PEMBANGUNAN EKONOMI

2.2 Keterkaitan Perdesaan dan Perkotaan

Pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya adalah pembangunan yang bertolak dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat tersebut dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek pertahanan keamanan dengan senantiasa mewujudkan Wawasan Nusantara yang memperkukuh Ketahanan Nasional. Pembangunan yang bertumpukan pada peran serta rakyat diselenggarakan secara merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air. Dalam penyelenggaraan pembangunan yang berintikan keadilan, setiap warga berhak memperoleh kesempatan untuk berperan serta dan menikmati hasil-hasilnya secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan prestasinya.Dimensi kemanusiaan itu juga menjadi pangkal tolak untuk membangun ekonomi yang kukuh, mandiri dan berkeadilan.

Perdebatan mengenai hubungan antara perdesaan-perkotaan (pertanian-industri) menjadi hal yang mengemuka dalam teori ekonomi pembangunan. Sebelum tahun 1960, teori-teori ekonomi pembangunan dalam literatur-literatur pada umumnya memandang inferior peranan sektor pertanian. Kenyataan ini sangat mengejutkan banyak pihak mengingat begitu dominannya peranan sektor pertanian di hampir semua negara berkembang pada saat itu. Pandangan inferior terhadap sektor ini membuat sektor pertanian tidak berkembang sebagaimana mestinya, dan keadaan seperti ini mengakibatkan adanya kekurangan produksi pangan domestik yang tiada hentinya, yang diikuti dengan krisis neraca pembayaran dan instabilitas politik di banyak negara berkembang.

Menurut Little dalam Daryanto (2003) terdapat beberapa faktor yang melandasi anggapan pengabaian sektor pertanian (the neglect of agriculture). Pertama, sebagian besar para pengambil keputusan dan para pakar di bidang ekonomi pembangunan berasal dari kaum elit kota dan mereka tidak begitu memahami perbedaan sifatdan karakteristik sektor pertanian dengan sektor industri dan Menurut Little dalam Daryanto (2003) terdapat beberapa faktor yang melandasi anggapan pengabaian sektor pertanian (the neglect of agriculture). Pertama, sebagian besar para pengambil keputusan dan para pakar di bidang ekonomi pembangunan berasal dari kaum elit kota dan mereka tidak begitu memahami perbedaan sifatdan karakteristik sektor pertanian dengan sektor industri dan

Pandangan para pakar ekonomi pembangunan terhadap peranan sektor pertanian berubah secara signifikan sejak awal tahun 1960-an. Berdasarkan pengalaman empiris, para pakar ekonomi pembangunan (antara lain Rostow, Kalecki, Schultz, Johnston dan Mellor) memperkenalkan model pembangunan yang menitik beratkan adanya keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri. Johnston dan Mellor dalam Daryanto (2003) mengindentifikasikan 5 (lima) kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan yang berasal dari sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa yang langka. Disamping itu, banyak sektor industri di Negara berkembang yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada suplai bahan baku yang berasal dari sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor. Perolehan devisa dari ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang untuk membayar kebutuhan impor barang-barang kapital dan teknologi untuk memodernisasikan dan memperluas sektor nonpertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi.Ketiga, sektor pertanian Pandangan para pakar ekonomi pembangunan terhadap peranan sektor pertanian berubah secara signifikan sejak awal tahun 1960-an. Berdasarkan pengalaman empiris, para pakar ekonomi pembangunan (antara lain Rostow, Kalecki, Schultz, Johnston dan Mellor) memperkenalkan model pembangunan yang menitik beratkan adanya keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri. Johnston dan Mellor dalam Daryanto (2003) mengindentifikasikan 5 (lima) kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan yang berasal dari sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa yang langka. Disamping itu, banyak sektor industri di Negara berkembang yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada suplai bahan baku yang berasal dari sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor. Perolehan devisa dari ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang untuk membayar kebutuhan impor barang-barang kapital dan teknologi untuk memodernisasikan dan memperluas sektor nonpertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi.Ketiga, sektor pertanian

yang ingin mengindustrialisasikan perekonomiannya, sektor pertanian dapat berfungsi sebagai sumber utama modal investasi. Oleh karena itu , industrialisasi yang berhasil memerlukan dukungan yang kuat dari surplus yang dihasilkan oleh sektor pertanian.

Bagi

negara-negara

Walaupun kebijaksanaan perekonomian di Indonesia lebih ramah terhadap sektor industri pada periode sebelum krisis, ternyata kinerja sektor pertanian Indonesia dibandingkan dengan kinerja sektor pertanian di negara-negara berkembang lainnya dinilai oleh Uphoff dalam Daryanto ( 2003) relatif lebih baik. Bahkan ia

yang berhasil mengimplementasikan modelpembangunan pertanian Mellor dan Johnston. Keberhasilan pertanian di Indonesia antara lain karena didukung oleh intervensi pemerintah yang dominan. Pemerintah melakukan intervensi pasar dengan kebijaksanaan harga, tarif, pajak serta kebijaksanaan non-ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian, terlepas dari pujian yang diberikan oleh Uphoff tersebut, banyak pihak yang berpendapat bahwa intensitas intervensi pemerintah dalam sektor pertanian tidak konsisten dan tidak cukup kuat mengatasi permasalahan disparitas pembangunan antar sektor dan antar daerah di Indonesia.Secara umum diperoleh kesan bahwa kebijakan Pemerintah lebih banyak

memuji

Indonesia

sebagai

negara negara

terjadi transfer alokasi sumber-sumber perdesaan, tenaga kerja dan modal ke perkotaan dalam pembangunan nasional jangka panjang.

Pada akhir tahun 1950-an kemudian muncul sebuah ide baru dalam wacana perencanaan regional, dengan dibangunnya sebuah model coreperipheryand spatial polarisation, dimana dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan di negara-negara maju pertumbuhan ekonominya selalu datang dari pusat-pusat pertumbuhan pada satu atau beberapa wilayah perkotaan Douglas dalam Daryanto (2003). Dalam model tersebut terungkap bahwa pertumbuhan di beberapa wilayah inti perkotaan akan memberikan keuntungan kepada perkembangan rural-periphery. Setiap perkotaan akan mengatur wilayah-wilayah perdesaan untuk melayani kepentingan kota, sehingga mendatangkan arus perputaran modal, brain drain, dan transfer sumber-sumber daya dari pertumbuhan wilayah perdesaan. Kota-kota besar secara aktif mengeksploitasi wilayah-wilayah perdesaan, dimana sebenarnya kemiskinan di desa dan migrasi desa-kota tidak berasal dari isolasi perdesaan pada wilayah perkotaan, namun dari hubungan yang erat antara perkotaan dengan perdesaan. Lebih lanjut dikemukakan dalam model tersebut bahwa dari wilayah perdesaan sering terjadi transfer hasil panen atau sumber-sumber daya ekonomi yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar di perkotaan. Dari sini kemudian timbul teori ketergantungan.

Namun dalam perkembangannya terjadi kesenjangan antara perdesaan dengan perkotaan. Sebagaimana penelitian Syahza (2002) menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan kesejahteraan pada masyarakat perdesaan terutama pada daerah yang terisolir.

Pada tahun 1970-an, muncul suatu pandangan baru dengan ide bahwa perkotaan itu lebih dianggap sebagai penyebab dibandingkan sebagai solusi untuk permasalahan perdesaan, sehingga muncullah istilah baru yang disebut urban bias dalam pembangunan perdesaan. Dipersoalkan bahwa kemunduran dalam pembangunan perdesaan disebabkan karena wilayah perdesaan selalu kalah terhadap kekuatan-kekuatan politik, sosial dan ekonomi dari wilayah perkotaan. Perencana pembangunan lebih mengedepankan pembangunan perkotaan, sedangkan pembangunan perdesaan selalu diletakkan paling belakang. Mereka lebih mengintensifkan modal pembangunan untuk kemajuan perkotaan, sedangkan modal yang disertakan untuk perdesaan sangat rendah. Mereka mempunyai pandangan bahwa perdesaan itu hanyalah merupakan urban nodes dan transportation linkages yang kelihatan di atas peta topografi. Bagi mereka, dalam integrasi regional perkotaanlah yang merupakan kuncinya. Kebijakan-kebijakan mereka seperti ini secara tegas menunjukkan adanya urban bias. Kemudian di sisi lain, perencana perdesaan cenderung selalu beranggapan bahwa perkotaan itu adalah sebuah parasit dan mahkluk asing dalam pembangunan perdesaan. Mereka selalu hati-hati terhadap perkotaan, dan jarang sekali unsur perkotaan dimasukkan dalam wacana perdesaan. Definisi wilayah perdesaan dalam pembangunan dianggap hanya agricultural plots, resources areas dan villages. Dari sini kelihatan bahwa mereka itu rural bias, yang sangat sedikit, bahkan tidak tertarik sama sekali untuk mengamati perkembangan perkotaan dalam framework perencanaan perdesaan. Terlepas dari pertentangan antar pro dan kontra di atas, hal sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membawa potensi-potensi pembangunan perkotaan dan perdesaan tersebut dalam proses perencanaan. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengenal fungsi dan peranan perkotaan terhadap perdesaan yang akan menghasilkan hubungan saling ketergantungan, bukannya hubungan one-way urban-to-rural. Sepertinya keterkaitan perkotaan- perdesaan saat ini, harus dilihat sebagai mutually reinforcing.

Keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan dapat disimak dalam Gambar 2.4, yang memperlihatkan bagaimana peranan sebuah Keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan dapat disimak dalam Gambar 2.4, yang memperlihatkan bagaimana peranan sebuah

Rural Urban

Interaction

Spatial flows Sectoral Activities that

between rural and

bestride rural and urban areas urban areas

 Agriculture (urban * People

agriculture)

* Goods  Industry (ruralindustry)

* Information

Groups of factors that affect rural-urban interaction

Physical *When/how

*Social groups/

environment

founded

Economic

Association

*Land and *Coopration/f

* Land tenure

*Agric./Fore

*Social norms/

water riction

stry

values

*Other

*Trade

*Descent and

*Migration/se

resources ttlement

*Education

inheritance

*Degradation pattern

*Financial

*Diversity

*Land use

*Gender&gener

*Governanc

ation

e *Migratoty

Gambar 2.4. Conceptual Framework for Rural-Urban Interaction Sumber : Okali, Okpara, dan Olwoye, 2001

2.3 Pembangunan Perdesaan

Pembangunan perdesaan secara mendasar mencakup tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi politik (Fernando dalam Arsyad, dkk., 2011). Selain itu, dalam implementasinya

perlu mempertimbangkan prinsip, yaitu berorientasi kepada komunitas (community oriented), berbasiskan pada sumber daya komunitas ( community’s resources-based), dan dikelola komunitas (community manged).Ketiga dimensi pembangunan tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 2.5.

pembangunan

perdesaan

Dimenisi Ekonomi

Kapasitas dan

kesempatan

berpartisipasi dan

mendapatkan manfaat

proses pembangunan

Pembangunan Perdesaan

Pembangunan

Kapasitas dan Kesempatan

berpartisipasi dan

Komprehensif mendapatkan manfaat

Sosial yang

proses pembangunan

Dimensi Sosial

Dimensi Politik

Gambar 2.5. Dimensi Utama dalam Pembangunan Sumber : Arsyad, dkk., 2011

2.3.1 Strategi pembangunan perdesaan

Strategi pembangunan pertanian dan perdesaan di Indonesia secara umum dibagi ke dalam tiga tahap ( Arsyad, 2011). Tahap 25 tahun pertama pasca kemerdekaan pembangunan perdesaan menekankan kepada pendekatan pemenuhan kebutuhan pokok (basic-needs approach). Pendekatan ini dilakukan melalui berbagai program seperti pemberantasan buta-aksara, peningkatan pelayanan air bersih, pemenuhan kebutuhan sandang-pangan-papan, dan yang sejenisnya.Pada tahap 25 tahun kedua (1970-195), dikenalkan pendekatan baru yakni strategi pembangunan manusia seutuhnya bersama-sama dengan upaya pembangunan industrialisasi berbasiskan pertanian. Beberapa cirri pendekatan ini, antara lain padat modal, otomatis-mekanisasi, ketergantungan pada modal asing, industry substitusi impor dan produksi missal (mass- production). Pada tahap ini ditandai oleh infrastruktur-infrastruk kelembagaan baru yang lebih kapitalistik. Strategi industrialisasi dan komersialisasi pertanian berbasiskan investasi padat modal (perkebunan skala besar dan industry pengolahan pangan), pengembangan moda produksi campuran (hybridinstitution) seperti PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan pola pengembangan bapa-angkat, serta sistem kontrak, merupakan akibat merasuknya sistem produksi ekonomi kapitalistik ke perdesaan Indonesia. Pada tahap ini, perubahan struktural dan pergeseran norma-norma yang dianut oleh masyarakat perdesaan terjadi dengan sangat cepat dan radikal. Persinggungan desa dengan berbagai organisasi sosial asing, telah membuat

kosmopolit, komersialistik, individualistik, dan oportunistik dibandingkan sebelumnya.Kelembagaan dan pranata sosial tradisi di masyarakat juga mengalami dekonstruksi dan reduksi peran secara signifikan. Kelembagaan gotong-royong, patron-klien, aksi-kolektif, dan berbagai jenis aturan tradisi terpaksa untuk menyatu atau menyesuaikan diri dengan system norma kapitalistik. Pada tahap ini, kekecewaan terhadap strategi pembangunan perdesaan yang digunakan mulai muncul, karena desa mengalami persoalan ketergantungan serta eksploitasi sumber daya alam yang luar biasa. Strategi pembangunan perdesaan tahap ketiga, pada tahap ini

masyarakat

desamenjadi

semakin

strategi pemabangunan perdesaan sedikit berubah yakni sejak tahun 1996. Pada tahap ketiga, pembangunan pertanian dan perdesaan lebih banyak menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan politik warganya. Ada dua penyebab perubahan tersebut, yaitu 1) secara eksternal, penguatan ideologi populisme-demokratisme yang menuntut ruang kekuasaan yang lebih luas bagi masyarakat madani (civil-society) secara signifikan telah mendorong masyarakat desa untuk lebih berani memperjuangkan hak-haknya, 2) secara internal, kekuasaan otoritas-sentralisme yang bekerjasama dengan kekuatan ekonomi kapitalisme-korporatisme yang semakin menekan masyarakat juga telah memacu resistensi akar rumput (grass-roots). Selain itu, krisis ekonomi tahun 1997 telah mempercepat proses perubahan sosial di Indonesia, yang kita kenal sebagai era Reformasi. Pendekatan pembangunan perdesaan yang baru ini dicirikan oleh penghargaan pada eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan yang sangat tinggi, kemandirian lokalitas, partisipasi, dan basis kekuatan lokal yang kokoh. Ruh demokratisme dan ekologisme tampak sangat menonjol.

Berbicara strategi pembangunan perdesaan, maka aspek regulasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembangunan perdesaan. Secara kronologis aturan-aturan yang ada terkait pembangunan perdesaan adalah (Arsyad, dkk., 2011):

1. UU 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

2. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1972 tentang

pelaksanaan Klasifikasi dan Tipologi Desa di Indonesia.

3. UU 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

4. UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan.

5. UU 32 2004 tentang Pemerintah Daerah.

6. Peraturan Presiden Nomor 7/2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009.

7. PP 72/2005 tentang Desa.

8. UU 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005-2025.

9. UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

10. Permendagri 19 tahun 2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan.

11. Permendagri 51 tahun 2007 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat.

Tidak ada satupun strategi pembangunan ekonomi yang cocok digunakan oleh semua negara berkembang yang ingin meningkatkan kesejahteraan materiil para warganya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan. Faktor-faktor tersebut antara lain (Nawawi, 2009):

1. Persepsi para pengambil keputusan tentang prioritas pembangunan yang berkaitan dengan sifat keterbelakangan yang dihadapi masyarakat.

2. Luasnya kekuasaan negara.

3. Jumlah penduduk.

4. Tingkat pendidikan masyarakat.

5. Topografi wilayah kekuasaan negara-apakah negara kepulauan

atau daratan.

6. Jenis dan jumlah kekayaan alam yang dimiliki.

7. Sistempolitik yang berlaku di negara yang bersangkutan. Mencermati sejarah panjang strategi (pendekatan) yang pernah ditempuh oleh bangsa Indonesia baik keberhasilannya maupun kegagalannya, maka strategi pembangunan perdesaan yang harus ditempuh tidak dapat disamakan begitu saja dengan pendekatan pembangunan perkotaan, meskipun unsur-unsurnya kurang lebih sama. Oleh sebab itu , pembangunan perdesaan menurut Kartasasmita (1996) harus meliputi empat upaya besar, yang satu sama lain saling berkaitan. Mengembangkan kegiatan dalam keempat alur itu harus merupakan strategi pokok pembangunan perdesaan, yang meliputi; Pertama, memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Dalam upaya ini, diperlukan masukan modal dan bimbiungan-bimbingan seperti teknologi dan pemasaran untuk memampukan dan memndirikan masyarakat perdesaan. Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat produktivitas dan daya saing. Upaya sekurang-kurangnya harus meliputi tiga aspek, yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi. Ketiga, pembangunan prasarana. Berbagai upaya di atas tidak cukup bermanfaat bagi masyarakat 7. Sistempolitik yang berlaku di negara yang bersangkutan. Mencermati sejarah panjang strategi (pendekatan) yang pernah ditempuh oleh bangsa Indonesia baik keberhasilannya maupun kegagalannya, maka strategi pembangunan perdesaan yang harus ditempuh tidak dapat disamakan begitu saja dengan pendekatan pembangunan perkotaan, meskipun unsur-unsurnya kurang lebih sama. Oleh sebab itu , pembangunan perdesaan menurut Kartasasmita (1996) harus meliputi empat upaya besar, yang satu sama lain saling berkaitan. Mengembangkan kegiatan dalam keempat alur itu harus merupakan strategi pokok pembangunan perdesaan, yang meliputi; Pertama, memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Dalam upaya ini, diperlukan masukan modal dan bimbiungan-bimbingan seperti teknologi dan pemasaran untuk memampukan dan memndirikan masyarakat perdesaan. Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat produktivitas dan daya saing. Upaya sekurang-kurangnya harus meliputi tiga aspek, yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi. Ketiga, pembangunan prasarana. Berbagai upaya di atas tidak cukup bermanfaat bagi masyarakat

2.3.2 Akselarasi pembangunan perdesaan

Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan wilayah termasuk perdesaan. Sebagaimana diketahui rapat kerja pemerintah pusat dan daerah yang berlangsung 21-22 Februari 2011 di Istana Bogor, Presiden SBY memaparkan masterplan yang diberi nama MP3EI 2011-2025, dalam hal ini koridor ekonomi Indonesia dibagi menjadi enam koridor yaitu Koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua dan Maluku. Lebih lanjut dikatakan penyusunan MP3EI tidak bermaksud untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang ada seperti RPJPN dan RPJMN (Kuncoro, 2012). Pendekatan Pembangunan Koridor Ekonomi (PKE), MP3EI memberikan tema bagi pembangunan wilayah sebagai berikut :

1. MP3EI tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan ekspor SDA, tetapi lebih pada penciptaan nilai tambah.

2. MP3EI tidak diarahkan untuk menciptakan konsentrasi ekonomi pada daerah tertentu.

3. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan ekonomi yang dikendalikan oleh pusat, tetapi pada sinergi pembangunan sektoral dan daerah untuk menjaga keuntungan kompetetif nasional.

4. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan transportasi darat saja, tetapi pada pembangunan transportasi yang seimbang antara darat, laut dan udara.

5. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan infrastruktur yang mengandalkan anggaran pemerintah semata, tetapi juga pembangunan infrastruktur yang menekankan kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS).

Akselerasi pembangunan dengan MP3EI, sebagaimana Gambar

2.6 mensyaratkan pembiayaan yang memadai. Masalahnya, daerah masih mengandalkan pembiayaan pembangunannnya dari dana perimbangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat. Transfer dana ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Otonomi Khusus (DOK) ternyata belum mampu menurunkan kesenjangan pembangunan antara daerah secara signifikan. Sebaliknya, kesenjangan antar daerah masih melebar dan meningkat.

Akselarasi pembangunan perdesaan ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sumberdaya yang dimiliki oleh desa bersangkutan yang merupakan sumber percepatan pembangunan desa baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sebagai salah satu contoh faktor internal adalah ketersediaan infrastruktur, hal ini sesuai dengan MP3EI point

5. Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan salah satu syarat tercapainya tujuan pembangunan, terutama pembangunan ekonomi. Infrastruktur yang baik menciptakan akses yang lebih murah kepada masyarakat perdesaan baik berupa akses transportasi, komunikasi maupun energi. Hampir semua literatur pembangunan mengakui bahwa infrastruktur berfungsi sebagai katalis bagi pembangunan yang tidak saja dapat meningkatkan akses terhadap sumberdaya, tetapi juga dapat meningkatkan efektivitas intervensi

Ketersediaan infrastruktur, khususnya yang tepat guna dan berkualitas, merupakan persyaratan untuk memecahkan masalah pembangunan perdesaan dan sekaligus mempercepat pembangunan perdesaan. Ketersediaan infrastruktur dapat mendukung aktivitas sosial-

pemerintah

(Arsyad,dkk.,

ekonomi keseharian masyarakat, meningkatkan kualitas SDM dan mendorong pembangunan kawasan perdesaan.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi

KEBIJAKAN

SEKTORAL

Pembangunan Nasional

(Sistranas,

(RPJMN, RPJMD,Dunia

Usaha)

IPTEK,dsb)

Sektoral Rencana Induk

PENGEMB

Pembangunan

Koridor

Ekonomi Nasional

Penguatan

Kebijakan Pembangunan

Konektivitas Sektoral

Sistem Logistik

Roadmap ICT,

dsb)

Rencana Aksi Penguatan

Konektivitas Nasional

Gambar 2.6. Pendekatan Penyusunan Masterplan Percepatan

Sumber : Alisjahbana dalam Kuncoro (2012)

Selain ketersedian infrastruktur, faktor lain yang perlu dikaji dalam mempercepat proses pembangunan perdesaan adalah analisis mengenai kondisi perdesaan yang difokuskan ke dalam indikator- indikator pengukur keberhasilan pembangunan perdesaan. Indikator-indikator tersebut adalah infrastruktur (fisik, ekonomi, pendidikan, kesehatan), kondisi pendidikan, kondisi kesehatan, pembangunan pertanian, tingkat industrialisasi, perkembangan usaha

bencana, aspek kelembagaan&modal sosial dan aspek sosial budaya.

1. Infrastruktur, meliputi : 1) kapasitas infrastruktur fisik yang terdiri dari infrastruktur transportasi, infrastruktur komunikasi, infrastruktur listrik. 2) Infrastruktur ekonomi. Kapasitas infrastruktur ekonomi sebagai salah satu prasarana penunjang kegiatan ekonomi di perdesaan sangat mutlak diperlukan dalam rangka mempercepat terjadi proses pembangunan perdesaan. Minimnya keberadaan infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi, merupakan masalah klasik yang dihadapi perdesaan, lebih-lebih Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Kapasitas infrastruktur ekonomi ini seperti usahatani berbadan hukum, kios sarana produksi, ketersediaan pasar dan jarak ke pusat pertokoan, keberadaan lembaga keuangan (bank dan bukan bank) dan akses pada kredit. 3) Infrastruktur kesehatan. Faktor kesehatan adalah merupakan salah satu yang menentukan kulaitas SDM. Maka dalam hal ini, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mempercepat proses pembangunan perdesaan adalah a) ketersediaan fasilitas kesehatan publik, b) jarak desa ke fasilitas kesehatan publik, c) aksebilitas desa ke fasilitas kesehatan publik, d) jumlah tenaga medis dan paramedis di perdesaan, kapasitasserta tingkat jangkauan layanan per tenaga pelayan kesehatan, e) fasilitas penunjang kesehatan di perdesaan. 4) Infrastruktur pendidikan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah a) ketersediaan fasilitas pendidikan, b) jarak ke fasilitas Pendidikan Dasar.

2. Pembangunan Pertanian di Perdesaan. Pertanian merupakan karakteristik utama dari perekonomian perdesaan. Akselerasi pembangunan perdesaan tidak terlepas dari pembangunan 2. Pembangunan Pertanian di Perdesaan. Pertanian merupakan karakteristik utama dari perekonomian perdesaan. Akselerasi pembangunan perdesaan tidak terlepas dari pembangunan

a) usahatani subsisten, b) penggunaan lahan pertanian di perdesaan, c) komoditas pertanian utama.

3. Tingkat Industrialisasi di Perdesaan. Dalam proses transisi menuju masyarakat modern, industrialisasi cukup memegang peranan penting. Dengan demikian upaya Kabupaten Kutai Kartanegara dalam mempercepat pembangunan perdesaan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya tidaklah salah kalau tetap meningkatkan usaha perkebunan kelapa sawit. Hal- hal yang perlu dianalisis adalah a) ketersediaan prasarana penunjang industrialisasi, b) jumlah industri berdasarkan skala usaha, c) industri kecil menurut bidang usaha.

4. Perkembangan Usaha Non Pertanian. Untuk Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat ketimpangan antara sektor ekstraktif (pertambangan) dan sektor produktif (manufaktur). Ini menjadi perhatian bagi semua pihak, walaupun sektor pertambangan nampak mempercepat pembangunan perdesaan, namun disisi lain banyak yang lepas dari perhatian, terlebih-lebih program CSR oleh perusahaan tidak pernah berjalan optimal. Kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan masalah sosial lainnya, cermati eks pertambangan emas yang terjadi di Long Iram Kutai (Sekarang Kutai Barat) dan beberapa daerah yang batubaranya telah habis ditambang.

5. Pendidikan dan Kesehatan. Bagian awal telah disebutkan bahwa sumber daya manusia merupakan penentu bagi maju tidaknya, cepat tidaknya proses pembangunan perdesaan. Hal-hal yang perlu dikaji adalah a) tingkat melek huruf, b) tingkat partisipasi sekolah, c) morbiditas.

6. Tingkat Rawan Bencana. Kerentanan sebuah desa terhadap bencana alam mempengaruhi efektivitas dan percepatan proses pembangunan perdesaan. Pada daerah rawan bencana juga sering dijumpai masalah-masalah pendidikan dan kesehatan.

7. Aspek Kelembagaan dan Modal Sosial. Selama ini dalam rangka mempercepat proses pembangunan perdesaan, perhatian terhadap peran institusi, budaya dan struktur sosial masyarakat 7. Aspek Kelembagaan dan Modal Sosial. Selama ini dalam rangka mempercepat proses pembangunan perdesaan, perhatian terhadap peran institusi, budaya dan struktur sosial masyarakat

8. Aspek sosial budaya. Penyebaran masyarakat dari berbagai etnis di sebuah wilayah perdesaan tentu saja turut memperkaya nilai- nilai budaya dari masyarakat setempat. Proporsi desa multi etnis di Kalimantan tergolong tinggi yaitu mencapai 77 persen (Arsyad, dkk., 2011). Adanya multi etnis ini juga mempengaruhi cepat tidaknya pembangunan sebuah desa. Sebagaimana sebagian besar perdesaan di Kabupaten Kutai Kartanegara yang masyarakatnya multi etnis menunjukkan proses pembangunan perdesaan lebih cepat terjadi, sebagaimana pengamatan penulis untuk di Desa Jembayan Kecamatan Loa Kulu (sekarang dimekarkan menjadi Desa Jembayan, Desa Jembayan Tengah dan Desa Jembayan Dalam). Percepatan pembangunan perdesaan pada dasarnya tidak terdapatnya rencana dan strategi pembangunan yang konsisten dan berkelanjutan. Sebagaimana Jamal (2008) menyimpulkan bahwa kelemahan mendasar pembangunan perdesaan di Indonesia adalah belum adanya suatu grand strategy yang menjadi acuan semua pihak yang bergerak pada upaya ini.

2.3.3 Program pembangunan perdesaan

Pembangunan perdesaan di Indonesia yang seiring dengan pembangunan nasional dilaksanakan melalui tahapan-tahapan pembangunan yang dikenal dengan PELITA. Selama PELITA tersebut dijumpai program-program pembangunan perdesaan, yaitu program pembangunan sektoral, regional dan khusus. Program pembangunan sektoral umumnya berorientasi pada peningkatan produksi dan pembangunan sarana dan prasarana fisik yang secara langsung menunjang kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Program pembangunan regional yang berkaitan denga program pembangunan perdesaan, seperti program inpres, program pengembangan (PPWT-swadana), program Pembangunan perdesaan di Indonesia yang seiring dengan pembangunan nasional dilaksanakan melalui tahapan-tahapan pembangunan yang dikenal dengan PELITA. Selama PELITA tersebut dijumpai program-program pembangunan perdesaan, yaitu program pembangunan sektoral, regional dan khusus. Program pembangunan sektoral umumnya berorientasi pada peningkatan produksi dan pembangunan sarana dan prasarana fisik yang secara langsung menunjang kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Program pembangunan regional yang berkaitan denga program pembangunan perdesaan, seperti program inpres, program pengembangan (PPWT-swadana), program

Pembangunan Indonesia melalui PELITA secara jujur harus diakui tentang keberhasilannya namun di sisi lain masih banyak kegagalannya. Kajian empiris Jamal (2008) menyimpulkan walaupun hampir semua instansi pemerintah dan pihak lain yang peduli dengan pembangunan perdesaan dengan menjadikan desa sebagai kegiatan utamanya namun masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri bahkan sering terjadi pengulangan kegiatan yang sama dengan program yang berbeda, dengan demikian kegagalan program yang sering dijumpai. Adanya sejumlah faktor yang membantu berhasilnya program pembangunan, yaitu 1) adanya perencanaan yang realistis disesuaikan dengan kondisi nasional dan sosial, 2) adanya kesungguhan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan yang direncanakan, 3) adanya kepemimpinan yang konsekuen dan konsisten mengelola upaya pembangunan dari satu tahap ke tahap berikutnya sesuai dengan rencana. Adapun kendala-kendala yang menghambat tidak tercapainya program adalah 1) kendala perencanaan, 2) kendala pelaksanaan, kendala koordinasi, dan 3) kendala monitoring dan evaluasi.

Arsyad, dkk (2011) mengkaji program pembangunan perdesaan yang telah dan sedang dilaksanakan baik program yang dikelola/didanai oleh pemerintah maupun yang dikelola oleh lembaga non-pemerintah meliputi program yang bersifat sektoral (pembangunan bidang pertanian, perikanan, kehutanan), program non-sektoral (misal Program Pengembangan Kecamatan), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).Lebih lanjut dikatakan distribusi kegiatan program pembangunan perdesaan di Indonesia dikategorikan berdasarkan 8 (delapan) indikator. Program kegiatan dibidang infrastruktur mendominasi program pembangunan di Indonesia yaitu sebesar 38 persen. Selanjutnya diikuti oleh pembangunan pertanian 23 persen, pendidikan dan kesehatan 10 persen, perkembangan usaha non pertanian 9 persen, aspek sosial budaya 8 persen, tingkat industrialisasi 6 persen, kelembagaan dan modal sosial 4 persen dan Arsyad, dkk (2011) mengkaji program pembangunan perdesaan yang telah dan sedang dilaksanakan baik program yang dikelola/didanai oleh pemerintah maupun yang dikelola oleh lembaga non-pemerintah meliputi program yang bersifat sektoral (pembangunan bidang pertanian, perikanan, kehutanan), program non-sektoral (misal Program Pengembangan Kecamatan), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).Lebih lanjut dikatakan distribusi kegiatan program pembangunan perdesaan di Indonesia dikategorikan berdasarkan 8 (delapan) indikator. Program kegiatan dibidang infrastruktur mendominasi program pembangunan di Indonesia yaitu sebesar 38 persen. Selanjutnya diikuti oleh pembangunan pertanian 23 persen, pendidikan dan kesehatan 10 persen, perkembangan usaha non pertanian 9 persen, aspek sosial budaya 8 persen, tingkat industrialisasi 6 persen, kelembagaan dan modal sosial 4 persen dan

Tabel 2.1. Distribusi Jumlah Program Pembangunan Perdesaan Berdasarkan Wiliayah

Jumlah Kegiatan

A B C D E F G H Tot % Sumatera

Keterangan:

A = Infrastruktur

B = Pembangunan Pertanian C = Tingkat Industrialisasi

D = Perkembangan Usaha non Pertanian

E = Pendidikan dan Kesehatan

F = Tingkat Rawan Bencana

G = Kelembagaan

H = Aspek Sosial Budaya

Sumber : Arsyad, dkk (2011)

2.3.4. Migrasi Desa-Kota

Tidak disangkal lagi bahwa pemahaman masyarakat umum tentang kota adalah sebagai pusat surganya dunia dan sumber kesejahteraan hidup manusia. Sedangkan desa adalah sumber kemelaratan. Pemahaman masyarakat yang keliru ini tidak menutup kemungkinan semakin numpuknya masalah yang dihadapi baik di perkotaan maupun di perdesaan. Dorongan dari perdesaan dan tarikan dari wilayah perkotaan seringkali dibedakan dalam diskusi tentang migrasi. Acuan pada dorongan dan tarikan tersebut berfungsi menekan pentingnya motif khusus dalam memutuskan bermigrasi (Gilbert dan Gugler, 1996).

Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan utama menetap dari satu tempat ke tempat lain melampau batas politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Ada dua dimensi penting yang perlu ditinjau dalam menelaah migrasi, yaitu dimensi waktu dan dimensi daerah. Untuk dimensi waktu, ukuran yang pasti tidak ada karena sulit menentukan beberapa lama seseorang pindah tempat tinggal untuk dapat dianggap sebagai seorang migrasi, tetpai biasanya digunakan definisi yang ditentukan dalam sensus penduduk (Munir, 2007).

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor-faktor pendorong migrasi misalnya:

1. Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu atau bahan dari pertanian.

2. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya di perdesaan) akibat masuknya teknologi yang menggunakan mesin-mesin (capital intensive).

3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku

di daerah asal.

4. Tidak cocok lagi dengan adat/budaya/kepercayaan di tempat

asal.

5. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa

mengembangkan karir pribadi.

6. Bencana alam baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim

kemarau panjang atau wabah penyakit. Faktor-faktor penarik migrasi antara lain :

1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok.

2) Kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik.

3) Kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.

4) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan

misalnya iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.

5) Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan,

pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa atau kota kecil.

Masa yang besar di perdesaan secara potensial aktif. Mereka juga memahami adanya kesenjangan standar hidup antara di desa dan di kota. Banyak diantara mereka yang bersiap-siap untuk pindah ke kota jika mereka yakin akan kehidupan di kota, walaupun pekerjaan untuk kaum migran kota semakin sulit, bahkan jumlah mereka yang menganggur dan setengah menganggur semakin meningkat. Sebagian migran datang ke kota dengan kualifikasi tertentu atau memiliki koneksi-koneksi yang tepat, sehingga mampu mendapatkan pendapatan yang memuaskan di kota. Banyak juga yang tidak begitu beruntung.

Perpindahan individu-individu merupakan fokus banyak analisis migrasi, dan kecenderungan ini didukung oleh fakta bahwa migrasi biasanya melibatkan orang-orang muda yang masih belum bekerja. Tetapi dalam banyak kasus migrasi tidak hanya merupakan suatu perpindahan sekaligus, agaknya terdapat jenis-jenis perpindahan yang berangsur-angsur sepanjang waktu atau yang biasa disebut karier migrasi. Menurut Gilbert dan Gugler (1996), ada tiga pola migrasi desa-kota yang penting di negara-negara Dunia Ketiga : Perpindahan individu-individu merupakan fokus banyak analisis migrasi, dan kecenderungan ini didukung oleh fakta bahwa migrasi biasanya melibatkan orang-orang muda yang masih belum bekerja. Tetapi dalam banyak kasus migrasi tidak hanya merupakan suatu perpindahan sekaligus, agaknya terdapat jenis-jenis perpindahan yang berangsur-angsur sepanjang waktu atau yang biasa disebut karier migrasi. Menurut Gilbert dan Gugler (1996), ada tiga pola migrasi desa-kota yang penting di negara-negara Dunia Ketiga :

b. Migrasi keluarga ke wilayah perkotaan yang diikuti oleh migrasi balik ke kampung halaman.

c. Pembangunan rumah tangga keluarga urban yang permanen. Migrasi desa-kota telah meningkat pesat, dan pembangunan di perkotaan memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Migrasi memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama, di sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di perdesaan, karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan angka input-input komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya (Todaro dan Smith, 2006). Lebih lanjut dikatakan pola migrasi adalah hal yang komplek. Jenis migrasi yang paling penting jika ditinjau dari sudut pandang pembangunan jangka panjang adalah migrasi dari desa ke kota (rural-urban migration), namun migrasi dari desa- ke desa, kota ke kota dan bahkan migrasi dari kota ke desa pun terjadi dalam jumlah besar. Migrasi dari desa ke kota adalah yang paling penting karena pangsa jumlah penduduk yang menempati daerah perkotaan terus bertambah meskipun tingkat fertilitas di kota jauh lebih rendah daripada di desa, dan perbedaan ini cukup mempengaruhi migrasi dari desa ke kota.

Berikut disajikan model migrasi Todaro, dimana teori ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model Todaro Berikut disajikan model migrasi Todaro, dimana teori ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model Todaro

A Tingkat Upah di sektor industri M

Tingkat upah di atau manufaktur sektor pertanian

W* Ā W Ŵ

M’

W** A A’ O A L A L Ā L M’ L US O M

US

Gambar 2.7 Model Migrasi Harris-Todaro Sumber : Todaro dan Smith, 2006