PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN
BAB VII PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN
7.1 Pemberdayaan Petani Untuk Mencapai Kesejahteraan
Sebagaimana dikatakan Sumodininggrat (dalam Kartius, dkk., 2008) bahwa untuk memberdayakan masyarakat miskin, perlu adanya pemihakan kepada pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Dengan anggapan bahwa ekonomi kerakyatan mempunyai akses langsung terhadap ekonomi masyarakat lapisan bawah tersebut. Pemberdayaan usaha kecil dan menengah termasuk koperasi memang sangat penting dan strategis dalam mengantisipasi perekonomian ke depan terutama dalam memperkuat struktur perekonomian nasional (Prawirokusumo, 2001). Sebagai contoh upaya pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya terutama masyarakat perdesaan yang sebagian besar bermata pencaharian pada sektor pertanian adalah memberdayakan petani, hal ini didukung oleh geografis yang dimiliki.
Kabupaten Kutai Kartanegara dengan ibu kota Tenggarong mempunyai luas wilayah 26.326 Km 2 , berpotensi untuk mengembangkan perkebunan diantaranya perkebunan kelapa sawit. Upaya ini telah dilaksanakan yakni dengan mendorong berkembangnya Perkebunan Besar Swasta (PBS). Jumlah Perkebunan Besar Swasta (PBS) untuk tahun 2009 sebanyak 19 perusahaan dengan luas 101.106,70 ha dengan produksi sebesar
244.168,00 ton (Kutai Kartanegara Dalam Angka, 2010). Adanya perkebunan besar ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja petani dan kesejahteraan petani melalui program kemitraan kelapa sawit. Program kemitraan pembangunan perkebunan dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antara petani pekebun rakyat dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta Dalam Negeri maupun Asing yang bergerak di bidang perkebunan. Bentuk kerjasama dengan kemitraan mengacu pada; Undang-Undang No. 9 tahun 1995, Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 03 Tahun 2008 tentang Kemitraan Pembangunan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu pemerintah Daerah Kabupaten bertugas dan memfasilitasi perizinan usaha perkebunan pembina, serta menyediakan lahan pengembangan kebun mitra di luar ijin usaha perkebunan pembina minimal 20 persen dari luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan pembina. Perusahaan perkebunan pembina mempunyai tugas dan kewajiban membangun perkebunan yang dilakukan perusahaan perkebunan pembina seluas 20 persen dari total luas usaha perkebunan lengkap dengan fasilitas pengolahan (pabrik). Petani peserta program kemitraan wajib menjadi anggota kelompok tani dan menjadi anggota koperasi. Hubungan kemitraan petani diwakili oleh koperasi sehingga kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan koperasi dapat berlangsung secara utuh dan berkesinambungan.
7.1.1 Pemberdayaan
7.1.1.1 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi bukan sebuah proses instan. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan, secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
Penyadaran Pengkapasitasan
Pendayaan
Gambar 7.1. Tiga Tahapan Pemberdayaan Sumber : Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007
Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu.Misalnya kelompok masyarakat miskin. Kepada mereka diberikan pemahaman bahwa dapat menjadi berada, dan itu dapat dilakukan jika mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya. Program-program yang dapat dilakukan, misalnya memberikan pengetauan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Prinsip dasarnya membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka (tidak dari luar). Sebagai contoh adalah petani peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit, untuk itu petani peserta kemitraan diberikan pemahaman bahwa petani mempunyai hak untuk menjadi berada. Pada tahap ini, petani peserta kemitraan dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Tahap kedua adalah pengkapasitan. Pada tahap ini sering disebut capacity bulding atau dalam bahasa lebih sederhana memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya atau
kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Proses capacity building terdiri atas tiga jenis yaitu manusia organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia baik dalam konteks individu maupun kelompok telah sering dilakukan seperti memberikan bimbingan dan penyuluhan, melakukan pelatihan (trainning), workshop (loka latih), seminar, simulasi dan sejenisnya. Menurut Ruky (2006), pelatihan adalah memberikan keterampilan (skill) yang bisa dilakukan baru atau meningkatkan skill yang sudah dikuasai sesorang. Lebih lanjut Handoko (2001) menyatakan bahwa latihan dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci dan rutin untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sekarang. Pelatihan menurut Dessler (1992) disebut sebagai training teknis adalah merupakan upaya pembinaan keterampilan dasar yang diperlukan pegawai baru atau lama untuk melaksanakan pekerjaan. Penyuluhan adalah merupakan proses membantu petani dalam mengambil keputusan dari berbagai alternatif pemecahan masalah. Menurut Ban dan Hawkins (1999) penyuluhan adalah proses 1) meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani,
2) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga dimilikinya berbagai alternatif tindakan, 3) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut, misalnya sebelum diberikan peluang usaha bagi kelompok miskin dibuatkan Badan Usaha Miliki Rakyat (BUMR). Agar manajemennya efisien, organisasi daerah otonom ditata ulang sehingga berpola structure follow function. Contoh lain adalah dibentuknya kelompok tani bagi petani peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit, dan dibuatnya koperasi, sehingga sebagai peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit telah menjadi anggota kelompok tani serta sebagai anggota koperasi. Pengkapasitasan sistem nilai, yaitu setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan,
sistem nilainya pun demikian. Sistem nilai adalah aturan main. Dalam cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sistem dan Prosedur, Peraturan Koperasi, dan dalam kerjasama kemitraan perkebunan kelapa sawit antara petani peserta dengan perusahaan mitra diatur dalam perjanjian kerjasama (MoU). Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri atas budaya organisasi, etika dan good governance. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment dalam makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Misalnya pemberian kredit kepada suatu kelompok miskin yang sudah melalui proses penyadaran dan pengkapasitasan masih perlu disesuaikan dengan kemampuannya mengolola usaha. Demikian halnya untuk contoh pada petani peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit, petani peserta dilihat kemampuannya apakah sudah mampu mengelola kebun sendiri atau belum. Namun kecenderungan perusahaan perkebunan besar tidak mau menyerahkan pengelolaan ini sehingga tahap pendayaan sering mengalami kegagalan. Petani peserta kemitraan usahatani kelapa sawit diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisiapasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan.
Selanjutnya Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menyatakan konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dan tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjamahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat Selanjutnya Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menyatakan konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dan tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjamahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
Pemberdayaan diartikan bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan diri sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginannya (Shardlow dalam Adi, 2008). Selanjutnya Payne (dalam Adi, 2008) menyatakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Lebih lanjut Adi (2008) menyatakan pemberdayaan masyarakat melibatkan lembaga pemerintah dan non pemerintah. Pemberdayaan berbagai macam bentuk dapat dipadukan dan saling melengkapi guna menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya.
Menurut Suharto (dalam Nawawi, 2009) pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan, yaitu pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan. Pemungkinan, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Penguatan, memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya. Perlindungan, melindungi masyarakat terutama kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat. Penyokongan, memberikan bimbingan dan dukungan, agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemeliharaan, memilihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Dimensi pemberdayaan berkaitan dengan pemberdayaan kerja menurut Kanter dalam Laschinger dan Finegan (2005) meliputi; memiliki akses pada informasi, menerima dukungan, memiliki akses pada sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan memiliki peluang untuk belajar dan berkembang.
7.1.1.2 Dasar-dasar pemberdayaan
Dubois dan Miley dalam Wrihatnolo dan Dwidjiwijoto (2007) mengemukakan bahwa dasar-dasar pemberdayaan meliputi:
1. Pemberdayaan adalah proses kerja sama antara klien dan pelaksana kerja secara bersama-sama yang bersifat mutual benefit.
2. Proses pemberdayaan memandang sistem klien sebagai komponen dan kemampuan yang memberikan jalan ke sumber penghasilan dan memberikan kesempatan.
3. Klien harus merasa dirinya sebagai agen bebas yang dapat mempengaruhi.
4. Kompetensi diperoleh atau diperbaiki melalui pengalaman hidup khusus yang kuat daripada keadaan yang menyatakan apa yang dilakukan.
5. Pemberdayaan meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan dan kapasitas untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut dengan cara efektif.
6. Proses pemberdayaan adalah masalah yang dinamis, sinergis, pernah berubah, dan evolusioner yang selalu memiliki banyak solusi.
7. Pemberdayaan adalah pencapaian melalui struktur-struktur paralel dari perseorangan dan perkembangan masyarakat.
Pemberdayaan adalah proses menyeluruh: suatu proses aktif antara motivator, fasilitator, dan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, pemberian berbagai kemudahan serta peluang untuk mencapai sukses sistem sumber daya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proses pemberdayaan hendaknya meliputi enabling (menciptakan suasana kondusif), empowering (penguatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat), supporting (bimbingan dan dukungan) dan foresting (memelihara kondisi yang kondusif tetap seimbang). Pada gilirannya akan terwujud kapasitas ketahanan masyarakat secara lebih bermakna.
Makmun (2003) menyatakan upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya membangun daya itu sendiri dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain hanya meniciptakan iklim dan suasana kondusif. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Upaya pemberdayaan ini menyangkut antara lain; peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, akses informasi, teknologi, pembangunan sarana prasarana fisik, pelatihan dan sebagainya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah Makmun (2003) menyatakan upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya membangun daya itu sendiri dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain hanya meniciptakan iklim dan suasana kondusif. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Upaya pemberdayaan ini menyangkut antara lain; peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, akses informasi, teknologi, pembangunan sarana prasarana fisik, pelatihan dan sebagainya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah
Menurut Ony dan Pranaka (dalam Nawawi, 2009) menyebutkan pemberdayaan pada awalnya merupakan gagasan yang menempatkan manusia sebagai subyek di dunianya, yaitu : (i) Pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. (ii) Kecenderungan
pada proses menstimulasi mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Menurut Nawawi (2009) pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan, yaitu:
sekunder,
menekankan
1) Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
2) Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap- sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapi.
3) Aras Makro. Perubahan diarahkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik. Strategi ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi diri 3) Aras Makro. Perubahan diarahkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik. Strategi ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi diri
Ife dalam Adi (2008) menyatakan bahwa ada sekurang- kurangnya empat peran dan keterampilan utama yang harus dimiliki oleh pelaku perubahan sebagai pemberdaya masyarakat, yaitu :
1) Peran dan keterampilan fasilitatif (facilitative roles and skills).
2) Peran dan keterampilan edukasional (educational roles and skills).
3) Peran dan keterampilan perwakilan (representational roles and skills).
4) Peran dan keterampilan teknis (technical roles and skills).
7.1.1.3 Mengukur Pemberdayaan
Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan berhasil, perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran sejauh mungkin yang dapat diukur untuk dibandingkan. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007). Seberapa jauh pemberdayaan dapat dikatkan berhasil dapat diukur melalui :
1. Aspek Ekonomi. Pemberdayaan masyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi karena sasaran utamanya adalah memandirikan masyarakat. Peran ekonomi sangat penting, cara pengukurannyapun banyak berkembang seperti. Indeks GINI, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line), jumlah desa miskin (poverty-stricken village), peranan usaha berskala mikro dan kecil, nilai tukar petani (NTP), upah minimum (minimum wage) dan sebagainya.
2. Pendidikan dan Kesehatan. Pembangunan manusia berkualitas bukan hanya menyangkut aspek ekonominya. Dibidang pendidikan dan kesehatan ukurannya juga telah banyak dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta aksara, angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, persentase penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu BAPPENAS bersama BPS juga mengambangkan semacam indeks kesejahteraan rakyat yang menggabungkan indikator ekonomi, kesehatan dan pendidikan dalam suatu angka indeks. Di 2. Pendidikan dan Kesehatan. Pembangunan manusia berkualitas bukan hanya menyangkut aspek ekonominya. Dibidang pendidikan dan kesehatan ukurannya juga telah banyak dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta aksara, angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, persentase penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu BAPPENAS bersama BPS juga mengambangkan semacam indeks kesejahteraan rakyat yang menggabungkan indikator ekonomi, kesehatan dan pendidikan dalam suatu angka indeks. Di
3. Budaya. Manusia juga harus mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi melalui pembangunan spiritual, sebagai bagian pemberdayaan masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat yang berakhlak. Dalam pembangunan budaya perlu dikembangkan orientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Aspek Politik. Pemberdayaan masyarakat harus pula berarti membangkitkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang secara politik terisolasi bukanlah masyarakat yang berdaya, artinya tidak seluruh aspirasi dan potensinya tersalurkan. Salah satu ukurannya, seperti yang dikembangkan Dasgupta adalah hak berpolitik (mengikuti pemilu) dan hak sipil.
Lebih lanjut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mengemukakan untuk mengukur pemberdayaan, dapat melihat ukuran pemberdayaan dari segi pengukuran kemiskinan. Digunakan
14 (empat belas) variabel untuk menentukan apakah suatu rumah tangga layak atau tidak dikaregorikan miskin sekaligus menentukan skorsing tingkat keparahan kemiskinannya, yaitu 1) luas bangunan,
2) jenis lantai, 3) jenis dinding, 4) fasilitas buang air besar, 5) sumber air minum, 6) sumber penerangan, 7) jenis bahan bakar untuk memasak, 8) frekuensi membeli daging, ayam dan susu seminggu, 9) frekuensi makan sehari, 10) jumlah stel pakaian baru yang dibeli setahun, 11) akses ke puskesmas/poliklinik, 12) lapangan pekerjaan, 13) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, serta 14) kepemilikan beberapa aset. Disamping itu ada pula empat variabel program intervensi, yaitu 1) kebaraan balita, 2) angka usia sekolah, 3) kesertaan dalam program keluarga berencana (KB), dan
4) penerimaan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
7.1.1.4 Model-Model Pemberdayaan
Teori Pemberdayaan mengasumsikan bahwa (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007):
1. Pemberdayaan akan berbeda untuk orang yang berbeda. Proyek- proyek pembangunan dianggap sukses jika anggota masyarakat mampu merasakan manfaat proyek dalam jangka waktu lama. Masyarakat terberdayakan tidak selalu berarti bahwa kemampuan masyarakat untuk memcahkan masalahnya terdistribudi secara merata antara anggota masyarakat, terutama lintas jenis (gender). Pada umumnya, kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan yang sama lintas gender (dan kemudian berarti kesempatan yang sama untuk memimpin organisasi sukarela masyarakat) tidak dapat dicapai ketika laki- laki masih mendominasi proses tersebut.
2. Pemberdayaan mengambil bentuk berbeda dalam konteks yang berbeda. Persepsi, keahlian dan tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu akan berbeda antara pekerja di organisasi otoritatif dan pekerja di organisasi partisipatif. Inisiatif pekerja pada situasi pertama ditekan di tingka paling rendah, sementara pada situasi kedua pekerja didorong untuk berkembang semaksimal mungkin.
3. Pemberdayaan akan berfluktuasi atau berubah sejalan dengan waktu. Seseorang dapat merasa terberdayakan pada suatu saat dan tidak terberdayakan pada waktu lain, bergantung pada kondisi yang dihadapi pada suatu waktu.
Di Indonesia model kebijakan yang menonjolkan konsep pemberdayaan adalah demokrasi ekonomi. Model ini mempunyai nama lain yang beraneka ragam seperti ekonomi rakyat, perekonomian rakyat, ekonomi kerakyatan dan sejenisnya. Dalam tulisan ini untuk memudahkan pemahaman digunakan istilah ekonomi kerakyatan. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, namun kekayaan alam Indonesia belum dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Problematika yang dijumpai pada permasalahan penerapan demokrasi ekonomi adalah masalah fundamental berupa kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat yang sangat terbatas dan peran intelektual yang masih belum efektif dalam menegakkan penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia dalam rangka menyejahterakan rakyat. Konsep Dasar pemberdayaan ditentukan Di Indonesia model kebijakan yang menonjolkan konsep pemberdayaan adalah demokrasi ekonomi. Model ini mempunyai nama lain yang beraneka ragam seperti ekonomi rakyat, perekonomian rakyat, ekonomi kerakyatan dan sejenisnya. Dalam tulisan ini untuk memudahkan pemahaman digunakan istilah ekonomi kerakyatan. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, namun kekayaan alam Indonesia belum dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Problematika yang dijumpai pada permasalahan penerapan demokrasi ekonomi adalah masalah fundamental berupa kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat yang sangat terbatas dan peran intelektual yang masih belum efektif dalam menegakkan penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia dalam rangka menyejahterakan rakyat. Konsep Dasar pemberdayaan ditentukan
Demokrasi Ekonomi Penerapan prinsip-
prinsip demokrasi ekonomi sebagai
wujud pemberdayaan
masyarakat
Model
Peran Intelektual
Demokrasi
Ekonomi
Peran intelektual
dalam
Peran intelektual
dalam pemberdayaan menyejahterakan masyarakat dalam
rakyat dengan proses
konteks demokrasi pemberdayaan
ekonomi untuk
masyarakat
meningkatkan
kesejahteraa rakyat Gambar 7.2. Hubungan Antara Demokrasi Ekonomi, Peran
Intelektual, dan Model Demokrasi Ekonomi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Sumber : Wriahtnolo dan Dwidjowijoto, 2007
Model-model pemberdayaan masyarakat dapat dicontohkan, seperti pemberdayaan di perdesaan yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yakni dimulai dengan program Inpres Desa Tertinggal (Inpres Nomor 5 Tahun 1993). Model program pemberdayaan di perkotaan seperti Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Sebagaimana dikatakan Jamal (2009) bahwa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
(PNPM Mandiri) merupakan langkah awal yang baik untuk membangun momentum baru pembangunan perdesaan di Indonesia.
7.1.2 Kesejahteraan
7.1.2.1 Pengertian kesejahteraan
Keberhasilan pembangunan suatu Negara ditunjukkan oleh makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Demikian halnya keberhasilan program kemitraan kelapa sawit juga akan berdampak pada semakin meningkatnya kesejahteraan petani mitra sawit. Secara mikro kesejahteraan rumah tangga dapat didekati dengan hukum Engel, yang menyatakan pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan. Lebih lanjut dalam keadaan harga barang dan selera masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan menunjukkan peningkatan kesejahteraan (Nicholson, 2002).
Setiap orang memiliki keinginan untuk sejahtera, suatu keadaan yang serba baik, atau suatu kondisi dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur dalam keadaan sehat dan damai. Sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta selamat, terlepas dari berbagai gangguan. Dalam UU No. 6 Tahun 1974 keadaan sejahtera yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin. Menurut Undang Undang No
10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, bahwa keluarga yang sejahtera itu tidak hanya tercukupi kebutuhan materiilnya, tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan yang sah, tercukupi kebutuhan spiritualnya, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, antara keluarga dengan masyarakat sekitarnya, dengan lingkungannya dan sebagainya.
Livermore; Thompsondalam Suharto (2006) pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna, yaitu : 1) sebagai kondisi sejahtera (well-being).Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
Menurut
Spicker;
Midgley;
Tracy
dan dan
3) sebagai tunjangan sosial,yang khususnya diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut
social illfare ketimbang social welfare , 4) sebagai proses atau usaha terencanayang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).
Stiglitz, et.al. (2011) menyatakan untuk mendefinisikan kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi- dimensi tersebut meliputi; standar hidup material (pendapatan, konsumsi dan kekayaan), kesehatan, pendidikan, aktivitas individu termasuk bekerja, suara politik dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan data obyektif dan subjektif.
Perumusan konsep kesejahteraan dilakukan oleh Biro Pusat Statistik dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Dan rumusan kesejahteraan oleh BKKBN, bahwa keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila :
1. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial dan agama.
2. Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga.
3. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk disamping terpenuhi kebutuhan pokoknya.
7.1.2.2 Kriteria ekonomi kesejahteraan
Ekonomi kesejahteraan penting untuk dipahami karena berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berbagai kriteria dari ekonomi kesejahteraan
mempertimbangkan suatu kebijaksanaan. Pihak mana yang menjadi lebih baik (better-off) dan mana yang menjadi lebih buruk (worse-off), atau dengan kata lain, siapa yang menerima keuntungan (gainers) dan siapa yang menderita kerugian (lossers), yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut (Miller dan Meiners, 2000; Jehle dan Reny, 2001; Rintuh dan Miar, 2005; Pindyck dan Rubinfeld, 2008):
berguna
dalam
1. Kriteria Bentham
Jeremy Benthan, menyatakan bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila terdapat perubahan positifwelfare total berarti terdapat perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat anggota masyarakat atau individu yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Secara implisit kriteria ini mengasumsikan adanya komparasi antar individual (interpersonal comparison) di antara anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan anggota masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Kriteria Cardinal
Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat berpengaruh terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki uang lebih banyak) akan memperoleh marginal utility yang lebih Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat berpengaruh terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki uang lebih banyak) akan memperoleh marginal utility yang lebih
3. Kriteria Pareto-Optimal
Pada umumnya, ekonom kurang menyukai perbandingan kepuasan antar pribadi. Pemakaian konsep tersebut sedapat mungkin dihindari dalam menganalisis kesejahteraan, dan fokus dialihkan pada konsep efisiensi ekonomi. Efisiensi ada dua yaitu efisiensi teknis adalah istilah yang mengacu pada perbandingan output fisik dengan input fisik, dan efisiensi ekonomis mengacu pada nilai output terhadap input, atau nilai sumberdaya (faktor produksi) yang dipakai menghasilkan output tersebut. Pengukuran efesiensi ekonomis mensyaratkan nilai-nilai ditempatkan pada komoditi. Dalam analisis kesejahteraan, nilai yang ditempatkan (sebagai satuan hitung atau pengukur) pada komoditi itu nilai-nilai yang diberikan oleh pasar sempurna.
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuan efisiensi mereka. Menurut ukuran ini, kesejahteraan sosial, suatu situasi adalah optimal hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi. Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik untuk semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa membuat konsumen yang lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam produksi harus identik untuk semua produk (adalah mustahil meningkatkan produksi setiap barang tanpa mengurangi produksi barang-barang yang lain). Biaya sumber daya marginal harus sama dengan produk pendapatan marginal untuk semua proses produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor harus sama dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang). Rata-rata marginal Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuan efisiensi mereka. Menurut ukuran ini, kesejahteraan sosial, suatu situasi adalah optimal hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi. Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik untuk semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa membuat konsumen yang lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam produksi harus identik untuk semua produk (adalah mustahil meningkatkan produksi setiap barang tanpa mengurangi produksi barang-barang yang lain). Biaya sumber daya marginal harus sama dengan produk pendapatan marginal untuk semua proses produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor harus sama dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang). Rata-rata marginal
Secara ringkas definisi kondisi Pareto adalah suatu alokasi barang sedemikian rupa, sehingga bila dibandingkan dengan alokasi lainnya, alokasi tersebut tidak akan merugikan pihak manapun dan salah satu pihak pasti diuntungkan. Atau dengan kata lain suatu situasi dimana sebagian atau semua pihak/individu takkan mungkin lagi diuntungkan oleh pertukaran sukarela. Untuk mencapai suatu keadaan yang disebut Pareto-Optimal atau Pareto-Efficient, harus dipenuhi tiga kondisi marginal yaitu; 1) efisien dalam distribusi berbagai barang di antara konsumen, 2) efisien dalam pengalokasian faktor produksi di antara perusahaan, 3) efisien dalam mengalokasikan faktor produksi dalam memproduksi barang-barang.
Pada prakteknya penggunaan kriteria Pareto sangat terbatas untuk diterapkan karena mempunyai kelemahan yang mendasar, misalnya :
1. Tidak berlaku pada kasus suatu perubahan yang menguntungkan beberapa orang, namun juga merugikan orang lain. Walaupun besarnya keuntungan adalah lebih besar jika dibandingkan dengan besar kerugian, menurut Pareto perubahan tersebut bukanlah suatu perbaikan. Dengan demikian kriteria Pareto tidak dapat menentukan mana yang lebih baik.
pendapatan, tidak menumbuhkan alokasi yang memadai, sebagai contoh; banyak individu yang menerima pendapatan rendah.
3. Dalam kenyataan bahwa sistem yang kompetitif sempurna tidak pernah ada.
4. Kriteria Kaldor-Hicks
Kaldor-Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk menilai suatu perubahan yaitu menilai keuntungan dari mereka yang menikmati perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang menderita kerugian dengan satuan uang. Untuk menjawab kelemahan Pareto, sejumlah ekonom mencoba merumuskan kriteria kesejahteraan distributif, yang mengandung prinsip bebas nilai Kaldor-Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk menilai suatu perubahan yaitu menilai keuntungan dari mereka yang menikmati perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang menderita kerugian dengan satuan uang. Untuk menjawab kelemahan Pareto, sejumlah ekonom mencoba merumuskan kriteria kesejahteraan distributif, yang mengandung prinsip bebas nilai
it n
n 1 e .C
Kepuasan konsumen 2 per unit periode
Gambar 7.3. Kriteria Kaldor-Hicks. Sumber : Miller dan Meiners, 2000.
Kriteria Kaldor-Hick menyatakan bahwa suatu perubahan merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti rugi kepada pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan. Menurut Kaldor-Hick, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara pelaku ekonomi A (konsumen 1) dan pelaku ekonomi B (konsumen
2) yang terdapat pada kurva kemungkinan utilitas dapat diperoleh dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus (lumpsum tax) atau subsidi. Jadi, menurut Kaldor-Hick, pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan (terjadi). Selain 2) yang terdapat pada kurva kemungkinan utilitas dapat diperoleh dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus (lumpsum tax) atau subsidi. Jadi, menurut Kaldor-Hick, pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan (terjadi). Selain
BerdasarkanGambar 7.3. diatas dapat dipahami beberapa hal sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1. Diperoleh sebuah kurva UPF ( kurva Utility Possibility Frontiers) yaitu kurva batas-batas kemungkinan kepuasan.
2. Misalkan, perekonomian mula-mula berada di titik A, setiap pergerakan diharapkan menuju ke titik B atau D, karena pergerakan itu meningkatkan kesejahteraan salah satu konsumen tanpa merugikan konsumen lainnya. Tetapi bila bergerak ke titik E, sementara salah satu pihak untung, yang lain dirugikan. Menurut Kaldor-Hick, pergerakan ke titik E itu sebenarnya tidak menguntungkan, karena pihak yang untung akan mengimbangi kerugian pihak lain. Atau dengan kata lain, menurut Kaldor-Hicks bila E tercapai, akan terjadi redistribusi pendapatan atau kekayaan yang akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan ke titik C, dimana setiap orang dalam perekonomian diuntungkan.
3. Kriteria Kaldor-Hicks, setiap titik pada UPF menguntungkan dan lebih baik dari titik manapun yang berada di bawah UPF (misal di titik A).
4. Konsumen 1 (yang untung), akan selalu mengimbangi kerugian konsumen 2, lewat pembayaran uang secara langsung (potensi imbalan atau kompensasi).
5. Kriteria Ganda Scitovsky
Menurut Scitovsky, Kriteria Kaldor-Hicks menunjukkan adanya kelemahan, karena pada kurva kemungkinan utilitas, yaitu utilitas pelaku ekonomi A/konsumen 1 (U 1 U 1 ) dan utilitas pelaku ekonomi B/konsumen 2 (U 2 U 2 ), bahwa perubahan dari suatu aktivitas (E) ke aktivitas lain (A) merupakan perbaikan, karena penambahan utilitas pada aktivitas yang lain (B) melebihi pengurangan utilitas aktivitas (A). Karena aktivitas B > A, sedangkan aktivitas B mempunyai Menurut Scitovsky, Kriteria Kaldor-Hicks menunjukkan adanya kelemahan, karena pada kurva kemungkinan utilitas, yaitu utilitas pelaku ekonomi A/konsumen 1 (U 1 U 1 ) dan utilitas pelaku ekonomi B/konsumen 2 (U 2 U 2 ), bahwa perubahan dari suatu aktivitas (E) ke aktivitas lain (A) merupakan perbaikan, karena penambahan utilitas pada aktivitas yang lain (B) melebihi pengurangan utilitas aktivitas (A). Karena aktivitas B > A, sedangkan aktivitas B mempunyai
Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas Negara adalah mengobati kelemahan yang ada pada competition demi menjamin walfare. Negara menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust legislation dan menolak aggressive competition, yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun, ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol Negara. Scitovsky menutupi beberapa kelemahan dari kriteria Kaldor-Hicks dengan mengusulkan uji ganda yang lebih ketat, yaitu; 1) Gunakan kriteria Kaldor-Hicks untuk menentukan apakah perubahan dari titik asal ke titik baru merupakan suatu perbaikan, dan 2) Gunakan kriteria Kaldor-Hicks untuk menentukan apakah perubahan kembali dari titik baru ke titik lama bukan merupakan perbaikan pula.
Berbagai kriteria di atas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kritik yang cukup tajam terhadap kriteria Kaldor- Hicks dari pakar-pakar ekonomi, karena pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan kepada penerima kerugian. Ganti rugi pada Kriteria Kador-Hicks adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran ganti rugi yang aktual kita perlu menggunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik dengan adanya perubahan.
Kedua kriteria Kaldor-Hicks dan Scitovsky dikritik oleh Boumol, karena keduanya menggunakan nilai uang sebagai ukuran besarnya utilitas. Padahal uang mempunyai nilai yang relatif tergantung atas kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan konsep Boumol tersebut, maka Bergson telah memperkenalkan kriteria yang lain, yaitu fungsi kesejahteraan sosial (Social walfare function).
6. Kriteria Bergson: Fungsi Social Welfare
Bergson menyatakan bahwa penilaian tentang perubahan hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai fungsi kesejahteraan sosial, yang menyatakan bagaimana kebijakan masyarakat tergantung kepada kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Fungsi kesejahteraan sosial, tujuannya untuk menyatakan dalam bentuk yang tepat pertimbangan nilai yang diperlukan untuk derevasi kondisi kesejahteraan ekonomi maksimal. Fungsi ini bernilai riil dan terdeferensialkan. Argumen fungsi, termasuk jumlah komoditas yang berbeda diproduksi dan dikonsumsi dan sumberdaya yang digunakan dalam menghasilkan komoditas yang berbeda, termasuk tenaga kerja.
Nilai fungsi maksimum diperlukan kondisi umum :
1. Kesejahteraan marjinal sama untuk setiap individu dan setiap komoditas.
2. Marginal setiap nilai uang dihasilkan dari kerjasama setiap komoditi yang dihasilkan dari setiap masukan tenaga kerja.
3. Marginal biaya setiap unit sumberdaya adalah sama dengan nilai produktivitas marginal untuk setiap komoditas.
Bergson menggambarkan sebuah peningkatan kesejahteraan ekonomi, yang kemudian disebut perbaikan Pareto. Setidak-tidaknya satu orang pindah ke posisi yang lebih disukai, dengan orang lain acuh tak acuh. Fungsi Bergson dapat memperoleh Pareto Optimal yang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk mendefinisikan ekuitas normative interpersonal.
7.1.2.3 Pengukuran kesejahteraan
Kesejahteraan memiliki banyak dimensi, yakni dapat dilihat dari dimensi materi dan dimensi non materi. Dari sisi materi dapat diukur dengan pendekatan pendapatan dan konsumsi. Mayer dan Sullivan (2002) menyatakan bahwa secara konseptual dan ekonomi data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan data pendapatan, karena konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan. Kesejahteraan dari dimensi non materi dapat dilihat dari sisi pendidikan dan Kesejahteraan memiliki banyak dimensi, yakni dapat dilihat dari dimensi materi dan dimensi non materi. Dari sisi materi dapat diukur dengan pendekatan pendapatan dan konsumsi. Mayer dan Sullivan (2002) menyatakan bahwa secara konseptual dan ekonomi data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan data pendapatan, karena konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan. Kesejahteraan dari dimensi non materi dapat dilihat dari sisi pendidikan dan
Beberapa indikator yang dipergunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan di antaranya adalah menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), yakni menggunakan kriteria yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumah tangga baik pangan maupun non pangan (pendekatan kemiskinan), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (pendekatan kesejahteraan) mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan membagi kriteria keluarga ke dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus) (BPS, 2008). Selain itu, pengukuran tingkat kesejahteraan dengan menggunakan pendekatan persepsi subjektif, yakni dengan menggunakan 43 butir pertanyaan yang terkait dengan persepsi subjektif terhadap kesejahteraan. Kesejahteraan secara subjektif menggambarkan evaluasi individu terhadap kehidupannya yang mencakup kebahagiaan kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan (Raharto dan Romdiati dalam Rambe, 2004). Selanjutnya menurut Cahyat, dkk. (2007) dari lembaga CIFOR (Center for International Forestry Research) berkaitan dengan pemantauan kesejahteraan dengan mengambil kasus di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Kesejahteraan diukur dengan kriteria kesejahteraan subjektif, dengan indikator; 1) apakah rumah tangga anda sejahtera? 2) apakah anda merasa rumahtangga anda miskin? dan 3) apakah anda merasa rumah tangga anda bahagia? Kesejahteraan dasar dibagi menjadi tiga indeks yaitu 1) kesehatan dan gizi, 2) kekayaan materi, dan 3) pengetahuan; dan Lingkungan Pendukung (Konteks) terdiri dari lima indeks, yaitu 1) lingkungan alam, 2) lingkungan ekonomi, 3) lingkungan sosial, dan 4) lingkungan politik, dan 5) infrastruktur dan pelayanan.
Stiglitz, et. al. (2011) menyatakan untuk mendefinisikan kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi- dimensi pokok yang harus diperhitungkan adalah; i) Standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi dan kekayaan), ii) Kesehatan, iii) Pendidikan, iv) Aktivitas individu termasuk bekerja, v) Suara politik dan tata pemerintahan, vi) Hubungan dan kekerabatan sosial, vii) Lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), viii) Ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi tersebut menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan data obyektif dan subjektif. Indikator- indikator obyektif kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan Manusia. Lebih Lanjut Stiglitz, et. al. (2011) menyatakan Kesejahteraan subyektif mencakup berbagai aspek berbeda (evaluasi kognitif seseorang atas hidupnya, kebahagiaannya, kepuasannya, emosi positif seperti rasa sakit dan kekhawatiran). Pengukuran kuantitatif atas aspek-aspek subyektif berpeluang menghasilkan bukan hanya ukuran kualitas hidup yang baik, namun juga pemahaman yang lebih baik atas determinan-determinannya, jauh melampaui persoalan pendapatan masyarakat dan kondisi materinya.
Walaupun sulit diberi pengertian, namun kesejahteraan memiliki beberapa kata kunci yaitu terpenuhi kebutuhan dasar, sehat, damai dan selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai kesejahteraan itu manusia melakukan berbagai macam usaha, misalnya dibidang pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan serta keagamaan. Manusia juga melakukan upaya-upaya secara individu serta berkelompok. Sebagaimana yang akan diteliti, bahwa pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai dengan adanya program kemitraan sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara salah satunya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
7.2 Pengembangan Kelembagaan (Koperasi)
Demokrasi ekonomi merupakan dasar kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi ditangan rakyat, untuk itu diperlukan suatu wadah perekonomian yang mengutamakan hajat hidup orang banyak. Bentuk yang cocok Demokrasi ekonomi merupakan dasar kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi ditangan rakyat, untuk itu diperlukan suatu wadah perekonomian yang mengutamakan hajat hidup orang banyak. Bentuk yang cocok
1. Abrahamson (1976). Badan usaha koperasi dimiliki oleh anggota, yang merupakan pemakai jasa (users). Fakta ini membedakan koperasi dari badan usaha (perusahaan) bentuk lain yang pemiliknya, dasarnya para penanam modalnya (investor)
2. Richard Kohls (1961). Sebagai konsep pertama dari beberapa konsep mendasar yang membedakan koperasi dari perusahaan bentuk lain adalah bahwa kepemilikan dan pengawasan terhadap badan usaha tersebut harus dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa/pelayanan badan usahanya itu.
3. Babcock (1935). Suatu organisasi usaha yang para pemiliknya/anggotanya adalah juga pelanggan utama/kliennya, akan diidentifikasikan sebagai suatu koperasi. Kriteria identifikasi dari suatu koperasi akan merupakan prinsip identitas; para pemilik dan pengguna jasa dari pelayanan suatu unit usaha adalah orang yang sama.
Menurut ILO (dalam Partomo, 2009) mengemukakan suatu organisasi koperasi adalah suatu perkumpulan dari sejumlah orang yang bergabung secara sukarela untuk mencapai suatu organisasi yang diawasi secara demokratis, melalui penyetoran suatu kontribusi yang sama untuk modal yang diperlukan dan melalui pembagian risiko serta manfaat yang wajar dari usaha, di mana para anggotanya berperan secara aktif. Definisi yang maknanya sama dikemukakan oleh Kartasapoetra, dkk (2001) koperasi adalah suatu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, berkewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Upaya mewujudkan koperasi yang mandiri sangat tepat dengan konsepsi pemberdayaan, karena kemandirian adalah merupakan salah satu prinsip yang hakiki. Kemandirian bagi koperasi mengandung makna dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada pihak lain, dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Dalam kemandirian Upaya mewujudkan koperasi yang mandiri sangat tepat dengan konsepsi pemberdayaan, karena kemandirian adalah merupakan salah satu prinsip yang hakiki. Kemandirian bagi koperasi mengandung makna dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada pihak lain, dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Dalam kemandirian
7.2.1 Pengembangan Koperasi Berorientasi Bisnis
Koperasi dapat menghimpun dan memobilisasi potensi masyarakat dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan. Namun demikian bukan berarti bahwa koperasi dapat dikolola tanpa memperhatikan prinsip-prinsip manajemen yang baik, yang memerlukan kaum profesional yang mampu menjalankan usaha. Hal inilah salah satu tantangan yang harus dihadapi untuk dapat menumbuhkan koperasi sebagai badan usaha yang bukan hanya berpartisipatif dan demokratis, tetapi hendaknya dikelola secara modern dengan efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Pendeknya koperasi seyogyanya juga dapat dikembangkan yang berorientasi bisnis.
Potensi koperasi untuk tumbuh menjadi usaha skala besar perlu terus ditingkatkan antara lain melalui perluasan jaringan usaha koperasi, keterkaitan dengan usaha hulu dan hilir baik dalam usaha negara maupun usaha swasta. Untuk itu pengembangan usaha koperasi terletak pada kemauan atau dukungan politik dan kesiapan masyarakat.
bagaimana mewujudkannya (Syaukani-HR, 1999). Pemahaman tentang pentingnya pengembangan koperasi sebagai badan usaha yang tangguh yang secara nyata mampu dalam
ikut serta mengembangkan aktivitas ekonomi bagi masyarakat perlu dibahas dari dua sisi yang saling terkait yaitu pengembangan bidang ekonomi itu sendiri serta arah pengembangan koperasi (Prawirokusumo, 2001). Pengembangan koperasi di perdesaan sebagai badan usaha yang selama ini dikenal dengan program pengembangan koperasi perdesaan atau KUD sengat erat kaitannya dengan konsepsi dan orientasi pengembangan agribisnis yang memerlukan sentuhan profesionalisme dalam rangka menghadapi perubahan tatanan perekonomian. Sebagaimana tulisan Wardoyo (2007) tentang Meningkatkan Taraf Hidup Petani melalui
Pemberdayaan KUD, yang menyimpulkan bahwa KUD yang berdaya, taraf hidup petani anggota meningkat.
Petani pada umumnya terperangkap pada sistem usahatani berskala kecil dan teknologi dengan efisiensi yang relatif rendah, modal kerja dan investasi yang terbatas, serta pengembangan agribisnis yang belum sepenuhnya berorientasi pada pasar, sehingga kemampuan bersaing dengan produk agribisnis dari luar juga relatif rendah. Dalam kondisi seperti itu rekayasa kelembagaan menjadi salah satu kunci yang cukup penting untuk mendapatkan perhatian. Rekayasa kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan yang bukan saja mampu mendorong perkembangan agribisnis memasuki pasar terbuka, melainkan juga yang mampu memberi makna yang lebih besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan para petani. Agribisnis sebagai bisnis yang berbasis pedesaan melalui rekayasa kelembagaan seharusnya secara proporsional lebih besar dimiliki dan dinikmati hasilnya oleh masyarakat perdesaan. Secara konsepsi rekayasa kelembagaan yang seperti inilah yang sesuai dengan konsepsi pengembangan koperasi di perdesaan (Prawirokusumo, 2001). Lebih lanjut dikatakan untuk mencapai sasaran pengembangan koperasi pada umumnya sebagaimana yang diinginkan, maka perlu langkah-langkah :
1 . Meningkatkan prakarsa, kemampuan dan peran serta gerakan koperasi melalui peningkatan kualitas SDM dalam rangka mengembangkan dan memantapkan kelembagaan dan usaha untuk mewujudkan peran utamanya di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
2. Menciptakan iklim usaha yang makin kondusif sehingga memungkinkan koperasi mendapat kesempatan atau akses berbagai sumber daya yang penting.
7.2.2 Peran Koperasi Dalam Pengembangan
Ekonomi Kerakyatan
Pada umumnya dalam setiap kebijaksanaan pembangunan, kepentingan rakyat dan perekonomian rakyat selalu menjadi perhatian utama, tetapi dalam kenyataan, rakyat hanya menjadi bahan argumentasi dari arti penting mengapa suatu kebijaksanaan pembangunan atau ditetapkannya suatu program dan proyek Pada umumnya dalam setiap kebijaksanaan pembangunan, kepentingan rakyat dan perekonomian rakyat selalu menjadi perhatian utama, tetapi dalam kenyataan, rakyat hanya menjadi bahan argumentasi dari arti penting mengapa suatu kebijaksanaan pembangunan atau ditetapkannya suatu program dan proyek
dan keterbukaan (Prawirokusumo, 2001). Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 UU koperasi Nomor 25 Tahun 1992 fungsi dan peran koperasi adalah: 1) membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, 2) berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, 3) memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya, 4) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
kebersamaan, kekeluargaan
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Terdapat setidaknya tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat, pertama koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, kedua koperasi telah menjadi alternatif bagi usaha lain, dan ketiga koperasi menjadi organisasi yang dimiliki anggotanya (Krisnamurthi, 2002). Untuk menjadikan koperasi sebagai ujung tombak peningkatan kesejahteraan masyarakat, terdapat beberapa kondisi yang harus dipenuhi, yakni; 1) dukungan modal, 2) profesionalisme pengurus dan manajer, 3) kemitraan yang berkelanjutan, 4) dukungan dari pemerintah, 5) dukungan dari anggota, dan 6) mengutamakan pelayanan kebutuhan anggota (Wardoyo dan Prabowo, 2007). Dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing, Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Terdapat setidaknya tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat, pertama koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, kedua koperasi telah menjadi alternatif bagi usaha lain, dan ketiga koperasi menjadi organisasi yang dimiliki anggotanya (Krisnamurthi, 2002). Untuk menjadikan koperasi sebagai ujung tombak peningkatan kesejahteraan masyarakat, terdapat beberapa kondisi yang harus dipenuhi, yakni; 1) dukungan modal, 2) profesionalisme pengurus dan manajer, 3) kemitraan yang berkelanjutan, 4) dukungan dari pemerintah, 5) dukungan dari anggota, dan 6) mengutamakan pelayanan kebutuhan anggota (Wardoyo dan Prabowo, 2007). Dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing,
7.3 Peran Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Kerakyatan
Sistem Ekonomi Kerakyatan mempunyai ciri, yakni pembangunan harus ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik pada daerah tingkat dua (Kabupaten/Kodya). Tingkat kemandirian harus tinggi, adanya kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan sehat, keterbukaan/demokrasi, pemerataan yang berkeadilan serta didukung industri yang berbasis sumber daya alam (Prawirokusumo, 2001). Lebih lanjut dikatakan beberapa model sistem ekonomi kerakyatan yang dapat dikembangkan antara lain; a) industri pedesaan, b) industrialisasi di desa, c) lumbung desa, d) inti plasma, e) sentra industri, f) mixed farming, g) hutan untuk rakyat, h) organic farming, i) inkubator, j) pola terpadu/model di Karanganyar, k) kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun), dan l) Baitul Maal Wat-Tamwil (BMT). Mencermati uraian di atas, bahwa jelas kemitraan mempunyai peran di dalam pengembangan ekonomi kerakyatan. Sebagaimana sedang dilaksanakan di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara yakni mengembangkan kemitraan Kelapa Sawit antara perusahaan swasta dengan petani sawit yang bergabung dalam kelompok tani dalam wadah koperasi.
Prawirokusumo (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa harus terjadi kemitraan, yaitu; a) meningkatkan profit atau sales pihak-pihak yang bermitra, b) memperbaiki Prawirokusumo (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa harus terjadi kemitraan, yaitu; a) meningkatkan profit atau sales pihak-pihak yang bermitra, b) memperbaiki
Contract Farming lahir sebagai respon terhadap perkembangan situasi perekonomian, baik skala nasional maupun internasional. Pendukung Usaha Pertanian Kontrak mempromosikan sistem ini sebagai sebuah 'dynamicpartnership' antara petani kecil dan sebuah usaha besar, yang memberikan keuntungan bagi keduanya, tanpa mengorbankan pihak lain. Usaha Pertanian Kontrak juga dipercaya sebagai instrumen bagi transfer teknologi, menciptakan stabilitas politik ekonomi lewat distribusi pendapatan, dan yang terpenting adalah mendukung modernisasi pertanian (Rustiani, dkk., 1997).
Kemitraan pada dasarnya mengacu pada hubungan kerjasama antar pengusaha yang terbentuk antara usaha kecil menengah (UKM) dengan usaha besar. Kemitraan yang baik dilaksanakan dengan pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, pemodalan, sumberdaya manusia dan teknologi. Lebih lanjut dikatakan kontrak pertanian bagi petani adalah suatu cara untuk; mengatasi masalah resiko, seperti adopsi teknologi baru, pasokan input pertanian, akses penyuluh, akses kredit, dan akses pasar baik untuk pasar domestik maupun internasional (Glover dan Kusterer, 1990). Menurut Singh (2003) diperlukannya kontrak pertanian yaitu untuk mengatasi masalah pertanian terutaman gender, transfer ketrampilan, pilihan teknologi, dan organisasi kerja. Peran pemerintah dan kebijakan yang mendukung kontrak pertanian menentukan keberhasilan program ini dan kebijakan ini harus sesuai dengan yang diperlukan petani dan koperasi (Likulunga, 2005; Sartorius dan Kristen, 2006; Kamiski, 2009). Disamping itu kejujuran dan ketepatan pelaksanaan kesepakatan kontrak juga menentukan keberhasilan kontrak pertanian (Owolarafe and Arumughan, 2007). Sebagai suatu contoh Kemitraan pada dasarnya mengacu pada hubungan kerjasama antar pengusaha yang terbentuk antara usaha kecil menengah (UKM) dengan usaha besar. Kemitraan yang baik dilaksanakan dengan pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, pemodalan, sumberdaya manusia dan teknologi. Lebih lanjut dikatakan kontrak pertanian bagi petani adalah suatu cara untuk; mengatasi masalah resiko, seperti adopsi teknologi baru, pasokan input pertanian, akses penyuluh, akses kredit, dan akses pasar baik untuk pasar domestik maupun internasional (Glover dan Kusterer, 1990). Menurut Singh (2003) diperlukannya kontrak pertanian yaitu untuk mengatasi masalah pertanian terutaman gender, transfer ketrampilan, pilihan teknologi, dan organisasi kerja. Peran pemerintah dan kebijakan yang mendukung kontrak pertanian menentukan keberhasilan program ini dan kebijakan ini harus sesuai dengan yang diperlukan petani dan koperasi (Likulunga, 2005; Sartorius dan Kristen, 2006; Kamiski, 2009). Disamping itu kejujuran dan ketepatan pelaksanaan kesepakatan kontrak juga menentukan keberhasilan kontrak pertanian (Owolarafe and Arumughan, 2007). Sebagai suatu contoh