PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN

BAB III PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN

Pertanian memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia yaitu menjadi sektor strategis untuk bidang pembangunan. Pertanian juga mempunyai peran penting sebagai sumber utama kehidupan dan pendapatan masyarakat, penghasil bahan mentah dan bahan baku industri pengolahan, penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha, sumber penghasil devisa negara dan juga merupakan salah satu unsur pelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut secara jelas menjadi tujuan utama pembangunan pertanian di Indonesia yang perlu diwujudkan.

Pertanian secara keseluruhan sangat penting, karena menyediakan berbagai produk yang dibutuhkan seluruh penduduk dan menghasilkan komoditas ekspor. Namun , masyarakat masih memandang bidang industri, perdagangan, pertambangan dan jasa, dapat memberikan lebih banyak keuntungan bagi mereka yang bekerja didalamnya dan lebih memberikan jaminan dibandingkan sektor pertanian. Usaha pertanian dinilai banyak mengandung risiko kegagalan dan harga jual produknya relatif rendah. Pandangan masyarakat umum tersebut menjadikan sektor pertanian sebagai pilihan terakhir dalam melakukan investasi dan pencarian pekerjaan. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pembangunan pertanian di Indonesia untuk lebih aktif dalam peningkatan produktivitas pertanian dan menyediakan fondasi jangka panjang secara Pertanian secara keseluruhan sangat penting, karena menyediakan berbagai produk yang dibutuhkan seluruh penduduk dan menghasilkan komoditas ekspor. Namun , masyarakat masih memandang bidang industri, perdagangan, pertambangan dan jasa, dapat memberikan lebih banyak keuntungan bagi mereka yang bekerja didalamnya dan lebih memberikan jaminan dibandingkan sektor pertanian. Usaha pertanian dinilai banyak mengandung risiko kegagalan dan harga jual produknya relatif rendah. Pandangan masyarakat umum tersebut menjadikan sektor pertanian sebagai pilihan terakhir dalam melakukan investasi dan pencarian pekerjaan. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pembangunan pertanian di Indonesia untuk lebih aktif dalam peningkatan produktivitas pertanian dan menyediakan fondasi jangka panjang secara

maupun distribusi), mampu meningkatkan kesejahteraan dan tara f hidup, mampu menyediakan lapangan dan kesempatan kerja, serta mampu meningkatkan pendapatan devisa negara sehingga tidak semata-mata hanya bergantung pada industri migas dan jasa saja.

3.1 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Ekonomi Nasional

Pertanian merupakan sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu (Kuznets dalam Tambunan, 2010):

1. Ekspansi output dari sektor-sektor ekonomi lainnya tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor- sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya : industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut sebagai kontribusi produk/output.

2. Sektor pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebut sebagai kont ri busi pasar.

3. Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus bahwa dalam proses pembangunan ekonomi 3. Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus bahwa dalam proses pembangunan ekonomi

4. Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), baik lewat hasil-hasil pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya sebagai kontribusi devisa.

A. Kontribusi Produk Kontribusi produk pertanian terhadap produk domestik bruto

(PDB) dapat dilihat dari hubungan antara pertumbuhan kontribusi tersebut dengan pangsa PDB awal dari pertanian dan laju pertumbuhan relatif produk-produk neto dari sektor pertanian dan sektor-sektor non pertanian. Misalnya P P = produk neto pertanian, P NP = produk neto non pertanian, dan P N = total produk nasional atau PDB, maka hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Ghatak dan Ingersent dalam Tambunan, 2010):

PDB = P P + P NP Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki posisi yang sangat penting. Namun kontribusinya terus mengalami penurunan, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.1. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terus mengalami penurunan mulai PELITA I (69-73) kontribusi sektor pertanian sebesar 33,69 persen, PELITA II (74-78) kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 26,92 persen, pada PELITA III (79-83) turun menjadi sebesar 24,36 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada PELITA IV (84-88) sebesar 21,89 persen dan terus mengalami penurunan sampai pada PELITA V (89-91) kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 20,01 persen (Soekartawi, 1996). Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB seiring dengan menurunnya laju pertumbuhan PDB sektor pertanian. Pertumbuhan PDB sektor pertanian pada PELITA III (79-83) sebesar 5,56 persen mengalami penurunan pada PELITA IV (84-88) menjadi sebesar 3,88 persen dan mengalami penurunan pada PELITA V menjadi sebesar 3,17 persen.

Tabel 3.1

Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDB dan Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian: 1969-2008 Tahun

Laju Pertumbuhan sektor pertanian (%) sektor pertanian (%) 1969-1973

4,77 Sumber: Soekartawi, 1996 ; BPS, 2004 ; BPS, 2009. Kondisi yang sama terjadi pada masa reformasi, kontribusi

sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1999 sebesar 19,61 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,16 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2000 sebesar 17,23 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,88 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2001 sebesar 16,99 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,68 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 17,09 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,01 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2003 sebesar 16,58 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,48 persen, pada tahun 2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB turun mejadi sebesar 14,3 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,82 persen, selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2005 kontribusinya yaitu sebesar 13,1 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,72 persen. Turunnya pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005 sementara ekonomi nasional tumbuh mantap yakni pada tahun 2004 sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1999 sebesar 19,61 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,16 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2000 sebesar 17,23 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,88 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2001 sebesar 16,99 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,68 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 17,09 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,01 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2003 sebesar 16,58 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,48 persen, pada tahun 2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB turun mejadi sebesar 14,3 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,82 persen, selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2005 kontribusinya yaitu sebesar 13,1 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,72 persen. Turunnya pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005 sementara ekonomi nasional tumbuh mantap yakni pada tahun 2004

Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun pada tahun 2005, namun kontribusi sektor ini terhadap kesempatan kerja tetap mendominasi dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada tahun 2005 tenaga kerja yang diserap pada sektor pertanian sebanyak 41,8 juta. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian terus mengalami peningkatan, sampai tahun 2010 tenaga kerja yang diserap oleh sektor ini sebanyak 42,8 juta atau sekitar 40 persen dari jumlah tenaga kerja yang ada pada tahun tersebut (BPS,2010). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai Negara agraris di mana ekonomi dalam negeri masih didominasi oleh ekonomi pedesaan yang sebagian besar tenaga kerja bekerja pada sektor pertanian. Demikian halnya dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di luar minyak & gas bumi dan pertambangan masih mendominasi. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara di luar minyak dan gas bumi sebesar 21,56 persen (Kabupaten Kutai Dalam Angka, 2010).

B. Kontribusi Pasar Di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi,

maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usahatani dimana hasil usahatani menentukan perkembangan agribisnishilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Selain itu, konsumen juga belum pada permintaan dengan atribut-atribut produk yanglebih rinci dan lengkap. Dewasa ini, dan terlebih lagi di maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usahatani dimana hasil usahatani menentukan perkembangan agribisnishilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Selain itu, konsumen juga belum pada permintaan dengan atribut-atribut produk yanglebih rinci dan lengkap. Dewasa ini, dan terlebih lagi di

perubahan preferensikonsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian harusberubah dari usahatani tradisional menuju pertanian yang modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor pertanian yang moderen dan berdaya saing, agroindustri harusmenjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan selanjutnya akan menentukan sub-sektor agribisnis hulu.

Proporsi populasi pertanian (petani dan keluarganya) yang besar seperti Indonesia merupakan sumber sangat penting bagi pertumbuhan pasar domestik bagi produk-produk dari sektor non pertanian, khususnya industri manufaktur. Pengeluaran petani untuk produk-produk industri, baik barang-barang konsumsi (makanan, pakaian, rumah atau bahan-bahan bangunan lainnya) maupun barang-barang perantara untuk kegiatan produksi (pupuk, pestisida, alat-alat pertanian) memperlihatkan satu aspek dari kontribusi pasar dari sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi lewat efeknya terhadap pertumbuhan dan diversifikasi sektoral. Peran dari sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya terhadap diversifikasi dan pertumbuhan output dari sektor-sektor non pertanian tergantung pada dua faktor penting (Tambunan, 2010). Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi di mana pasar domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang buatan dalam negeri tetapi juga barang-barang impor. Kedua, jenis teknologi yang digunakan di sektor pertanian yang menentukan tinggi rendahnya tingkat mekanisasi atau modernisasi di sektor tersebut. Besarnya permintaan terhadap barang-barang produsen buatan industri (seperti traktor, alat-alat pertanian modern dan pupuk buatan pabrik) dari kegiatan-kegiatan pertanian yang bersifat tradisional lebih kecil (baik dalam jumlah maupun komposisinya menurut jenis barang) dibandingkan besarnya permintaan dari sektor pertanian yang sudah modern.

C. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi Faktor produksi yang dapat dialihkan dari pertanian ke sektor-

sektor pertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi (produktivitas) di sektor pertama adalah (Tambunan, 2010):

1. Tenaga Kerja (L). Di dalam teori Arthur Lewis dikatakan bahwa pada saat pertanian mengalami surplus tenaga kerja (pada saat produk marginal (MP) dari penambahan satu orang pekerja mendekati atau sama dengan nol) yang menyebabkan tingkat produktivitas (rasio output terhadap tenaga kerja) dan pendapat riil per pekerja di sektor tersebut rendah, akan terjadi transfer tenaga kerja dari pertanian ke industri (atau sektor pertanian lainnya. Sebagai dampaknya, kapsitas dan volume produksi di industri meningkat. Teori ini akan benar, jika tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi. Tetapi, dalam realitas, peningkatan kapasitas dan volume produksi di sektor industri juga sangat ditentukan oleh antara lain ketersediaan modal, teknologi, bahan baku, energi dan input-input lainnya.

2. Modal. Surplus pasar atau Market Surplus (MS), yakni pada saat perbedaan antara hasil penjualan dan biaya produksi lebih besar dari nol, di sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber investasi/modal di sektor-sektor lain. MS adalah surplus produk (P P ) dikali harga jual (p P ), secara sederhana dirumuskan sebagai berikut:

MS = P P xp P

Perbedaan antara output total di sektor pertanian (TP P ) dan bagian yang dikonsumsikan oleh petani (C P )

P P = TP P - C P

Dengan demikan, sifat dari MS dapat digambarkan dengan melihat hubungan berikut (Ghatak dan Ingersent dalam Tambunan, 2010) :

MS = f(pa , TPa , U)

Di mana P P = TP P dan U = variabel-variabel lain selain TP P dan p P yang juga berpengaruh terhadap MS.

Tenaga Kerja

Ouput di Pertanian sektor-

PDB

sektor non pertanian

Modal

Gambar 3.1 Kontribusi Tenaga Kerja dan Modal dari Pertanian terhadap Pertumbuhan PDB Sumber : Tambunan, 2010

D. Kontribusi Devisa Kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan devisa

adalah melalui peningkatan ekspor dan melalui pengurangan tingkat ketergantungan negara tersebut terhadap impor komoditi pertanian. Jika pertanian Indonesia bisa ekspor dan bisa membuat komoditas subsitusi impor, dalam arti pertanian Indonesia nisa menjadi eksportir neto, maka sektor tersebut turut menyumbang devisa, dijelaskan sebagaimana Gambar 3.9. Kontribusi pertanian terhadap devisa juga bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian seperti makanan dan minuman, tekstil dan produk-produknya, barang-barang dari kulit, ban mobil, obat-obatan dan sebagainya. Semakin kuat keterkaitan produksi dalam negeri semakin berkurang ketergantungan sektor-sektor nonpertanian terhadap impor adalah melalui peningkatan ekspor dan melalui pengurangan tingkat ketergantungan negara tersebut terhadap impor komoditi pertanian. Jika pertanian Indonesia bisa ekspor dan bisa membuat komoditas subsitusi impor, dalam arti pertanian Indonesia nisa menjadi eksportir neto, maka sektor tersebut turut menyumbang devisa, dijelaskan sebagaimana Gambar 3.9. Kontribusi pertanian terhadap devisa juga bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian seperti makanan dan minuman, tekstil dan produk-produknya, barang-barang dari kulit, ban mobil, obat-obatan dan sebagainya. Semakin kuat keterkaitan produksi dalam negeri semakin berkurang ketergantungan sektor-sektor nonpertanian terhadap impor

Usaha peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negatif terhadap pasokannya ke dalam negeri, atau sebaliknya, usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor penghambat bagi pertumbuhan ekspor pertani. Contoh riil sampai saat ini yang dihadapi Indonesia adalah ketidakmampuan Indonesia sebagai eksportir beras dunia, karena harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan pasar domestik, bahkan sering harus impor karena pasokan dalam negegeri lebih kecil daripada permintaan konsumen.

Untuk menghindari trade-off, maka yang perlu dilakukan di sektor pertanian adalah menambah kapasitas produksi sehingga sektor pertanian bisa mendapatkan surplus produksi setelah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan meningkatkan daya saing produk-produk, sehingga selain bisa menembus pasar luar negeri juga bisa bersaing dengan komoditas impor yang selanjutnya bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan impor. Namun bagi Indonesia melaksanakan kedua hal ini kelihatannya sangatlah tidak mudah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan teknologi, SDM dan modal.

Ekspor

Pertanian Output di sektor- Devisa sektor nonpertanian

Impor

Gambar 3.2 Kontribusi Pertanian Terhadap Devisa Sumber : Tambunan, 2010

3.2 Pertanian Dan Pembangunan Perdesaan

Sektor pertanian merupakan karakteristik utama dari perekonomian di perdesaan. Negara seperti Indonesia, maka pertanian merupakan sektor yang paling banyak menghidupi masyarakatnya. Petani kecil di perdesaan merupakan segmen yang paling besar di perdesaan. Mereka mendapatkan pendapatan dari pertanian, dan juga merupakan sumber pangan yang paling utama. Pertanian di perdesaan banyak melibatkan kaum wanita perdesaan.

Fungsi desa sebagai output pertanian mengharuskan desa untuk menjadi basis produsen pangan nasional. Dengan demikian produktivitas pertanian sebuah desa menjadi salah satu ukuran keberhasilan pembangunan yang tidak dapat dihindari. Beberapa variabel yang dapat menggambarkan potensi kemampuan desa dalam memproduksi hasil pertanian, sekaligus sebagai ukuran tingkat efektivitas dan efisiensi pertanian di wi la yah perdesaan adalah (Arsyad, dkk., 2011):

1. Proporsi luas lahan sawah beririgasi

2. Proporsi luas lahan sawah non-irigasi

3. Proporsi luas lahan sawah menganggur

4. Proporsi lahan pertanian non-sawah

5. Ladang yang diusahakan

6. Ladang yang tidak diusahakan

7. Index Multiple croping Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya terkait dengan persoalan produksi saja tetapi juga semua hal yang terkait dengan sektor-sektor pendukung secara menyeluruh. Potensi petani terkadang terabaikan karena adanya kebijakan yang tidak tepat, pasar yang terbatas dan institusi yang lemah. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin tergantung kepada sumber-sumber dari luar lingkungannnya. Menurut Mosher (1987) terdapat 5 (lima) syarat pokok agar pertanian dapat maju, syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Prasarana untuk hasil usahatani. Pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan produksi hasil usahatani. Untuk hasil-hasil ini perlu ada prasarana serta harga yang cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya tunai dan daya 1. Prasarana untuk hasil usahatani. Pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan produksi hasil usahatani. Untuk hasil-hasil ini perlu ada prasarana serta harga yang cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya tunai dan daya

maka diperlukan pembeli

(permintaan) terhadap hasil-hasil pertanian, bekerjanya sistem tataniaga dengan baik dan kepercayaan petani terhadap kelancaran sistem tataniaga tersebut.

2. Teknologi yang selalu berubah. Meningkatnya produksi pertanian adalah akibat dari pemakaian teknik-teknik atau metoda-metoda di dalam usahatani. Teknologi usahatani berarti bagaimana cara melakukan pekerjaan usahatani. Di dalamnya

termasuk

cara-cara

bagaimana petani

menyebarkan benih, memilihara tanaman dan memungut hasil serta memlihara ternak. Termasuk didalamnya adalah pupuk, pestisida, obat-obatan serta makanan ternak yang digunakan, perkakas, alat dan sumber tenaga.

3. Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal.

Umumnya penggunaan metode baru dalam rangka meningkatkan produksi pertanian, memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus oleh petani, seperti benih/bibit, pupuk, pestisida, makanan obat ternak serta perkakas. Pembangunan pertanian menghendaki kesemuanya tersedia di perdesaan atau di tempat usahatani berada dalam jumlah yang cukup.

4. Perangsang produksi bagi petani. Cara-cara kerja usahatani yang lebih baik, pasar yang mudah dicapai (akses pasar), dan tersedianya sarana dan alat produksi (SAPRODI), akan mendorong petani untuk meningkatkan produksinya. Walaupun program pembangunan pertanian sudah diupayakan terus meningkat baik program untuk desa subsisten maupun desa komersial. Namun perhatian terhadap perangsang produksi bagi petani tetap menjadi perhatian utama. Perhatian yang efektif untuk mendorong agar petani bersedia meningkatkan produksinya adalah perbandingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang wajar dan tersedianya barang dan jasa yang ingin dibeli oleh petani untuk keluarganya.

5. Pengangkutan. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, maka keempat syarat pokok lainnya tidak dapat berjalan 5. Pengangkutan. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, maka keempat syarat pokok lainnya tidak dapat berjalan

Selain syarat pokok, Mosher juga menyatakan diperlukan faktor pelancar untuk mempercepat pembangunan pertanian, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pendidikan Pembangunan. Berkaitan dengan pembangunan pertanian, agar pembangunan pertanian dapat berjalan dengan cepat, maka diperlukan pendidikan yakni pendidikan dasar dan lanjutan, pendidikan pembangunan untuk petani, latihan bagi petugas teknik pertanian dan petugas penyuluhan penyuluhan pertanian, dan pendidikan masyarakat kota mengenai pembangunan pertanian.

2) Kredit Produksi. Kredit produksi yang diselenggarakan secara efisien adalah faktor pelancar yang penting bagi pembangunan pertanian. Kredit tersebut semakin banyak digunakan oleh petani-petani progresif sejalan dengan majunya pertanian. Bagi masyarakat tani yang terbelakang, maka sangat diperlukan

pengambilan maupun penggunaan kredit produksi tersebut. Model kredit ini telah lama diupayakan, baik melalui program kredit usahatani maupun jenis yang lainnya.

bimbingan

dalam

3) Kegiatan Bersama (group action) oleh petani. Mendorong pembangunan pertanian di perdesaan telah dilaksanakan dengan mendorong petani bergabung dalam kelompok tani.

Bahkan untuk menjadi peserta petani kemitraan usahatani sawit, petani wajib bergabung dalam kelompok tani dan menjadi anggota koperasi. Sampai saat ini, tindakan yang diperlukan untuk dapat menggiatkan kerjasama kelompok yang

bantuan dalam pengorganisasian, penyediaan bahan-bahan khusus, bantuan teknis dan pengelolaan, dan bantuan keuangan.

4) Perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Perbaikan mutu tanah pertanian, memang terus diupayakan pemerintah, misalnya pembuatan dan perbaikan fasilitas irigasi baik teknis maupun non-teknis. Pembuatan galengan (pematang) bagi petani di Jawa dan Bali barangkali suatu hal yang tidak asing lagi, tetapi bagi masyarakat perdesaan sepert idi Kabupaten Kutai Kartanegara masih diperlukan bimbingan dan penyuluhan, sehingga manfaat irigasi dipahami oleh petani. Perluasan tanah pertanian tidak berlaku bagi perkotaan dan wilayah padat penduduk seperti Jawa dan Bali, akan tetapi berlaku pada daerah-daerah yang masih memiliki lahan tidur yang luas seperti di Kalimantan, termasuk Kutai Kartanegara. Lahan yang luas ini mendorong pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk mensukseskan program sejuta hektar sawit dengan kemitraan. Perusahaan mitra wajib menyiapkan kebun mitra minimal 20 persen dari luas di luar ijin dan petani mitra harus bergabung dalam kelompok tani serta menjadi anggota koperasi.Kemitraan yang dikembangkan pada perkebunan kelapa sawit memang diharapkan diantaranya untuk meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya mampu menyerap tenaga kerja. Kemitraan merupakan salah satu bentuk dari Contract Farming di satu sisi menunjukkan keberhasilan di sisi lain ada pula menunjukkan kegagalan sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian yang telah dilaksanakan. Oleh sebab itu, kemitraan yang sedang berjalan di Indonesia masih menjadi pertanyaan.Di beberapa Negara termasuk Indonesia pertanian kontrak menunjukkan sisi positif terutama manfaat kontrak bagi petani dalam meningkatkan pendapatan. Sebagaimana hasil penelitian yang menyatakan pertanian kontrak dapat meningkatkan

pendapatan dan produktivitas petani peserta kontrak (Bauman, 2000; Saptana, dkk., 2006; Bijman, 2008; Karma, 2008; Setboonsarng, 2008; Mansur, et. al., 2009; Olomola, 2010). Pertanian kontrak dapat mengurangi biaya transakasi dan mengurangi resiko (Rehber, 2000; Echanove dan Steffen, 2005; Sartorius dan Kirsten, 2006; Sriboonchitta dan Wiboonpoongse, 2008; Minot, 2011 ). Pertanian kontrak dapat mengatasi ketidakpastian harga dan lebih mudah pada akses pasar (Jaffe, 1987; Ghosh dan Raychaudhuri, 2011; Swinnen dan Anneleen, 2009; Huddleston dan Matthewtonts, 2007). Pertanian kontrak meningkatkan keterampilan petani peserta kontrak, yakni adanya transfer teknologi, adanya peran pemerintah, serta kemitraan petani dengan perusahaan lebih prospektif (Raynolds, 2000; Singh, 2003; Likulunga, 2005; Kaminski, 2009).Namun disisi lain, pertanian kontrak telah mengalami kegagalan, sebagaimana hasil penelitian White (1996) yang mengkaji pengalaman pertanian kontrak di Dataran Tinggi Jawa Barat menyimpulkan bahwa pelaksanaan skema kontrak telah gagal. Penelitian Hendarto, dkk. (1999) tentang Strategi Penetapan Pola Kemitraan Usaha Koperasi Sesuai Dengan Skala Ekonomi di Jawa Tengah menunjukkan hasil bahwa kemitraan usaha telah dijalankan oleh koperasi dengan mitra usahanya, tetapi belum optimal (Boeke dalam Fadjar, 2006) meramalkan bahwa pembauran antara perkebunan besar dengan perkebunan rakyat tidak akan membuahkan hasil.Selanjutnya Fadjar (2006) menyatakan sekalipun pelaksanaan program kemitraan ini memerlukan dukungan berbagai departemen terkait (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, Departemen Koperasi, Badan Pertanahan Nasional dan Lembaga Perbankan), tetapi ternyata tidak mampu dikembangkan menjadi program nasional, program ini seakan- akan masih bersifat subsektoral yaitu milik Direktorat Jenderal Perkebunan. Penelitian Pardede dan Finnahari (2007) yang mengambil kasus pada PT. Toba Pulp Lestari, Tbk di Kabupaten Toba Samosir hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kegagalan pengelolaan program pengembangan

masyarakat disebabkan oleh ketidakjelasan sistem relasi pada model kemitraan pengelolaan program.Penelitian Guo, et.al. (2007) tentang kinerja pertanian kontrak dari perspektif rumah tangga dan perusahaan pertanian di Cina menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan pelaksanaan kontrak pertanian masih rendah. Penelitian Sayaka dan Supriyatna (2009) tentang Kemitraan Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah memberikan kesimpulan bahwa kemitraan lebih cenderung menguntungkan prosesor. Fase kegagalan dalam pertanian kontrak, dapat diperbaiki dengan berbagai langkah diantaranya dengan mengarah pada usahatani yang lebih ke arah komersial sehingga pertanian kontrak menuju pada fase keberhasilan sebagaimana kasus di Zambia (Brambilla dan Porto, 2007). Walaupun ada pro dan kontra terhadap kemitraan, paling tidak perluasan lahan pertanian khususnya perkebunan kelapa sawit melalui program sejuta hektar kelapa sawit dengan kemitraan di Kalimantan Timur seyogyanya mendapat dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah pusat semestinya memberikan perhatian yang lebih serius, sehingga penataan ruang dan wilayah tidak menjadi masalah di kemudian hari. Jadikanlah kasus Masuji sebagai pengalaman yang tak perlu terjadi didaerah lain.

5) Perencanaan Nasional Pembangunan Pertanian. Bagi Indonesia peran pemerintah sangat besar pengaruhnya untuk percepatan pembangunan pertanian. Perencanaan nasional adalah proses pengambilan keputusan oleh pemerintah tentang apa yang hendak dilakukan mengenai tiap kebijaksanaan dan tindakan yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu tertentu. Perencanaan ini telah dibuat oleh pemerintah yang tertuang dalam rencana pembangunan masterplan yang diberi nama MP3EI 2011-2025, dengan pembagian koridor ekonomi Indonesia sebagaiman dijelaskan pada bab sebelumnya tanpa bermaksud untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang ada seperti RPJPN dan RPJMN.

3.3 Profil Kemiskinan Di Perdesaan

Kemiskinan di Indonesia saat ini telah menjadi masalah penting dan tak terpecahkan , sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan ini sangatlah kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek sosial . Benang kusut masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda yang menghilang. Angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin sebanyak 31.023.400 jiwa tersebar baik di kota maupun di desa. Jumlah penduduk miskin di kota sebanyak 11.097.800 jiwa dan di desa sebanyak 19.925.600 jiwa (BPS dalam http://www.bps.go.id).

Kemiskinan yang terjadi dalam suatu negara memang perlu dilihat sebagai suatu masalah serius, karena saat ini kemiskinan membuat banyak masyarakat Indonesia mengalami kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan merupakan suatu masalah yang tidak muncul begitu saja, secara teoritis kemiskinan disebabkan oleh pengangguran. Pengangguran yang dialami sebagian masyarakat inilah membuat sulitnya masyarakat didalam memenuhi kebutuhan hidupnya, akibat dari tiadanya pekerjaan, maka disini muncul masalah ketenaga kerjaan. Pengangguran tinggi disebabkan oleh inflasi tinggi, akibatnya sektor riil tidak bisa tumbuh, jadi pertumbuhan ekonomi berjalan tidak sebagaimana mestinya. Ujung- ujungnya BI sebegai pemegang otoritas moneter, menanggapi masalah inflasi dengan berkeinginan untuk menaikan suku bunga. Memang demikian teorinya, masalahnya sekarang bijakkah pemerintah dan pemegang otoritas moneter untuk menaikkan suku bunga, tidakkah lebih nyaman hidup pada kondisi inflasi tinggi (asalkan reasonable) dengan pengangguran dapat dikurangi. Semestinya perhatian yang paling utama dilakukan pemerintah adalah lebih fokus pada pengangguran sebagai penyebab utama kemiskinan dengan memacu pertumbuhan sektor riil dan penyebaran yang merata di seluruh tanah air ini berikut variabel- variabel lainnya yang berhubungan. Pada dasarnya upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah Kemiskinan yang terjadi dalam suatu negara memang perlu dilihat sebagai suatu masalah serius, karena saat ini kemiskinan membuat banyak masyarakat Indonesia mengalami kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan merupakan suatu masalah yang tidak muncul begitu saja, secara teoritis kemiskinan disebabkan oleh pengangguran. Pengangguran yang dialami sebagian masyarakat inilah membuat sulitnya masyarakat didalam memenuhi kebutuhan hidupnya, akibat dari tiadanya pekerjaan, maka disini muncul masalah ketenaga kerjaan. Pengangguran tinggi disebabkan oleh inflasi tinggi, akibatnya sektor riil tidak bisa tumbuh, jadi pertumbuhan ekonomi berjalan tidak sebagaimana mestinya. Ujung- ujungnya BI sebegai pemegang otoritas moneter, menanggapi masalah inflasi dengan berkeinginan untuk menaikan suku bunga. Memang demikian teorinya, masalahnya sekarang bijakkah pemerintah dan pemegang otoritas moneter untuk menaikkan suku bunga, tidakkah lebih nyaman hidup pada kondisi inflasi tinggi (asalkan reasonable) dengan pengangguran dapat dikurangi. Semestinya perhatian yang paling utama dilakukan pemerintah adalah lebih fokus pada pengangguran sebagai penyebab utama kemiskinan dengan memacu pertumbuhan sektor riil dan penyebaran yang merata di seluruh tanah air ini berikut variabel- variabel lainnya yang berhubungan. Pada dasarnya upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah

3.3.1 Pengertian kemiskinan

Menurut Esmara (1986) menyatakan pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum, sehingga memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak. Bila tingkat pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga tersebut dikatakan miskin.

Beberapa pengertian kemiskinan menurut para pakar yang dikutip dari Nawawi (2009) diuraikan sebagai berikut:

1. Schiller (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidak sanggupan untuk mendapatkan barang-barang, pelayanan- pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.

2. Levitan (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak.

3. Cambert (1987) mengemukakan bahwa kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan (deprivation trap). Secara rinci deprivation trap terdiri dari lima unsur; 1) kemiskinan itu sendiri, 2) kelemahan fisik, 3) keterasingan, 4) kerentanan dan 5) Ketidak berdayaan.

4. Suharto, et al. (2004), kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajuh, bermatra multidimensional.

5. Siagian (2005) mengemukakan bahwa penduduk iskin di negara-negara terbelakang dihadapkan pada lingkaran setan yang mengandung komponen sebagai berikut : 1) pendapatan perkapita rendah, 2) yang berakibat ketidakmampuan menabung, 3) yang pada gilirannya berakibat pada tidak terjadinya pembentukan modal (no capital formation), 4) tidak terjadinya pemupukan modal berarti tidak adanya investasi, 5) tidak ada investasi berarti tidak terjadinya perluasan usaha, 6) 5. Siagian (2005) mengemukakan bahwa penduduk iskin di negara-negara terbelakang dihadapkan pada lingkaran setan yang mengandung komponen sebagai berikut : 1) pendapatan perkapita rendah, 2) yang berakibat ketidakmampuan menabung, 3) yang pada gilirannya berakibat pada tidak terjadinya pembentukan modal (no capital formation), 4) tidak terjadinya pemupukan modal berarti tidak adanya investasi, 5) tidak ada investasi berarti tidak terjadinya perluasan usaha, 6)

3.3.2 Kemiskinan di Perdesaan

Secara umum dipahami bahwa penduduk miskin adalah mereka yang pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah perdesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat berhubungan dengan sektor ekonomi tradisional (biasanya dilakukan bersama- sama), kebanyakan wanita dan anak-anak daripada laki-laki dewasa, dan mereka sering terkonsentrasi di antara kelompok etnis minoritas dan penduduk pribumi.

Ironis memang, jika dicermati secara seksama, selama ini program pembangunan di Indonesia, walaupun telah dipahami bahwa sebagian besar penduduk dengan kemiskinan absolut tinggal di daerah perdesaan, namun pengeluaran pemerintah sebagian besar tercurah ke daerah-daerah perkotaan dengan berbagai sektor ekonominya. Pengeluaran pemerintah yang berupa investasi langsung ke dalam sektor ekonomi yang produktif atau pengeluaran di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pelayanan masyarakat, tercurah berat sebelah ke sektor modern di perkotaan. Untuk itu, karena sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan, seyogyanya setiap kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan seharusnya sebagian besar ditujukan ke program-program pembangunan perdesaan pada umumnya dan melalui pembenahan sektor-sektor pertanian pada khususnya.

Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor. Bagi Indonesia kemiskinan merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial-ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Gambaran penduduk miskin di Indonesia disajikan dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2.

Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Indonesia, 2007-

31 023,4 Penduduk Miskin (000)

211 726 Kemiskinan (Rp )

192 354 Sumber: BPS (dalam http://www.bps.go.id)

Untuk mengidentifikasi kemiskinan selama ini yang sering digunakan adalah garis kemiskinan, yaitu tolok ukur yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampui garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Tabel 3.3. menggambarkan jumlah penduduk miskin masih didominasi oleh penduduk desa. Walaupun secara data statistik yang ditampilkan oleh BPS seperti nampak pada Tabel 3.3 menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, namun yang lebih penting dari itu adalah diperlukan adanya peta kemiskinan yang akurat akan memudahkan untuk mewujudkan keberhasilan dari program upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini telah dilaksanakan oleh lembaga penelitian SMERU, namun keberhasilannya sampai saat ini belum tampak.

Fenomena penduduk miskin di Indonesia yang bertempat tinggal di perdesaan atau di sektor pertanian ditunjukkan oleh fakta bahwa sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia masih terdapat di perdesaan (Tabel 3.3). Dari jumlah tersebut, sebagian besar tenaga kerja bekerja di pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Tabel 3.4). Sedangkan tenaga kerja yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti Fenomena penduduk miskin di Indonesia yang bertempat tinggal di perdesaan atau di sektor pertanian ditunjukkan oleh fakta bahwa sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia masih terdapat di perdesaan (Tabel 3.3). Dari jumlah tersebut, sebagian besar tenaga kerja bekerja di pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Tabel 3.4). Sedangkan tenaga kerja yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti

Tabel 3.3

Distribusi Kesempatan Kerja Menurut Daerah di Indonesia,

1990-2003 (%)

25 33 38 40 Sumber : BPS (dalam Tambunan, 2010)

Tabel 3.4

Kesempatan Kerja di Perdesaan Menurut Sektor di Indonesia,

22 29 24 23 Sumber: BPS (dalam Tambunan, 2010)

Para pembuat kebijakan pasca kemerdekaan di Indonesia telah lama menyadari masalah kemiskinan dan merancang kebijakan anti kemiskinan. Sejak kemerdekaan penanggulangan kemiskinan telah masuk ke dalam konstitusi maupun kedalam agenda pemerintah. Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dan menghapus kemiskinan. Berbagai program telah dirumuskan dan dilaksanakan di lapangan, serta tidak sedikit dana telah dikucurkan ke masyarakat.

Berbagai bantuan dan program dalam upaya menanggulangi kemiskinan yang dilakukan hingga kini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi kurang efektif disebabkan antara lain oleh kurangnya dibangun ruang gerak yang memadai bagi Berbagai bantuan dan program dalam upaya menanggulangi kemiskinan yang dilakukan hingga kini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi kurang efektif disebabkan antara lain oleh kurangnya dibangun ruang gerak yang memadai bagi

Menurut Bakhitdalam Suyanto (2008) pada saat ini dibutuhkan program-program penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan hasil yang nyata, tak pelak yang diusahakan adalah bagaimana mengontrol sebab-sebab dan menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of poverty).

Tujuan Program

Kelompok Sasaran

Leading Sector

Prioritas

Darurat-

Dinsos, Dinkes, menyelamatkan

Keluarga

miskin

korban PHK, Keluarga

Dinas P&K

Pra-KS dan KS-1, lansia miskin, anak putus sekolah, anak kurang gizi, ibu hamil dari keluarga miskin

Pemenuhan

Dinsos, Dinkes, Kebutuhan Dasar

Keluarga miskin, PNS

golongan I dan II,

Dinas P&K

dasar, sektor informal

Dinas Koperasi

sektor industri, kaum

dan UKM,

perempuan miskin,

nelayan miskin, PKL

Pemerataan dan

Dinas Koperasi Keadilan

Buruh tani, buruh

nelayan dan buruh

dan UKM,

industri kecil

Disnaker, Bappemas

Lebih lanjut Suyanto (2008) menyatakan upaya penyelamatan dan pemberdayaan masyarakat miskin agar berjalan efektif, maka dibutuhkan bukan sekedar kesediaan untuk melakukan introspeksi, tetapi juga revitalisasi program pemberdayaan masyarakat miskin yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin. Secara ringkas sebagaimana disajikan seperti matrik di atas.

Berbagai program telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, di antaranya adalah 1) program pemerintah (JPS, P3EMDN, PPIKM, P4K, PPKM, PPSP, PIK, IDT, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, usaha ekonomi desa, program pengentasan kemiskinan daerah pantai, dan program pemulihan keberdayaan masyarakat), 2) program penyertaan partisipasi

masyarakat/dunia usah a (Takesra, Kukesra, KPKU Prokesra, dan Program Kredit Taskin DAKAB/YDSM), 3) program bantuan luar negeri (P2KP dan PPK), 4) skim kredit (KUT, KKOP, KKRS/SS, KMKBPR/Syariah/KMKUKM, KPTTG, dan KPTPUD) (Rejeki, 2006). Masih banyak lagi program-program yang dilaksanakan baik program pusat maupun daerah. Daerah-daerah otonomi seakan-akan berlomba-lomba mengentaskan kemiskinan namun hasil yang diharapkan belum juga terwujud.