Pembaharuan Substansi Hukum Pidana

28 2 Jika korban pasien atau keluarganya menyetujui permintaan mediasi dari dokter sebagai pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai eksekutor. 3 Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal. 4 Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi. 5 Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasian confindentiality , sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam mediasi bersifat rahasia. 6 Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan. 7 Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada korban pasien dituangkan kedalam akta kesepakatan yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya. Atas dasar kebijakan tersebut diperlukan dasar hukum dan pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan perkara pidana malpraktik kedokteran. Pembaharuan sistem hukum pidana untuk memberi tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaian perkara malpraktik kedokteran dimaksud dengan melakukan perubahan pada setiap komponen subsistem dari sistem hukum pidana, yakni subtansi, lembagainstitusi dan kultur dalam hukum pidana.

1. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana

Pembaharuan subtansi hukum pidana dalam rangka memberikan tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana malpraktik kedokteran di luar pengadilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar hukum dari mediasi penal. Untuk memberikan dasar hukum dimaksud, maka diperlukan perubahan atau revisi terhadap peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan peraturan tentang proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran. Sebagaimana yang penulis dikemukakan sebelumnya, sampai saat ini belum terdapat pengaturan tentang proses penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. Sehingga pembaharuan di sini lebih bermakna sebagai penambahan suatu lembaga baru, yakni mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran kedalam sistem hukum pidana di Indonesia. Dalam melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan sebagai antisipasi terhadap perkembangan 29 masyarakat yang begitu pesat, maka diperlukan pendekatan komparatif dan komprehensif terhadap perkembangan pemikiran tentang sistem hukum pidana, baik yang berkembang pada tataran global maupun pada tataran lokal. Dalam tataran global, perkembangan mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari beberapa negara yang sudah mengatur dan menerapkan mediasi penal dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal dalam sistem hukumnya. Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal di berbagai negara, terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara pidana; namun tetap diberi payung kerangka hukum mediation Within the framework of criminal law , yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiel KUHP atau hukum pidana formal KUHAP, atau dalam Undang-undang khusus. 36 Selain mengacu pada perkembangan pemikiran dan pengaturan di berbagai negara yang memberi tempat kepada mediasi penal dalam tindak pidana malpraktik kedokteran sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan, pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan pula dengan keberadaan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sistemtatanan hukum yang diakui eksitensinya secara konstitusional. Pengakuan terhadap eksitensi hukum adat dimaksud dapat dilihat dalam Pasal 181 Ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Jadi menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 37 Dalam konteks penyelesaian perkara, sistem tatanan penyelesaian hukum di masyarakat dan hukum adat di berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia memperlihatkan bahwa, proses penyelesaian melalui cara-cara yang sesuai dengan filosofi hidup masyarakat yang bersangkutan, masih hidup dan 36 Barda Nawawi Arief,” Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan , disajikan dalam Seminar Corporate Nasional “ Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance” Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Di Intercontinental Hotel. Jakarta,27 Maret 2007. 30 berkembang. Jadi, pembaharuan hukum pidana dengan memasukan nilai –nilai yang terdapat di dalam hukum yang berkembang di masyarakat dan hukum adat, bukan hanya sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat dan hukum adat itu sendiri, tetapi juga karena kesadaran bahwa nilai –nilai tersebut sesuairelevan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Jadi, dalam rangka memperbaharui subtansi hukum pidana untuk memberi tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan, maka harus dilakukan perubahan revisi atau penambahan terhadap beberapa peraturan perundang - undangan. Penulis berpendapat bahwa, ketentuan mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran dapat ditempatkan di dalam KUHP