Analisis Yuridis Permohonan Menjadiwali Oleh Seorang Nenek Terhadap Cucu-Cucunya Ketika Ibu Kandung Masih Hidup (Studi Kasus Putusan MA No.372k/ PDT/ 2008)

(1)

TESIS

Oleh

SESILIA SUSETIASIH

107011020/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SESILIA SUSETIASIH

107011020/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : SESILIA SUSETIASIH

Nomor Pokok : 107011020

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T. Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum


(5)

Nama : SESILIA SUSETIASIH

Nim : 107011020

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN MENJADI WALI

OLEH SEORANG NENEK TERHADAP

CUCU-CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH

HIDUP (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 372/PDT/2008)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :SESILIA SUSETIASIH Nim :107011020


(6)

menjadi perwalian, karena itu jika perkawinan dipecahkan oleh Hakim harus pula diatur tentang perwalian terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Perwalian

(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur yang belum kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang. Penelitian ini menganalisis kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk etnis keturunan Cina yang berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengenai pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu, dan mengenai bagaimana Mahkamah Agung memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan semua gejala dan fakta hukum dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum (yuridis) normatif atas studi kasus pada Putusan MA No. 372/Pdt/2008 tentang permohonan menjadi wali oleh seorang nenek terhadap cucu-cucunya ketika Ibu kandung masih hidup.

Dapat disimpulkan bahwa pengaturan perwalian karena perceraian untuk etnis keturunan Cina di Indonesia Hakim berpedoman kepada pengaturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan juga menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perwalian oleh salah satu orang tua dapat dibatalkan apabila sebelumnya telah dilakukan pencabutan kekuasaan orang tua oleh hakim. Pencabutan kuasa Ibu yang diangkat sebagai wali karena adanya perceraian, dilakukan di Pengadilan Negeri tempat dilakukan tuntutan perceraian sebelumnya. Hakim dalam memutuskan permohonan ini mempertimbangkan adanya akta di bawah tangan yang dilegalisir dalam bentuk surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa jika terjadi perceraian Ibu kandung tidak akan membawa anak-anaknya.

Kata kunci : perceraian, anak di bawah umur, perwalian, penetapan, Mahkamah Agung


(7)

judge, the guardianship of the minors must be regulated. Guardianship is a control towards the minors who are not married yet and not under the authority of their parents, and the handlings of the minors property is regulated by law. This study analyzed the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008. What was discussed in this study were about regulation of guardianship because the divorce especially for the Chinese descent is guided by the Indonesian Civil Codes, regulation of the voidance of mother’s guardianship in the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008.

This descriptive analytical study described all of the symptoms and facts of law and analyzed the issues raised in this study. The normative juridical method was used in this study of the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008 on the application filed by a grandmother who wants to be the guardians for her grandchildren while their biological mother is still alive.

The result of this study showed that, in terms of guardianship regulation due to the divorce for the Chinese descents in Indonesia, the Judge was guided by the regulation stated in the Indonesian Civil Codes and Law No. 23/ 2002 on Child Protection. Guardianship done by one of the two parents can be voided if the parents’ authority has previously been revoked by the judge. The revocation of mother's authority appointed as guardian because of a divorceis performed in the state court where the claim for divorce was done before. In deciding this application, the judge considered the presence of the underhanded deed in the form of affidavit stating in case there is a divorce, the biological mother would not take her children with her.


(8)

maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN MENJADI WALI OLEH SEORANG NENEK TERHADAP CUCU-CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH HIDUP (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 372 K/ PDT/ 2008)”sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Ucapan Terima Kasih yang mendalam dan tulus penulis ucapkan secara khusus kepada para dosen pembimbing yang terhormat :

1. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH., MKn. 2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN. 3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum.

Serta kepada para dosen penguji : 1. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., MHum. 2. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH., MHum.

Atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara


(9)

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH., CN., M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Para Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan banyak pengetahuan dan ilmu kepada penulis

6. Para pegawai Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan

7. Teman-teman tercinta di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terutama teman-teman sekelas dengan penulis yaitu kelas A yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan bantuan pikiran kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini 8. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa sayang yang tidak

terhingga kepada suami tercinta Donny Nauphar, BSc. yang telah sangat mendukung dan membantu penulis dalam menulis tesis ini, serta kepada anak-anak tercinta Dito Aditama Usman dan Devin Saputra Usman.


(10)

sayang dan selalu membantu dan mendukung penulis dalam menulis tesis ini. 10. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga

kepada kedua mertua tercinta, ayahanda H. Salim Usman, Apt., MSi. dan Ibunda Hj. Yuanita Tanuwidjaja,Apt., MSi. yang selalu membantu dan mendukung penulis dalam menulis tesis ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar penulisan tesis ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(11)

Nama : Sesilia Susetiasih Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta/ 7 April 1981

Status : Menikah

Agama : Islam

Tempat Tinggal : Medan

II. KELUARGA

Suami : Donny Nauphar

Anak-anak : Dito Aditama Usman

Devin Saputra Usman III. PENDIDIKAN

SDN 05 Jakarta 1993 - 1987 SMPN 40 Jakarta 1996 - 1993 SMUN 35 Jakarta 1999 - 1996

S1 (Strata- 1) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta 2003 - 1999

S2 (Strata - 2) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2010 - 2012


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 8

1. Kerangka Teori ... 8

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 20

1. Jenis Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4. Metode Analisis Data ... 22

5. Metode Penarikan Kesimpulan ... 23

BAB II PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN 24 A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia ... 24

B. Perceraian ... 33

C. Perwalian ... 44


(13)

BAB III GUGURNYA PERWALIAN SEORANG IBU... 74

A. Kekuasaan Orang tua ... 74

B. Kekuasaan Wali ... 77

C. Pencabutan Kekuasaan Orang tua ... 78

D. Gugurnya Perwalian ... 81

E. Gugurnya Perwalian seorang Ibu ... 84

BAB IV PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN MENURUT KUH PERDATA TERHADAP KASUS PERMOHONAN MENJADI WALI OLEH SEORANG NENEK TERHADAP CUCU-CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH HIDUP (PUTUSAN MA NO. 372K/ PDT/2008) ... 88

A. Kronologis Kasus ... 88

B. AnalisisKasus ... 90

1. Hukum Acara Perdata Permohonan Penetapan ... 92

2. Pertimbangan Hakim ... 98

3. Kekuatan Pembuktian Penetapan ... 106

4. Upaya Hukum Terhadap Penetapan ... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 114 LAMPIRAN


(14)

Arbitrary : asas tidak bersifat sewenang-wenang

Audi alteram parlem : asas mendengar jawaban atau bantahan pihak lawan

To hear other side : asas mendengar pihak lain

Both sides be heard before a decision is given : asas mendengar kedua belah pihak sebelum dikeluarkan keputusan

Ne bis in idem : asas terhadap kasus dan pihak yang sama tidak boleh diajukan kedua kalinya

Beginselen van recht(root of law) : asas akar hukum, permulaan hukum

Beschikking : penetapan, ketetapan

Bewijslat : beban bukti, beban

pembuktian

Burgerlijk Wetboek : Kitab Undang-undang Hukum

Perdata/ Sipil

Curatele : pengampuan

Doctrinal research : penelitian doktrinal

De eigenlijke of algemene woonplaats : domisili yang sebenarnya

De gestichten voogdij : perwalian yang diperintahkan kepada yayasan

De langslevende ouder : orang tua yang hidup terlama

De legitieme voogdij : wali menurut hukum

De testamentaire voogdij : wali yang ditunjuk dengan surat wasiat

Due process of law : asas sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku

Effecten : saham

Fair trial : asas peradilan yang adil

Feitelijke woonplaats : tempat kediaman (domisili) yang sesungguhnya

Gekozen woonplaats : tempat kediaman (domisili) yang dipilih

Herzien Inlandsch Reglement (HIR) : Peraturan Indonesia yang diperbaharui (RIB) berlaku


(15)

Seberang (Jawa, Madura)

Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers : Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia

Indonesian Citizens of Chinese descent : Warga Negara Indonesia keturunan Cina

Inkracht van geisge : berkekuatan pasti

Judicial independency : asas kebebasan peradilan

Kwaadwillige verlating : pihak satu meninggalkan pihak yang lain dengan itikad buruk

Law in the books : hukum yang tertulis

Law in action : hukum di lapangan Law it is decided by the judge through judicial process : hukum yang diputuskan

oleh Hakim melalui proses pengadilan

Library research : penelitian kepustakaan

Moedervoogdes : wali Ibu

Ontheffen : membebaskan

Onheelbare tweespalt : perselisihan antara suami-isteri

Ontheffing : pembebasan

Ontzet : memecat, mencabut

Ontzetting : pemecatan, pencabutan

Ouderlijke macht : (ke)kuasa(an) orang tua

Overspel : zina

Rechtsvervijning : penghalusan hukum

Rechtsvinding : penemuan dalil hukum

Regeling op de gemengde Huwelijke : peraturan perkawinan campuran

Renten : bunga

Slecht levens gedrag : bertingkah laku buruk

Staatsblaad : Lembaran Negara

To give an appropriate opportunity : asas memberi

kesempatan yang layak

To give the same opportunity : asas pemberian

kesempatan yang sama

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) : perserikatan perusahaan Hindia Timur Belanda


(16)

Vruchtgebruiker : yang berhak manfaat, pemakai hasil


(17)

BW :Burgerlijk Wetboek

GHR :Gemengde Huwelijken Regeling

HOCI :Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers

HIR :Herzien Inlandsch Reglement

IS :Indische Staatsregeling

KUH Perdata : Kitab Hukum Undang-undang Perdata

MA : Mahkamah Agung

PP : Peraturan Pemerintah

PDT : Perdata

PK : Peninjauan Kembali

RV :Reglement of de Rechsvordering

UUP : Undang-undang Perkawinan

Stbl. :Staatsblaad

VOC :Vereenigde Oostindische Compagnie (perserikatan perusahaan Hindia Timur Belanda)


(18)

menjadi perwalian, karena itu jika perkawinan dipecahkan oleh Hakim harus pula diatur tentang perwalian terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Perwalian

(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur yang belum kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang. Penelitian ini menganalisis kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk etnis keturunan Cina yang berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengenai pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu, dan mengenai bagaimana Mahkamah Agung memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan semua gejala dan fakta hukum dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum (yuridis) normatif atas studi kasus pada Putusan MA No. 372/Pdt/2008 tentang permohonan menjadi wali oleh seorang nenek terhadap cucu-cucunya ketika Ibu kandung masih hidup.

Dapat disimpulkan bahwa pengaturan perwalian karena perceraian untuk etnis keturunan Cina di Indonesia Hakim berpedoman kepada pengaturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan juga menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perwalian oleh salah satu orang tua dapat dibatalkan apabila sebelumnya telah dilakukan pencabutan kekuasaan orang tua oleh hakim. Pencabutan kuasa Ibu yang diangkat sebagai wali karena adanya perceraian, dilakukan di Pengadilan Negeri tempat dilakukan tuntutan perceraian sebelumnya. Hakim dalam memutuskan permohonan ini mempertimbangkan adanya akta di bawah tangan yang dilegalisir dalam bentuk surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa jika terjadi perceraian Ibu kandung tidak akan membawa anak-anaknya.

Kata kunci : perceraian, anak di bawah umur, perwalian, penetapan, Mahkamah Agung


(19)

judge, the guardianship of the minors must be regulated. Guardianship is a control towards the minors who are not married yet and not under the authority of their parents, and the handlings of the minors property is regulated by law. This study analyzed the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008. What was discussed in this study were about regulation of guardianship because the divorce especially for the Chinese descent is guided by the Indonesian Civil Codes, regulation of the voidance of mother’s guardianship in the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008.

This descriptive analytical study described all of the symptoms and facts of law and analyzed the issues raised in this study. The normative juridical method was used in this study of the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008 on the application filed by a grandmother who wants to be the guardians for her grandchildren while their biological mother is still alive.

The result of this study showed that, in terms of guardianship regulation due to the divorce for the Chinese descents in Indonesia, the Judge was guided by the regulation stated in the Indonesian Civil Codes and Law No. 23/ 2002 on Child Protection. Guardianship done by one of the two parents can be voided if the parents’ authority has previously been revoked by the judge. The revocation of mother's authority appointed as guardian because of a divorceis performed in the state court where the claim for divorce was done before. In deciding this application, the judge considered the presence of the underhanded deed in the form of affidavit stating in case there is a divorce, the biological mother would not take her children with her.


(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Merupakan sifat manusia yang alami menginginkan adanya suatu perkawinan yang didasarkan dari hubungan saling mencintai dan menyayangi satu sama lain yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun terkadang apa yang diinginkan dan diimpikan tidak seperti yang diharapkan. Seiring berjalannya waktu keadaan berubah dan sifat seseorangpun berubah, sehingga terkadang perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi bahtera perkawinan yang telah dijalani. Suatu perkawinan yang pada awalnya harmonis kemudian selama perjalanannya mengalami perubahan-perubahan pada pribadi-pribadi yang menjalaninya bahkan kadang juga perubahan-perubahan keadaan yang terjadi disekeliling mereka dapat juga mempengaruhi bahtera perkawinan yang nantinya dapat berujung kepada suatu perpisahan antara pribadi-pribadi yang menjalaninya.

Perpisahan perkawinan ini yang kemudian dikenal dengan istilah perceraian. Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.1

Peningkatan perceraian di Indonesia tiap tahun terus meningkat. Pada tahun 2010 (dua ribu sepuluh), terjadi 285.184 (dua ratus delapan puluh lima ribu seratus


(21)

delapan puluh empat) perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 (sembilan puluh satu ribu delapan ratus empat puluh satu) perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 (tujuh puluh delapan ribu empat ratus tujuh) perkara, dan masalah ekonomi 67.891 (enam puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan puluh satu) perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 (dua ratus enam belas ribu dua ratus delapan puluh enam) perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 (tujuh puluh dua ribu dua ratus tujuh puluh empat) perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 (enam puluh satu ribu seratus dua puluh delapan) perkara, dan faktor ekonomi 43.309 (empat puluh tiga ribu tiga ratus sembilan) perkara.2

Maraknya perceraian yang makin sering terjadi di Indonesia khususnya perceraian antara suami-istri dengan adanya anak-anak di bawah umur akan memiliki dampak bagi kepentingan anak-anak itu sendiri baik dari segi psikologis maupun dari segi hukum. Merupakan kewajiban bagi orangtua dan negara untuk menjamin kepentingan anak-anak di bawah umur tersebut.

Salah satu dampak dari suatu perceraian yaitu akan mengakibatkan kekuasaan orangtua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi perwalian

(voogdij), karena itu jika perkawinan dipecahkan oleh Hakim harus pula diatur tentang perwalian itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh Hakim dilakukan setelah mendengar keterangan dari keluarga dari pihak ayah


(22)

maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa yang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh Hakim atas permintaan ayah atau ibu berdasarkan perubahan keadaan.3

Menurut Subekti :

Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian. Anak yang berada di bawah perwalian adalah:4

1. Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua;

2. Anak sah yang orangtuanya telah bercerai; 3. Anak yang lahir diluar perkawinan

Menurut Rachmadi Usman :

“Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang, badan hukum atau negara berdasarkan keputusan pengadilan untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orangtua, atau kedua orangtua atau orangtua yang masih hidup tidak cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum atau menunaikan kewajiban bagi anaknya”.5

Berikut satu kasus permohonan menjadi wali yang akan dibahas dalam penelitian ini, putusan MA No.372 K/Pdt/2008 yang memutuskan sebagai berikut dalam perkara :

Tjong Gek Hong sebagai Pemohon, bahwa Pemohon adalah Ibu kandung dari Tuan Suwandi Alain Wijaya yang telah melangsungkan perkawinan di Medan dengan

3Subekti,op.cit,hal.44 4Ibid, hal.52-53

5Rachmadi Usman,Aspek-aspek Hukum Perorangan dan kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hal. 365


(23)

Nyonya Jely Nonny, pada tanggal 1 Maret 2000 dengan akta perkawinan No.176/2000. Dari perkawinan tersebut dilahirkan 3 orang anak-anak, yakni :

1. Cindy, perempuan, lahir di Medan tanggal 12 Maret 2000 2. Melvina, perempuan, lahir di Medan tanggal 6 Desember 2001 3. Ricky, laki-laki, lahir di Medan tanggal 8 Mei 2004

Perkawinan antara Tuan Suwandi Alain Wijaya dengan Nyonya Jely Nonny tersebut telah putus karena perceraian pada tanggal 15 (lima belas) September 2005 (dua ribu lima) sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Medan No.156/ Pdt.G/2005/P.Mdn, tanggal 15 (lima belas) September 2005 (dua ribu lima) dan Akta Perceraian No.59/2005 tertanggal 5 (lima) Desember 2005 (dua ribu lima), yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan kota Medan.

Pengasuhan anak-anak jatuh ke tangan Tuan Suwandi Alain Wijaya sesuai dengan penetapan Pengadilan Negeri Medan No.31/Pdt.P/2007/PN.Mdn, tertanggal 8 (delapan) Maret 2007 (dua ribu tujuh).

Tuan Suwandi Alain Wijaya tersebut meninggal dunia di Medan pada tanggal 7 (tujuh) November 2007 (dua ribu tujuh), sesuai dengan akta kematian No.929/2007 tertanggal 9 (sembilan) November 2007 (dua ribu tujuh) yang selanjutnya disebut dengan almarhum. Sejak meninggalnya almarhum pengasuhan anak-anak almarhum berada dibawah pengasuhan Pemohon.

Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Medan supaya diberikan suatu penetapan yang menyatakan secara hukum bahwa Pemohon sebagai Wali yang sah atas cucu-cucunya yang belum dewasa tersebut dan agar Pemohon


(24)

dapat dengan leluasa menurut hukum dan kebiasaan mengasuh/ memelihara cucu-cucunya.

Namun permohonan Pemohon ditolak oleh Pengadilan Negeri Medan, dengan Penetapan No. 253/Pdt P/2007/ PN.Mdn. tanggal 18 (delapan belas) Desember 2007 (dua ribu tujuh).

Kemudian Pemohon mengajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 27 (dua puluh tujuh) Desember 2007 (dua ribu tujuh) sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No.106/Pdt/Kasasi/2007/PN.Mdn yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Medan, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 8 (delapan) Januari 2008 (dua ribu delapan).

Setelah permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima diputuskan permohonan Pemohon dikabulkan untuk menjadi Wali Pengasuh/Pemelihara bagi cucu-cucunya dengan putusan MA No.372 K/Pdt/2008.

Melihat kasus ini ternyata meskipun ibu sebagai orang tua kandung yang hidup terlama tidak dapat menjadi wali bagi anak-anaknya sendiri. Penelitian ini dilakukan juga untuk mengetahui pengaturan perwalian karena perceraian terkait kasus ini dan hal-hal apa saja yang menggugurkan perwalian seorang Ibu kandung. B. Perumusan Masalah

Melihat dari kasus perwalian yang menjadi latar belakang penelitian ini maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :


(25)

1. Bagaimana pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk etnis keturunan Cina berdasarkan aturan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ?

2. Bagaimana pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu?

3. Bagaimana Mahkamah Agung (MA) memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan MA No.372K/ Pdt/ 2008

C. Tujuan Penelitian

Dilihat dari perumusan masalah dalam penelitian ini, maka adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk keturunan etnis Cina berdasarkan aturan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan MA No.372K/ Pdt/ 2008

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis


(26)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya yang berkaitan dengan perwalian.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai permasalahan yang timbul dalam kasus-kasus perwalian di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di kepustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul Analisis Yuridis Permohonan Menjadi Wali Oleh Seorang Nenek Terhadap Cucu-cucunya Dikala Sang Ibu Masih Hidup (Studi Kasus Putusan MA No.372 K/Pdt/2008) belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

Judul-judul tesis lain yang berkaitan dengan masalah perwalian anak, juga pernah ditulis sebelumnya, antara lain oleh :

1. Yunita Hasibuan, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswa 057011099, dengan judul tesis “Perwalian Anak panti Asuhan Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Di Panti Asuhan Islam).

2. Syarifah Tifany, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswa 037011076, dengan judul tesis “Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Binjai).


(27)

3. Rosmaliana, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswa 077011058, dengan judul tesis “Akibat Hukum Yang Timbul Dari Perceraian Orang Tua Terhadap Pengasuhan Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak Dan Kompilasi Hukum Islam.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya teori. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Suatu variabel merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda, seperti misalnya, usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya.6

Penelitian ini menggunakan teori, hukum adalah suatu proses rekayasa sosial

(social engineering) oleh Roscoe Pound yang dijadikan landasan bahasan penelitian berjudul “Analisis Yuridis Permohonan Menjadi Wali Oleh Seorang Nenek Terhadap Cucu-cucunya Ketika Ibu Kandung Masih Hidup (Studi Kasus Putusan MA No. 372K/ Pdt/ 2008).


(28)

Roscoe Pound dipandang sebagai pelopor aliran “sociological jurisprudence”. Pokok pemikirannya berkisar pada tema bahwa hukum itu bukanlah suatu keadaan melainkan suatu proses. Dan, bahwa hukum itu (pembuatannya, interpretasinya maupun penerapannya) hendaknya dengan pintar dihubungkan dengan fakta-fakta sosial untuk mana hukum itu dibuat dan ditujukan. Pound sangat menekankan pada effektivitas bekerjanya hukum dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Dengan sadar ia membedakan pengertian“law in the books”di satu pihak dan“law in action”di lain pihak.7

Roscoe Pound (1870-1964) menganut aliran teori hukum modern sociological jurisprudence yang menyatakan bahwa, proses hukum pada hakikatnya adalah suatu proses rekayasa sosial(social engineering). Hukum itu pada hakikatnya adalah sarana yang dapat digunakan untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat. Hukum diselenggarakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan (interest). Roscoe Pound cenderung melihat kepentingan (bukan etika atau moral) sebagai unsur paling hakiki di dalam kajian hukum, dan yang karena itu pantas dijadikan konsep dasar untuk membangun seluruh teori sociological jurisprudence. Pada hakikatnya, hukum itu diperlukan karena dalam kehidupan ini banyak terdapat kepentingan untuk dilindungi. Disini Roscoe Pound mendefinisikan

7Mulyana W. Kusumah,Beberapa Perkembangan dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum (Bandung: Penerbit Alumni, 1981) hal.3


(29)

kepentingan sebagai “a demand or desire which human beings, either individual or through groups or associations or in relations seek to satisfy”.8

Ada tiga macam kepentingan yang perlu diketahui, yaitu : kepentingan individu, kepentingan umum (yaitu kepentingan badan-badan pemerintah) dan kepentingan sosial (yaitu kepentingan untuk melindungi dan menegakkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat, seperti misalnya keamanan umum, perlindungan Sumber Daya Alam, kemajuan dalam kehidupan politik dan budaya dan sebagainya). Sehubungan dengan apa yang diketengahkan sebagai kepentingan sosial itu, Roscoe Pound menunjukkan bahwa hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa sosial untuk melindungi kepentingan-kepentingan sosial. Pembuat hukum haruslah mempelajari apa efek sosial yang mungkin ditimbulkan oleh sarana kontrol atau sarana rekayasa lain yang bukan hukum. Roscoe Pound juga mengajukan gagasannya bahwa penyelesaian-penyelesaian perkara yang adil, dapat dilakukan menurut hukum yang berlaku, tetapi dapat pula tidak. Apabila diselesaikan menurut hukum, maka penyelesaian itu akan berlangsung dalam forum pengadilan. Sedangkan, apabila penyelesaian perkara dilakukan tidak menurut hukum, akan tetapi secara musyawarah, maka penyelesaian itu akan bercorak administratif. Menurut Roscoe Pound, kedua corak itu (yang yudisial maupun administratif) senantiasa ditemukan dalam sistem hukum manapun di dunia. Dalam praktiknya, sesekali corak yang yudisial tersebut yang mengemuka dan sesekali pula justru yang administratif

8Trubus Rahardiansyah dan Endar Pulungan,Pengantar Sosiologi Hukum(Jakarta: Univ. Trisakti, 2005) hal.227-229


(30)

tersebut yang lebih popular. Keseimbangannya yang diterima masyarakat itulah yang tentunya harus dinilai oleh hakim sebagai cara dan corak yang terbaik.9

Bagaimana putusan pengadilan menjadi pendorong bagi perubahan sosial digambarkan dalam pernyataan, bahwa para Hakim termasuk orang-orang profesional yang bekerja dengan diam-diam. Lingkungan dan suasana kerja Hakim adalah suasana yang tenang dan tentram, sangat berbeda dengan komponen peradilan yang lain, seperti polisi. Pekerjaan memeriksa dan mengadili lebih banyak mengarahkan kemampuan intelektual daripada otot. Tetapi ternyata kelirulah jika berpendapat, bahwa pekerjaan profesional yang penuh dengan ketenangan itu tidak dapat menghasilkan suatu keguncangan besar, suatu perubahan sosial bahkan suatu revolusi.10

Dengan demikian tugas Hakim dalam menerapkan hukum, tidak melulu dipahami sebagai upaya sosial kontrol yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik.11Tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering, yakni sosial kontrol dalam arti luas, yang dengan pelaksanaan diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki.12

Penerapan Hukum menurut Roscoe Pound, dalam mengadili sesuatu perkara menurut hukum ada tiga langkah yang harus dilakukan :13

9Ibid,hal. 229

10Ahmad Ubbe, “Putusan Hakim sebagai “Rekayasa Sosial” dalam Pembinaan Hukum Nasional”,Majalah Hukum NasionalBPHN Depkeh dan HAM, No.I, hal.72, 2002

11Satjipto Rahardjo,Hukum dan Perubahan Sosial(Bandung: Alumni,1979) hal.126-127 12Ahmad Ubbe,op.cit,hal.73

13Idris Zainal,Pandangan Falsafah Tentang Hukum Menurut Roscoe Pound(Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1983) hal. 20


(31)

a) Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan di antara banyak kaedah di dalam sistem hukum, atau jika tidak ada yang dapat diterapkan, mencapai satu kaedah untuk perkara itu (yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai satu kaedah untuk perkara-perkara lain sesudahnya) berdasarkan bahan-bahan yang sudah ada menurut sesuatu cara yang ditunjukkan oleh sistem hukum.

b) Menafsirkan kaedah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagai mana ketika kaedah itu dibentuk dan berkenaan dengan keleluasaan yang dimaksud.

c) Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaedah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian.

Ada tiga teori tentang penerapan hukum Roscoe Pound, yaitu :14 a) Teori analitis

Teori ini menerima satu himpunan hukum yang lengkap tanpa kekurangan dan pertentangan satupun, diberi wewenang oleh negara sekaligus, dan karena itu harus diperlukan seolah-olah tiap Pasal diciptakan pada waktu yang sama dengan tiap Pasal lainnya. Apabila hukum itu berbentuk undang-undang, penganut teori analitis menerapkan aturan-aturan penafsiran sejati, penganut teori tersebut berusaha (membahasnya) dengan logika serta menempatkan tiap-tiap perkara ke dalam satu kotak dengan satu proses yang memakai logika dan merumuskan hasilnya dalam satu putusan.


(32)

b) Teori yang bersendikan sejarah, penganut teori ini menganggap bila satu hukum terdapat dalam satu kitab undang, pada pokoknya undang-undang tersebut merupakan suatu pernyataan dari hukum yang ada sejak dulunya, undang-undang itu dipandang sebagai satu lanjutan dan perkembangan dari hukum yang ada sebelumnya.

c) Teori adil, penganut teori-teori ini yang terpenting ialah suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan adil bagi perselisihan individu. Mereka memahamkan perintah hukum, baik legislatif atau tradisionil, sebagai satu petunjuk bagi hukum, yang membimbingnya ke arah hasil yang adil, tetapi di dalam batas-batas yang luas, Hakim bebas dalam memeriksa tiap-tiap perkara, supaya dapat dipenuhinya tuntutan keadilan antara pihak-pihak yang berperkara, dan menyesuaikannya dengan akal sehat dan kesadaran moral dari orang-orang biasa.

Langkah pertama yang menuju ke arah satu ilmu hukum ialah mengadakan pemisahan antara apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk ke dalam makna hukum dari satu kaedah.15

Ada pula variant lain dari problematik sosiologi-yurisprudensi ini tidak hanya memusatkan perhatian pada faktor-faktor sosial yang memepengaruhi hukum tetapi juga mencakup di dalamnya konsekuensi sosial daripada hukum, dalam arti pengaruh hukum terhadap sistem sosial yang lebih luas.16

15Ibid


(33)

Problematik penting kedua yang dikembangkan di dalam gerakan sosiologis di dalam hukum dapat ditandai sebagai problematik “hukum sebagai alat pengendalian sosial (social control)”. Arti penting hukum tidaklah berasal dari sesuatu yang ada di dalam hukum itu sendiri, tetapi berasal dari klasifikasinya sebagai bagian proses sosial yang lebih luas. Hukum dipandang merupakan salah satu bentuk proses-proses dalam masyarakat yang menyangkut pengendalian sosial.17

Tentang hukum sebagai alat pengendalian sosial ini, Roscoe Pound, mengemukakan bahwa dalam menentukan kepentingan-kepentingan apakah yang boleh dijamin oleh ketertiban hukum dan bagaimana ia menjaminnya, kita harus perhatikan tiga pembatasan hukum yang penting sebagai alat kontrol sosial.

Pembatasan-pembatasan ini tumbuh dari :18

a) Keperluan yang menjadi syarat bagi hukum, praktis hanya berurusan dengan perbuatan-perbuatan manusia dan barang-barang dan bukan bagian di dalamnya;

b) Pembatasan-pembatasan yang melekat di dalam sanksi-sanksi hukum pembatasan atas paksaan terhadap kemauan manusia dengan kekerasan; dan c) Keperluan yang mensyaratkan hukum untuk mempergunakan badan luas

untuk melaksanakan isi dan maksud tujuannya, karena perintah-perintah hukum itu tidak dapat memaksakan dirinya secara sendiri.

17Loc.cit


(34)

Seorang Hakim Agung berperan untuk penemuan hukum (rechtsvinding)

ketika ia menganggap bahwa putusan pengadilan tinggi dan pengadilan tingkat pertama belum mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada era reformasi dan transformasi. Penemuan hukum ini dilakukan melalui metode :19

a) Penafsiran peraturan perundang-undangan berdasarkan teknik: 1) metode analogi,

2) metodeargumentum a contrario,

3) metode pengkonkretan hukum(rechtsvervijning),dan 4) metode fiksi hukum;

b) Metode argumentasi atau metode penalaran hukum berdasarkan teknik: 1) penafsiran bahasa,

2) penafsiran sistematis, 3) penafsiran sejarah, 4) penafsiran sosiologi, 5) penafsiran autentik, 6) penafsiran ekstensif, dan 7) penafsiran restriktif.

Selain uraian di atas bahwa dalam memeriksa perkara, menerapkan, menemukan bahkan membuat hukum jika diperlukan, pada prinsipnya Hakim harus

19


(35)

mandiri. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh pihak-pihak lain, termasuk oleh pihak eksekutif sekalipun. Inilah yang diajarkan oleh teori kebebasan Hakim.20

Pada prinsipnya, teori kebebasan Hakim ini menguatkan hal-hal sebagai berikut :21

a) Hakim bebas dalam memutus perkara dan dapat menggunakan standar apapun yang dianggap layak, selama tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebagai hakim(abuse of power).

b) Terutama untuk keperluan praktis, tidak begitu diperlukan diskusi yang mendalam bagi hakim untuk membenarkan putusan yang dibuatnya.

c) Baik di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, maupun di negara-negara yang menganut sistem anglo saxon, hakim dapat menyimpang dari putusan Hakim sebelumnya.

d) Putusan pengadilan yang sudah inkracht (berkekuatan pasti) bersifat final, tidak mungkin di review oleh instansi manapun, kecuali oleh pengadilan sendiri melalui prosedur yang sangat khusus, yaitu melalui upaya peninjauan kembali.

e) Hakim bebas memutuskan perkara karena pengangkatannya, terutama Hakim agung yang dalam pengangkatannya melibatkan juga pihak parlemen (legislatif) dan pemerintah (eksekutif), sehingga Hakim memiliki alas

20Munir Fuady,Dinamika Teori Hukum(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal.155 21Ibid,hal. 155-156


(36)

kewenangan yang kuat untuk bertindak mengatas namakan kepentingan masyarakat.

Dalam pemikiran Sosiological Jurisprudence, Roscoe Pound (1870-1964), ditegaskan bahwa kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.22Menurut Roscoe Pound hukum adalah “an ordening of conduct so as to make the good of existence and the means of satisfiying claims go round as for as possible with the least friction and waste”, dengan demikian penerapan hukum adalah teknik pemecahan masalah-masalah sosial.23

Social Engineering Pound ditujukan untuk membangun struktur sosial sedemikian rupa, sehingga secara maksimum dicapai keputusan akan kebutuhan-kebutuhan dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan24. Disini Pound melihat dan memahami hukum sebagai pengatur dan pendamai dari konflik keinginan. Hukum merupakan alat untuk mengontrol keinginan sesuai dengan prasyarat-prasyarat kepatuhan sosial.25

Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

22Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum(Bandung:Alumni, 1982) hal.266 23Ahmad Ubbe,op.cit,hal. 75

24Satjipto Rahardjo,op.cit,hal.266 25Ahmad Ubbe,op. cit,hal.75


(37)

Selanjutnya Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses

(law in action),yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis(law in the books).26

2. Konsepsi

Selain dari teori ada pengertian lain yang disebut konsepsi yang merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan (definisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.

Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.

Dalam rangka untuk lebih mengarahkan penelitian ini, ada beberapa istilah yang didefinisikan sebagai landasan konsepsi, yaitu :

a) Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

b) Nenek adalah sebutan dari cucu kepada ibunya ayah, menurut pasal 293 KUH Perdata : dalam garis lurus diukurnya, bahwa antara dua orang adalah pertalian keluarga sekian derajat, seperti pun sekianlah pula jumlah kelahiran yang ada; demikianlah dalam garis ke bawah pertalian anak terhadap bapaknya adalah derajat ke satu, cucu derajat ke dua dan demikian selanjutnya, dan sebaliknya dalam garis ke atas : pertalian bapak dan kakek

26Jusmadi Sikumbang,Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010) hal.206


(38)

terhadap anak dan cucu, adalah derajat ke satu atau derajat kedua dan demikian seterusnya.

Dengan demikian untuk pertalian orangtua dengan nenek adalah derajat ke satu sedangkan pertalian untuk nenek dengan anak orangtua (cucu) adalah derajat kedua garis lurus kebawah dilihat dari nenek, garis lurus ke atas dilihat dari cucu.

c) Cucu adalah anak dari anak (dilihat dari nenek)27, untuk pertalian nenek dengan cucu jika dilihat dari nenek ke cucu maka derajat kedua garis lurus ke bawah begitupun sebaliknya jika dilihat dari cucu ke nenek maka derajat kedua garis lurus ke atas.

d) Ibu adalah adalah sebutan untuk seorang wanita yang telah melahirkan anak, pertalian antara ibu dan anak dilihat dari ibu ke anak maka derajat kesatu garis lurus ke bawah begitupun sebaliknya jika dilihat dari anak ke ibu maka derajat kesatu garis lurus ke atas.

e) Cina adalah sebagai pengganti untuk sebutan orang-orang Cina yang diakui oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda sebagai istilah resmi pada tahun 1928.28

f) Anak sah, anak sah dalam prinsip (menurut undang-undang KUH Perdata) seorang anak adalah anak sah jika dilahirkan atau dibenihkan dalam suatu pernikahan (pasal 250 KUH Perdata).29

27Ibid, hal.85

28B.P. Paulus,Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 khususnya kewarganegaraan


(39)

g) Anak luar nikah (anak alam), pada umumnya anak-anak alam adalah anak yang lahir atau dibenihkan di luar pernikahan.30

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan semua gejala dan fakta hukum dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini. Deskriptif maksudnya untuk mengetahui dan memperoleh gambaran secara meneyeluruh dan sistematis tentang peraturan yang dipergunakan berkaitan dengan penelitian ini. Analisis maksudnya menguraikan secara cermat terhadap aspek-aspek hukum dari apa yang telah digambarkan secara menyeluruh dan juga sistematis dari permasalahan yang dikemukakan.31

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum (yuridis) normatif atas studi kasus. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisa hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).32

29Tan Thong Kie,Studi Notariat beberapa mata pelajaran dan Serba-serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007) hal. 20

30Ibid,hal.22

31Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hal. 29

32Amiruddin dan Zainal Asikin,PengantarMetode Penelitian Hukum(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006) hal.118


(40)

Pendekatan yuridis normatif selain mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara hierarki.33

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.

Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, yaitu :

1) Undang - undang Nomor I tahun 1974 tentang Perkawinan

2) Undang – undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

3) Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

4) Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5) Putusan MA RI No. 372K/ Pdt/ 2008

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.


(41)

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan objek penelitian ini.34

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan primer maupun bahan sekunder. 3. Teknik Pengumpulan Data

alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan

(library research), yaitu dengan mempelajari perundang-undangan, peraturan-peraturan, buku-buku hukum, artikel, literatur-literatur yang berhubungan dengan objek penelitian ini.

4. Metode Analisis Data

Analisis data adalah sebuah proses yang mengatur urutan data, yang mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar.35

Analisis data yang digunakan adalah secara deskriptif kualitatif. Analisa data yang dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui rehabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban. Kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan

34Peter Mahmud Marzuki,op.cit,hal. 141 35


(42)

penelitian yang benar dan akurat serta dapat direpresentasikan dalam bentuk deskriptif.36

5. Metode Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara deduktif-induktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi.37

Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.38

36Soerjono Soekanto,Pengantar penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia, 1999) hal.6

37Soerjono Soekanto,op.cit,hal.6

38Johnny Ibrahim,Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2005) hal.339


(43)

BAB II

PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia

Berhubung dalam penelitian ini si Pemohon adalah orang keturunan Cina, ada baiknya di ceritakan sedikit mengenai sejarah etnis Cina di Indonesia yang diawali dari mulai masuknya mereka sampai dengan di jaman mulai masuknya orang-orang Belanda yang awalnya ingin melakukan perdagangan di Indonesia.

Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Cina adalah sistem kekeluargaan patrilineal, yakni bahwa yang menentukan garis keturunan adalah dari pihak laki-laki. Pihak laki-laki memegang peranan yang sangat penting dalam suatu keluarga, artinya bahwa anak laki-laki memiliki posisi dan kedudukan yang istimewa dalam keluarga karena merupakan penerus marga atau nama keluarga.39

Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia, disebutkan bahwa istilah Cina berasal dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua ribu tahun sampai tahun 1913. Adanya bencana banjir, kelaparan dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke seluruh dunia. Kemudian sekitar abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin yang merantau dari Cina ini di Indonesia kemudian disebut dengan Cina perantauan.

39Lodewik, Tinjauan Yuridis terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Cina oleh Hakim, tesis magister (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011)


(44)

Orang-orang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan baik. Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk perkampungan yang disebut dengan “Kampung Cina”, di kota-kota dimana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan. Orang-orang yang tinggal di Pecinan ini kemudian banyak yang menjadi pedagang.

Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC) memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini bentrok dengan bangsa Belanda. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa Cina di Indonesia. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada warga penduduk pribumi.40

Orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan implikasi bahwa hukum yang diberlakukan pada mereka bukan hukum Belanda atau hukum adat pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak tergolong sebagai Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri menjadi warga negara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka

40Julyana,Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan

Anak Dikala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 Oktober 2004, No. 1187 K/ Pdt/ 2000),tesismagister (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010)


(45)

adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.41

Penggunaan istilah Cina, untuk menyebut warga negara Indonesia keturunan Cina yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara atau warga negara keturunan Cina, yang dalam bahasa asingnya ialah Indonesian Citizens of Chinese descent, apabila digunakan dalam bahasa Indonesia melukai perasaan golongan tersebut, sebab dirasakan sebagai penghinaan. Istilah tersebut dalam peredaran masa mengalami devaluasi, karena seolah-olah diasosiasikan dengan sifat atau watak yang jelek seperti Cina mindring (lintah darat), Cina loleng (jorok) dan pula menggambarkan status sosial yang inferior yang dialami golongan itu pada masa penjajahan, meskipun jauh lebih baik dari golongan pribumi.

Oleh karena itu di kalangan orang-orang Cina sebutan untuk menunjukkan orangnya diusahakan untuk diganti dengan sebutan Cina yang tidak mengandung konotasi yang kurang baik seperti istilah yang lain. Sedangkan sebutan untuk negaranya, dipakai istilah Tiongkok. Kedua istilah tersebut pada tahun 1928 diakui oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda sebagai istilah resmi.

Penggunaan istilah Cina dan Tiongkok ini menyebar pula ke Tanah Semenanjung dan Singapura, karena eratnya hubungan antar negeri tersebut dengan Sumatera yang telah menggunakan sebutan Cina dan Tiongkok. Kesadaran dari


(46)

orang-orang Cina yang berbahasa Melayu juga mendorong memperluas penggunaan sebutan itu.42

Pada akhir abad ke 19 Pemerintah Belanda bermaksud hendak memisah golongan Cina dari golongan Timur Asing. Usaha pertama kali pada tahun 1896 gagal. Akhirnya pemerintah Belanda berhasil dan tidak ragu-ragu lalu diterbitkanlah staatsblaad 1917 no.129 dan dinyatakan mulai berlaku pada 1 Mei 1919.

Dengan berlakunya Stbl.1917 no.129 bagi golongan Timur Asing Cina maka berlakulah hukum kekayaan dan hukum waris testamenter Barat, hukum keluarga, termasuk hukum perkawinan Barat bagi golongan Timur Asing Cina itu. Dengan demikian golongan Timur Asing Cina takluk kepada KUH Perdata, kecuali beberapa peraturan mengenai formalitas sebelum perkawinan, tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan dilangsungkan di hadapan Kantor Catatan sipil.

Sebelum masa berlakunya Stbl.1917 no.129, laki-laki dan wanita Cina yang akan melangsungkan perkawinannya mereka tunduk dan dilakukan sesuai dengan hukum adat mereka, yaitu dimulai lebih dahulu dengan suatu pertunangan yang dilakukan oleh pihak laki-laki calon suami dan calon isteri. Setelah semua ketentuan dipenuhi,dimana calon pengantin pria menyerahkan sejumlah uang kepada calon pengantin, lalu dapatlah dilangsungkan perkawinan. Diatas suatu kursi merah ditandulah pengantin wanita, diiringi dengan bunyian musik dan digotong ke rumah pengantin pria. Setelah kedua mempelai ini dipertemukan dilakukan makan bersama.

42Paulus,Kewarganegaraan RI ditinjau dari UUD 1945 Khususnya Kewarganegaraan


(47)

Upacara itu dihadiri oleh keluarga dan sahabat kenalan. Dan setelah itu selesailah upacara perkawinan.43

Kemudian dalam tahun 1917 mulailah diadakan pembedaan antara golongan Cina dan bukan Cina yaitu untuk golongan Cina diadakan satu peraturan sendiri mengenai hukum perdata mereka yang diletakkan dalam S.1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh Indonesia sejak 1 September 1925), yang menaklukkan orang-orang Cina pada hukum perdata Eropa hampir seluruhnya, termasuk juga hukum perkawinan pada umumnya.

Sesudah berjalannya Stbl. 1917 no. 129, yaitu untuk Jawa-Madura pada 1 Mei 1919 di Jawa dan Madura dan 1 September 1925 di seluruh Indonesia, jika ada kiranya orang-orang Cina melaksanakan perkawinan menurut cara adatnya yang lama tidak berdasarkan Stbl. 1919 no. 129, maka jika perkawinan-perkawinan tersebut lahir anak-anak maka anak-anak yang lahir itu dianggap anak-anak yang lahir diluar perkawinan yang sah.

Sebelum Stbl. 1917 no. 129 itu orang-orang Cina yang mempunyai isteri disebut isterinya itu “bini kawin” dan sementara itu masih juga dapat mengambil seorang isteri kedua dan yang disebut dalam istilah mereka “bini muda”. Anak-anak yang lahir dari “bini muda” ini merupakan anak yang sah dengan segala akibat-akibat hukum, menerima pusaka dan sebagainya.

43Jafizham,Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan: C.V Percetakan “Mestika”, 1977) hal.47-48


(48)

Seorang pria yang sudah punya “bini kawin” dapat memelihara “bini muda”, dan prosedurnya tidaklah serupa dengan upacara “bini kawin”, tanpa dengan pertunangan, tanpa ditandu, tanpa musik dan tanpa surat kawin. Yang ada adalah pembayaran dan makan bersama.

Anak yang lahir dari “bini muda” tidak sama dengan anak yang lahir dari “bini kawin”, jika pengambilan “bini muda” itu dilaksanakan sesudah 1 (satu) September 1925 diseluruh Indonesia.

Dengan berlakunya Stbl. 1917 no. 129, yang mengatur hukum perkawinan bagi golongan Timur Asing Cina, maka tidaklah lenyap seluruh hukum adat untuk bangsa Cina tersebut di Indonesia. Hukum adat untuk orang Cina masih terus berjalan dan diantaranya ada yang dipertahankan dengan mendapat aturan, diantara lain adalah tentang pengambilan anak pungut, yaitu suatu adat yang berkembang didalam golongan Cina. Adat pengambilan anak pungut ini tetap dipertahankan dan diatur dalam Stbl. 1917 no. 129, Bab II yang isinya antara lain, hanya boleh mengangkat anak laki-laki, sedangkan untuk pengangkatan anak perempuan boleh dilakukan, hanya jika menggunakan akta otentik, selain dari itu batal demi hukum.44

Untuk pengangkatan anak dalam adat Cina ada tiga jenis yaitu yang pertama anak tersebut adalah anak yatim piatu yang tidak diketahui marganya atau nama orang tuanya, biasanya jenis pengangkatan seperti ini orang tua angkatnya dapat memberi nama anak tersebut beserta marganya dan menganggap dia sebagai anggota keluarga sendiri.

44


(49)

Yang kedua anak tersebut anak yatim piatu dan memiliki nama marga. Anak angkat jenis ini tidak perlu diberi nama marga lagi cukup nama anak saja. Anak angkat ini juga masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarganya sendiri.

Yang ketiga anak asuh atau anak yang di kwepang, dalam tradisi Cina yang dimaksud dengan anak yang dikwepang adalah anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orang tuanya menurut perhitungan hong shuinya

(peruntungannya). Anak yang di kwepang adalah anak yang memiliki orang tua, memiliki nama marga dan nama sendiri. Biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orang tua aslinya, dan memanggil keluarga orang tua angkat sebagai anggota keluarga dalam.

Biasanya ada beberapa alasan mengangkat anak diantaranya yaitu yang pertama karena tidak memiliki keturunan, biasanya mengangkat anak dari keluarga sendiri dan biasanya anak laki-laki yang marganya sama yang kemudian diasuh oleh orang tua angkatnya. Si anak ini nantinya yang akan memenuhi kewajiban mengurus orang tua angkatnya bukan kepada orang tua kandungnya.

Yang kedua karena masalahciongyaitu dimana tanggal lahir si anak dianggap tidak cocok dengan orang tua kandungnya yang menurut mitos akan menyebabkan sakit, kematian ataupun kebangkrutan yang dapat ditangkis dengan cara mengangkat anak orang lain. Untuk proses pengangkatan anak ini menggunakan upacara adat. Jika orang tua angkatnya meninggal, dia harus ikut “tuaha” atau memakai baju belacu menurut adat istiadat acara kematian orang Cina. Tetapi si anak angkat tidak memiliki


(50)

hak mewaris dari orang tua angkatnya kecuali diberi wasiat, tapi tetap memiliki hak mewaris dari orang tua kandungnya.

Yang ketiga untuk mendapatkan keturunan dengan “mancing” anak, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh suami isteri yang belum memiliki keturunan dengan cara mengangkat anak yang biasanya dari anak kerabat sendiri untuk dianggap sebagai anak, dirawat dan dipelihara dengan baik, dengan harapan supaya dengan mengangkat anak tersebut nantinya dapat juga melahirkan keturunan sendiri. Si anak angkat akan tinggal dengan orang tua angkatnya yang hanya bersifat sementara saja, sampai si orang tua angkat mempunyai anak sendiri. Setelah adanya keturunan dari orang tua angkat, si anak angkat dapat tetap tinggal di rumah itu atau dikembalikan kepada orang tua kandungnya, hal itu terserah keputusan dari orang tua angkatnya. Kalaupun seandainya si anak angkat dipulangkan kembali ke orang tua kandungnya biasanya akan diberikan kado atau hantaran karena berhasil “mancing” anak. Anak yang berhasil “mancing” anak ini dapat dua sampai tiga kali “mancing” yang berarti nanti dia akan mempunyai dua sampai tiga orang tua angkat. Si anak angkat tidak berhak mewaris dan tidak wajib melakukan “tuaha” kalau orang tua angkatnya meninggal.45

Adat Cina hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Cina itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun keseluruhan dari kebiasaan dan adat istiadat Cina tergantung kepada masyarakat etnis Cina itu sendiri,

45Siao Fung, “ Dalam Tradisi Cina Ada Tiga Jenis Pengangkatan Anak”,Cinanews.com,13 Nopember 2011


(51)

apakah masih sesuai adat- istiadat tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Agama merupakan faktor penting yang menentukan berlanjutnya kebiasaan budaya Cina. Bagi keluarga yang menganut kepercayaan Budha dan Tao misalnya, kedekatan dengan kebudayaan Cina masih kuat karena banyak upacara keagamaan.46

Seperti misalnya untuk orang-orang Cina yang beragama non Budha sudah tidak lagi melakukan upacara-upacara adat keagamaan pada perayaan hari-hari besar adat Cina dibandingkan dengan orang-orang Cina yang beragama Budha yang masih tetap mempertahankan upacara-upacara keagamaan dalam melakukan perayaan hari-hari besar adat Cina.

Salah satu contohnya pada perayaan Tahun Baru Cina (imlek) bagi orang-orang Cina yang beragama Buddha mereka masih melakukan serangkaian acara sembahyang, yaitu sembahyang dua hari sebelum imlek di kuil. Kemudian sehari sebelum imlek mereka melakukan sembahyang leluhur siang hari di rumah setelah itu malamnya mereka akan mengadakan acara makan malam berkumpul bersama keluarga. Pada tengah malamnya mereka akan melakukan sembahyang menghormati dewa langit. Keesokan harinya barulah acara imlek, yang mana pagi harinya mereka akan melakukan kembali acara sembahyang leluhur dilanjutkan dengan acara makan-makan bersama keluarga dan kerabat sembari saling mengucapkan selamat Tahun Baru satu sama lain diikuti dengan pemberian angpao. Angpao hanya diberikan oleh mereka yang telah menikah kepada anak-anak atau mereka yang belum menikah


(52)

dengan melihat usia juga. Biasanya bagi mereka yang belum menikah tapi sudah berumur tidak mendapat ang pao lagi.

Bagi mereka orang-orang Cina yang beragama Katolik dalam merayakan imlek mereka sudah tidak melakukan acara adat sembahyang, mereka hanya melakukan acara makan-makan berkumpul bersama keluarga dan kerabat, namun masih diikuti dengan pemberian ang pao.

B. Perceraian

Salah satu penyebab terjadinya perwalian adalah dikarenakan perceraian, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan orang tua. Mengapa hanya menjelaskan perceraian dalam penelitian ini sebagai penyebab terjadinya perwalian? Karena putusan MA No. 372K/ PDT/ 2008 dalam penelitian ini adalah permohonan perwalian yang diawali dari suatu perceraian di antara kedua orang tuanya. Berbagai hukum mengenai perceraian di Indonesia adalah sebagai berikut :47

1. Bagi orang-orang Eropa dan keturunan Eropa, berlaku KUH Perdata atau

Burgerlijk Wetboek(BW);

2. Bagi orang-orang Cina dan keturunan Cina berlaku KUH Perdata atau BW; 3. Bagi orang-orang Timur Asing bukan Cina (Arab, India dan sebagainya)

berlaku hukum adat mereka masing-masing

4. Bagi orang Indonesia asli berlaku bermacam-macam aturan yaitu :

a) Bagi orang beragama Islam, berlaku hukum Islam sebagai bagian dari hukum adat;


(53)

b) Bagi yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon berlaku

Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers(HOCI) (S 1933 No 74); c) Bagi mereka yang tidak termasuk a dan b berlaku hukum adatnya diatur

dalam Pasal 131 ayat 6Indische Staatsregeling(IS).

5. Bagi mereka yang berada dalam perkawinan campuran berlaku Gemengde Huwelijken Regeling(GHR) (S 1898 No 158).

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) bagi semua warga negara pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP, maka berbagai hukum tersebut di atas yang berdasarkan Pasal 131 IS menjadi terhapus, sepanjang ketentuan Pasal 66 UUP.

Pasal 66 UUP telah menghapus semua ketentuan-ketentuan mengenai dan berhubungan dengan perkawinan yang dijumpai dalam BW, HOCI, GHR dan peraturan-peraturan lain sejauh materinya telah diatur dalam UUP. Jadi menurut Pasal ini yang dihapus, atau tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa peraturan yang telah ada, sejauh hal-hal itu telah diatur dalam undang-undang ini, bukan peraturan perundang-undangan itu secara keseluruhan, sehingga hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UUP, masih tetap dipakai.

Penelitian ini menyangkut golongan keturunan etnis Cina maka untuk penerapan hukum perwalian yang digunakan untuk menganalisis kasus ini berpedoman kepada KUH Perdata karena dalam UUP masih belum banyak mengatur mengenai perwalian karena perceraian sebanyak yang diatur dalam KUH Perdata,


(54)

maka hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UUP, masih tetap dipakai pengaturan dalam KUH Perdata.

Semua peraturan yang mengatur hubungan-hubungan masyarakat seperti pengaturan perkawinan, perceraian, perwalian disebut dengan hukum objektif. Peraturan itu tertuju kepada semua orang secara umum tanpa menunjukkan kepada orang-orang tertentu. Artinya peraturan itu tidak memihak, karena jika memihak tentu sulit, bagaimana caranya untuk membuat peraturan yang berlaku kepada setiap orang? Hukum objektif adalah peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan-hubungan sosial.48

Perceraian di dalam KUH Perdata didahului dengan adanya pisah meja dan ranjang antara pasangan suami isteri. Perpisahan meja dan ranjang ini harus dilakukan sampai genap lima tahun. Apabila tidak diikuti dengan adanya perdamaian antara suami-isteri maka dapatlah dilakukan perceraian dengan putusan Hakim.

Perceraian menurut UUP hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang

48Syahruddin Husein,Pengantar Ilmu Hukum(Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2004) hal. 172


(55)

menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.49

Dalam mengajukan gugatan perceraian, alasan bercerai menjadi pertimbangan penting bagi pengadilan untuk menindaklanjuti gugatan cerai tersebut. Karena itu Penggugat harus memiliki alasan bercerai yang dibenarkan dan sah menurut hukum. Di lain sisi, alasan bercerai juga menjadi pertimbangan atau tolak ukur bagi pengadilan dalam memutuskan sejumlah persoalan lain yang terkait erat dengan proses perceraian itu sendiri.

Alasan-alasan perceraian menurut KUH Perdata ada empat macam yaitu :50 1. Zina(overspel);

2. Ditinggalkan dengan sengaja(kwaadwillige verlating)

3. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan

4. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.

Kemudian empat alasan dalam Pasal 209 KUH Perdata ini diperluas oleh Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1968 Nomor 105 K/ Sip/ 1968, tentang diterimanya onheelbare tweespalt yaitu dalam hal terjadi perselisihan atau pertengkaran antara suami-isteri secara terus menerus dan tidak mungkin didamaikan lagi, sebagai alasan perceraian.51

49Budi Susilo,Prosedur Gugatan Cerai(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007) hal.20 50Subekti,op.cit.,hal.42-43

51Djaja S. Meliala,Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga (Bandung: Nuansa Aulia, 2007) hal. 124


(56)

Setelah diundangkannya UUP maka maka ditambahkan dua alasan lagi termasuk di dalamnya alasan karena perselisihan dari Jurisprudensi MA RI disebutkan diatas :

1. Salah satu pihak mendapat cacad badan/ penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri;

2. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan/ pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 19 PP 9/ 1975). Umumnya proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan, yaitu sebagai berikut :52

1. Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian

2. Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan tersebut diajukan, harus memanggil pasangan suami-isteri terkait untuk diminta penjelasan atas alasan gugatan perceraian yang diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus mengupayakan jalan perdamaian.

3. Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan putusan. 4. Tahap eksekusi, sejumlah dampak yang timbul akibat eksekusi perceraian

adalah, sebagai berikut :

a) Terhadap suami-isteri, hubungan ikatan perkawinan menjadi putus. b) Terhadap anak, adanya penjatuhan hak asuh anak.


(57)

c) Terhadap harta benda, harta bersama dibagi rata, terkecuali harta bawaan dan perolehan, selama tidak diatur lain dalam perjanjian, dan diluar penentuan kewajiban nafkah dari pihak pria untuk mantan isteri dan anak. Akibat perceraian (menurut KUH Perdata) :53

1. Istri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.

2. Persatuan harta perkawinan menjadi terhenti, dan dapat dilakukan pemisahan dan pembagiannya, harta bersama dibagi dua (Pasal 128 KUH perdata), dalam hal perkawinan yang kedua kalinya diatur dalam Pasal 181 dan 182 KUH Perdata.

3. Kekuasaan orang tua juga terhenti, untuk anak di bawah umur terserah kepada Pengadilan, siapa yang akan ditunjuk menjadi wali (Pasal 229 ayat 1 KUH Perdata). Kewajiban memberi nafkahpun akan terhenti kecuali apa yang diatur dalam Pasal 225 KUH Perdata.

Pasal 225 KUH Perdata mengatur mengenai ketidakmampuan salah satu pihak dari orang tua yang bercerai yang ditunjuk untuk menafkahi anak-anak maka dari pihak yang satu baik si mantan suami atau si mantan isteri diharuskan membayar sebagian tunjangan yang telah ditentukan oleh Pengadilan Negeri untuk membantu pihak yang tidak mampu.

Hubungan antara bekas suami dan bekas isteri tetap ada, apabila pihak yang minta bercerai dan yang dimenangkan oleh Hakim, tidak mempunyai cukup kekayaan


(58)

untuk biaya hidup dalam hal mana pihak yang dikalahkan dapat ditentukan oleh Hakim untuk memberi nafkah kepada pihak yang lain (Pasal 225 KUH Perdata).54

Kepada si isteri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak-anak yang diserahkan pada si isteri itu oleh Hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Permintaan untuk diberikan tunjangan nafkah ini oleh si isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatannya untuk mendapatkan perceraian atau tersendiri. Penetapan jumlah tunjangan oleh Hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami. Apabila keadaan ini tidak memuaskan, suami dapat mengajukan permohonannya supaya penetapan itu oleh Hakim ditinjau kembali.

Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar kesepakatan. Juga diperbolehkan untuk mengubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan Hakim. Jika seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.55

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut UUP ialah :

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

54Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia(Jakarta: Sumur Bandung, 1991) hal.154


(59)

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Dari kedua penjelasan mengenai akibat perceraian menurut KUH Perdata dengan UUP terdapat perbedaan, di dalam KUH Perdata disebutkan akibat dari perceraian menimbulkan perwalian sedangkan di dalam UUP akibat dari perceraian hanya mengatur kewajiban dari orang tua khususnya Bapak terhadap anak.

Jadi melihat dari pengaturan perceraian dalam KUH Perdata maka bagi anak yang orang tuanya bercerai mereka berada di bawah perwalian karena kekuasaan orang tua telah berakhir.

Bagi orang-orang yang takluk pada KUH Perdata, yaitu bagi orang-orang Cina dan Eropa, berlaku Pasal-pasal 229 sampai dengan 230c KUH Perdata, yang pada pokoknya menguasakan kepada Pengadilan Negeri untuk menentukan siapa dari kedua orang tua yang bercerai itu, diwajibkan memelihara anak-anaknya.56

Isi Pasal 229 KUH Perdata :

“Setelah perceraian diperintahkan, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa. Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak, siapakah dari kedua orang tua itu, kecuali sekiranya keduanya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua mereka, harus melakukan perwalian atas anak-anak itu,


(60)

dengan mengindahkan keputusan-keputusan Hakim yang dulu-dulu, dengan mana kiranya pernah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua.

Penetapan ini berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak. Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan bandingan tak boleh dimajukan.

Terhadap Penetapan itu, si bapak atau si ibu yang tidak diangkat menjadi wali, boleh melakukan perlawanan, apabila ia atas panggilan termaksud dalam ayat pertama, telah tidak datang menghadap. Perlawanan itu harus dimajukan dalam waktu tiga puluh hari setelah Penetapan diberitahukan kepadanya.

Si bapak atau si ibu yang setelah datang menghadap atas panggilan tidak dijadikan wali, atau yang perlawanannya telah ditolak, boleh memajukan permintaan banding terhadap penetapan tersebut, dalam waktu tiga puluh hari setelah hari tersebut dalam ayat kedua.

Ayat keempat Pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan kedua orang tua”. Isi Pasal 230 KUH Perdata:

“Berdasar atas hal-hal yang terjadi setelah keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak, Pengadilan Negeri berkuasa mengubah penetapan-penetapan yang diberikan menurut ayat pertama pasal yang lalu, atas permintaan kedua orangtua atau salah seorang mereka dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan kedua orang tua itu, wali pengawas dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa. Penetapan ini boleh dinyatakan, segera dapat dilaksanakan, kendati perlawanan atau banding, dengan atau tanpa ikatan jaminan

Apa yang ditentukan dalam ayat ke lima Pasal 206, berlaku dalam hal ini”. Isi Pasal 230a KUH Perdata :

“Jika kiranya anak-anak yang belum dewasa itu tidak sesungguhnya telah berada dalam kekuasaan seorang, yang menurut Pasal 229 atau 230 diwajibkan melakukan perwalian, atau dalam kekuasaan si suami, si isteri, atau Dewan Perwalian, kepada siapa anak-anak itu dipercayakannya, menurut Pasal 214 ayat kesatu, maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak-anak tersebut.

Ketentuan dalam ayat kedua, ketiga, keempat dan kelima Pasal 319h berlaku dalam hal ini”.

Isi Pasal 230b KUH Perdata :

“Dalam penetapan termaksud dalam ayat kesatu Pasal 229, Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti teratur pula dalam ayat tersebut, dan setelah mendengar Dewan Perwalian, jika kiranya ada kekhawatiran, bahwa si bapak atau si ibu, yang tidak diangkat menjadi wali, tidak akan memberi tunjangan secukupnya guna pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum


(61)

dewasa boleh memerintahkan pula kepada orang tua itu supaya untuk keperluan tersebut tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan atau triwulan memberikan sejumlah uang, yang ditentukan pula dalam penetapan, kepada Dewan Perwalian.

Ketentuan-ketentuan dalam ayat kedua, ketiga, keempat dan kelima Pasal 229 berlaku juga terhadap perintah ini”.

Pengadilan Negeri yang menentukan siapa yang menjadi wali setelah memeriksa keadaan orang tua apakah ada diantara mereka yang telah dipecat dari kekuasaan orang tuanya. Penetapan wali berlaku setelah keluarnya keputusan perceraian yang berkekuatan hukum mutlak. Apabila dari pihak bapak atau Ibu yang tidak diangkat menjadi wali keberatan terhadap hasil penetapan tersebut dapat mengajukan perlawanan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penetapan wali keluar, apabila perlawanannya ditolak dapat mengajukan banding.

Suatu penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh Pengadilan Negeri apabila ada yang mengajukan keberatan namun sebelumnya mendengarkan penjelasan dari kedua orang tua, wali pengawas dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa atau di bawah umur tersebut. Penetapan ini sifatnya harus segera dilaksanakan setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak (Pasal 229 KUH Perdata).

Sebelum putusan dijatuhkan, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan demi kebaikan suami isteri beserta anak-anaknya, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Demikian pula proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri, tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya dan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di halaman sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan :

1. Pengaturan perwalian karena perceraian untuk etnis keturunan Cina di Indonesia Hakim berpedoman kepada Pasal-pasal dalam KUH Perdata tentang perwalian karena di dalam Undang-undang Perkawinan No. I tahun 1974 pengaturan perwalian untuk etnis keturunan Cina belum diatur secara mendetail. Selain menggunakan KUH Perdata Hakim dalam memutuskan permohonan penetapan dalam penelitian ini juga menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Perwalian oleh salah satu orang tua dapat digugurkan atau dibatalkan apabila sebelumnya telah dilakukan pencabutan kekuasaan orang tua oleh Hakim, seperti yang diatur dalam KUH Perdata. Pemecatan Ibu yang diangkat menjadi wali karena adanya perceraian, dilakukan di Pengadilan Negeri tempat dilakukannya tuntutan perceraian sebelumnya.

3. Melihat beberapa dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan Permohonan ini, ada satu dasar pertimbangan yang memberatkan perwalian sang Ibu menjadi gugur yaitu adanya akta di bawah tangan yang dilegalisir dalam bentuk surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa jika sang Ibu bercerai dengan


(2)

suaminya ia tidak akan membawa anak-anaknya, maka dengan dalil logika dari surat pernyataan tersebut dapat menggugurkan penetapan terhadap status sang Ibu untuk menjadi wali asuh anak-anaknya karena dianggap tidak layak menjadi wali dari ketiga anak-anaknya.

B. Saran

1. Diharapkan adanya satu buku peraturan yang mengatur hukum keluarga termasuk di dalamnya antara lain mengenai perkawinan, perceraian, perwalian, pembagian warisan serta prosedur-prosedurnya yang lengkap berlaku secara nasional mengatur untuk semua golongan Warga Negara Indonesia dan untuk setiap agama yang diakui di Indonesia.

2. Diharapkan dalam memilih wali yang kompeten bagi anak-anak dibawah umur Hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang dianggap cakap untuk menjadi seorang wali. Karena wali memiliki peranan sama penting dengan peranan orang tua dalam menumbuh kembangkan perkembangan anak-anak di bawah umur yang bersangkutan ke depannya.

3. Diharapkan Hakim dalam membuat keputusannya tidak hanya berdasakan perundangan (yuridis) yang dapat digunakan tetapi juga melihat dari segi kepentingan dari anak-anak yang bersangkutan (sosiologis) ke depannya nanti. Terutama untuk menjaga hubungan yang harmonis dan tetap seimbang antara pihak-pihak yang bersangkutan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA I. BUKU

Ali, Zainuddin,Metode penelitian Hukum(Jakarta: Sinar Grafika, 2009)

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)

Djamali, Abdul,Psikologi dalam Hukum(Bandung: CV. Armico,1984) Fuady, Munir,Dinamika Teori Hukum(Bogor: Ghalia Indonesia, 2007)

Hadikusuma, H. Hilman, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999)

Harahap, M. Yahya,Hukum Acara Perdata,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008)

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2006)

Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan: CV. Percetakan “Mestika”, 1977)

Kamello, Tan dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang dan Keluarga(Medan: USU Press, 2011)

Kie, Tan Thong, Studi Notariat beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007)

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia, 1977)

Kusumah, Mulyana W., Beberapa Perkembangan dan Masalah dalam Sosiologi Hukum,(Bandung: Penerbit Alumni,1981)

Latif, H.M Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985)


(4)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005)

Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga(Bandung: Nuansa Aulia, 2007)

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)

Paulus, B.P, Kewarganegaraan RI ditinjau dari UUD 1945 Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Cina (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1983)

Poesparodjo, W., Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Pustaka Grafika, 1999)

Prodjodikoro, R.Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Sumur Bandung, 1991)

Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2001)

Rahardiansyah, Trubus dan Endar Pulungan,Pengantar Sosiologi Hukum,(Jakarta: Universitas Trisakti, 2005)

Rahardjo, Satjipto,Hukum dan Perubahan Sosial(Bandung: Alumni, 1979) ---,Ilmu Hukum(Bandung: Alumni, 1982)

Safioedin, Asis, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Wetboek (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990)

Sikumbang, Jusmadi, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010)

Siregar, Mustafa, “Reformasi Moral” di dalam Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia kumpulan Tulisan Memperingati 70 tahun Prof. Abduh, SH. (Medan: USU Press, 2004)


(5)

---, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Soimin, Soedharyo,Hukum Orang dan Keluarga(Jakarta: Sinar Grafika, 2004) Sri dan Edi Swasono, Cara Menulis Daftar Kepustakaan Dan Catatan Kaki Untuk

Karangan Terbitan Ilmiah(Jakarta: UI PRESS, 1984) Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata(Jakarta: Intermasa, 2003)

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Edisi Revisi (Terjemahan Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: PT PRADNYA PARAMITA, 1996)

Sudarsono,Hukum Kekeluargaan Nasional(Jakarta: Pt.RINEKA CIPTA, 1991) ---,Kamus Hukum(Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2007)

Sugeng A.S, Bambang, dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011)

Susilo, Budi,Prosedur Gugatan Cerai(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007)

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek(Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2002)

Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Zainal, Idris, Pandangan falsafah tentang Hukum menurut Roscoe Pound (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1983)

II. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(6)

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan

III. LAIN-LAIN

Bahri, Syamsul dan Syahril Sofyan, Hukum Keluarga dan Harta Benda Perkawinan,Diktat, Universitas Sumatera Utara (Medan: 2010)

Julyana, Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang tua yang dilakukan anak dikala orang tua masih hidup (Putusan MA tanggal 27 Oktober 2004, No. 1187K/ Pdt/ 2000),tesis magister, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010)

Lodewik, Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Cina Oleh Hakim, tesis magister (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011)

Mezak, Meray Hendrik, “Jenis, Metode, dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapanvol. V, No. 3, 2006 Siao Fung, “Dalam Tradisi Cina Ada Tiga Jenis Pengangkatan Anak”,

Cinanews.com,13 Nopember 2011

Ubbe, Ahmad, “Putusan Hakim sebagai “Rekayasa Sosial”dalam Pembinaan Hukum Nasional”, Majalah Hukum NasionalNo.I, 2002


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh)

8 60 128

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris (Study Kasus Putusan MA NO. 303 K/PID/2004)

9 140 135

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN KASASI DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (Putusan MA No. 373 K/Pid/2008)

0 3 16

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG YANG MEMBATALKAN PUTUSAN JUDEX FACTI (Studi Kasus Putusan MA RI No. 1112K/Pid/2001)

0 6 16

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERMOHONAN PAILIT PADA CV. CITRA JAYA Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Permohonan Pailit Pada Cv. Citra Jaya(Studi Kasus Putusan No. 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg).

1 5 19

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERMOHONAN PAILIT PADA CV.CITRA JAYA Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Permohonan Pailit Pada Cv. Citra Jaya(Studi Kasus Putusan No. 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg).

0 2 11

Studi Kasus Putusan MA RI No. 97 PK / PID.SUS / 2012 tentang Permintaan PK Yang Diajukan Oleh Ahli Waris Terpidana Dalam Kondisi Terpidana Yang Masih Hidup Dan Melarikan Diri Alias Buron.

0 1 1

TINJAUAN HUKUM SEORANG NENEK MENJADI WALI ATAS CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH HIDUP DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 1 1

TESIS TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANJURAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan MA No. 481KPid2014)

0 0 15