampanye illegal yang marak, 7 per- soalan munculnya fenomena penguatan identitas lokal di daerah- daerah, 8 dampak kolusi antara kalangan pemodal dengan politisi
dalam Pilkada langsung yang menghasilkan “informal governance system ” seperti di Banten dan Jambi, 9 dampak desentralisasi dalam dinamika daerah dari berbagai aspek seperti hubungan pusat-daerah, pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, perkembangan kota-kota,
pergerakan manusia, lingkungan dan sumber daya alam. 10
5 Lihat Moch. Nurhasim, M. Hamdan Basyar, R. Siti Zuhro, Wawan Ichwanuddin, Asvi Warman Adam, Konflik Dalam Pilkada Langsung (2005-2008):
Studi tentang Penyebab dan Dampak Konflik (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2009), hlm. 254.
6 Lihat misalnya yang terjadi di Banten, Okamoto Masaaki and Abdul Hamid, “Jawara in Power 1999-2007,” Indonesia 86 (October 2008): 23.
7 Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia’s Local Elections,” dalam The State and Illegality in Indonesia, ed.Edward
Aspinall dan Gerry van Klinken (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 133. 8 Lihat misalnya Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed. Politik
Lokal di Indonesia 9 Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta, 2007). Governance” Practices,” dalam Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for
Local Leaders (Pilkada), ed. Maribeth Erb and Priyamudi Sulistiyanto (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 125-46 10 Hal Hill, ed. Regional Dynamics in a Decentralized Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2014)
Pendahuluan
Kajian yang menganalisis Pilkada langsung dengan melihat kemunculan para perempuan sebagai pemimpin politik lokal masih terbatas. Jikapun ada, kajian dilakukan belum secara mendalam. Sebagai contoh pada tahun 2007, salah satu tema kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia adalah mengenai Perempuan dan Pilkada langsung dengan mengemukakan angka-angka tingkat keter- pilihan perempuan dalam Pilkada langsung pada Juni 2005-
Desember 2006, 11 tetapi tidak secara mendalam mengungkap faktor- faktor apa saja yang berperan penting di balik itu semua. Terdapat juga artikel Tri Ratnawati (2009) mengulas kemenangan awal
Rustriningsih di Kebumen. 12 Hana A. Satriyo (2010) mengkaji ke- munculan para bupati dalam Pilkada langsung yang didasarkan pada data-data koran daripada observasi lapangan sehingga menimbulkan
penarikan kesimpulan yang mengarah pada simplifaksi persoalan. 13 Terdapat juga kajian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UNAIR bekerjasama dengan Kemitraan dan AusAID (2011), tetapi sebatas kandidasi politisi perempuan dalam Pilkada langsung
di Jawa Timur dan di Sulawesi Utara. 14
Padahal, analisis secara mendalam kasus-kasus kemunculan para perempuan pemimpin daerah dalam Pilkada langsung akan dapat mengungkap tidak saja karakteristik para perempuan kepala daerah tersebut, tetapi juga dapat mengungkapkan faktor-faktor penting yang berperan di balik kemunculan dan kemenangan mereka. Jika dicermati dari segi sosial budaya, para perempuan kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada langsung muncul dari
11 Lingkaran Survey Indonesia, “Perempuan dan Pilkada,” Kajian Bulanan, edisi 01, Mei 2007, hlm. 1-9.
12 Lihat misalnya Tri Ratnawati, “Gender and Reform in Indonesian politics: the case of a Javanese Women Bupati,” dalam Deepening Democracy in Indonesia?
Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), ed. Maribeth Erb and Priyamudi Sulistiyanto (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009), hlm. 174-89. 13 Hana A. Satriyo, “Pushing The Boundaries: Women in Direct Local Elections And Local Government,” dalam Problems of Democratisation in Indonesia:
Elections, Institutions and Society , ed. Edward Aspinall and Marcus Mietzner (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2010), hlm. 260.
14 Tim Peneliti Departemen Ilmu Politik FISIP UNAIR, Perempun dalam Pemilukada: Kajian Tentang Kandidasi Perempuan di Jawa Timur dan Sulawesi Utara
(Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011).
Kurniawati Hastuti Dewi 5
daerah dengan kondisi sosial budaya dan agama yang beragam misalnya mayoritas agama Islam, Kristen, maupun Hindhu. Studi terdahulu yang dilakukan terhadap tiga perempuan yang memenang- kan kompetisi Pilkada langsung di daerah yang berbasis Islam di Jawa meliputi Ratna Ani Lestari di Banyuwangi (2005), Rustriningsih di Kebumen (2005), dan Siti Qomariyah di Pekalongan (2006) menemukan bahwa agama Islam memiliki pandangan yang men- dorong kepemimpinan perempuan di tingkat lokal, yang kemudian menjadi sumber legitimasi relijius para politisi tersebut untuk maju dan memenangkan Pilkada langsung. 15 Studi tersebut juga menemu-
kan bahwa kemampuan ketiga perempuan tersebut dalam meng- gunakan dan memainkan ide-ide atau norma-norma mengenai kesalehan dalam Islam (Islamic piety) seperti memakai kerudung dikombinasikan dengan identitas gender mereka sebagai seorang “perempuan Muslim Jawa” pada gilirannya membuat mereka mampu menciptakan identitas politik yang unik diantara mayoritas kandidat laki-laki, selain dapat meningkatkan akseptabilitas mereka di dalam
daerah dengan basis mayoritas Muslim. 16 Meskipun sudah dapat mengungkap berbagai faktor penting dibalik kemunculan dan
kemenangan para perempuan dalam Pilkada langsung, kajian ter- sebut masih terbatas pada kemunculan perempuan sebagai pemim- pin politik di daerah mayoritas Islam saja.
Sejauh ini belum ada kajian yang mendalami faktor-faktor apa saja yang berperan dibalik kemunculan dan kemenangan seorang perempuan dalam Pilkada langsung dalam seting selain Islam. Padahal kajian mengenai para perempuan kepala daerah yang me- menangkan Pilkada langsung dalam seting selain Islam dari berbagai daerah di Indonesia penting dilakukan untuk memperoleh pema- haman empiris fenomena ini secara komprehensif. Terdapat be- berapa perempuan pemimpin politik yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di daerah dengan basis sosial keagamaan Kristen misalnya Telly Tjanggulung Bupati Minahasa Tenggara (2008-2013),
15 Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Netwoks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: National University of Singapore
Press and Kyoto University Press, 2015). 16 Ibid.
Pendahuluan
Christiany Eugenia Paruntu yang berhasil memenangkan Pilkada langsung di Kabupaten Minahasa Selatan (2010-2015) (2015-2020), dan Vonny Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara (2005-
2010) (2015-2020). 17 Selain muncul di daerah berbasis Islam dan Kristen, terdapat satu-satunya perempuan yaitu Ni Putu Eka Wiryastuti (selanjutnya kemudian disebut sebagai Eka Wiryastuti) yang berhasil memenang- kan Pilkada langsung di daerah mayoritas Hindu di Kabupaten Tabanan Bali pada tahun 2010 dengan perolehan suara sebesar
48,56%. 18 Eka Wiryastuti kembali berhasil memenangkan Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015 dengan perolehan suara sebesar
64,35% dan menjadi Bupati Tabanan untuk yang kedua kalinya (2015-2020). 19 Eka Wiryastuti adalah anak dari I Nyoman Adi Wiryatama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Bupati Tabanan selama dua periode (2000-2005, 2005-2010).
Sejauh ini belum ada kajian yang mengungkapkan faktor- faktor penting di balik kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Padahal kemun- culan dan kemenangan Eka Wiryastuti menarik untuk dikaji lebih mendalam karena: pertama, alasan strategis-empiris, bahwa sebagai bupati perempuan pertama di Tabanan dan dalam sejarah Bali, Eka Wiryastuti menunjukkan keberpihakan pada persoalan isu-isu perempuan. Eka Wiryastuti, dalam salah satu wawancara menyata- kan bahwa kesehatan ibu di Tabanan menjadi prioritas utamanya, ”Saya memiliki filosofi yang sederhana, yakni jika ibunya sehat maka anak-anak yang dihasilkan juga akan sehat. Karena dengan jiwa yang
17 Christiany Eugenia Paruntu dan Vonny Anneke Panambunan berhasil memenangkan Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015 yang lalu dan menjabat
sebagai bupati untuk yang kedua kalinya (2015-2020). Data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, Perludem, Jakarta, 20 Desember 2015, tanpa halaman.
18 Kadek Dwita Apriani, “Pengaruh Faktor Identifikasi Partai Politik dan Faktor Kandidat terhadap perilaku memilih dalam pemilukada Kabupaten
Tabanan”, (Thesis Master, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), hlm 98.
19 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, tanpa halaman.
Kurniawati Hastuti Dewi 7
sehat prestasi Tabanan akan dapat diraih”. 20 Salah satu program unggulan Eka Wiryastuti adalah pencegahan dan deteksi dini kanker serviks dengan target tahun 2016 atau 2020 Tabanan bebas dari
kanker serviks, 21 dengan mengintensifkan pelayanan di Puskesmas seluruh Tabanan melalui pemeriksaan IVA (Inspeksi Asam Asetat) secara massal yang kemudian digalakkan sejak tahun 2010 ketika
dirinya terpilih menjadi Bupati Tabanan. 22 Setelah dirinya menjadi Bupati, program ini membuahkan beberapa hasil positifnya di antaranya meningkatnya kesadaran para ibu di Tabanan untuk melakukan deteksi dini kanker serviks, semakin meningkatnya jumlah temuan kasus kanker serviks dari tahun 2009 sampai dengan
2013 yang terus ditangani, 23 dan prestasi di Puskesmas Tabanan 3 Bali sebagai puskesmas percontohan di Indonesia yang aktif mem- berantas kanker serviks yang menarik perhatian Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningih meninjaunya pada Maret 2011. 24
Kedua , kasus Eka Wiryastuti menarik untuk dikaji karena alasan akademis untuk memberikan pemahaman keilmuan yang belum terungkap dari kajian terdahulu. Terdapat kajian yang di- lakukan oleh Kadek Dwita Apriani (2012) dengan metode survei menyimpulkan bahwa kandidat yang dinilai sebagai figur terbaik diantara keseluruhan figur yang ada adalah Eka Wiryastuti dengan skor 2,5 dimana Eka sebagai pemimpin perempuan yang memang diakui begitu cerdas dalam kampanye ini mengedepankan kejujuran
dan perhatian pada masyarakat. 25 Eka Wiryastuti merupakan kandidat yang dinilai baik oleh lebih banyak responden pemilih di
20 Kutipan perkataan Ni Putu Eka Wiryastuti yang dimuat dalam “Tabanan Bebas Kanker Serviks 2016,” Tabanan Serasi, Edisi 28, Desember 2013, hlm. 30.
21 “2020, Tabanan Ditargetkan Bebas Kanker Rahim,” Bali Post, Senin, 12 Februari 2011, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita
minggu&kid=24&id=48049 (diakses 16 September 2015) 22 Kutipan perkataan Ni Putu Eka Wiryastuti yang dimuat dalam “Tabanan
Bebas Kanker Serviks 2016,” hlm. 30. 23 Ibid. 24 “Menkes Tinjau Puskesmas Layani Kanker Serviks,” 21 Maret 2011,
http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=5111 (diakses 16 September 2015).
25 Kadek Dwita Apriani, “Pengaruh Faktor Identifikasi Partai Politik dan Faktor Kandidat terhadap perilaku memilih dalam pemilukada Kabupaten Tabanan”, hlm 97, dan 104.
Pendahuluan
Tabanan dalam tiga kriteria terpenting (perhatian dan peduli pada masyarakat, kemampuan menyelesaikan masalah dalam masyarakat, kejujuran) yang merupakan turunan faktor figur, disusul kandidat
lainnya Wayan Sukaja dan Putra Wirasana. 26 Dengan begitu dapat dikatakan bahwa faktor kandidat juga mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Tabanan dalam Pilkada langsung tahun 2010 walaupun memang bukan faktor utama.
Meskipun kajian terdahulu tersebut telah berhasil meng- ungkapkan pentingnya faktor identifikasi terhadap partai politik dalam hal ini PDIP, 27 faktor Eka Wiryastuti sendiri, yang dalam
penelitian terdahulu itu diidentifikasikan oleh pemilih di Tabanan sebagai figur yang terbaik di antara para kandidat lain, justru belum diungkap secara mendalam. Sejalan dengan hal ini, terdapat sebuah keingintahuan yang besar mengenai bagaimana seorang Eka Wiryastuti sebagai perempuan Tabanan yang hidup dalam seting masyarakat Hindu Bali didominasi oleh peran dan posisi laki-laki
(patriarki) 28 karena laki-laki Bali lebih berkuasa dengan garis Purusa (kemampuan untuk mengurus dan meneruskan Swadharma/ tanggung jawab), 29 justru mampu muncul dan menang dalam politik lokal Tabanan pada tahun 2010.
27 Ibid., hlm. 94. Ibid., hlm. 80-81. 28 Patriarki disini mengacu pada definisi Kate Millet (1972: 25) yang merujuk
pada keadaan baik di masyarakat maupun dalam institusi pemerintahan dimana laki-laki mendominasi dan mengontrol perempuan; patriarki sebagai sebuah ‘lembaga” (“an institution”) adalah sebuah keadaan sosial yang secara terus menerus melembagakan dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui berbagai cara politik, ekonomi, sosial di berbagai kelas, kasta, baik dalam sebuah sistim feudal maupun birokrasi, dan dapat ditemukan atau disebarkan dalam berbagai agama besar yang sangat bervariasi dari segi sejarah dan lokalitas. Lihat Kate Millet, Sexual Politics (London: Abacus, 1972), hlm. 25. Dalam nada yang mendukung Millet, Hester Eisenstein (1984) mengatakan patriaki yang merupakan dominasi laki-laki atas perempuan dapat ditemukan di berbagai masyarakat baik di negara barat maupun di negara-negara yang belum maju, sehingga dirinya menyebut adanya sebuah kondisi universal penindasan perempuan oleh laki-laki (“universal oppression of women by men ”). Lihat Hester Eisenstein, Contemporary Feminist Thought (London, Sidney: Unwin Paperbacks, 1984), hlm. 5.
29 Laporan Utama, “Agar Luh Tak Sekedar Peluh,” BaliSruti no. 1, (Januari- Maret 2011): 14.
Kurniawati Hastuti Dewi 9
Oleh karena itulah, kajian ini diarahkan untuk menelaah persoalan ini secara mendalam, dengan dipandu oleh pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimana Eka Wiryastuti menegosiasikan/ menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemunculan politiknya dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010?; kedua, bagaimana Eka Wiryastuti mengolah/menegosiasikan/ menyiasati agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat untuk kemenangan politiknya dalam Pilkada Langsung di Tabanan tahun 2010?; ketiga, bagaimana kontribusi agama Hindu Bali, budaya dan adat istiadat dalam kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti dalam Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010?
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan ‘agency’ Eka Wiryastuti dalam mengolah/menegosiasikan/menyiasati agama, budaya dan adat-istiadat setempat, sebagai bagian upayanya muncul dan memenangkan Pilkada langsung di Tabanan tahun 2010. Selain itu kajian ini bertujuan untuk memahami secara utuh posisi dan kontribusi agama Hindu Bali, budaya, dan adat istiadat, yang mem- bentuk sebuah pranata gender (gender arrangement) dalam sebuah struktur sosial keagamaan masyarakat Bali yang mutlak diperhitung- kan, di balik kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti.
1.2 Kerangka Pemikiran
Analisis Politik dengan Perspektif Gender Kajian ini akan menggunakan pisau analisis gender dan
politik. Kritik terhadap kecenderungan analisis dan metode pene- litian politik yang tidak netral gender, dibangun dengan asumsi dasar yang mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subyek telah muncul sejak 1970an. Kathleen B. Jones dan Anna G. Jonasdottir (1988: 1-10) bahkan dengan tajam mengatakan bahwa ada kecen- derungan “sexism” dalam disiplin ilmu politik dan perlunya per- ubahan dalam metodologi penelitian politik yang pada gilirannya mengkonseptualisasi arena politik dalam kacamata gender; gender harus dilihat sebagai kategori analitis dalam ilmu politik sehingga
Pendahuluan
mendefinisikan ulang dan memperluas ruang lingkup politik. 30 Kathleen B. Jones (1988: 11-12) menyatakan bahwa salah satu sebab terpenting perempuan dan kepentingan perempuan tidak nampak dalam pemikiran dan analisis ilmu politik tradisional di dunia barat adalah penerimaan konsep keterpisahan secara fundamental antara publik sebagai domain laki-laki dalam melakuan “political action” dalam sebuah polis, dengan ruang privat yang diasosiasikan dengan
peran perempuan di ranah domestik. 31 Feminis politik juga mencatat kecenderungan pengabaian pengalaman perempuan dalam analisis politik disebabkan oleh struktur produksi pengetahuan dan referensi dalam studi politik yang masih didominasi oleh laki-laki sehingga perlunya pendekatan-pendekatan feminis dalam riset ilmu sosial dan politik seperti dikemukakan Sandra Harding, Ann Oakley, Mies,
Vicky Randall. 32 Kecenderungan pengabaian pengalaman dan kepentingan perempuan dalam analisis politik tidak hanya terjadi dalam analisis dan karya-karya politik di negara-negara barat. Meskipun konteks sosial, sejarah dan politik antara negara-negara barat dengan negara- negara di Asia Tenggara berbeda, ternyata kecenderungan tidak adanya analisis gender dalam karya-karya ilmu politik juga terjadi di Asia Tenggara. Kritik terhadap studi politik di Asia Tenggara yang cenderung didominasi analisis politik an sich dan tidak menge- tengahkan analisis gender dalam studi politik, telah muncul sejak 1990an. Shelly Errington (1990) memberikan catatan bahwa tiada- nya analisis gender dalam kajian-kajian politik di Asia Tenggara bisa jadi disebabkan oleh fakta sosial berupa kondisi ekonomi yang relatif
30 Lihat Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir, “Introduction: Gender as an Analytic Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender:
Developing Theory and Research with a Feminist Face , ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hlm. 1-10. 31 Kathleen B. Jones, “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face , ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hlm. 1-10.
32 Lihat Vicky Randall, “Feminism and Political Analysis,” dalam Different Roles, Different Voices: Women and Politics in the United States and Europe , ed. Marianne
Githens, Pippa Norris, Joni Lovenduski, (New York: Harper Collins College Publishers, 1994), hlm. 4-16.
Kurniawati Hastuti Dewi 11
sejajar antara perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara, sehingga sulit menemukan simbol-simbol perbedaan gender di Asia Tenggara. 33 Beberapa ilmuwan seperti Barbara Ward (1963), dan Anthony Reid (1988) juga mencatat bahwa perempuan di Asia Tenggara memiliki posisi yang relatif tinggi di dalam masyarakat, kondisi ekonomi yang relatif sejajar dengan laki-laki dalam masyarakat
dimana peran perempuan dan laki-laki saling melengkapi. 34 Sejalan dengan pemikiran Errington, Maila Stivens dan Susan Blackburn (1991) yang merangkum salah satu hasil konferensi internasional di Universitas Monash tahun 1987 juga mencatat kecenderungan tidak adanya perspektif gender dalam tulisan-tulisan politik di Asia
Tenggara oleh para intelektual (1991). 35
Kecenderungan minimnya analisis gender dalam karya-karya politik di Asia Tenggara tetap berlanjut sampai dengan tahun 2000an. Susan Blackburn (2009) dalam salah satu artikelnya ber- judul “Has Gender Analysis been Mainstreamed in the Study of Southeast Asian Politics?” masih mencatat bahwa secara umum buku-buku mengenai politik di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Vietnam) yang diterbitkan tahun 2000an menunjukkan kurangnya level analisis gender karena rata-rata hanya ada satu Bab di dalam sebuah kumpulan tulisan mengenai politik di Asia Tenggara dengan analisis gender; dan ini menunjukkan bahwa persoalan mengenai perempuan atau gender—meminjam istilah Blackburn sebagai “political questions that exclude gender/women”— masih terjadi dalam
analisis-analisis politik di Asia Tenggara (2009: 53-72). 36
33 Shelly Errington, “Recasting Sex, Gender, and Power: A Theoretical and Regional Overview,” dalam Power and Differences: Gender in Island Southeast Asia. ed.
Jane Monnig Atkinson and Shelly Errington (Stanford, California: Stanford University Press, 1990).
34 Lihat Barbara Ward, Women in the New Asia: The Changing Social Roles of Men and Women in South and South-East Asia (Netherlands: Unesco, 1963); Anthony
Reid, “Females Roles in Pre-Colonial Southeast Asia”, Modern Asian Studies 22, no. 3 (1988): 629-45.
35 Maila Stivens, ed., Why Gender Matters in Southeast Asian Politics (Australia:
Centre of Southeast Asian Studies Monash University, Aristoc Press. 1991).
36 Susan Blackburn, “Has Gender Analysis Been Mainstreamed in The Study of Southeast Asian Politics?” dalam Gender Trends in Southeast Asia: Women Now,
Women in the Future, ed. Theresa W. Devasahayam, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 2009), hlm. 53-72.
Pendahuluan
Kecenderungan masih kurangnya penggunaan analisis gender dalam mengurai berbagai persoalan politik juga terjadi dalam kajian politik lokal di Indonesia. Paska lengsernya Suharto pada Mei 1998, Indonesia memasuki Era Reformasi dengan berbagai pembenahan struktural kelembagaan termasuk penguatan kapasitas pemerintahan daerah dalam demokratisasi. Salah satunya adalah kebijakan desen- tralisasi seiring dengan pemberlakuan UU No. 22/1999, dan diikuti kemudian dengan pengenalan mekanisme Pilkada langsung melalui UU No. 32/2004. Perubahan signifikan di tingkat lokal ini diiringi dengan munculnya berbagai dinamika dan tantangan baru yang tercermin juga dari banyaknya karya-karya mengenai politik lokal paska-Suharto. Akan tetapi terdapat fenomena menarik berupa kemunculan banyak perempuan pemimpin politik lokal (bupati/ walikota/gubernur) yang terpilih melalui Pilkada langsung yang belum banyak dikaji dalam berbagai karya dan analisis politik. Analisis politik an sich tidak mampu menangkap, menyajikan, dan memahami fenomena baru ini secara mendalam. Dalam konteks inilah, kajian mengenai kemunculan dan kemenangan Eka Wiryastuti diletakkan.
Kajian ini akan menggunakan analisis gender dalam melihat persoalan politik untuk menghasilkan analisis dan pemahaman yang utuh mengenai ‘agency’ seorang perempuan dan kemungkinan kontribusi faktor struktur sosial di sekitarnya yang harus diper- hatikan. Harus dipahami, Eka Wiryastuti sebagai seorang perempuan Tabanan Bali hidup dalam sebuah struktur sosial yang didalamnya terdapat pranata gender. Pranata gender atau “gender arrangement” atau “gender order” sebagaimana dikemukakan oleh R.W. Connel (2008:3-6) merupakan ide, gagasan, aturan, norma bagaimana seharusnya perilaku gender yang dapat diterima (“gender-appropriate behaviour ”) mengenai perempuan dan laki-laki di lingkungannya dimana “gender-appropriate behaviour” ini secara terus menerus di- sosialisasikan oleh berbagai kalangan misalnya pemuka agama, orang
tua, dan guru yang tentu berbeda-beda antar budaya. 37
37 R.W. Connell, Gender (Cambridge: Polity Press, 2008), hlm. 3-6.
Kurniawati Hastuti Dewi 13
“Agency” Eka Wiryastuti Untuk membingkai interaksi Eka Wiryastuti dengan konteks
agama dan budaya yang melingkupinya, maka kajian ini meng- gunakan konsep ‘agency’. Menurut definisi feminis liberal yang berlatar belakang gerakan perempuan barat, ‘agency’ merupakan perlawanan terhadap perendahan atau penindasan (“resitance to sub- ordination or oppression ”) dimana penindasan terjadi karena dominasi
kaum laki-laki. 38 Dalam konteks perempuan Muslim di Indonesia ‘agency’ dimaknai berbeda. Kajian Susan Blackburn, Bianca J. Smith and Siti Syamsiyatun (2008) mengenai agensi perempuan Muslim Indonesia dalam berbagai persoalan seperti poligami, pemakaian jilbab, rekonstruksi identitas perempuan dalam era baru desen- tralisasi, keberagamaan perempuan di desa-desa di Jawa, kepemim- pinan nyai di pesentren (istri kyai), menyimpulkan bahwa perempuan Muslim Indonesia merupakan “as cultural, social, political, and religious agents who actively interpret discourses on Islam, and Islamic discourses and practice, to shape their roles as women and their sense of self at the intersection of Indonesian society, culture,
and Islam in local and national context”. 39
Sementara itu dalam seting di Mesir, Saba Mahmood yang meneliti gerakan Muslim perempuan berbasis masjid (women’s mosque movements ) di Mesir pada pertengahan tahun 1990an yang merupakan bagian perkembangan kebangkitan Islam. Mahmood mengeksplorasi bagaimana proses keberagamaan dalam mencapai kesalehan menurut Islam seperti selalu shabar, berperilaku dan
bertutur kata sopan, menjaga sikap dan perasaan malu (untuk dapat mengendalikan diri) sebagai ekpressi kesalehan mereka sebagai individu; ketika dalam pandangan feminis liberal praktik-praktik tersebut ditafsirkan sebagai proses penaklukan perempuan Muslim
38 Sebagaimana dikutip dari Kathryn Abrams, “From Autonomy to Agency: Feminist Perspectives on Self-Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3
(1999): 807. 39 Susan Blackburn, Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun, “Introduction”,
dalam Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, ed. Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (Clayton: Monash University Press, 2008), hlm 3.
Pendahuluan
ke dalam sistem patriarki, maka berdasarkan konteks dan penga- laman para perempuan Muslim yang ditelitinya maka Mahmood mengajak ilmuan untuk mempertimbangkan alasan dan maksud dari mereka yang melakukan praktik kesalehan tersebut dalam konteks
budaya dan sejarah yang melekat pada masyarakat tersebut. 40 Kemudian, Mahmood menentang interpretasi feminis liberal mengenai definisi ‘agency dan menurutnya “agency not as a synonym for resistance to relations of domination, but as a capacity for
action….” 41 Sejalan dengan Mahmood, kajian antropologi Sylva Frisk
mengenai perempuan Muslim Malaysia di Kuala Lumpur dari tahun 1995 to 2000, menyimpulkan bahwa praktik kesalehan perempuan Muslim Malaysia yang berkembang sejalan dengan Islamisasi Malaysia tidak serta merta berarti menentang kewenangan laki-laki sebagaimana ditafsirkan dan difahami dalam wacana feminis, akan tetapi keinginan mereka untuk tunduk mengikuti keinginan Tuhan- nya--yang diekspressikan dengan keselehan individu—lebih penting
bagi mereka daripada keperluan untuka menentang patriarki. 42 Studi dalam konteks Indonesia yang terinspirasi dari Mahmood adalah kajian etnografi oleh Eva F. Amrullah mengenai perempuan Muslim kelas menengah dan kelas atas anggota Jama’ah Tabligh (Tablighi Jama’at) di Jakarta. Dalam studinya Amrullah mengungkapkan bahwa Jama’ah Tabligh menyediakan nilai dan ruang bagi para perampuan ini untuk mencapai kesalehan dengan kembali pada jalan Islam yang sebenarnya untuk melarikan diri dan menyem- buhkan diri dari krisis individu dan krisis sosial yang melanda
40 Saba Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2
(May 2001): 225. 41 Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” hlm. 203. Lihat juga bukunya, Politics
of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005).
42 Sylva Frisk, Submitting to God: Women and Islam in Urban Malaysia (Malaysia: NIAS Press, 2009), hlm. 190.
Kurniawati Hastuti Dewi 15
masyarakat. 43 Lebih jauh, Amrullah menyimpulkan bahwa partisipasi aktif para perempuan Muslim dalam Jama’ah Tabligh dalam menye-
barkan dan merekrut anggota baru mengindikasilan bahwa mereka memerankan agensi mereka secara aktif, sehingga salah untuk me- nyimpulkan dan mengartikan bahwa keterlibatan para perempuan dalam Jama’ah Tabligh sebagai sebuah bentuk ketertundukan
mereka atau bahwa mereka menjadi pihak yang tertindas. 44 ‘Agency’ yang dimaksud dalam kajian ini adalah bukan sebagai yang didefinisikan oleh feminis liberal sebagai perlawanan terhadap perendahan atau penindasan terhadap dominasi laki-laki. Kajian ini mendefinisikan ‘agency’ sebagai kapasitas Eka Wiryastuti sebagai subyek untuk menyadari (self-awareness) adanya ekspektasi normatif mengenai pranata gender ideal seorang perempuan Tabanan yang melekat dalam struktur sosial keagamaan agama Hindu Bali, budaya, dan adat-istiadatnya, untuk kemudian Eka Wiryastuti mampu mem- bangun identitas baru menggunakan modal individu yang dimiliki- nya dengan mengolah/menegosiasikan/menyiasati konsep-konsep dan pranata gender untuk kepentingan politiknya. Dengan ‘agency‘- nya, justru Eka Wiryastuti mampu memperluas ruang dan batas-batas mengenai kiprah politik seorang perempuan Tabanan dalam konteks kontemporer. Agency’ seperti ini berperan strategis dalam kemun- culan perempuan politik lokal yang berada dalam seting patriarkal, supaya kemunculan politiknya tidak mengalami penolakan frontal. Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan dalam Gambar berikut ini.
43 Eva F. Amrullah, “Seeking Sancturay in ‘the age of disroder’: Women in
Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5, (2011): 135-160. 44 Ibid, hlm. 157.
Pendahuluan
Gambar 1.1 “Gender Arrangement” yang melingkupi Ni Putu Eka Wiryastuti Sebagai Individu Yang Diteliti
Sumber: dibuat oleh Kurniawati Hastuti Dewi
Sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1, di atas, “gender arrangement ” di Tabanan Bali dilingkupi oleh konteks yang lebih besar yaitu ideologi gender yang telah mengalami perubahan sejak Reformasi 1998. Julia Suryakusuma menyebut ideologi gender selama masa Orde Baru ini sebagai ”state ibuism” yang bertumpu pada faham paternalistik dan memposisikan laki-laki sebagai elemen inti dari negara, sementara perempuan merupakan elemen sekunder
yang cukup berkiprah di dalam keluarga. 45 Dalam konstruksi ideologi gender sedemikian, suami diharapkan berperan politik aktif di luar rumah (dilambangkan oleh sosok Suharto) sementara istrinya (dicontohkan oleh peran Ibu Tien Suharto) menjadi pendamping dan penopang suami untuk menciptakan keluarga yang ’stabil’
45 Julia I. Suryakusuma, “The State and Sexuality in New Order Indonesia,” dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, ed. Laurie J. Sears (Durham and London:
Duke University Press, 1996), hlm.101.
Kurniawati Hastuti Dewi 17
sebagai landasan bagi terwujudnya stabilitas politik dan negara yang kuat. 46 Pada masa Orde Baru, perempuan diharapkan berperan dan berkontribusi melalui ranah privat sebagai istri dan ibu untuk memastikan stabilitas keluarga, mendukung pengabdian suaminya pada rejim Orde Baru, dimana perempuan tidak seharusnya ikut campur dalam urusan politik dan ranah publik.
Dalam keadaan perempuan mengalami depolitisasi dan pe- minggiran politik selama Order Baru, maka dapat dipahami bahwa di bawah UU No. 5/1974 yaitu selama periode 1974-1998 dimana kepala daerah diusulkan oleh DPRD untuk disetujui Presiden Suharto, hanya ada dua perempuan yang terpilih sebagai pemimpin tertinggi di daerah yaitu: Tutty Hayati Anwar sebagai Bupati Majalengka (1998-2003) dan Molly Mulyahati Djubaedi sebagai Walikota Sukabumi (1998-2003). Dalam perkembangannya, sejak era Reformasi 1998, ideologi gender “state ibuism” telah mengalami de- konstruksi seiring dengan merebaknya wacana perluasan peran dan posisi perempuan Indonesia di ranah publik sejak pertengahan tahun 1990an, diadopsinya perspektif gender dalam Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada masa Reformasi, dimana dekon- struksi pada ranah struktural terlihat dari perubahan orientasi program Keluarga Berencana (KB) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dari yang semula berorientasi pada kepentingan praktis gender (pratical gender interest) pada masa Orde Baru menjadi kepentingan strategis gender (strategic gender interest) pada masa
Reformasi. 47
46 Latar belakang Suharto dan istrinya Ibu Tien yang berasal dari Jawa, menurut beberapa ilmuwan mempengaruhi terbentuknya ideologi gender Orde
Baru seperti diuraikan di atas. Untuk bacaan lebih lanjut mengenai pengaruh budaya Jawa dalam membentuk ideologi gender Orde Baru lihat Ratna Saptari.
“Women, Family and Household: Tensions in Culture and Practice,” dalam Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices , ed. Juliette Koning, Marleen Nolten, Janet Rodenburg, Ratna Saptari (Great Britain: Curzon Press, 2000), hlm. 19; Sylvia Tiwon, “Reconstructing Boundaries and Beyond,” dalam Women and Households in Indonesia: Cultural, Notions and Social Practices , ed. Juliette Koning, Marleen Nolten, Janet Rodenburg, Ratna Saptari (Great Britain: Curzon Press, 2000), hlm. 71-4
47 Analisis mendalam mengenai dekonstruksi ideologi jender Orde Baru lihat tulisan Kurniawati Hastuti Dewi, “Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Jender
Orde Baru”, Jurnal Penelitian Politik, P2P LIPI, vol.4, no.1, (2007): 59-68.
Pendahuluan
Dilingkupi wacana perluasan peran dan posisi perempuan Indonesia dalam politik terutama dalam momentum demokratisasi sejak Mei 1998, dikuatkan dengan dekonstruksi ideologi gender Orde Baru, maka praktik perluasan peran dan posisi perempuan dalam politik lokal juga terjadi. Sebagaimana telah disinggung sedikit pada bagian Pendahuluan, bahwa munculnya kebijakan desentrali- sasi baru dalam demokratisasi lokal terutama Pilkada langsung dengan UU No. 32/2004, dilanjutkan dengan UU No.8/2015 telah membuka kesempatan bagi banyak perempuan untuk berkompetisi dan terpilih menjadi pemimpin politik lokal. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Pilkada langsung telah membuka ruang kesempatan yang lebih besar untuk perempuan mencalonkan diri kemudian terpilih sebagai pemimpin politik daerah.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan--dengan meminjam istilah Pippa Noris mengenai “the structure of opportunities” ketika dia menjelaskan salah satu komponen penting dalam rekuritmen anggota legislatif 48 --bahwa “struktur kesempatan” bagi kaum perem-
puan Indonesia untuk dapat direkrut dan berkiprah secara aktif dalam politik di daerah lebih meningkat dengan berlakunya meka- nisme Pilkada langsung. Melalui mekanisme Pilkada langsung, arena perempuan untuk bermanuver politik lebih besar mengingat kecen- derungan oligarki elit/oligarki partai di DPRD, 49 serta dominasi laki-
laki dalam pengambilan keputusan strategis di DPRD maupun dalam internal partai-partai politik di Indonesia. Maka kemunculan Eka Wiryastuti, juga mesti dilihat dalam kerangka terbukanya kesem- patan politik bagi perempuan Tabanan Bali untuk berkiprah dan
48 Pippa Noris, “Introduction: Theories of Recruitment,” dalam Passage to Power: Legislative Recruitment in Advanced Democracies,
ed. Pippa Noris (United Kingdom: Cambridge University Press, 1997), hlm.11. 49 Menurut tim peneliti Pemilu LIPI, sebenarnya Pilkada langsung diperlu-
kan untuk memutus mata rantai oligarkhi partai yang mewarnai kepolitikan di DPRD di mana kepentingan partai atau kepentingan elit partai seringkali me- manipulasi kepentingan masyarakat luas. Baca lebih lanjut Tim Pemilu LIPI (Syamsuddin Haris, Sri Nuryanti, Lili Romli, Edison Muchlis, Tri Rainny Syafarani), Analisa Proses dan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Indonesia,
ed. Sri Nuryanti (Jakarta: LIPI Press, 2006), hlm. 8. Baca juga LIPI, Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia , ed. Syamsuddin Haris (Jakarta: LIPI Press, 2007).
Kurniawati Hastuti Dewi 19
menentukan masa depan daerahnya secara aktif melalui mekanisme Pilkada langsung.