Tingginya Tindak Pidana Penganiayaan Di Kota Medan Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Di Polresta Medan)

(1)

TINGGINYA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KOTA

MEDAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(Studi di Polresta Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

D

DA

AV

V

ID

I

D

HA

H

AL

LO

OM

MO

OA

A

N.

N

.

P

PA

A

SA

S

AR

RI

IB

BU

U

NIM. 070200454

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINGGINYA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KOTA

MEDAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(Studi di Polresta Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

D

DA

AV

V

ID

I

D

HA

H

AL

LO

OM

MO

OA

A

N.

N

.

P

PA

A

SA

S

AR

RI

IB

BU

U

NIM. 070200454

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum

Pembimbing I

Abul Khair, SH, M.Hum

Pembimbing II

Nurmalawaty, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “TINGGINYA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KOTA

MEDAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi di Polresta Medan)”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis. - Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2011 Penulis

David Halomoan. Pasaribu


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 4

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. TINDAK PIDANA YANG MENONJOL DI POLRESTA MEDAN ... 18

A. Situasi Wilayah Tugas Polresta Medan ... 18

B. Situasi Personil Pada Polresta Medan ... 20

C. Jumlah Sarana di Polresta Medan ... 23

D. Rekapitulasi Kasus Penganiayaan Tahun 2009 dan Januari sampai dengan Desember 2010 ... 25


(6)

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KASUS

PENGANIAYAAN DI POLRESTA MEDAN ... 27

A. Rendahnya Pendidikan ... 27

B. Melonjaknya Angka Pengangguran ... 31

C. Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum dan Peraturan ... 38

D. Kemiskinan ... 57

E. Lingkungan ... 62

F. Lahan ... 64

BAB IV. PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN OLEH APARAT KEPOLISIAN DI POLRESTA MEDAN ... 67

A. Upaya Hukum Preventif ... 67

B. Upaya Hukum Persuasif ... 72

C. Upaya Hukum Represif ... 78

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

TINGGINYA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KOTA MEDAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(Studi di Polresta Medan) Oleh :

D

DAAVVIIDDHH..PPAASSAARRIIBBUU NIM. 070200454

Kepolisian sebagai bagian intgral fungsi pemerintahan negara, ternyata fungsi tersebut memiliki takaran yang begitu luas, tidak sekedar aspek refresif dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana saja, tetapi juga mencakup aspek preventif berupa tugas-tugas yang dilakukan yang begitu melekat pada fungsi utama administrasi negara mulai dari bimbingan dan pengaturan sampai dengan tindakan kepolisian yang bersifat administrasi dan bukan kompetensi pengadilan. Peran kepolisian dalam penelitian ini akan dikaitkan dengan semakin tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan. Esensi kepolisian dalam menindak lanjuti terjadinya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan amat sangat penting khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat daripada tindak pidana penganiayaan itu sendiri.

Pembahasan yang akan dilakukan adalah tentang bagaimana perkembangan tindak pidana penganiayaan di Kota Medan, apa faktor penyebab tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan dan bagaimana upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Aparat kepolisian.

Setelah dilakukan pembahasan maka diketahui perkembangan tindak pidana penganiayaan di Kota Medan semakin tahun semakin meningkat hal ini ditandai dengan jumlah kasus penganiayaan tahun 2009 yang terbesar apabila diperbandingkan dengan penganiayaan ringan, dimana penganiayaan berat crime totalnya sebagnyak 868 kasus sedangkan penganiayaan ringan sebanyak 135 kasus. Demikian juga halnya crime clearance penganiayaan berat sebanyak 427 kasus sedangkan penganiayaan ringan sebanyak 38 kasus. Demikian juga halnya penganiayaan tahun 2010 menunjukkan bahwa penganiayaan berat lebih besar jumlahnya apabila diperbandingkan dengan penganiayaan ringan. Dimana penganiayaan berat dengan jenis crime total sebanyak 112 kasus sedangkan crime clearance sebanyak 99 kasus. Penganiayaan ringan untuk crime total sebanyak 14 kasus dan untuk crime clearance sebanyak 5 kasus. Faktor penyebab tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan adalah karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, permasalahan pengangguran, kemiskinan, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat, lingkungan dan lahan. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Aparat kepolisian adalah melalui tindakan preventif berupa pencegahan dengan jalan razia, upaya hukum persuasif berupa pendekatan kepada masyarakat dan upaya hukum represif berupa penindakan.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai suatu negara hukum bangsa Indonesia mempunyai sistem peradilan dan catur penegak hukum. Namun dalam komponen peradilan yang cukup urgen adalah Kepolisian. Hal ini disebabkan kepolisian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antar satu dengan lainnya, karena merupakan bagian satu sistem yang terintegrasi. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana memerlukan keterikatan dan keterkaitan dengan komponen-komponen lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur secara lebih rinci tentang kedudukan, peranan dan tugas kepolisian negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan proses pidana sebagai penyelidik dan penyidik serta melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dalam KUHAP Pasal 1 butir 1 disebutkan pengertian penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pada dasarnya Kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


(9)

Republik Indonesia dalam Pasal 4 bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia.

Fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbingan masyarakat dalam rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya hukum.

Kepolisian sebagai bagian intgral fungsi pemerintahan negara, ternyata fungsi tersebut memiliki takaran yang begitu luas, tidak sekedar aspek refresif dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana saja, tetapi juga mencakup aspek preventif berupa tugas-tugas yang dilakukan yang begitu melekat pada fungsi utama administrasi negara mulai dari bimbingan dan pengaturan sampai dengan tindakan kepolisian yang bersifat administrasi dan bukan kompetensi pengadilan.

Peran kepolisian dalam penelitian ini akan dikaitkan dengan semakin tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan. Esensi kepolisian dalam menindak lanjuti terjadinya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan amat sangat penting khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat daripada tindak pidana penganiayaan itu sendiri.


(10)

Permasalahan

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan tindak pidana penganiayaan di Kota Medan? 2. Apa faktor penyebab tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan? 3. Bagaimana upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Aparat kepolisian ?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan tindak pidana penganiayaan di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Aparat kepolisian .

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum kepidanaan tentang peran dan tugas kepolisian dan kaitannya dengan penanggulangan penganiayaan.

2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang pelaksanaan penindakan penganiayaan.


(11)

Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tingginya Tindak Pidana Penganiayaan di Kota Medan dan Upaya Penanggulangannya (Studi di Polresta Medan)” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai kepolisian memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi perihal penganiayaan belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum.

2. Pelanggaran pidana.

3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum.1

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang

1 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 32.


(12)

atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.2

Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi

dolus dan culpulate.3

1. Perbuatan yang dilarang.

Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :

Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana.

2. Orang yang melakukan perbuatan dilarang.

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang.

3. Pidana yang diancamkan.

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman

2

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 11.


(13)

yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar undang-undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai hukuman tambahan.4

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan “Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”.5

Oleh karena seperti yang telah diuraikan diatas, ternyata pembentuk Undang-undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenar-nya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit”

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf

baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harafia perkataan “straafbaarfeit”

itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 10

6

Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu

3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 62.

4 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 44. 5 Ibid., hlm. 45.

6


(14)

telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.7

Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.8

Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan umum.9

Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah

Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum.

Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda.

7 Ibid., hlm. 46.

8 EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta, hlm. 102.

9


(15)

perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Menurut ajaran Causalitas (hubungan sebab akibat) di sebutkan pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah , peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa sesuatu sebab.

Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (Nulla poena sine culpa)14.

Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu untuk di pertanggung jawabkan.


(16)

2. Bentuk-Bentuk Penganiayaan

Masalah tindak penganiayaan adalah satu masalah sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak, terdapat kecenderungan perkembangan peningkatan dari bentuk dan jenis tindak penganiayaan tertentu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Berbicara tentang konsep dan pengertian tentang tindak penganiayaan itu sendiri, masih terdapat kesulitan dalam memberikan definisi yang tegas karena masih terdapat keterbatasan pengertian yang disetujui secara umum.

Dalam pengertian legal tindak penganiayaan menurut Sue Titus Reid sebagaimana dikutip Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa adalah :

Suatu aksi atau perbuatan yang didefinifikan secara hukum, kecuali jika unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum kriminal atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan melalui suatu keraguan yang berlasan, bahwa seseorang tidak dapat dibebani tuduhan telah melakukan suatu aksi atau perbuatan yang dapat digolongkan sebagai tindak penganiayaan. Dengan demikian, tindak penganiayaan adalah suatu perbuatan yang disengaja atau suatu bentuk aksi atau perbuatan yang merupakan kelalaian, yang kesemuanya merupakan pelanggaran atas hukum kriminal, yang dilakukan tanpa suatu pembelaan atau dasar kebenaran dan diberi sanski oleh negara sebagai suatu tindak pidana berat atau tindak pelanggaran hukum yang ringan.10

Penganiayaan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan

10


(17)

fisik atau barang orang lain.11

Batasan tindak penganiayaan tidaklah hanya tindakan melanggar hukum atau undang-undang saja, tetapi juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan conduct norms, yaitu tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat walaupun tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam undang-undang.

Dari uraian di atas, tampaklah bahwa batasan dan pengertian tentang tindak penganiayaan yang diberikan adalah meliputi setiap aksi atau perbuatan yang melanggar undang-undang saja, dalam hal ini adalah hukum kriminal atau hukum pidana.

12

Ada kecenderungan pendapat para pakar ilmu sosial bahwa pembatasan studi tentang tindak penganiayaan dan pelaku terhadap seseorang yang dihukum karena melanggar hukum pidana adalah terlalu terbatas. Jika kita tertarik untuk mengetahui mengapa seseorang cenderung bertingkah laku merugikan masyarakat, kita harus keluar dari definisi hukum yang ketat. Kita harus juga memasukkan tingkah laku yang disebut

Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, Mannheim menggunakan istilah morally wrong atau deviant behaviors untuk tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan norma-norma sosial, walaupun belum diatur dalam undang-undang (hukum pidana). Sedangkan istilah legally wrong atau crime untuk menunjuk setiap tindakan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana.

Keterbatasan pengertian atau definisi secara legal tersebut, juga disadari oleh Reid dalam Chazawi dalam uraian-uraian selanjutnya.

11 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 550.

12

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 65.


(18)

penganiayaan tetapi tidak dihukum jika diperbuat.13

Ada pendekatan yang lain yaitu norma-norma tingkah laku yang terbentuk melalui interaksi sosial dalam kelompok. Norma-norma ini didefinisikan secara sosial, berbeda pada setiap kelompok dan tidak perlu dijadikan hukum tertulis. Sellin, dengan demikian lebih suka untuk menunjuk pelanggaran norma tingkah laku sebagai tingkah laku yang abnormal daripada memberikan definisi tindak penganiayaan.

Seorang kriminolog, Thorsten Sellin dalam Chazawi mengatakan :

14

Dalam pasal yang lain juga diterangkan yaitu pada pasal 285 KUH Pidana bahwa “ Barang siapa dengan penganiayaan atau ancaman penganiayaan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam

Terlepas dari belum adanya keseragaman konsep tentang tindak penganiayaan itu sendiri pada dasarnya usaha pendefinisian adalah penting dan harus merupakan usaha yang mendahului studi tentang tindak penganiayaan itu sendiri.

KUH Pidana di dalam pasal-pasalnya tidak ada mengatur secara tegas tentang pengertian penganiayaan.

Perihal pengertian penganiayaan dapat kita lihat secara samar pada pasal 89 KUH Pidana menyatakan bahwa “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan penganiayaan”.

Bunyi pasal 89 KUH Pidana di atas tidak secara jelas apa sebenarnya tindakan-tindakan penganiayaan tersebut atau dengan kata lain apa sebenarnya perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan seseorang tersebut menjadi pingsan dan tidak berdaya tidak ada diterangkan.

13


(19)

karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara apaling lama dua belas tahun “.

Penganiayaan yang dimaksudkan dalam pasal 285 KUH Pidana di atas secara jelas ditentukan perbuatannya sehingga dengan demikian pengertian penganiayaan tersebut tidak menjadi mengambang.15

1. Penganiayaan yang mengakibatkan seseorang menjadi pingsan dan tidak berdaya, serta

Dengan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan dalam bagian ini bahwa jenis-jenis penganiayaan yang diatur di dalam KUH Pidana adalah :

2. Penganiayaan yang dalam hal melakukan perkosaan.16

Apabila kita melihat pasal-pasal yang diuraikan di dalam pasal 351 sampai dengan 355 KUH Pidana adalah pasal-pasal tentang penganiayaan sesuai dengan judul sub babnya yaitu Bab IX Tentang Penganiayaan.

Untuk lebih lanjutnya akan diuraikan pasal 351 sampai dengan pasal 354 KUH Pidana :

Pasal 351. (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 352. (1) kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka

14

Ibid, hlm. 66.

15 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 41.

16 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, hlm. 77.


(20)

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiahlm.

Pidana dapat ditambah sepertigaa bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

(2) percobaab untuk melakukan kejahatan tidak dipidana. Pasal 353. (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 354. (1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Pasal 355. (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih

dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Apabila dilihat isi pasal tentang penganiayaan tersebut dapat juga digolongkan kepada tindakan penganiayaan. Atau dengan kata lain tindakan-tindakan penganiayaan dengan konsekuensi hukuman pidana ditentukan di dalam Pasal 351 s/d 355 KUH Pidana di atas dapat juga diterapkan terhadap tindakan penganiayaan.

Yang menjadi pertanyaan adalah perihal apabila yang menjadi objek penganiayaan tersebut adalah wanita. Wanita sebagaimana diuraikan terdahulu adalah makhluk yang lemah, sehingga sangat riskan sekali sebagai objek dari penganiayaan tersebut.


(21)

Maka apabila dihubungkan dengan pembahasan ini adalah sangat berhubungan sekali apabila telah terjadi peristiwa pidana penganiayaan terhadap wanita maka hukuman maksimal yang diatur di dalam pasal 351 s/d 355 dapat dikenakan terhadap pelaku penganiayan terhadap wanita tersebut.

Metode Penelitian

1. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis data penelitian ini adalah data sekunder Sedangkan sumber data penelitian ini didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai

1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

2. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah meliputi pihak keplisian. Sedangkan sampel penelitian ini adalah 3 orang Polisi.


(22)

3. Cara Memperoleh Data

Untuk memperoleh data penelitian maka dilakukan penelitian secara kepustakaan melalui bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

4. Alat Pengumpulan Data

Banyak alat yang dapat dipakai oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan didalam penelitian ini, yaitu :

1) Studi dokumen atau bahan pustaka

Bahan pustaka dimaksud yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

2) Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap informen dan responden yang telah ditetapkan. Wawancara dimaksud berupa wawancara terarah yang lebih dahulu dipersiapkan pelaksanaannya dengan membuat pedoman wawancara sehingga hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang teliti.

5. Analisis Data

Untuk menganalisis data, digunakan analisis yuridis kualitatif adalah pengkajian hasil olah data yang tidak berbentuk angka yang lebih menekankan analisis hukumnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif dengan menggunakan cara-cara berfikir formal dan argumentatif.17

17

M. Syamsuddin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo Persada, 2007, hal. 133.


(23)

Data yang terkumpul mengenai perumusan suatu Perda akan diolah dengan cara mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum dimaksud, yaitu membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum. Data yang diolah tersebut diinterprestasikan dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan kontruksi hukum yang lazim dalam ilmu hukum dan selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif dalam bentuk penyajian yang bersifat yuridis normatif.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang: Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

BAB II. TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENONJOL DI POLRESTA MEDAN

Bab ini membahas tentang Situasi Wilayah Tugas Polresta Medan, Situasi Personil Pada Polresta Medan, Jumlah Sarana di Polresta Medan, Kasus Penganiayaan Yang Paling Menonjol di Polresta Medan, serta Rekapitulasi Kasus Penganiayaan Tahun 2009 dan Januari s/d Desember 2010.

BAB III. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENGANIAYAAN DI POLRESTA MEDAN


(24)

Bab ini membahas tentang Rendahnya Pendidikan, Melonjaknya Angka Pengangguran, Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum dan Peraturan, Kemiskinan, Lingkungan dan Lahan. BAB IV. PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK PENGANIAYAAN

OLEH APARAT KEPOLISIAN DI POLRESTA MEDAN

Bab ini membahas tentang Upaya Hukum Preventif, Upaya Hukum Persuasif dan Upaya Hukum Represif.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


(25)

BAB II

TINDAK PIDANA YANG MENONJOL DI POLRESTA MEDAN

Situasi Wilayah Tugas Polresta Medan

Polresta Medan memiliki wilayah tugas di Kota Medan dan sebagian kecil wilayah Kabupaten Deli Serdang. Kota Medan adalah merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara, sehingga selain tempat dan kedudukan Polrestas Medan, Kota Medan juga juga tempat dan kedudukan Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Polresta Medan terletak pada koordinat 03.24’ Lintang Utara dan 98 41’ Bujur Timur. Luas daerah Polresta Medan 125,349,28 Ha, meliputi 12 (dua belas) beserta jajarannya sebagai berikut:

1. Polsekta Medan Area dengan luas wilayah 1.409 Ha, meliputi: a. Kecamatan Medan Area

b. Kecamatan Medan Denai.

2. Polsekta Medan Kota dengan luas wilayah 9,345 Ha, meliputi: a. Kecamatan Medan Kota

b. Kecamatan Medan Maimun.

3. Polsekta Medan Timur dengan luas wilayah 1,297 Ha, meliputi: a. Kecamatan Medan Timur.

b. Kecamatan Medan Perjuangan.

4. Polsekta Medan Barat dengan luas wilayah 382 Ha.

5. Polsekta Medan Baru dengan luas wilayah 3,926 Ha, meliputi:


(26)

a. Kecamatan Medan Baru. b. Kecamatan Medan petisah. c. Kecamatan Medan Polonia.

6. Polsekta Medan Helvetia dengan luas wilayah 1.157,25 Ha

7. Polsekta Percut Sei Tuan dengan luas wilayah 18,840 Ha, meliputi: a. Kecamatan Medan Tembung dengan luas daerah 8.110 Ha b. Kecamatan Percut Sei Tuan dengan luas daerah 10.530 Ha.

8. Polsekta Medan Patumbak dengan luas wilayah 6.028,3 Ha, meliputi: a. Kecamatan Medan Amplas dengan luas daerah 1.378,3 Ha.

b. Kecamatan Patumbak dengan luas daerah 4.650 Ha. 9. Polsekta Deli Tua, dengan luas daerah 36,675 Ha, meliputi:

a. Kecamatan Medan Johor. b. Kecamatan Medan Tuntungan. c. Kecamatan Deli Tua.

10.Polsekta Sunggal dengan luas wilayah 12.524.609 Ha, meliputi: a. Kecamatan Medan Sunggal dengan luas daerah 1.329,609 Ha b. Kecamatan Medan Selayang dengan luas daerah 2.379 Ha c. Kecamatan Sunggal dengan luas daerah 8.816 Ha.

11.Polsekta Pancur Batu dengan luas wilayah 29.109,35 Ha, meliputi: a. Kecamatan Pancur Batu dengan luas daerah 11.147,35 Ha b. Kecamatan Sibolangit dengan luas daerah 17.962 Ha. 12.Polsekta Kutalimbaru dengan luas wilayah 17.696 Ha.


(27)

1. Sebelah Utara dengan Selat Malaka.

2. Sebelah Selatan dengan Polres Deli Serdang dan Polres Tanah Karo. 3. Sebelah Timur dengan Polres Deli Serdang dan Selat Malaka. 4. Sebelah Barat dengan Polres Deli Serdang dan Polres Langkat.

Situasi Personil Pada Polresta Medan

Situasi personil pada Polresta Medan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagian Ops, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 3 orang. c. IP sebanyak 7 orang 2. Bagian Ren, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 2 orang. c. IP sebanyak 3 orang. 3. Bagian Sumda, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 3 orang. c. IP sebanyak 7 orang 4. Satuan Binmas, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 4 orang. c. IP sebanyak 5 orang


(28)

5. Satuan Intelkam, yaitu: a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 5 orang. c. IP sebanyak 10 orang. 6. Satuan Lantas, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 5 orang. c. IP sebanyak 10 orang. 7. Satuan Narkoba, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 3 orang. c. IP sebanyak 6 orang 8. Satuan Pam Obvit:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 2 orang. c. IP sebanyak 4 orang 9. Satuan Reskrim, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 9 orang. c. IP sebanyak 14 orang 10.Satuan Sabhara, yaitu:

a. KP sebanyak 1 orang b. AKP sebanyak 4 orang.


(29)

c. IP sebanyak 9 orang 11.Satuan Tahti, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 2 orang 12.Sikeu, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 4 orang 13.Sipropam, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 2 orang 14.Sitipol, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 2 orang 15.Sium, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 2 orang 16.Siwas, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 2 orang 17.SPKT, yaitu:

a. AKP sebanyak 1 orang. b. IP sebanyak 3 orang.


(30)

Jumlah Sarana di Polresta Medan

Sarana-sarana yang terdapat di Polresta Medan meliputi: 1. Ruang bekerja untuk polisi.

2. Ruang pemeriksaan. 3. Ruang tahanan.

4. Ruang pelayanan masyarakat seperti untuk mengambil surat berkelakuan baik,

5. Kendaraan atau Mobil patroli. 6. Ruang pelayanan pelaporan.

7. Tempat menampung kendaraan hasil rasia 8. Tempat penyimpanan barang sitaan. 9. Dan lain-lain.

Kasus Penganiayaan Yang Paling Menonjol di Polresta Medan

Kasus penganiayaan yang paling menojol di Polresta Medan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Penganiayaan atas nama Mei Yong Alias Go Miong.

Mei Yong Alias Go Miong, perempuan, umur 45 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat Jalan Belitung No. 26 Medan atau Jalan Sutrisno Gang C No. 52 D Medan.

Mei Yong Alias Go Miong dituduh melakukan tindak pidana penganiayaan pada tanggal 03 Juli 2010 sekira pukul 19.30 WIB dan pukul


(31)

21.30 WIB di Jalan Belitung No. 26 Medan dengan cara melakukan penganiayaan terhadap korban Lili Juliana secara berulang kali dengan menggunakan satu potong kayu bulat panjang sekira-kira 175 Cm, Sandal dan tangan serta mencekik leher korban sehingga mengakibatkan luka memar pada punggung, leher dan tangan kanan korban.

Tersangka Mei Yong Alias Go Miong dipersangkakan melanggar bunyi Pasal 351 KUHP “Barang siapa yang dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang”.

2. Tindak Pidana Penganiayaan atas nama Ahmad Faisal Alias Lubis.

Ahmad Faisal Alias Lubis, umur 36 Tahun, Lahir di Kota Nopan Tanggal 27 Agustus 1974, Pekerjaan : Wiraswasta, Pendidikan Terakhir: SMA, Kewarganegaraan: Indonesia, Agama Islam, Suku Batak, Jenis kelamin Laki-Laki, Status Menikah, Alamat Jalan Baru Gang Abdul Halim Nur No. 10 Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung.

Diterangkan dalam perkara penganiayaan tersebut telah terjadi antara tersangka Ahmad Faisal Lubis alias Lubis dengan Saudari Masrona Harahap Br. Harahap.

Hasil pemeriksaan menyimpulkan berdasaran keterangan saksi korban dan saksi-saksi serta dengan adanya Vosum maka terhadap tersangka terpenuhi unsur Pasal 351 KUH Pidana perihal penganiayaan.


(32)

Rekapitulasi Kasus Penganiayaan Tahun 2009 dan Januari sampai dengan Desember 2010

Rekapitulasi kasus penganiayaan dari Tahun 2009 dan Tahun 2010 dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel 1

Rekapitulasi Kasus Penganiayaan Tahun 2009 Di Polresta Medan

No. Kelompok Kejahatan Crime Total Crime Clearance

1. Pembunuhan 13 16

2. Penganiayaan Berat 868 427

3. Penganiayaan Ringan 135 38

Sumber : Sat Reskrim Polresta Medan

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya kasus penganiayaan dapat digolongkan kepada penganiayaan berat dan penganiayaan ringan. Tetapi meskipun demikian sekedar sebagai pembanding diuraikan juga kejahatan pembunuhan yang juga didahului dengan penganiayaan, tetapi disebabkan korbannya kehilangan nyawa maka kejahatan tersebut digolongkan kepada kejahatan pembunuhan.

Tabel di atas juga menjelaskan bahwa penganiayaan berat memiliki jumlah kasus yang terbesar apabila diperbandingkan dengan penganiayaan ringan, dimana penganiayaan berat crime totalnya sebagnyak 868 kasus sedangkan penganiayaan ringan sebanyak 135 kasus. Demikian juga halnya crime clearance penganiayaan berat sebanyak 427 kasus sedangkan penganiayaan ringan sebanyak 38 kasus.

Tabel 2

Rekapitulasi Kasus Penganiayaan Tahun 2010 Di Polresta Medan


(33)

No. Kelompok Kejahatan Crime Total Crime Clearance

1. Pembunuhan 1 6

2. Penganiayaan Berat 112 99

3. Penganiayaan Ringan 14 5

Sumber : Sat Reskrim Polresta Medan

Demikian juga halnya penganiayaan tahun 2010 menunjukkan bahwa penganiayaan berat lebih besar jumlahnya apabila diperbandingkan dengan penganiayaan ringan. Dimana penganiayaan berat dengan jenis crime total sebanyak 112 kasus sedangkan crime clearance sebanyak 99 kasus. Penganiayaan ringan untuk crime total sebanyak 14 kasus dan untuk crime clearance sebanyak 5 kasus.


(34)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENGANIAYAAN DI POLRESTA MEDAN

Dalam masalah kriminalitas dan kejahatan, upaya penanggulangan dan pencegahan perlu dilakukan secara terpadu, yaitu antara kebijakan hukum pidana (melalui penanganan oleh aparat keamanan) dan kebijakan non hukum pidana, berupa kebijakan ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, politik, dan lain-lain.

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak bisa dilakukan bila hanya mengandalkan kebijakan hukum pidana saja. Upaya ini tidak akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang begitu kompleks yang terjadi di masyarakat. Adanya sanksi pidana hanya menyelesaikan masalah yang sudah terjadi. Ia tidak dapat menghilangkan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Sanksi pidana hanya berusaha mengatasi akibat dari penyakit, bukan sebagai obat untuk mencegah munculnya penyakit.

Pernyataan yang sering diungkapkan dalam kongres-kongres PBB mengenai kriminalitas dan kejahatan adalah "the prevention of crime and the

treatment of offenders", yaitu : pencegahan kejahatan dan tindakan terhadap

pelaku. Pertama, pencegahan kejahatan dan peradilan pidana jangan dilihat sebagai problem yang terpisah dan ditangani dengan metode yang simplistik dan parsial, tetapi seyogyanya dilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan ditangani dengan kebijakan/tindakan yang luas dan menyeluruh.

Kedua, pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Ketiga, perlunya dibangun kesadaran bahwa penyebab utama dari kejahatan yang sebenarnya ialah adanya ketimpangan sosial, masalah ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan semacamnya.


(35)

Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi tauladan bagi masyarakat dalam mematuhi dan menegakkan hukum.

Kejahatan merupakan produk dari masyarakat, sehingga apabila kesadaran hukum telah tumbuh dimasyarakat, kemudian ditambah dengan adanya upaya strategis melalui kolaborasi antara sarana pidana dan non pidana, maka dengan sendiri tingkat kriminalitas akan turun, sehingga tujuan akhir politik kriminal, yaitu upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan terwujud.

Strategi pencegahan kejahatan yang paling efektif adalah kebersamaan masyarakat dengan polisidalam melakukan pencegahan kejahatan sekecil apapun ditengah masyarakat. Keberhasilan tugas polisi sangat tergantung pada hubungan yang positif antara masyarakat dengan polisinya. Sebagaimana dinyatakan oleh G. Richards bahwa : “Prevention and detection of crime are

basic function of the police and successful prevention and detection of crime depend most on a productive relationship between the community and the

police”. 18

18

Publikasi, “Membangun Budaya Hukum Masyarakat Untuk Cegah Kejahatan”,


(36)

Keberadaan Pos Polisi yang saat ini sedang dikembangkan di Medan harus dilihat sebagai bagian dari warga setempat dan bukan sebagai polisi yang dipanggil untuk menangani situasi darurat. Tugas Pos Polisi justru untuk membuat warga tidak memerlukan bantuan petugas Polisi dari luar. Pos Polisi harus dilihat sebagai dokter umum dalam pemolisian. Pos Polisi berkonsentrasi melakukan konsultasi dengan warga yang menghadapi masalah dan membantu warga setelah kejahatan ditangani. Pos Polisi seharusnya tinggal dan berkantor di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya sehingga warga dapat menemuinya dengan mudah. Dengan demikian, keharmonisan akan tercipta dan secara otomatis tingkat kejahatan di lingkungan kita akan jauh berkurang. Semoga.

Rendahnya Pendidikan

Rendahnya pendidikan digolongkan sebagai faktor penyebab terjadinya kasus penganiayaan di Polresta Medan, adalah karena dengan tanpa adanya pendidikan maka seseorang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum seperti penganiayaan sedemikian saja melakukan perbuatannya tanpa pernah dipikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu.

Dengan rendahnya pendidikan maka seseorang tidak memiliki penalaran ke depan tentang akibat perbuatannya seperti melakukan penganiayaan, sehingga banyak kasus-kasus penganiayaan yang terjadi di lingkungan Polresta Medan akibat dari rendahnya pendidikan. Pelaku penganiayaan di Kota Medan rata-rata memiliki pendidikan tamat SD atau tidak tamat SMP. Kondisi ini menggambarkan bahwa pelaku penganiayaan lebih banyak didominasi oleh faktor pendidikan yang rendah.

Berbicara tentang pendidikan semua pasti sudah tahu bahwa betapa pentingnya hal tersebut. Pendidikan, kemampuan, pengetahuan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk hidup di zaman yang serba sulit ini. Dikatakan demikian karena dengan pendidikan seseorang dapat mengajukan surat lamaran perkerjaan. Dengan pendidikan seseorang akan mengetahui apa yang dibutuhkan ketika ingin memulai suatu bisnis atau usaha.


(37)

Di dalam bangku pendidikan banyak sekali hal yang didapatkan.Tetapi entah mengapa banyak sekali warga di Indonesia ini yang tidak mengenyam bangku pendidikan sebagaimana mestinya, khususnya di daerah-daerah terpencil di sekitar wilayah Indonesia ini. Mungkin karena memang mereka mempunyai jalan pikiran yang sempit atau mungkin juga karena otak mereka tidak mampu untuk mengikuti pelajaran di bangku pendidikan tersebut. Jadi faktor ekonomi bukan penyebab utamanya.

Melonjaknya Angka Pengangguran

Apakah maraknya kejahatan seperti penganiayaan terkait dengan jumlah pengangguran. Kriminolog asal Malang Reinekso Kartono mengungkapkan, kejahatan termasuk penganiayaan adalah anak dari sebuah kemiskinan dan kemiskinan adalah saudara dari pengangguran.19

19 Sindo, “Kejahatan Berbanding Lurus Pengangguran”, Dari perkataan tersebut, dia menjabarkan bahwa jumlah kejahatan akan berbanding lurus dengan jumlah kemiskinan.Semakin banyak masyarakat miskin di suatu tempat, maka kejahatan yang terjadi juga tinggi, tandasnya. Kejahatan lebih sering terjadi akibat desakan ekonomi, khususnya pada kejahatan penganiayaan. Masyarakat yang sudah terdesak secara ekonomi akan nekat melakukan berbagai tindakan guna memenuhi kebutuhan mereka. Mereka lebih cenderung melakukan kejahatan terlebih lagi jika pilihan lain semakin kecil.

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan

ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah

pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama.


(38)

Pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau tidak bekerja secara optimal. Berdasarkan pengertian diatas, maka pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

1. Pengangguran Terselubung (Disguissed Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.

2. Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

3. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.20

Macam-macam pengangguran berdasarkan penyebab terjadinya dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu:21

a. Pengangguran konjungtural (Cycle Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.

b. Pengangguran struktural (Struktural Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi

20 Djojohadimusumo, Sumitro, Indonesia Dalam perkembangan Dunia : Kini dan Masa Datang, Jakarta: LP3ES, 2005, hal. 71.

21

Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi terjemahan oleh D. Guritno, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 81.


(39)

dalam jangka panjang. Pengangguran struktuiral bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, seperti :

Akibat permintaan berkurang

Akibat kemajuan dan pengguanaan teknologi Akibat kebijakan pemerintah

c. Pengangguran friksional (Frictional Unemployment) adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja. Pengangguran ini sering disebut pengangguran sukarela.

d. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang muncul akibat pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

e. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin

f. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian (karena terjadi resesi). Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (aggrerat demand).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran adalah sebagai berikut:22

1. Besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja

22


(40)

Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi.

2. Struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang

3. Kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang

Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.

4. Meningkatnya peranan dan aspirasi Angkatan Kerja Wanita dalam seluruh struktur Angkatan Kerja Indonesia

5. Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Kerja antar daerah tidak seimbang Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.


(41)

Untuk mengetahui dampak pengganguran terhadap perekonomian kita perlu mengelompokkan pengaruh pengganguran terhadap dua aspek ekonomi , yaitu:23

a. Dampak Pengangguran terhadap Perekonomian suatu Negara

Tujuan akhir pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan dalam keadaan naik terus.

Jika tingkat pengangguran di suatu negara relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang telah dicita-citakan.

Hal ini terjadi karena pengganguran berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian, seperti yang dijelaskan di bawah ini:

 Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya). Oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.

 Pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional yang berasal dari sector pajak berkurang. Hal ini terjadi karena pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian menurun sehingga

23 Ibid, hal. 103.


(42)

pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian, pajak yang harus dibayar dari masyarakat pun akan menurun. Jika penerimaan pajak menurun, dana untuk kegiatan ekonomi pemerintah juga akan berkurang sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun.

 Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Adanya pengangguran akan menye-babkan daya beli masyarakat akan berkurang sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan Investor (pengusaha) untuk melakukan perluasan atau pendirian industri baru. Dengan demikian tingkat investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomipun tidak akan terpacu.

b. Dampak pengangguran terhadap Individu yang Mengalaminya dan Masyarakat

Berikut ini merupakan dampak negatif pengangguran terhadap individu yang mengalaminya dan terhadap masyarakat pada umumnya:

 Pengangguran dapat menghilangkan mata pencaharian

 Pengangguran dapat menghilangkan ketrampilan

 Pengangguran akan menimbulkan ketidakstabilan sosial politik. Adanya bermacam-macam pengangguran membutuhkan cara-cara mengatasinya yang disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sebagai berikut: 24

24


(43)

 Cara Mengatasi Pengangguran Struktural

Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang digunakan adalah : 1. Peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja

2. Segera memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sector yang kelebihan ke tempat dan sector ekonomi yang kekurangan

3. Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi formasi kesempatan (lowongan) kerja yang kosong, dan

4. Segera mendirikan industri padat karya di wilayah yang mengalami pengangguran.

 Cara Mengatasi Pengangguran Friksional

Untuk mengatasi pengangguran secara umum antara lain dapat digunakan cara-cara sbb:

1. Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat padat karya

2. Deregulasi dan Debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru

3. Menggalakkan pengembangan sector Informal, seperti home indiustri 4. Menggalakkan program transmigrasi untuk me-nyerap tenaga kerja di

sector agraris dan sector formal lainnya

5. Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, PLTU, PLTA, dan lain-lain


(44)

sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun untuk merangsang investasi baru dari kalangan swasta.

 Cara Mengatasi Pengangguran Musiman.

Jenis pengangguran ini bisa diatasi dengan cara :

1. Pemberian informasi yang cepat jika ada lowongan kerja di sektor lain, dan

2. Melakukan pelatihan di bidang keterampilan lain untuk memanfaatkan waktu ketika menunggu musim tertentu.

 Cara mengatasi Pengangguran Siklus

Untuk mengatasi pengangguran jenis ini adalah :

1. Mengarahkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, dan 2. Meningkatkan daya beli Masyarakat.

Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum dan Peraturan Kalau berbicara tentang peningkatan kesadaran hukum masyarakat, maka akan timbul pertanyaan: Apakah kesadaran hukum masyarakat sudah sedemikian merosotnya, sehingga perlu ditingkatkan dan bagaimana cara meningkatkannya. Apa yang dapat kita konstatasi mengenai kesadaran hukum ini di dalam masyarakat” Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesadaran hukum.


(45)

Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali. Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum. Bahkan Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum. Menurut pendapatnya maka yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, maka undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat. Hal ini masih memerlukan kritik. Perlu kiranya diketahui bahwa Krabbe dan juga Kranenburg termasuk mereka yang mengembangkan teori tentang kesadaran hukum.25

Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu

merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua

Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak

seyogyanya dilakukan. (Scholten, 1954: 166) .

25 Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Kertas kerja dalam rangka kerja sama Kampanye Penegakan Hukum antara Fakultas Hukum UGM dengan Kejaksaan Agung RI tahun 1978, hal. 11.


(46)

kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan

dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah.

Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan “Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah


(47)

Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa timbulnya hukum itu pada hakekatnya ialah karena terjadinya bentrok atau konfik antara kepentingan manusia atau “conflict of human interest”26

Jadi kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau saya tidak suka tetangga saya berbuat gaduh di malam hari dengan membunyikan radionya keras-keras, maka saya tidak boleh berbuat demikian juga. Tepo sliro berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain.

Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan

menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig).

26 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, 1975, hal. 35


(48)

Penyalah gunaan hak atau abus de droit seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi dengan knalpot yang dibuat sedemikian sehingga mengeluarkan bunyi yang keras sehingga memekakan telinga jelas bertentangan dengan sikap tepo sliro.

Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-undang saja, tidak berarti kewajiban untuk taat kepada undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu

peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen).

Memang keadaan akan kewajiban hukum itu merupakan salah satu faktor untuk timbulnya hukum kebiasaan. Faktor lain untuk timbulya hukum kebiasaan ialah terjadinya sesuatu yang ajeg. Akan tetapi kesadaran akan kewajiban hukum tidak perlu menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa secara berulang. Suatu peristiwa cukup terjadi sekali saja untuk dapat


(49)

cukup menyebabkan timbulnya kesadaran bahwa peristiwa atau perbuatan itu seyogyanya terjadi atau dilakukan.

Pada hakekatnya kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan yang hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi poliitik dan sebagainya Sebagai pandangan hidup didalam masyarakat maka tidak bersifat perorangan atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante dari kesadaran hukum yang bersifat subjektif.

Di muka telah diketengahkan bahwa ratio adanya hukum itu adalah “conflict of human interest”. Hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak ada.(onrecht) atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berlangsung dengan tertib (bukankah tujuan hukum itu ketertiban?), maka tidak akan ada orang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran, sengketa, bentrokan atau “conflict of human interest”, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang benar dan sebagainya.

Dengan demikian pula kiranya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum pada hakekatnya bukanlah kesadaran akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum” atau “onrecht”. Memang kenyataannya ialah bahwa tentang kesadaran hukum itu baru


(50)

dipersoalkan atau ramai dibicarakan dan dihebohkan di dalam surat kabar kalau justru kesadaran hukum itu merosot atau tidak ada, kalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum: pemalsuan ijazah, pembunuhan, korupsi, pungli,

penodongan dan sebagainya.

Sesuai dengan apa yang telah dikemukan di atas, bahwa kesadaran hukum pada hakekatnya adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum” atau “onrecht”, maka marilah kita lihat apakah di dalam masyarakat sekarang ini banyak terjadi hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dinilai sebagai “tidak hukum” atau “onrecht”.

Akhir-akhir ini banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum. Kalau kita mengikuti berita-berita dalam surat kabar-surat kabar, maka boleh

dikatakan tidak ada satu hari lewat di mana tidak dimuat berita tentang terjadinya pelanggaran hukum, baik yang berupa pelanggaran-pelanggaran, kejahatan-kejahatan, maupun yang berupa perbuatan melawan hukum, ingkar janji atau penyalah gunaan hak. Berita-beria tenang penipuan, penjambretan penodongan pembunuhan, tabrak lari dan sebagainya setiap hari dapat kita baca di dalam surat kabar-surat kabar. Yang menyedihkan ialah bahwa tidak sedikit dari orang-orang yang tahu hukum melakukannya, baik ia petugas penegak hukum atau bukan.

Memang kriminalitas dewasa ini meningkat. Hal ini diakui juga oleh pihak kepolisian. Yang mencemaskan ialah bahwa meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas atau volume saja, tetapi juga dalam kualitas atau


(51)

intensitas. Kejahatan-kejahatan lebih terorganisir, lebih sadis serta di luar peri kemanusiaan: perampokan-perampokan yang dilakukan secara kejam terrhadap korban-korbannya tanpa membedakan apakah mereka anak-anak atau

perempuan, pembunuhan-pembunuhan dengan memotong-motong tubuh korban. Rasanya tidak mau percaya kalau mengingat bahwa bangsa Indonesia itu terkenal sebagai bangsa yang halus dan perasa serta cukup besar tepo selironya.

Tentang korupsi yang kata orang sudah ”membudaya” di Indonesia dan suap tidak terbilang banyaknya. Yang terakhir ini rupa-rupanya sudah

”membudaya” juga, sehingga orang mengikuti saja apa yang dilakukan oleh orang lain asal tercapai tujuannya. Setiap orang selalu ingin tujuannya tercapai Melihat orang lain melakukan penyuapan untuk mencapai tujuannya, takut kalau-kalau keinginannya tidak tercapai maka ia tepaksa melakukan penyuapan juga. Karena sudah terbiasa menerima suap maka si pejabat selalu akan

mengharapkan. Dalam hal ini tidak jarang terjadi konflik antara tujuan yang harus dicapainya dengan hati nurani. Bentuk lain dari suap yang lebih kasar sifatnya adalah pungli atau pungutan liar yang banyak kita baca di dalam surat kabar dan dikecam sebagai perbuatan yang tercela.

Kita konstatasi juga bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat. Boleh dikatakan setiap hari terjadi kecelakaan lalu lintas. Sesungguhnya meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas tidak perlu terjadi seperti keadaan sekarang ini. Memang benar jumlah kendaraan bermotor meningkat, tetapi


(52)

apabila para pemakai jalan raya terutama para pengendara kendaraan bermotor mentaati peraturan lalu lintas dan para petugas ketat mengawasinya serta

sikapnya tegas dan konsekuen menghadapi pelanggaran-pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas tidak perlu terjadi seperti sekarang ini. Mengabaikan rambu-rambu lalu lintas terjadi setiap hari. Kendaraan umum dan terutama kendaraan bermotor beroda 2 sering membuat kesal dan gelisah pemakai jalan lainnya: kecuali dengan suara knalpot yang mempekakan telinga juga dengan cara mengendarai kendaraannya sehingga membahayakan lalu lintas. Pendek kata kesopanan lalu lintas diabaikan. Bukan hanya itu saja, tangggung jawab para pengendara kendaraan bermotor dapat dikatakan pada umumnya menurun: betapa banyaknya peristiwa tabrak lari. Ini berarti sikap yang tidak toleran dan melanggar kewajiban hukum, kewajiban untuk bersikap dan bertindak berhati-hati di dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Untuk sekedar memberi perbandingan dengan keadaan di zaman pendudukan Jepang: sekalipun pada waktu itu belum banyak kendaraan sepeda motor seperti sekarang, orang naik sepeda di malam hari pada umumnya menggunakan upet yang dinyalakan sebagai pengganti lampu penerangan karena lampu sepeda seperti yang banyak dijual sekarang tidak terdapat, sedangkan miyak

tanahanpun sukar didapat juga. Fungsi upet ini adalah sebagai tanda bahwa ada orang mengendarai sepeda dan agar jangan sampai terjadi tabrakan. Ini

menunjukkan adanya kesadaran akan kewajiban hukum, adanya toleransi dan sikap berhati-hati terhadap orang lain di dalam masyarakat. Sekarang banyak pengendara sepeda yang tidak memakai penerangan jalan di malam hari,


(53)

jangankan pengendara sepeda, kendaraan bermotorpun tidak sedikit yang berjalan tanpa lampu di malam hari. Sangat disesalkan bahwa terhadap hal-hal tersebut tidak ada tindakan-tindakan yang tegas dari yang berwajib.

Di samping pelanggaran-pelanggaran peraturan hukum terjadi banyak penyalahgunaan hak atau wewenang. Menggunakan haknya secara berlebihan sehingga merugikan orang lain berarti menyalahgunaan hak. Komersialisasi jabatan misalnya pada hakekatnya merupakan penyalahgunaan hak.

Penyalahgunaan hak banyak dilakukan oleh golongan tertentu atau pejabat-pejabat yang merasa boleh berbuat dan dimungkinkan dapat berbuat semaunya sendiri karena kedudukan atau jabatannya.

Dari segi pelaksanaan hukum (law enforcement) dapat dkatakan tidak ada ketegasan sikap dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum. Banyak pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak diusut. Tidak sedikit pengaduan-pengaduan dan laporan-laporan dari masyarakat tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan kepada yang berwajib tidak ditanggapi atau dilayani. Banyak pegawai pengusut yang tidak wenang mendeponir

perkara membiarkan perkara tidak diusut, sedangkan perkara perdata yang bukan wewenangnya diurusinya.

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas hampir setiap hari kita baca di dalam surat kabar. Boleh dikatakan tidak ada berita di dalam surat kabar mengenai suatu daerah yang keadaannya serba teratur tidak ada pelanggaran, tidak ada kejahatan dan tidak pula ada sengketa. Tidak ada surat kabar yang


(54)

memberitakan tentang suatu daerah yag oleh kidalang lazimnya digambarkan sebagai ”Panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja”.Kalau adapun maka selalu dihubungkan atau dibandingkan dengan tempat lain atau kedaan sebelumnya yang lebih buruk. Jadi bukan semata-mata hendak memberitahukan yang ”hukum”, tetapi yang menjadi ukuran adalah yang ”tidak hukum” (”onrecht”).

Ditinjau dari segi journalistik memang sensasilah yang dicari dalam pemberitaan, karena sensasi menarik perhatian para pembaca dan berita tentang pelanggaran dan peradilan selalu menarik perhatian.

Ditinjau dari segi hukum, maka makin banyaknya pemberitaan tentang pelanggaran hukum, kejahatan atau kebatilan berarti kesadaran akan makin banyak terjadinya ”onrecht”. Dengan makin banyaknya pelanggaran hukum makin berkurangnya toleransi dan sikap berhati-hati di dalam masyarakat, penyalahgunaan hak dan sebagainya dapatlah dikatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat dewasa ini menurun, yang mau tidak mau mengakibatkan merosotnya kewibawaan pemerintah juga. Menurunnya kesadaran hukum dalam hal ini berarti belum cukup tinggi. Kesadaran hukum yang rendah

cenderung pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi ketaatan hukumnya.

Untuk dapat mengambil langkah-langkah guna mengatasi menurunnya kesadaran hukum masyarakat, perlu kiranya diketahui apakah kiranya yang dapat menjadi sebab-sebabnya.


(55)

Menurunnya kesadaran hukum masyarakat itu merupakan gejala

perubahan di dalam masyarakat: perubahan sosial. Salah satu sebab perubahan sosial menurut Arnold M Rose adalah kontak atau konflik antar kebudayaan. Besarnya arus pariwisatawan yang mengalir ke Indonesia tidak sedikit pengaruhnya dalam merangsang perubahan-perubahan sosial. Pengaruh film terutama film luar negeri serta televisi, majalah atau bacaan-bacaan lainnya dengan adegan-adegan atau cerita-cerita yang sadistis tidak berperikemanusiaan atau asusila mempunyai peran penting dalam membantu menurunkan kesadaran hukum masyarakat.27

27

Ibid, hal. 35.

Kurang tegas dan konsekuensinya para petugas penegak hukum

terutama polisi, jaksa dan hakim dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum pada umumnya merupakan peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan. Tidak adanya atau kurangnya pengawasan pada petugas penegak hukum merupakan perangsang menurunnya kesadaran hukum masyarakat.

Adanya golongan, pejabat-pejabat dan pemimpin-pemimpin tertentu yang seakan-akan kebal terhadap hukum karena mereka berbuat dan ”dapat” berbuat semaunya, menimbulkan kesadaran kepada kita bahwa tidak

demikianlah seyogyanya. Sistem pendidikan kita kiranya kurang menaruh perhatiannya dalam menanamkan pengertian tentang kesadaran hukum.


(56)

Mengingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, maka menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak melihat atau menyadari lagi bahwa hukum melindungi kepentingannya.

Soerjono Soekanto menambahkan bahwa menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan juga karena para pejabat kurang menyadari akan kewajibannya untuk memelihara hukum dan kurangnya pengertian akan tujuannya serta fungsinya dalam pembangunan.

Tindakan atau cara apakah yang sekirarnya efektif untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat? Tindakan drastis dengan misalnya memperberat ancaman hukum atau dengan lebih mengetatkan penataan ketaatan warga

negara terhadap undang-undang saja, yang hanya bersifat insidentil dan kejutan, kiranya bukanlah merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan

kesadaran hukum masyarakat. Mungkin untuk beberapa waktu lamanya akan tampak atau terasa adanya penertiban tetapi kesadaran hukum masyarakat tidak dapat dipaksakan dan tidak mungkin diciptakan dengan tindakan yang drastis yang bersifat insidentil saja.

Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa ini, yang menjadi tujuan kita pada hakekatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat saja, tetapi membina kesadaran hukum masyarakat.

Seperti yang telah diketengahkan di muka maka kesadaran hukum erat hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan.


(57)

Kebudayaan merupakan suatu ”blueprint of behaviour” yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai. Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti

menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan.

Pendidikan tidaklah merupakan suatu tindakan yang ”einmalig” atau insidentil sifatnya, tetapi merupakan suatu kegiatan yang kontinyu dan intensif dan terutama dalam hal pendidikan kesadaran hukum ini akan memakan waktu yang lama. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dengan pendidikan yang intensif hasil peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum baru dapat kita lihat hasilnya yang memuaskan sekurang-kurangnya 18 atau 19 tahun lagi. Ini bukan suatu hal yang harus kita hadapi dengan pesimisme, tetapi harus kita sambut dengan tekad yang bulat untuk mensukseskannya. Dengan pendidikan sasarannya akan lebih kena secara intensif daripada cara lain yang bersifat drastis.

Pendidikan yang dimaksud di sini bukan semata-mata pendidikan formal disekolah-sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, tetapi juga pendidikan non formal di luar sekolah kepada masyarakat luas.


(58)

Yang harus ditanamkan baik dalam pendidikan formal maupun non formal ialah pada pokoknya tentang bagaimana menjadi masyarakat Indonesia yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang warga negara Indonesia. Setiap warga negara harus tahu tentang undang-undang yang berlaku di negara kita. Tidak tahu undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf : ignorantia legis excusat neminem. Asas ini yang lebih dikenal dengan kata-kata bahasa Belanda dengan ”iedereen wordt geacht de wet te kennen” berlaku di Indonesia harus ditanamkan dalam pendidikan tentang kesadaran hukum. Ini tidak hanya berarti mengenal undang-undang saja, tetapi mentaatinya, melaksanakannya, menegakkannya, dan mempertahankannya. Lebih lanjut ini berarti

menanamkan pengertian bahwa di dalam pergaulan hidup kita tidak boleh melanggar hukum serta kewajiban hukum, tidak boleh berbuat merugikan orang lain dan harus bertindak berhati-hati di dalam masyarakat terhadap orang lain. Suatu pengertian yang pada hakekatnya sangat sederhana, tidak ”bombastis”, mudah dipahami dan diterima setiap orang. Sesuatu yang mudah dipahami dan diterima pada umumnya mudah pula untuk menyadarkan dan mengamalkannya.

Di Taman Kanak-kanak sudah tentu tidak mungkin ditanamkan pengertian-pengertian abstrak tentang hukum atau disuruh menghafalkan undang-undang. Yang harus ditanamkan kepada murid Taman Kanak-kanak ialah bagaimana berbuat baik terhadap teman sekelas atau orang lain,

bagaimana mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekolah. Maka perlu kiranya di sekolah dipasang tanda larangan (verbodstekens) atau


(59)

tanda-tanda perkenan (gebodstekens) berupa poster atau tanda-tanda-tanda-tanda bergambar lainnya yang menarik dan ibu guru harus mengadakan pengawasan serta menindak pelanggarnya dengan memberi ”hukuman”. Suatu taman mini lalu lintas pada tiap-tiap sekolah Taman Kanak-kanak akan membantu memupuk kesadaran hukum pada anak-anak. Yang penting dalam pendidikan di Taman Kanak-kanak ialah menanamkan pada anak-anak pengertian bahwa setiap orang harus berbuat baik dan bahwa larangan-larangan tidak boleh dilanggar dan si pelanggar pasti menerima akibatnya.

Di SD, SLTP dan SLTA hal tersebut di atas perlu ditanamkan lebih intensif lagi: hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasal-pasal yang penting dari KUHP, bagaimana cara memperoleh perlindungan hukum. Perlu diadakan peraturan-peraturan sekolah. Setiap pelanggar harus ditindak. Untuk itu dan juga untuk menanamkan ”sense of justice” pada murid-murid perlu dibentuk suatu ”dewan murid” dengan pengawasan guru yang akan mengadili pelanggar-pelanggar terhadap peraturan sekolah. Di samping buku pelajaran yang berhubungan dengan kesadaran hukum perlu diterbitkan juga buku-buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang heroik.

Secara periodik perlu diadakan kampanye dalam bentuk pekan (pekan kesadaran hukum, pekan lalu lintas dan sebagainya) yang diisi dengan

perlombaan-perlombaan (lomba mengarang, lomba membuat motto yang ada hubungannya dengan kesadaran hukum), pemilihan warga negara teladan


(60)

terutama dihubungkan dengan ketaatan mematuhi peraturan-peraturan, pameran dan sebagainya.

Di Perguruan-perguruan Tinggi harus diberi pelajaran Pengantar Ilmu Hukum, yang disesuaikan dengan kebutuhan: PIH yang diberikan di Fakultas Teknik misalnya harus berbeda dengan yang diberikan di Fakultas Ekonomi atau Fakultas Hukum. Dalam memberi Pengantar Ilmu Hukum di semua Perguruan Tinggi hendaknya diketengahkan ”probleem situas”i yang konkrit dengan mengetengahkan ”res cottidianae” (= peristiwa sehari-hari), yaitu persoalan-persoalan yang terjadi setiap hari yang dimuat di dalam surat kabar terutama yang berhubungan dengan kesadaran hukum. Pada Fakultas-fakultas hukum hendaknya dibentuk seksi atau jurusan peradilan yang khusus mendidik para calon hakim, jaksa dan pengacara. Kecuali itu Fakultas Hukum ditugaskan pula untuk memberi penataran kepada para petugas penegak hukum. Perguruan Tinggi khususnya Fakultas Hukum mempunyi peranan penting dalam hal meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Menarik sekali pendapat Achmad Sanusi yang mengatakan bahwa Perguran Tinggi menghasilkan orang-orang yang diasumsikan mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.

Pendidikan non formal ditujukan kepada masyarakat luas meliputi segala lapisan di dalam masyarakat. Pendidikan non formal ini dilakukan dengan peyuluhan atau penerangan, kampanye serta pameran.

Penyuluhan atau penerangan dapat dilakukan melalui segala bentuk mass media: televsii, radio, majalah, surat kabar dan sebagainya. Bahan bacaan,


(61)

terutama ceritera bergambar atau strip yang bersifat heroik akan sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Buku pengangan (vademecum, handboek) yang berisi tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasa-pasal yang penting dalam KUHP, bagaimana caranya memperoleh perlindungan hukum perlu diterbitkan. Dalam buku ini harus ditanamkan rasa ”demuwe” dan ”sense of belonging”, yaitu agar merasa dan menyadari sebagai bangsa yang merdeka dan mempunyai negara yang merdeka pula. Buku

vademecum untuk umum ini hendaknya ditulis secara populer dan sebaiknya dalam bentuk tanya jawab, seperti misalnya buku ”the USA answers questions, a guide to understanding” diterbitkan oleh Kenneth E. Beer atau ”Our Ameican Government the answers to one thousand and one questions” ditulis oleh Wright Patman seorang anggota Kongres.

Di tempat yang banyak dikunjugi oleh orang, seperti pasar, alun-alun, restoran, stasiun, terminal, stasiun udara, bioskop dan juga di perempatan-perempatan atau sepanjang jalan raya atau pada kendaraan-kendaraan umum dipasang atau ditempelkan poster-poster atau spandoek dengan motto yang berhubungan dengan kesadaran hukum.

Penyuluhan atau penerangan dapat dilakukan juga dengan ceramah yang diadakan di kecamatan-kecamatan atau di tempat tempat lain kepada golongan-golongan tertentu, misalnya para pemegang SIM, para pedagang, para


(62)

narapidana dan sebagainya. Ceramah-ceramah ini harus diadakan secara sistematis dan periodik.

Di Amerika Serikat, suatu negara yang sudah maju, dikenal adanya ”Law Day” untuk membina kesadaran hukum masyarakat. Maka kiranya tidak berlebihan kalau kita mengadakan kampanye peningkatan kesadaran hukum masyarakat secara ajeg yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang disusun dan direncanakan secara ”planmatig” (terrencana), seperti ceramah-ceramah, pelbagai macam perlombaan, pemilihan warga negara teladan, pameran dan sebagainya. Suatu pameran mempunyai fungsi yang informatif edukatif. Maka tidak dapat disangkal peranannya yang positif dalam meningkatkan dan

membina kesadaran hukum masyarakat. Tersedianya buku vademecum seperti yang telah diketengahkan di muka, brohure serta leaflets di samping

diperlihatkan film, slide dan sebagainya yang merupakan visualisasi kesadaran hukum akan mempunyai daya tarik yang besar.

Adanya hukum itu adalah untuk ditaati, dilaksanakan atau ditegakkan. Pelaksanaan hukum atau law enforcement oleh petugas penegak hukum yang tegas, konsekuen, penuh dedikasi dan tanggung jawab akan membantu

meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Tidak atau kurang adanya sikap yang tegas dan konsekuen dari para petugas penegak hukum, kurangnya dedikasi dan tanggung jawab akan minmbulkan sikap acuh ta’ acuh dari


(1)

kedamaian bathin. Selain kelima ciri utama tersebut, whitehead juga menyebutkan beberapa hal sbb: a) sikap penghargaan pada individu; b) sikap toleran pada sesama warga masyarakat; c) lebih berperannya persuasi akal daripada kekuatan fisik dalam menyelesaikan masalah; d) terjaminnya pendidikaan bagi para warganya. Untuk mencapai apa yang dikemukakan oleh Whitehead maka, menurut hemat penulis, pembentukan struktur sosial yang adil dan beradab harus kembali pada sumber nilai-nilai otoritas yang sebenarnya ada dalam masyarakat itu sendiri namun belum tergali.35

35 Ibid, hal. 58.

Sumber nilai dimaksud terdiri dari: dimensi relasi manusia dengan Tuhan sebagai sumber otoritas tertinggi (nilai-nilai religius), dimensi interaksi manusia dengan sesamanya, dimensi hubungan manusia dengan dirinya sendiri lewat perenungan-perenungan, dan dimensi hubungan manusia dengan lingkungannya.

Oleh karena itu, pembentukan struktur peradaban berangkat dari dua segi. Pertama, komitmen moral individu-individu untuk memberi sumbangsih nilai-nilai dalam rangka pembentukan suatu sistem nilai milik bersama. Kedua, membenahi struktur masyarakat dan pemerintahan dengan mengupayakan terbentuknya struktur yang dengan tegas membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Suatu struktur yang dengan efektif, konsisten dan konsekwen mampu mencegah dan menindak penyelewengan.


(2)

Upaya ini akan lebih efektif bila dimulai dari para pemimpin formal (eksekutif / legislatif) maupun pemimpin informal untuk memberi tauladan pada masyarakat. Prof J.E Sahetapy sering mengatakan: ikan busuk dimulai dari kepala, bukan dari ekornya, sehingga yang pertama dibereskan ialah bagian kepala. Biarlah 'bola salju' kejujuran dan keadilan itu menggelinding dari atas hingga semakin ke bawah semakin membesar dan meluas.36

C. Upaya Hukum Represif

Yang dimaksud dalam upaya hukum represif ini adalah bagaimana caranya dan usaha-usaha apa yang mesti dilakukan agar suatu kejahatan penganiayaan yang telah terjadi maka pelakunya dapat tertangkap.

Artinya metode represif lebih mengarahkan kepada penangkapan pelaku kejahatan penganiayaan, sehingga pelaku tidak mengulangi lagi kejahatannya kepada objek lainnya.

Dalam kapasitas ini maka pelaksanaan metode represif ini pada dasarnya sebagaimana

diuraikan terdahulu dilakukan dengan cara melakukan koordinasi antar kepolisian baik itu antar

sektor maupun antar daerah. Saling tukar informasi ini menjadi penting terutama dalam hal

mengungkap suatu kejahatan tindakan perampokan. Penelusuran juga dilakukan pihak kepolisian

dengan cara mencari informasi pada pihak-pihak tertentu, misalnya pelaku yang tertangkap tangan


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perkembangan tindak pidana penganiayaan di Kota Medan semakin tahun semakin meningkat hal ini ditandai dengan jumlah kasus penganiayaan tahun 2009 yang terbesar apabila diperbandingkan dengan penganiayaan ringan, dimana penganiayaan berat crime totalnya sebagnyak 868 kasus sedangkan penganiayaan ringan sebanyak 135 kasus. Demikian juga halnya crime clearance penganiayaan berat sebanyak 427 kasus sedangkan penganiayaan ringan sebanyak 38 kasus. Demikian juga halnya penganiayaan tahun 2010 menunjukkan bahwa penganiayaan berat lebih besar jumlahnya apabila diperbandingkan dengan penganiayaan ringan. Dimana penganiayaan berat dengan jenis crime total sebanyak 112 kasus sedangkan crime clearance sebanyak 99 kasus. Penganiayaan ringan untuk crime total sebanyak 14 kasus dan untuk crime clearance sebanyak 5 kasus.

2. Faktor penyebab tingginya tindak pidana penganiayaan di Kota Medan adalah karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, permasalahan pengangguran, kemiskinan, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat, lingkungan dan lahan.


(4)

3. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Aparat kepolisian adalah melalui tindakan preventif berupa pencegahan dengan jalan razia, upaya hukum persuasif berupa pendekatan kepada masyarakat dan upaya hukum represif berupa penindakan.

B. Saran

1. Hendaknya tindakan upaya represif lebih ditingkatkan agar terdapatnya efek jera bagi masyarakat yang melakukan penganiayaan kepada masyarakat lainnya.

2. Masyarakat hendaknya dapat melakukan kerjasama dengan pihak kepolisian dalam hal terjadinya penganiayaan yang dilakukan oleh segolongan masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku:

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Djojohadimusumo, Sumitro, Indonesia Dalam perkembangan Dunia : Kini dan

Masa Datang, Jakarta: LP3ES, 2005.

Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Yayasan Idayu, Jakarta, 1980.

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta.

G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.

Gunnar Myrdal, Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin. PT. Gramedia, Jakarta, September 1980.

Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad, Petani Desa dan Kemiskinan, BPFE, Yogyakarta, 1987.

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi terjemahan oleh

D. Guritno, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

M. Syamsuddin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo Persada, 2007.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Mulyadi Subri, Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.


(6)

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Penyimpangan Suatu Perspektif

Kriminologi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta,

1988.

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000. R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik

Khusus, Politeia, Bogor, 1991.

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik

Khusus, Politeia, Bogor.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan Di Indonesia, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, 1975.

Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Kertas kerja dalam rangka kerja sama Kampanye Penegakan Hukum antara Fakultas Hukum UGM dengan Kejaksaan Agung RI tahun 1978.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zilfa, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.

B. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

C. Internet:

Publikasi, “Membangun Budaya Hukum Masyarakat Untuk Cegah Kejahatan”,

Sindo, “Kejahatan Berbanding Lurus Pengangguran”,