Maitrayee Mukhopadhyay, “Gender Relations, Development Practice and
67 Maitrayee Mukhopadhyay, “Gender Relations, Development Practice and
‘Culture,” Gender and Development vol. 3, no.1, (February 1995): 14. 68 Ibid., hlm. 15-18.
Pendahuluan
suku asli Guatemala ini merasakan ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi di dalam komunitas mereka sendiri dan mengatakan bahwa adanya harmoni dan saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan yang sering dikatakan dalam komunitas mereka sebagai mitos belaka; mereka mengkritisi budaya mereka sendiri meskipun
tidak secara keseluruhan. 69
Beberapa ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana budaya dan adat-istiadat harus diperhitungkan secara jernih dalam mengurai persoalan peran dan posisi perempuan dalam sebuah komunitas. Memahami bahwa budaya menjadi media atau sarana pembentukan gender (females become women atau males become men). Pada titik ini, maka gender tidak lagi tepat jika hanya didefinisikan sebagai sebuah konstruksi sosial mengenai identitas laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan jenis kelamin; tetapi gender mesti dipahami sebagai hubungan gender (gender relations) yang merujuk pada aksi dan inter- aksi antara orang-orang dalam sebuah setting sosial dimana kelas sosial, etnisitas, dan orientasi sexual mempengaruhi pembentukan standar norma kepatutan (“properness”) individu dalam sebuah
komunitas. 70 Memang sebagaimana dikemukakan oleh R.W. Connel (2008: 8-10) gender yang semula dipahami sebagai perbedaan identitas kultural laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan jenis kelamin, tidak lagi tepat dan mesti difahami ulang sebagai gender sebagai sebuah struktur sosial (“sosial structure”) dimana individu maupun kelompok saling berinteraksi dalam sebuah struktur sosial dimana “gender arrangement” diproduksi secara sosial dan berbeda-beda dalam setiap budaya; jadi, gender adalah hubungan gender yang selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui bermacam media dan sarana dimana ide-ide mengenai “gender-appropriate behaviour” selalu terus menerus disosialisasikan melalui beragam aktor seperti tokoh
agama, orang tua, guru, bintang iklan, dsb. 71 Di dalam lingkup
69 Liesbeth van der Hoogte and Koos Kingma, “Promoting Cultural Diversity and the Rights of Women: the Dilemmas of ‘Intersectionality’ For Development
Organizations,” Gender and Development vol. 12, no. 1, (May 2004): 53. 70 Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership, and Gender,” hlm. 16-17.
71 R.W. Connell, Gender, hlm. 4-10, dan 54.
Kurniawati Hastuti Dewi 27
budaya dan adat istiadat dalam sebuah komunitas itulah, hubungan gender menjadi aspek paling penting karena di dalamnya terdapat tata nilai, kepercayaan, perilaku dan praktik yang mengatur norma- norma kepantasan mengenai perempuan dan laki-laki dalam setting sosial komunitas tertentu.
Budaya memang harus dilihat dalam kajian ini karena sebagaimana Rita Mae Kelly dan Georgia Duerst-Lahti (1995:49) yang menulis gagasan tentang “a gender-expanded model of be(coming) a public leader ” menegaskan bahwa inti terdalam dalam model seperti ini adalah bahwa setiap individu baik perempuan maupun laki-laki berada dalam konteks budaya dengan dimensi gender; jadi dalam model yang dibuat oleh Rita Mae Kelly dan Georgia Duerst-Lahti ini maka seseorang untuk menjadi pemimpin publik dilingkupi oleh konteks budaya dengan dimensi gender sebagai lingkaran terdalam, lalu lingkaran luar kedua adalah organizational culture misalnya dalam sebuah sekolah tentu berbeda dengan sebuah perusahaan konstruksi, sementara lingkaran luar terluar adalah national culture misalnya seorang perempuan di negara Arab tentu akan memiliki standar tata nilai, moral, kepercayaan, perilaku dan praktik yang tidak sama dengan perempuan di Amerika. 72
Dalam masyarakat Hindu di Bali, terdapat hukum adat yang mengakar kuat untuk mengatur tatanan keluarga Hindu mengenai konsep Purusa atau sistem kekeluargaan patrilenial yang menarik keturunan dari garis laki-laki, karena hanya laki-laki yang dianggap mampu meneruskan Swadharma (tanggung jawab keluarga) yang ber- akibat perempuan tidak menerima warisan keluarga, dianggap tidak berguna dan seringkali diabaikan dalam segi pendidikan dan peran
publik, dan tugasnya semata-mata mengurusi keluarga saja. 73 Salah satu hasil kajian mengenai peran perempuan dalam kehidupan demokrasi dan budaya di Bali yang dilakukan R. Siti Zuhro dkk, memperlihatkan perempuan Bali memiliki peran vital dalam upacara