14
3. Perspektif pendekatan restoratif dalam sistem hukum pidana
Penulis berpendapat bahwa keterlibatan korban pasien danatau keluarganya dalam proses upaya penyelesaian perkara malpraktik
kedokteran , merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi
dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Pelibatan pasien danatau keluarganya sebagai korban untuk ikut serta dalam proses upaya penyelesaian tindak pidana bukan hanya
semata-mata untuk memberikan kesempatan atau keseimbangan, tetapi hal tersebut berkaitan erat dengan proses pencapaian makna keadilan itu
sendiri. Keadilan restoratif, memaknai keadilan hanya dapat diberikan melalui keterlibatan para pihak dalam upaya menyelesaikan suatu
konfik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekadar pemenuhan keadilan menurut ketentuan perundang-undangan. Memberikan hak
kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konfik yang terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan
keadilan restoratif karena keadilan restoratif memandang suatu tindak pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap
hukum negara tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada orang lain yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang harus
dipulihkan. Dengan prinsip pemulihan dan bukan penghukuman serta prinsip mendahulukan pemulihan dan penjatuhan sanksi bersifat
memulihkan dan menjahui sanksi pemenjaraan.
Dengan melihat penjelasan tersebut, maka terdapat beberapa dampak positif yang dapat ditawarkan oleh keadilan restoratif terhadap
sistem peradilan pidana, antara lain sebagai berikut. a. Keadilan
restoratif akan
memberikan alternatif-alternatif
penanganan terhadap tindak pidana dengan memberikan ruang bagi tercapainya suatu
out of court settlemem
dalam lingkup bidang hukum pidana.
18
b. Dapat meniadakan proses penuntutan dan persidangan yang akan memakan waktu yang panjang akan sangat membantu mengurangi
tunggakan perkara dan sekaligus akan mengurangi beban biaya yang sangat besar.
c. Dapat menghindarkan penjatuhan sanksi hukuman penjara yang sering justru memberikan dampak negatif yang lebih besar
dibanding dengan hal-hal positif yang dikehendaki ada anggapan bahwa pada masakini, sanksi pemenjaraan cenderung tidak lagi
menimbulkan efek jera bagi pelaku, tetapi sanksi pemenjaraan
18
Gagasan integrasi pendekatan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana maupun perihal Out of Court Setttemend dalam Lingkup Bidang Hukum Pidana dikemukakan oleh para
pakarhukum pidana antara lain Muladi, Komisi Keadilan dan Rekonsiasi; Romli Atmasasmita,Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Juli 2003, hlm. 55-67;
Sidik Sunarya, Sistem Peradilan Pidana, hlm.291; Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Varia Pengadilan, Majalah, No.249Agustus 2006, hlm.5-23;Melani, Restorative Justice, Kurangi Beban
LP Kompas, Senin, 23 Januari 2006, hlm, 40.
15 justru membuat pelaku memiliki ruang belajar untuk lebih jahat
lagi melalui lembaga pemasyarakatan, dan hal-hal lain yang merupakan dampak negatif dari pemenjaraan.
d. Dapat menghindari terjadi beban kelebihan penghuni terhadap kapasitas penjara
over population
. e. Dicapainya penghematan anggaran keuangan negara sehingga
dapat dipergunakan untuk suatu keperluan lain yang penting. Hal tersebut dapat dimulai dảri tahapan-tahapan antara lain;
1.Tahap penyidikan dengan diversi. Diversi adalah proses dimana pelanggar dipindahkan dari proses
pengadilan yang konvensional ke dalam proses program-program alternatif, yaitu suatu konsep berbasis pada pelaku dan kebanyakan program diversi
dikembangkan untuk membantu pelanggar danatau mengurangi beban-beban dari sistem peradilan pidana.
Namun dimungkinkan untuk menciptakan prosedur-prosedur diversi yang pula konsultasi korban, pemulihan perbaikan dan bila
terdapat kepentingannya adalah mediasi dengan pelaku. Diversi biasanya mensyaratkan suatu pengakuan bersalah dari pelaku dan
disertai oleh suatu syarat untuk memenuhi suatu kondisi tertentu. Diversi pada hakikatnya dapat ditempatkan pada tiap tahapan apa pun
dalam proses peradilan, termasuk pada rahapan penahanan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan hukuman dan tahapan pasca
penjatuhan hukuman. Apabila syarat-syaratnya dipenuhi, hasilnya dapat berupa suatu penangguhan atau di petieskannya kasus tersebut dari
proses-proses acara Peradilan yang formal.
Menurut Apong Herlina,
19
selain mendapatkan keadilan untuk semua, tujuan diversi ini antara lain untuk menghindari penahanan
untuk menghindari cap atau label sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi si pelaku, pada saat telah berada di luar; agar si
pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; serta untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
Diversi yang dilakukan oleh polisi adalah suatu praktik yang umum terjadi di berbagai negara dan beberapa bentuk darinya tidak
perlu ditetapkan dalam suatu legislasi. Namun, dapat pula disediakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan mengadopsi
suatu skema pemberitahuan atau skema lain yang sejenis. Di Indonesia, pasal 16 ayat 1 huruf I undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia UU Kepolisian menyatakan bahwa:
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
19
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III September 2004, hlm 26-27
16 Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut.
20
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan. c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya. d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia. Ketentuan yang serupa dapat dijumpai di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 ayat 1 huruf j, yang menyatakan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Apabila perintah untuk melakukan diversi telah diputuskan dan mediasi telah dilaksanakan dengan membawa hasil yang positif maka
dapat diterbitkan apa yang dalam praktik hukum disebut dengan SP3 Surat Perintah Penghentian Penuntutan. Terbitnya SP3 tersebut adalah
berkenaan dengan tidak dipenuhinya bukti permulaan yang cukupatas proses penyidikan, sehingga konsekuensi yuridisnya adalah bahwa
terhadap dugaan terjadinya kasus pidana bersangkutan harus dihentikan penyidikannya. Namun keluarnya SP3 tersebut bukanlah berarti
kasusnya telah selesai. Jaksa dapat membuka kembali kasus tersebut apabila memang telah dijumpai alat bukti lain sehingga prasyarat bukti
permulaan yang cukup telah dipenuhi.
Perihal bagaimanakah prosedur tersebut harus dibentuk secara legislatif adalah untuk memberikan kewenangan umum kepada jaksa
penuntut umum dan menyediakan sedikit petunjuk atau tidak sama sekali tentang prosedur-prosedur atau konsultasi dengan yang lainnya.
Jaksa
penuntut umum
dapat diberikan
kewenangan atas
pertimbangannya sendiri untuk meniadakan kasusnya berdasarkan pertimbangan hukum pemberian keringanan atau reduksi atas unsur
kesalahan
culpabilitas
, atau apabila antara pelaku dan korban telah tercapai suatu penyelesaian damai, atau dengan persetujuan dari
pengadilan, jaksa penuntut umum dapat men
dismiss
kasusnya dan mewajibkan dilakukannya suatu mediasi atau memerintahkan agar
dilakukan pembayaran ganti rugi.
21
Dapat pula jaksa penuntut umum diberikan otoritas untuk mendiversikan suatu permasalahan ke mediasi, misalnya setelah
mendapat rekomendasi dari lembaga tertentu. Jadi, diversi ke mediasi berada ditengah-tengah antara dismissal kasusnya, dengan pengenaan
sanksi formal.
Perihal siapa yang harus terlibat dalam proses yang dirujuk, adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan dari diversi dan mendesain
20
Pasal 16 ayat 2 UU Kepolisian
21
Sebagaimana yang diterapkan di Jerman pada tahun 1990 dalam UU Peradilan Remaja
17 pertanggungjawaban untuk implementasi tertentu dari tujuan-tujuan itu
semua, tetapi dengan tidak melegislasikan proses-proses tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya konsistensi secara keseluruhannya
dalam implementasi maupun fleksibilitas dalam implementasinya.
22
Perihal sejauh mana uraian rinci berkenaan dengan program-program diversi itu harus dicakup dalam draft legislasi yang diajukan, adalah
untuk menyediakan suaru rincian prosedural yang lebih besar, baik melalui legislasi maupun melalui regulasi administratif.
23
Menurut pandangan penulis landasan yuridis untuk dilakukannya diversi adalah
tidak dapat didasarkan atas pertimbangan “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.
24
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan
masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas,yang
hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai
hubungan dengan masalah tersebut.
Apabila legislasi mengenai diversi yang dipergunakan, maka legislasi tersebut harus menyampaikan kriteria-kriteria terpilih dan
prosedur-prosedur untuk menetapkan mengenai kasus-kasus mana yang dapat didiversikan. Empat metode alternatif untuk melakukan hal ini
adalah perumusan yang membolehkan ke depannya pilihan-pilihan diversi, pertimbangan wajib oleh suatu pengadilan mengenai apakah
suatu kasus harus didiversikan, arahan-arahan legislatif untuk bila mana diversi Itu wajib dilakukan, bersifat diskresionari atau tidak boleh
dilakukan dan pedoman rinci bagi kepolisian, petugas hukuman percobaan, penuntut umum dan petugas-petugas lain dalam wujud
peraturan tetap atau regulasi-regulasi yang diberlakukan berlandasan undang-undang.
22
The Minnesota Community Correctional Service Act mensyaratkan kepada para jaksa
penuntut umum untuk menetapkan program-program diversi pada tahap pra persidangan. Program- program tersebut dirancang dan dioperasikan untuk tujuan-tujuan lebih dari UU tersebut yaitu
menyediakan suatu respon pendekatan restoratif bagi para pelaku, mengurangi ongkos-ongkos dan muatan atau tunggakan kasus dalam sistem peradilan, mengurangi residivisme, meningkatkan
pemungutan dana untuk restitusi, meningkatkan opsi-opsi alternatif yang tersedia dalam sistem per-adilan, dan mengembangkan pemograman pelembagaan berbasis budaya secara khusus.
23
SkemaHalt di Belanda adalah suatu respon diversi bagi tindak pidana atas harta kekayaan property crimes yang dilakukan oleh remaja. Sejak tahun 1995, skema tersebut memiliki suatu
basis UU, yaitu polisi dapat menggunakannya sebagai sebuah alternatif bagi suatu sanksi peringatan ringan simple warning yangdipergunakan untuk tindak pidana atas harta kekayaan
yang agak kurang berat. Regulasi-regulasi yang diberlakukan atas dasar undang-undang tersebut, menetapkan prosedur-prosedur terperinci untuk digunakannya program itu.
24
Terdapat inkonsistensi pengaturan mengenai kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana KUHAP ditetapkan kewenangan ini dimiliki oleh para penuntut umum, sedangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan, kewenangan untuk mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh JaksaAgung. Lihat: pasal 14 huruf h UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan bandingkan dengan ketentuan pasal 35 ayat 1 huruf c UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik lndonesia.
18
2. Dalam tahapan di pengadilan