20
4. Tahapan Pasca Penjatuhan Sanksi
Suatu proses pemulihan tindak pidana, dapat juga dilakukan pada tahapan pasca penjatuhan sanksi, yaitu setelah hakim menjatuhkan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Banyak negara yang mengatur penegakan hukum yudisial yang
bersifat tindakan-tindakan restoratif. Sebagai contoh, di Prancis terdapat suatu pemulihan melalui tindakan perbaikan atas perintah pengadilan
setelah pelaku dijatuhi sanksi pidana yang kemudian dilakukan supervisi oleh seseorang atau oleh suatu badan publik pemegang
wewenang supervisi, dan ketika tindakan perbaikan telah secara penuh diimplementasikan, hakim harus diberitahu dalam bentuk laporan
tertulis dari otoritas pemegang wewenang supervisi tersebut.
35
Di lndonesia, peluang untuk melakukan keadilan restoratif pada tahapan pasca penjatuhan sanksi terdapat dalam rangka pelepasan
bersyarat, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman, terdapat suatu persyaratan diperolehnya surat perdamaian dari pihak keluarga
agar pelaku dapat memperoleh pelepasan bersyarat. Jadi kesempatan untuk proses pemulihandengan penerapan keadilan restoratif
dimungkinkan, sekalipun Surat Edaran Direktur Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan No. DDP. Z.14144 tanggal 10 Desember
1980 mengatur lebih lanjut, yaitu bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini
dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang sebab-sebabnya.
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengintegrasian keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana
Indonesia adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Mengingat ditinjau dari sistem hukum yakni dari aspek substansial dan aspek
strukturalnya telah didukung.
Prospek pengintegrasian tersebut sangat dimungkinkan ditinjau dari aspek substansi hukum, oleh karena perundang-undangan yang
mengatur tentang sistem peradilan pidana di Indonesia memberi ruang untuk terjadinya pengintegrasian baik dalam lingkup bidang diversi,
prosedur pengadilan, penjatuhan sanksi waupun dalam pengawasaan paska penjantuhan sanksi hukuman. Sementara itu berkenaan dengan
aspek struktur hukumnya, penerapan keadilan restoratif di Indonesia dapat dipilih untuk ditempatkan pada sub-sistem peradilan pidana pada
lembaga kejaksaan misalnya, atau pada setiap komponen dari sistem peradilan pidana diIndonesia.
Berkenaan dengan bentuk-bentuk tersebut, penulis berpendapat bahwa kebijakan untuk melakukan penerapan pendekatan restoratif
dalam upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan malpraktik kedokteran dapat digolongkan ke dalam bentuk kebijakan di luar dari
35
The New Zealand Children , Young Persons, and Their Famities Act of 1989, mengatur
bahwasuatu family group conference dapat diselenggarakan atas mosi dari Koordinator peradilan Remaja atau atas permintaan dari paling sedikit dua anggotanya untuk suatu peninjauan ulang atas
keputusan, rekomendasi dan rencananya.
._
21 tiga bentuk kebijakan tersebut yaitu suatu kebijakan yang paling tidak
mencakup elemen-elemen berikut. 1 Pemberdayaan para pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana
pelaku, korban danatau keluarganya untuk bersama-sama mencari jalan keluar dan sekaligus penyelesaiannya dalam
menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta implikasinya di masa mendatang.
2 Meningkatkan penghormatan dan perlindungan hukum atas hak- hak, kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingan dari
korban pasien danatau keluarganya dengan pelaku dokter dan seluruh pihak-pihak lainnya, termasuk pemberian ganti rugi kepada
korban atau perbaikan kerusakan termasuk melakukan rehabilitasi terhadap korban antara lain melalui penyediaan dan penggalangan
dana bantuan bagi korban atau keluarganya.
3 Menggunakan sarana non-penal saja dan atau sarana penal, termasuk mencari bentuk-bentuk alternatif lain selain dari
dilakukannya suatu penuntutan, dengan cara menghindarkan efek- efek pemenjaraan ;
4 Bertujuan utama memulihkan perdamaian yang ada di tengah masyarakat dan sekaligus dapat membantu menurunkan muatan
atau tunggakan kasus dari pengadilan pidana dan meningkatkan penyatuan pendekatan-pendekatan restoratif ke dalam sistem
peradilan pidana sebagaimana diperlukan sehingga dapat dibangun suatu
integrated criminal justice system
Indonesia yang bersifat
restorative responsive.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis simpulkan bahwa upaya penyelesaian dan penegakan hukum terhadap
malpraktik kedokteran di Indonesia telah dimulai sejak tahun1950-an yang kemudian diikuti dengan beberapa ketentuan perundang-undangan
yang baru yang mengatur tentang penyelesaian dan penegakan hukum atau pemidanaan terhadap malpraktik kedokteran, namun upaya
tersebut belum dapat memberi rasa keadilan kepada korban pasien danatau keluarganya. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kurangnya
penilaian terhadap hak-hak pasien sebagai korban dalam perumusan kebijakan pidana dalam sistem perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana praktik kedokteran di Indonesia. Upaya penyelesaian perkara dan penanggulangan yang ada masih lebih
menekankan pendekatan yang bersifat represif dan retributif yang cenderung lebih menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek
jera kepada dokter sebagai pelaku mengakibatkan kepentingan si korban pasien dan atau keluarganya kurang terwakili dan sering
terabaikan.
Pendekatan restoratif dipandang sangat efektif dalam upaya penyelesaian perkara dan menanggulangi malpraktik kedokteran oleh
karena konsep yang ditawarkan dalam pendekatan restoratif adalah di samping proses penyelesaiannya lebih cepat dan sederhana, juga dapat
meniadakan efek samping yang pada umumnya sering rerjadi dalam implementasi pendekatan represif retributif.
22
B. Kebijakan Legislasi Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian