Dalam tahapan di pengadilan Dalam Tahapan Penjatuhan Sanksi Pidana

18

2. Dalam tahapan di pengadilan

Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban adalah jauh bersifat sentral di banding dalam proses-proses hukum acara pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu legislasi yang menetapkan hak- hak prosedural yang dimiliki oleh korban sepanjang suatu proses hukum acara pidana. 25 Di Indonesia, pengaturan perlindungan korban dalam tahap beracara di pengadilan terdapat pada: 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, 26 dalam Pasal 9 ayat l menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Selanjutnya hal ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP. 27 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Dalam Pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kemudian pada Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatandan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. 28

3. Dalam Tahapan Penjatuhan Sanksi Pidana

Perundang-undangan Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan hak korban di dalam konteks penjatuhan sanksi terdapat dalam: 1 Pasal 14c KUHP ayat 1 yarg berbunyi ..., hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh delik tadi. 29 Jadi dalam pasal ini dinyatakan bahwa hakim dapat, menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus 25 Suatu contoh menarik dijumpai di lndiana, di mana korban harus diberikan tawaran suatu peluang .untuk berpartisipasi dalam sebuah program lembaga VOM apabila lembaga itu tersedia. Korban tidak diwajibkan untuk berpartisipasi, namun penawaran untuk turut berpartisipasi harus diajukan kepada korban. Pembatasan signifikan terhadap hak korbatan ini adalah tidak adanya suatu keharusan bahwa program VOM ini harus tersedia. 26 Telah digantikan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 9 ayat 1 yang selengkapnya berbunyi: 1 Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi . 27 Muladi, op.,cit.,hlm. 88 28 Muladi, Ibid 29 Andi Hamzah, KUHP KUHAP, RinekaCipta, April 2000,hlm. 8-9 19 dipenuhi selama masa percobaan. Syarat khusus tersebut berupa kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidanadatam waktu terentu. 30 Menurut Muladi, dalam hukum pelaksanaan pidana, khususnya yang berkaitan dengan persoalan lepas bersyarat Pasal 15 KUHP dalam pelaksanaannya diperlukan persyaratan antara lain izin berupa si korban. Dalam hal ini sering terlihat perbenturan antara kepentingan pelaku tindak pidana dalam rangka resosialisasi dan kepentingan korban yang memerlukan pelayanan. sebagai contoh adalah SE, Direktur Pembinaan dalam Lembaga pemasyarakatan No.DDP- Z,I4144 tanggal 10 Desember 1980. Di sini diatur bahwa bilamana surat perdamaian dari pihak keluarga sulit diperoleh, maka dalam rangka pelepasan bersyarat, hal ini dapat ditinggalkan, namun dalam usulan harus ada catatan tentang sebab-sebabnya. 31 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Junto Undang-undang Nomor20 Tahun 2001tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 32 dimana dalam salah satu ketentuannya dalam terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam kaitan ini Muladi menjelaskan bahwa apa yang dinamakan korban kejahatan tidak harus berupa individu manusia melainkan dapat pula berupa kolektivitas berupa negara dan sebagainya collective victim . 33 3 Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 34 ini memuat ketentuan yang memungkinkan penjatuhan tindakan tata tertib kepada terhukum berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain . 30 Lihat Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai HukumPidana, Alumni 1992,hlm. 87 31 Ibid ., hlm.88 32 Semula adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi 33 Muladi, op.cit, hlm. 87.Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 34 huruf c UU no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini terdapat dalam pasal 18 ayat 1 huruf b UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Atas UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selengkapnya berbunyi : “1 Selain Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a ….; b pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ….. 34 lbid. Lihat Pasal 8 huruf d UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, danPeradilan Tindak Pidana Ekonomi. 20

4. Tahapan Pasca Penjatuhan Sanksi