32 untuk tujuan mengadakan proses mediasi penal, maka pada
prinsipnya perkara malpraktik kedokteran juga dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi penal.
Di dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan seyogyanya ditambahkan
juga beberapa ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian perkara malpraktik kedokteran melalui mediasi penal. Pengaturan
tersebut meliputi syarat –syarat, prosedur, jangka waktu, lembaga
penyelenggaradan hal
–hal lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran
melalui mediasi penal.
4. Pembaharuan Struktur Hukum Pidana
Pembaharuan struktual sangat perlu dilakukan mengingat bahwa institusi penyelenggara mediasi penal dalam perkara
malpraktik kedokteran belum terdapat dalam strukur hukum pidana saat ini. Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara
di luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara
perdata, belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia
adalah peradilan negara ditetapkan dengan Undang-Undang.
40
Artinya, mediasi penal sebagai penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan strukturnya berada di dalam
Kekuasaan Kehakiman.
41
Jadi, sebagai lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan, maka kedudukan mediasi penal
dalam perkara malpraktik kedokteran berada pada sistem kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut tidak berbeda dengan yang berlaku di
negara-negara lain, Jadi secara struktual, Lembaga Badan Mediasi Penal memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan prosedur
dan proses mediasi penal; serta melakukan pengawasan terhadap menyelenggaraan mediasi penal. Selain mengatur prosedur dan
proses mediasi penal, Lembaga Mediasi Penal juga memiliki tugas menyediakan mediator penal yang profesional.
5. Pembaharuan Kultur Hukum Pidana
Dalam rangka
pembaharuan sistem
hukum pidana,
pembaharuan kulturbudaya hukum menjadi bagian yang sangat penting. Mengingat kultur dalam sistem hukum merupakan dasar
bagaimana sebetulnya sistem hukum tersebut akan diberdayakan.
Seperti dalam teori budaya hukum yang dinyatakan Hans Kelsen dengan diberinya tempat penyelenggaraan mediasi penal
40
Lihat : Pasal 2 ayat 3 UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman
41
Bandingkan : Pasal 24 UUD 1945 Amandemen
33 dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di dalam
substansi dan struktur hukum pidana sesuai dengan rumusan hukum yang digagas Lawrence M. Friedman yang menyatakan ada tiga
elemen sistem hukum yang menentukan berfungsinya atau memfungsikan suatu hukum, maka seyogyanya kultur juga
diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal tersebut sesuai dengan tujuannya. Mencermati berbagai berita yang
memperlihatkan betapa menyedihkannya wajah penegak hukum pidana akhir-akhir ini, sedikit banyak menunjukkan bahwa
budayakultur berhukum dari seluruh komponen yang terlibat, khususnya aparat penegak hukum, belum mencerminkan perilaku
kaum profesional yang bertanggung jawab.
Pada tataran Internasional, tuntutan untuk meningkatkan kultur penyelenggara peradilan pidana agar lebih profesional dalam
menjalankan tugasnya dapat dilihat dalam kongres PBB mengenai
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Kongres tersebut melahirkan resolusi tentang
justice management in the context of Accountability of public Administration and Sustainable
Development.
Resolusi itu antara lain menghimbau negara anggota, organisasi antar pemerintah dan organisasi profesional non
pemerintah, agar dalam program-program pengembangan yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana, mempertimbangkan
masalah “
accountability and sus
tainability’’.
42
Mengacu pada uraian diatas, langkah mendesak yang perlu dilakukan dalam rangka pembaharuan kultur hukum, khususnya
dengan dimungkinkannya penyelenggaraan penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di luar pengadilan melalui mediasi penal
adalah dengan melakukan upaya peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas yang didasari oleh moral dan etika yang baik.
Upaya meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas dari penyelenggara peradilan pidana, merupakan tuntutan yang tidak
bisa ditunda pemenuhannya, karena peningkatan profesionalisme tersebut merupakan bagian dari upaya memperoleh kepercayaan
respek masyarakat. Kepercayaan dan respek masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat penting untuk mencegah terjadi
kemerosotan nilai kualitas di berbagai bidang kehidupan.
43
42
Kongres PBB ke 91995 di Kairo, Lihat: Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Integrated Criminal Justice System,
Universitas Diponegoro, 2008, hlm 38
43
Menurut Barda Nawawi Arief, akuntabilitas tidak hanya terkait dengan masalah tanggung jawab institusional, tetapi juga tanggung jawab individual. Tanggung jawab institusional
menuntut adanya manajemenadministrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan sustainable development dan Tanggung jawab individual menuntut
adanyakematangan integritas moral dan hati nurani dari para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraanproses peradilan.
48
Artinya, diperlukan langkah- langkah konkrit untuk memperbaiki kultur hukum penyelenggaraan peradilan pidana baik secara institusional maupun
34 Langkah pertama dalam upaya peningkatan profesionalisme
dari penyelenggara peradilan pidana adalah persiapkan aparatur yang dibekali pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam menangani
perkara malpraktik kedokteran yang akan diselesaikan melalui mediasi penal. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang
mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran diperlukan, mengingat bahwa tugas dan wewenang sebagai penyelenggara
mediasi penal dalam perkara tersebut sangat berbeda dengan tugas dan dan wewenang dalam penegakan hukum yang selama ini telah
dilaksanakan.
Peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas tidak akan mendatangkan hasil optimal, bilamana tidak didasari integritas
moral para
penyelenggaraanya. Jadi,
upaya peningkatan
profesionalisme dan akuntabilitas seyogyanya terintegrasi dengan upaya peningkatan integritas moral dan etika bagi para
penyelenggara peradilan. Kebutuhan akan perlunya peningkatan integritas moral dan etika yang dilandasi oleh nilai- nilai religiusitas,
tidak terlepas dari kesadaran bahwa, runtuhnya moralitas dimulai dari diabaikannya nilai-nilai religius.
44
Bersikap dan bertindak dengan pertimbangan yang seharusnya dan sepantasnya dilakukan
untuk kebaikan dan kebahagiaan jangka panjang seringkali sudah ditinggalkan, karena mendahulukan kesenangan jangka pendek.
Salah satu bentuk perwujudan
restorative justice
adalah dengan dikembangkannya konsep
penal mediation
yang menjadi alternatif dalam penyelesaian perkara malpraktik kedokteran.
Penal mediation
patut dipertimbangkan untuk menjadi alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di samping
proses peradilan pidana tradisional, karena banyak kelebihan- kelebihan dan keuntungannya dibanding kelemahan-kelemahannya.
Temuan fakta dari hasil penelitian lapangan mediasi penal telah dipraktikan baik oleh dokter kepada pasiennya dalam hal
perkara malpraktik serta anggota masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu, serta oleh aparat penegak hukum kepolisian
dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu pula. Namun demikian praktik mediasi penal di sini tidak menghapuskan kewenangan
penuntutan maupun menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.
individual, agar lebih bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya. Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm 38
44
Melalui pendekatan keilmuan yang dilandasi nilai- nilai religius, budaya hukum aparat penegak hukum dapat dilakukan melalui pendidikan.Pendidikan tidak semata
– mata hanya memberi bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mempergunakan hukum, tetapi dilengkapi
dengan memberi bekal pemahaman maknahakikat kebaikan dan kebahagiaan menyeluruh. Untuk keperluan tersebut, ilmu hukum yang diberikan seyogyanya dilengkapi pula dengan ilmu- ilmu
sosial dan humaniora. Bandingkan: Henry Hazlitt, Penrj. Cuk Ananta Wijaya: Dasar - dasar Moralitas
, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. Hlm.1-3
35 Mengingat karakteristik masyarakat tersebut maka dibentuk
konstruksi mediasi penal dalam perkara malpraktik kedokteran yang sangat fleksibel untuk dipraktikkan, dengan mengkombinasikan
model-model atau bentuk-bentuk
penal mediation
seperti
informal mediation, victims - offender Mediation dan Reparation Negotiation
Mediation
, dengan konsep
reconciliation dan restitution
yang mendasarinya, maka kontruksi politik hukum mediasi penal sebagai
alternatif penyelesaian perkara malpraktik kedokteran di masa mendatang adalah bangunan pengaturan tentang pelaksanaan
mediasi penal.
Adapun kebijakan pelaksanaan
applicative policy
mediasi penal meliputi mediasi penal di luar proses peradilan pidana
Penal mediation out of Criminal Justice Process
dan mediasi penal di dalam proses peradilan pidana
P enal Mediation Within Criminal Justice System
yang meliputi mediasi pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan
s
aat terpidana menjalankan pidananya.
III. PENUTUP A.
Kesimpulan
1. Mediasi penal dalam perspektif perundang-undangan saat ini, baik
diluar maupun didalam proses pengadilan dalam hukum pidana positif belum diatur, bahkan dalam beberapa peraturan perundang-
undangan dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian perkara perdata,
namun dalam hal-hal tertentu terdapat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penyelesaiannya diselesaikan di luar proses
pengadilan.
Ketentuan-ketentuan tersebut secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya mekanisme penyelesaian tindak pidana di luar
pengadilan telah diberi tempat yaitu, a.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 9 ayat 1.
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Pasal 18 ayat 1. c.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 1 ayat 14.
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 29. e. Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No.
B006R- 3I1982, Jaksa Agung Tanggal 19 Oktober 1982 tentang Perkara Profesi Kedokteran.
f. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4PV-V2007.
36 2.
Penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari perspektif pengkajian asas, norma dan praktik
eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan “ada” karena
ternyata praktik mediasi penal, khususnya dalam perkara malpraktik kedokteran telah diterapkan oleh penegak hukum
kepolisian, dokter dengan pasien danatau keluarganya, penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti
mekanisme lembaga kesehatan baik melalui direksi rumah sakit atau dari profesi kedokteran dengan musyawarah kekeluargaan.
Dikatakan “tiada“ dikarenakan mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana, akan
tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya
parsial,
seperti diatur
dalam Surat
Kapolri No
Pol:B3002XII2009SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui
Alternatif Dispute Resolution
ADR serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri.
3. Kebijakan legislasi mediasi penal dalam perkara malpraktik
kedokteran yang merupakan bagian dari proses peradilan pidana menjadi sarana penyelesaian yang sah dan hasil kesepakatannya
bersifat mengikat terhadap para pihak antara pihak dokter dan pasien maupun keluarganya, serta aparat penegak hukum
menghapuskan kewenangan untuk menuntut.
4. Penentuan kebijakan pelaksanaan mediasi penal dalam perkara
malpraktik kedokteran dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu: a.
Diluar proses peradilan pidana dengan diperlukan landasan hukum berupa kebijakanaturan hukum tentang tindak
pidananya yang dapat dimediasikan diluar pengadilan, mediasi penal yang dilakukan diakui keabsahannya, difasilitasi
mediator, hasil kesepakatankeputusan sah dan final serta tidak perlu dikuatkan pengadilan dan hasil kesepakatan sebagai
hapusnya penuntutan tindak pidananya.
b. Kebijakan mediasi penal sebagai bagian proses peradilan
pidana:
1 Pada tahap penyidikan dimungkinkan bagi penyidik untuk menghentikan
atau meneruskan
penyidikan, dengan
memanggil pelaku dokter dan korban pasien atau keluarganya
untuk mencari
solusi saling
menguntungkanpembayaran ganti rugikompensasi dan jika adanya hasil kesepakatan maka penyidik tidak melanjutkan ke
Berita Acara Pemeriksaan BAP kepada penuntut.
2 Pada tahap penuntutan, Jaksa penuntut umum dapat menawarkan mediasi kepada pelaku dan korban dengan
menawarkan rekonsiliasi dan pembayaran kerugian pada
37 korban jika kesepakatan diterima keduabelah pihak putusan
tersebut final tidak dapat penuntutan dan sebagai alasan penghapus penuntutan.
3 Pada tahap pemeriksaan persidangan dalam hal ini seperti pada persidangan
perdata hakim
menawarkan alternatif
penyelesaian dengan cara perdamaian, jika tercapai digunakan sebagai alasan menghapus menjalankan pidana bagi pelaku.
4 Pada tahap pelaku menjalankan pidana penjara dalam hal ini menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari pelaku
kepada korban.dan
berfungsi untuk
menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana bagi pelaku.
Kebijakan-kebijakan tersebut memerlukan dasar hukum dan pembaharuan serta penataan dalam sistem hukum pidana, khususnya
yang berkaitan dengan tindak pidana malpraktik kedokteran guna memberi tempat kepada mediasi penal sebagai media penyelesaiannya
dengan melakukan perubahan pada setiap komponen subsistem dari sistem hukum pidana, yakni substansi, lembaga institusi dan kultur
dalam hukum pidana.
Pembaharuan substansi hukum pidana dalam rangka memberikan tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian di luar
maupun di dalam proses peradilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar hukum dan perubahan serta revisi terhadap peraturan perundang
– undangan dapat ditempatkan di dalam KUHP dan KUHAP atau
perundang-undangan tersendiri yang berkaitan dengan peraturan tentang mediasi penal kedalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara
malpraktik kedokteran, namun tetap diberi payung kerangka hukum yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana materiil KUHP atau
hukum pidana formal KUHAP, atau dalam undang-undang khusus.
Pembaharuan Struktur Hukum Pidana sangat perlu dilakukan mengingat bahwa Institusi penyelenggara mediasi penalbelum terdapat
dalam struktur hukum pidana saat ini. Dasar hukum yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan melalui perdamaian yang termuat dalam Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku terhadap perkara perdata,
belum menyangkut penyelesaian perkara tindak pidana. Jadi, diperlukan secara struktual, LembagaBadan Mediasi Penal yang memiliki tugas
dan wewenang dalam menentukan prosedur dan proses mediasi penal; serta melakukan pengawasan terhadap menyelenggaraan mediasi penal.
Selain mengatur prosedur dan proses mediasi penal, Lembaga Mediasi Penal juga memiliki tugas menyediakan mediator penal yang
profesional.
Dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana, pembaharuan kulturbudaya hukum menjadi bagian yang sangat penting, mengingat
kultur dalam sistem hukum merupakan dasar bagaimana sebetulnya sistem hukum tersebut akan diberdayakan. Dengan diberinya tempat
38 penyelenggaraan mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak
pidana di dalam subtansi dan struktur hukum pidana, maka seyogyanya kultur juga diperbaharui, agar penyelenggaraan mediasi penal sesuai
dengan tujuannya.
B. Saran