Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan)

(1)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan)

T E S I S

OLEH

BAMBANG RUBIANTO

117005034/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

BAMBANG RUBIANTO

117005034/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Judul Tesis : PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan) Nama Mahasiswa : Bambang Rubianto

Nomor Pokok : 117005034 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Hamdan, SH, MH

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum


(4)

Telah diuji pada Tanggal 20 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Hamdan, SH, MH

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

3. Dr. Muhammad Ekaputra, SH, M.Hum 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM


(5)

ABSTRAK

Tindak Pidana Korupsi menjadi perhatian serius masyarakat di beberapa waktu belakangan ini. Berkembang atau tidaknya trend tindak pidana korupsi tidak terlepas dari unsur penegak hukum. Mengantisipasi bertumbuh kembangnya korupsi, aparat penegak hukum menempuh langkah diantaranya melalui proses penyidikan. Langkah itu sebagai bagian dari upaya pemerintah penegak hukum dengan istilah kebijakan kriminal (criminal policy), maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law enforcement

policy). Penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh tiga

institusi yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Keterbatasan yang ada pada KPK, penyidikan didaerah dititik beratkan kepada kantor kewilayahan instutisi Kepolisian dan Kejaksaan. Proses penyidikan korupsi tidak terlepas permasalahan menyangkut tehnis dan Non tehnis proses Criminal Justice

System (CJS). Karena korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa.

Penyidikan tindak pidana korupsi di kota Medan dan sekitarnya dititik beratkan pada satuan Kepolisian kewilayahan Polresta Medan dan kantor Kewilayahan Kejaksaan Kejari Medan. Kewenangan penyidikan tersebut Sah menurut Undang-undang, Namun dalam prakteknya kewenangan tersebut kurang diberdayakan secara optimal oleh kedua institusi tersebut khususnya Polresta Medan bila dilihat hasil kuantitas dan kualitas penyidikan kasus-kasus korupsi yang terjadi didalam ruang lingkup kerjanya dalam penelitian tiga tahun terakhir.

Kurang optimalnya penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kedua institusi disebabkan berbagai faktor diantaranya seperti : kompleksitas tugas Polri, spesialisasi Jaksa sebagai Penuntut Umum, Birokrasi penyidikan, belum teragendakannya penyidikan kasus korupsi dalam skala prioritas, minimnya sumber daya penyidik, belum terciptanya kesamaan persefsi sesama penyidik, Budaya korupsi yang masih mengakar dan minimnya peran serta masyarakat dalam membantu penyidikan kasus tindak pidana korupsi.

Menjawab permasalahan kurang optimalnya penyidikan, Polresta Medan dan Kejari Medan pada masa akan datang melakukan langkah-langkah kerja sama dengan akademisi untuk mengadakan Loka karya atau seminar, Membuat telaah staf, mengagendakan penyidikan tindak pidana korupsi dalam skala prioritas, meningkatkan sumber daya penyidik, menyamakan persefsi sesama penyidik dalam penyidikan kasus korupsi. Budaya korupsi yang masih mengakar akan diubah melalui penyidikan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses penyidikan kasus korupsi, dan yang terakhir akan mengoptimalkan budaya displin aparatur pemerintah. Kata Kunci : Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi


(6)

ABSTRACT

Recently, corruption has been a serious public attention. Whether or not the criminal act of corruption develops cannot be separated from the element of law enforcer. To anticipate the development of corruption, the law enforcers take the steps, among other things, through the process of investigation. This step is a part of the government efforts to reenforce law under the term of criminal policy or from the aspect of criminal law enforcement policy. In Indonesia, investigating the criminal act of corruption is carried out by three institutions such as Police, Attorney and Corruption Eradication Commission (KPK). Due to the limitation of KPK, the investigation at regional level is focused in the Police and Attorney regional office. The corruption investigation process cannot be separated from the problems related to technical and non-technical process of Criminal Justice System. Therefore, corruption is categorized into an extraordinary crime.

In Medan and its vicinity, the investigation of the criminal act of corruption is focused on Medan Resort Police Department and Medan Attorney Regional Office. The authority to do the investigation is legal according to the law. Yet, in practice, this authority is less optimally empowered by both institutions especially by Medan Resort Police Department if viewed from the quantity and quality of the result of the investigation of the criminal act corruption in the scope of its job description in the past three years.

This less optimal result of corruption investigation conducted by both institutions is due to several factors such as: the complexity of Police task, specialization of Attorney as Public Prosecutor, Investigation Bueraucracy, corruption case investigation is not yet scheduled in the scale of priority, lack of investigators, the same perception among the investigators is not yet created, still rooted culture of corruption, and minimum community participation in assisting in the investigation of criminal act of corruption.

To cope with the less optimal investigation problem, in the future, Medan Resort Police Department and Medan Attorney Regional Office will cooperate with the academicians to provide workshop or seminar, to make staff study, to schedule the investigation of the criminal act of corruption in the scale of priority, to increase the number of investigators, to synchronize the perception of investigators in corruption case investigation. The still rooted culture of corruption will be changed through investigating the cases of criminal act of corruption. Community participation in the process of corruption case investigation will be improved and the culture of discipline of government apparatuses will be optimalized.


(7)

KATA PENGANTAR

Sebagai umat beragama, pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, hidayah dan ridho-nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat terbatas. Pada ksesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis memohon kepada segenap pembaca kiranya dapat memberikan koreksi dan saran yang konstruktif guna perbaikan dan kesempurnaan karya tulis ini.

Tesis yang berjudul “Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan“ merupakan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermenfaat bagi seluruh umat manusia.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat :


(8)

1. Prof Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum.

2. Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof Dr.Suhaidi, SH, MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Hamdan, SH, MH selaku Dosen Pembimbing Utama penulis, Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Prof Dr.Suhaidi, SH, MH selaku pembimbing.

5. Dr. Muhammad Ekaputra, SH, M.Hum dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Tim Penguji.

Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan bimbingan, petunjuk, dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan hingga terselesaikannya penulisan ini. Atas segala bantuan tersebut, penulis berda kepada Allah SWT semoga para pembimbing senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasih-Nya dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya kepada nusa dan bangsa.

Ucapan terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada :

1. Kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang yang tulus dalam membesarkan dan mendidik serta memberi semangat dan nasehat, sehingga penulis menjadi kuat dan tabah dalam menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh cobaan ini.


(9)

2. Istri penulis dan anak-anak, yang selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT, memberikan semangat, kasih sayang dan penuh pengorbanan serta mendorong penulis sehingga Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak dan Ibunda mertua dan keluarga yang telah banyak membantu baik moril maupun materil, semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan rezeki yang berlipat ganda.

4. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Semua pihak yang tidak mampu penulis sebut satu persatu.

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan Tesis ini dengan sebaik-baiknya namun sebagai manusia biasa penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan Tesis ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang produktif dari semua pihak.

Medan, April 2013 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : BAMBANG RUBIANTO Tempat/Tgl. Lahir : Medan/10 Januari 1974 Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : Islam

A l a m a t : Jl. Budi Pembangunan II No. 8 Kelurahan Pulau Brayan Kota Kecamatan Medan Barat, Medan

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Al Wasliyah Bahari ( Lulus tahun 1986) - Sekolah Menengah Pertama Negeri 23 Medan (Lulus tahun 1989) - Sekolah Menengah Atas Negeri 15 Medan (Lulus tahun 1992) - S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

(Lulus tahun 1997)

- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Lu-lus tahun 2013)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL v

BAB I PENDAHULUAN 1

A.Latar Belakang 1 B.Permasalahan 8 C.Tujuan Penelitian 9 D.Menfaat Penelitian 9 E.Keaslian Penelitian 10

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori 12 2. Landasan Konsepsional 16 G.Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian 21

2. Sumber Data 21

3. Tehnik dan Alat Pengumpul Data 23

4. Analisis Data 24 BAB II KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLRESTA MEDAN DAN KEJARI MEDAN

A. Kredibilitas Polresta Medan dan Kejari Medan dalam

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi 26

B. Kualitas Kinerja Penyidik Polresta Medan dan Kejari Medan dalam Penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi 33


(12)

C. Kewenangan Polresta Medan dan Kejari Medan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

1. Kewenangan Polresta Medan 37

2. Kewenangan Kejari Medan 45

BAB III HAMBATAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLRESTA MEDAN DAN KEJARI MEDAN

A. Hambatan Undang-undang

1. Kompleksitas Tugas Polri 52

2. Spesialisasi Jaksa Sebagai Penuntut Umum 59 3. Birokrasi Penyidikan Korupsi menguntungkan salah

satu institusi 62

B. Faktor Aparatur Penegak Hukum

1. Agenda Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Belum Ber-

jalan Optimal 71

2. Minimnya Sumber Daya Manusia Penyidik 74

3. Belum adanya Kesamaan Persepsi Sesama Penegak Hu- kum dalam Sidik Tindak Pidana Korupsi 75 C. Faktor Budaya

1. Budaya Korupsi Masih Mengakar di Tengah Masyarakat 83 2. Minimnya Peran Serta Masyarakat dalam Penyidikan Ka-

sus Tindak Pidana Korupsi 86


(13)

BAB IV PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA MASA AKAN DATANG DI POLRESTA MEDAN DAN KEJARI MEDAN

A. Undang-undang 90

B. Aparat Penegak Hukum

1. Mengagendakan Penyidikan kasus tindak pidana korupsi

dalam Skala Prioritas 92

2. Meningkatkan Sumber Daya Manusia Penyidik 98 3. Menyamakan Persepsi dalam Penyidikan kasus-kasus

Tindak Pidana Korupsi 100 C. Budaya

1. Mengubah Budaya Korupsi Melalui Penyidikan Kasus Tindak Pidana Korupsi 102 2. Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi 104 3. Optimalisasi Budaya Displin Aparatur Pemerintah untuk

meningkatkan hasil penyidikan kasus korupsi 106 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 109

B. Saran 110


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 1 Data Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi

Polresta Medan tahun 2010 s/d 2012. 30 2. Tabel 2 Data Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi

Kejaksaan Negeri Medan tahun 2010 s/d 2012. 32 3. Tabel 3 Data Jumlah Penyidik Korupsi Polresta Medan

tahun 2010 s/d 2012 34 4. Tabel 3 Data Jumlah Penyidik Korupsi Kejari Medan


(15)

ABSTRAK

Tindak Pidana Korupsi menjadi perhatian serius masyarakat di beberapa waktu belakangan ini. Berkembang atau tidaknya trend tindak pidana korupsi tidak terlepas dari unsur penegak hukum. Mengantisipasi bertumbuh kembangnya korupsi, aparat penegak hukum menempuh langkah diantaranya melalui proses penyidikan. Langkah itu sebagai bagian dari upaya pemerintah penegak hukum dengan istilah kebijakan kriminal (criminal policy), maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law enforcement

policy). Penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh tiga

institusi yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Keterbatasan yang ada pada KPK, penyidikan didaerah dititik beratkan kepada kantor kewilayahan instutisi Kepolisian dan Kejaksaan. Proses penyidikan korupsi tidak terlepas permasalahan menyangkut tehnis dan Non tehnis proses Criminal Justice

System (CJS). Karena korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa.

Penyidikan tindak pidana korupsi di kota Medan dan sekitarnya dititik beratkan pada satuan Kepolisian kewilayahan Polresta Medan dan kantor Kewilayahan Kejaksaan Kejari Medan. Kewenangan penyidikan tersebut Sah menurut Undang-undang, Namun dalam prakteknya kewenangan tersebut kurang diberdayakan secara optimal oleh kedua institusi tersebut khususnya Polresta Medan bila dilihat hasil kuantitas dan kualitas penyidikan kasus-kasus korupsi yang terjadi didalam ruang lingkup kerjanya dalam penelitian tiga tahun terakhir.

Kurang optimalnya penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kedua institusi disebabkan berbagai faktor diantaranya seperti : kompleksitas tugas Polri, spesialisasi Jaksa sebagai Penuntut Umum, Birokrasi penyidikan, belum teragendakannya penyidikan kasus korupsi dalam skala prioritas, minimnya sumber daya penyidik, belum terciptanya kesamaan persefsi sesama penyidik, Budaya korupsi yang masih mengakar dan minimnya peran serta masyarakat dalam membantu penyidikan kasus tindak pidana korupsi.

Menjawab permasalahan kurang optimalnya penyidikan, Polresta Medan dan Kejari Medan pada masa akan datang melakukan langkah-langkah kerja sama dengan akademisi untuk mengadakan Loka karya atau seminar, Membuat telaah staf, mengagendakan penyidikan tindak pidana korupsi dalam skala prioritas, meningkatkan sumber daya penyidik, menyamakan persefsi sesama penyidik dalam penyidikan kasus korupsi. Budaya korupsi yang masih mengakar akan diubah melalui penyidikan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses penyidikan kasus korupsi, dan yang terakhir akan mengoptimalkan budaya displin aparatur pemerintah. Kata Kunci : Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi


(16)

ABSTRACT

Recently, corruption has been a serious public attention. Whether or not the criminal act of corruption develops cannot be separated from the element of law enforcer. To anticipate the development of corruption, the law enforcers take the steps, among other things, through the process of investigation. This step is a part of the government efforts to reenforce law under the term of criminal policy or from the aspect of criminal law enforcement policy. In Indonesia, investigating the criminal act of corruption is carried out by three institutions such as Police, Attorney and Corruption Eradication Commission (KPK). Due to the limitation of KPK, the investigation at regional level is focused in the Police and Attorney regional office. The corruption investigation process cannot be separated from the problems related to technical and non-technical process of Criminal Justice System. Therefore, corruption is categorized into an extraordinary crime.

In Medan and its vicinity, the investigation of the criminal act of corruption is focused on Medan Resort Police Department and Medan Attorney Regional Office. The authority to do the investigation is legal according to the law. Yet, in practice, this authority is less optimally empowered by both institutions especially by Medan Resort Police Department if viewed from the quantity and quality of the result of the investigation of the criminal act corruption in the scope of its job description in the past three years.

This less optimal result of corruption investigation conducted by both institutions is due to several factors such as: the complexity of Police task, specialization of Attorney as Public Prosecutor, Investigation Bueraucracy, corruption case investigation is not yet scheduled in the scale of priority, lack of investigators, the same perception among the investigators is not yet created, still rooted culture of corruption, and minimum community participation in assisting in the investigation of criminal act of corruption.

To cope with the less optimal investigation problem, in the future, Medan Resort Police Department and Medan Attorney Regional Office will cooperate with the academicians to provide workshop or seminar, to make staff study, to schedule the investigation of the criminal act of corruption in the scale of priority, to increase the number of investigators, to synchronize the perception of investigators in corruption case investigation. The still rooted culture of corruption will be changed through investigating the cases of criminal act of corruption. Community participation in the process of corruption case investigation will be improved and the culture of discipline of government apparatuses will be optimalized.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perhatian masyarakat terhadap Tindak Pidana Korupsi tidak kalah dengan perhatian masyarakat terhadap Tindak Pidana lainnya seperti Pembunuhan, Terorisme dan Pencurian, bahkan beberapa tahun belakangan ini pembicaraan mengenai korupsi banyak menyedot perhatian masyarakat banyak. Hal ini dianggap wajar karena karena disaat negara dalam kondisi yang memperihatinkan oleh tekanan himpitan ekonomi disaat itu melihat korupsi berkembang dan merajalela. Korupsi merupakan hal-hal yang menjijikan dimata masyarakat.

Berbicara mengenai dan membahas tentang korupsi kita harus mempelajari tentang Etimologi atau asal usul kata. Korupsi berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus”1

1

Mansyur Semma, NEGARA dan KORUPSI Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, ( Jakarta , Yayasan Obor Indonesia, 2008 ) hal 32

, kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Francis Coruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi menandaskan essensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan. Korupsi perwujudan perbuatan immoral yakni dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan”. Pembahasan dan pengertian tentang korupsi sangat banyak sekali, namun secara keseluruhan


(18)

kesemuanya itu mengartikan perbuatan kotor, menjijikan, pengkhianatan dan sebagainya.

Pemberitaan secara terus menerus tentang korupsi yang dilakukan media massa elektronik dan cetak semakin menjauhkan harapan masyarakat untuk perbaikan nasib bangsa kearah yang lebih baik. Seluruh komponen bangsa yang menggantungkan asa mereka tersebut kepada pejabat negara yang duduk di bangku jabatan pemerintahan, serta merta dengan segenap tanggung jawab yang di amanahkan kepada mereka. Pembicaraan korupsi terbentuklah suatu opini dimata masyarakat awam bahwa korupsi merupakan kejahatan merampok atau mengambil uang negara. Pada hal jika Korupsi dikaji lebih mendalam tentunya mengandung arti yang lebih komplek. Pengertian sosiologis tentang korupsi memiliki cakupan yang lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian hukum pidana.2

Sebagaimana yang telah diuraikan diawal, untuk menjawab permasalahan yang terjadi berkaitan dengan korupsi tentunya tidak terlepas dari unsur penegak hukum. Hal ini disebabkan karena Manusia yang menjalankan penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang sangat penting dan menentukan.3

2

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Perjalanan Dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal 12

3

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1990), hal 41

Selain itu Penegak hukum juga bagian dari pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi warganya dan menyelamatkan bangsa


(19)

dari ancaman korupsi. Wujud tersebut diperlukan secara nyata, tepat, cepat dan terukur dalam upaya mensejahterakan kehidupan masyarakat. Pemerintah dalam menggapai cita-cita dan harapan itu di berikan kewenangan dan kebijakan berupa kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal

policy), maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law

enforcement policy).4

Penyidikan Tindak Pidana korupsi merupakan bagian dari upaya ditempuh dalam upaya penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Keberhasilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi terlepas dari peran aparatur penegakan hukum yang mengawaki, menjaga hukum itu dapat betul-betul tegak, berwibawa dan mempunyai kepastian dalam pelaksanaannya. Proses perkara pidana hingga tuntas dilakukan adanya pembagian tugas fungsi dan kewenangan yang berbeda-beda oleh institusi yang berbeda-beda. Polisi selaku penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.5

4

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996 ) hal 31

5

R. Abdussalam, Penegakan Hukum dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Hakim dan

Lembaga Pemasyarakatan sebagai Law Enforcement Officer, ( Jakarta : PT Jasguna

Wiratama, 1997 ) hal 18


(20)

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.6 Tindakan aparatur penegak hukum yang

berwenang dan bertugas melakukan penyidikan, secara umum undang-undang meletakan kewenangan penyidikan kepada kepolisian. Sehingga didalam praktik muncul istilah “penyidik tunggal”. 7

Hukum pidana khusus dalam arti luas, Undang-undang yang mengatur meliputi baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formal.

Perkara tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut proses penyidikan tindak pidana korupsi. Melaksanakan tindakan hukum berupa mencari dan menemukan suatu tindak pidana korupsi, mengumpulkan bukti-bukti hingga terang dan dapat dituntut serta disidangkan dimuka sidang pengadilan atau yang dikenal penyidikan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara khusus oleh Undang-undang pidana khusus Undang-undang Republik Indonesia No.31 tahun 1999 kemudian diperbarui dengan Undang-undang Republik Indonesia No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi .

8

6

Pasal 1 butir (2) KUHAP

7

Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, (Jakarta, Raja Grafindo, 2012 ) hal 221

8

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, ( Jakarta, PT Melon Putra,

1991) hal 1

Pada Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatur tentang proses penyidikan dan penuntutan perkara pidana korupsi. Penyidikan tindak pidana


(21)

korupsi ada tiga institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi.yaitu KPK, kepolisian dan kejaksaan.9

Institusi Kepolisian secara umum keberadaannya hampir seluruh dunia dapat diidentikan Polisi sebagai aparat penegak hukum penyidik. Polisi dalam penegakan hukum korupsi hanya dibebankan tugas dan tanggung jawab selaku Penyidik. Secara teknis semua kegiatan hasil penyidikan kasus-kasus tindak Masing-masing institusi khususnya Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara pidana umum mempunyai fungsi atau peran selaku penyidik dan penuntut umum. Undang-undang pidana korupsi melakukan pengecualian untuk itu yakni tugas dan kewenangan menyangkut proses penyidikan kesemua institusi diberikan kewenangan yang sama untuk melakukan penyidikan. Kewenangan itu diberikan sebagai upaya dari pemerintah dalam kerangka percepatan dan memudahkan proses penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Kejaksaan dalam perkara pidana secara umum bertugas pokok (core

competence) sebagai Penuntut Umum dan pengacara negara, dalam penyidikan

perkara tindak pidana korupsi bertindak selaku penyidik dan juga menuntut umum perkara pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi bertugas rangkap yakni melakukan Penyidikan dan Penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Penyidikan dan Penuntutan atas perkara tindak pidana korupsi dilakukan oleh institusi itu sendiri secara satu atap.

9


(22)

pidana korupsi dilimpahkan ke Kejaksaan. Proses ini sebagaimana teknis yang diatur oleh peraturan perundang-undangan korupsi dan pidana umum.

Lahirnya suatu kebijakan sudah barang tentu akan mendatang baik atau buruknya dalam tatanan sistem. Kebijakan birokrasi penyidikan kasus tindak pidana korupsi dalam prakteknya kadang-kadang mendatangkan cara-cara egoisme sektoral, yaitu masing-masing kelompok penegak hukum ingin mempertahankan bahkan meningkatkan terus kewenangannya, disamping itu ada juga menimbulkan kesan ingin memonopoli penegakan hukum. Memandang institusi penegak hukum korupsi lainnya sebagai saingan yang harus dikebiri kewenangan dan ruang geraknya. Pemikiran-pemikiran pejabat penegak hukum yang masih memenfaatkan dan memandang wewenang memberantas korupsi sebagai senjata ampuh yang dapat digunakan untuk mengail rezeki. Dari hal itu, Indonesia akan tetap menjadi pemegang piala negara paling korup di Asia Tenggara.10

Keterbatasan yang ada pada KPK dalam pemberantasan korupsi di daerah seperti wilayah hukum kota Medan dan sekitarnya dititik beratkan dilakukan oleh dua intitusi Kepolisian dalam hal ini Polresta Medan dan Kejaksaan dalam hal ini Kejari Medan. Untuk membatasi penelitian dalam pembuatan Tesis menyangkut Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan membatasi penelitian pada wilayah hukum kota

10

Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai negara, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005 ) hal 4-5


(23)

Medan dan sekitarnya yang dilaksanakan oleh Polresta Medan dan Kejari Medan. Hal ini untuk mempelajari sejauh mana kedua institusi tersebut melakukan penyidikan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi. Penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan sebagai wujud mendukung dan mensukseskan kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam penjabaran Intruksi Presiden No.5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pengamatan dan pertimbangan tersebut maka permasalahan ini diangkat kedalam bentuk Tesis, karena lokasi yang dilakukan penelitian berada dalam lingkup domisili dan penulis pernah bertugas pada kesatuan Polresta Medan. Sebagai bahan pendukung dari Tesis ini akan turut dilampirkan data-data hasil penanganan kasus korupsi yang berkaitan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Polresta Medan dan Kejari Medan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, hasil wawancara dengan sumber penyidik di Polresta Medan dan Kejari Medan serta tokoh masyarakat pemerhati korupsi.

Kebijakan pemerintah dengan membentuk bermacam Institusi dan lembaga dalam penanganan korupsi tentunya menimbulkan suatu permasalahan. Karena dalam penanganan perkara konvensional atau umum saja masih terdapat proses perkembangan penegakan hukum tidak berpadanan


(24)

dengan tujuan hukum.11 Permasalahan-permasalahan itu diantaranya seperti

permasalahan diluar Non teknis proses Criminal Justice System (CJS). Menyangkut dalam penanganan perkara korupsi, perbuatan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa; melainkan sudah merupakan “extra ordinary crime”. Atas dasar itu pula maka pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan dengan cara biasa.12

B. Permasalahan

Hal ini bisa dimaklumi karena kejahatan tindak pidana korupsi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan, terpelajar dan dilakukan dengan pola korporasi. Berangkat dari uraian di atas, maka tertarik untuk mengangkat permasalahan yang ada untuk dijadikan Penelitian Tesis.

Dari latar belakang dan judul penelitian Tesis tersebut di atas maka yang menjadi pokok permasalahan atau persoalan yang terkandung dalam penelitian Tesis ini, secara rinci persoalan tersebut dapat dituangkan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh Polresta Medan dan Kejari Medan?

2) Apa hambatan-hambatan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polresta Medan dan Kejari Medan ?

11

R Abdussalam dan Zen Zenibar, Refleksi Keterpaduan penyidikan, Penuntutan

dan Peradilan dalam Penanganan Perkara, ( Jakarta : PT Jasguna Wiratama, 1998), hal 2

12


(25)

3) Bagaimanakah penyidikan tindak pidana korupsi pada masa akan datang di Polresta Medan dan Kejari Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian Tasis ini adalah :

1) Untuk mengetahui kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polresta Medan dan Kejari Medan.

2) Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh Polresta Medan dan Kejari Medan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

3) Untuk mengetahui penyidikan tindak pidana korupsi oleh Polresta Medan dan Kejari Medan pada masa akan datang.

D. Menfaat Penelitian

Adapun menfaat yang diharapkan dari penelitian Tesis ini adalah : 1. Menfaat Teoritis

Penelitian merupakan hasil dari sebuah studi ilmiah yang dapat memberikan tambahan pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya terkait dengan prinsip penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi melalui proses penyidikan di wilayah kota besar Medan dan sekitarnya oleh Polresta Medan dan Kejari Medan.


(26)

2. Manfaat Praktis

Sebagai suatu informasi dan refrensi bagi individu, Instansi Polri yakni Polresta Medan dan Kejaksaan dalam hal ini Kejari Medan, Instansi terkait lainnya serta mesyarakat luas yang terkait atau berkaitan langsung maupun tidak langsung dari objek yang diteliti dan dapat digunakan sebagai informasi untuk perbaikan dan pembenahan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menjadikan Indonesia Negara Good and Clean Governement.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang ada diperpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan khususnya pada Magister Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan ) ” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Tesis ini asli disusun sendiri dan bukan diambil dari Tesis orang lain.

Adapun beberapa Tesis karya mahasiswa yang terkait masalah TP Korupsi, permasalahan dan bidang kajiannya sangat jauh berbeda, yaitu :

1. Tesis atas nama TOMO, NIM : 077005043, dengan Judul “ Penegakan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dalam


(27)

Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Menurut Perspektif Kekayaan Negara yang dipisahkan.”

2. Tesis atas nama LEO JIMMI AGUSTINUS, NIM : 057005035, dengan Judul “ Penerapan pasal 8 Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.”

3. Tesis atas nama SRI LASTUTI, NIM : 992105018, dengan Judul “ Peranan Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Medan.”

4. Tesis atas nama RUMIDA SIANTURI, NIM : 077005105, dengan Judul “ Peran dan Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Menghindari terjadinya duplikasi penelitian, maka pengumpulan data dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Peneliti tentang “PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Penyidikan Di Polresta Medan dan Kejari Medan ) ” belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, jadi penelitian ini dapat dikatakan asli, bebas dari plagiat dan secara pribadi penulis bertanggungjawab menurut hukum bila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur plagiat dalam penyusunan Tesis ini.


(28)

F. Kerangka Terori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut hukum, apabila hukum itu tidak pernah dilaksanakan13

Berdasarkan pemikiran dan pendapat ahli Friedman, dalam sistem hukum atau tepatnya pada struktur hukum, peran penegak hukum berada ditengah-tengah dan dapat dikatakan sebagai hal yang mempengaruhi dan memberi

. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Teori Hukum secara teoritis mempunyai fungsi yaitu menerangkan atau menjelaskan, dapat menilai dan memprediksi serta dapat memberikan konstribusi pengaruh hukum positif. Misalnya dapat menjelaskan ketentuan yang berlaku, dapat menilai suatu peraturan atau perbuatan hukum yang terjadi, serta dapat memprediksi bagaimana atau apa yang terjadi manakala hukum tersebut dilanggar atau hukum tersebut tidak ditegakan oleh para penegak hukumnya.

Teori Hukum diatas disusun dengan memperhatikan Fakta-fakta dan filsafat hukum seperti Menurut Lawrence Friedman bahwa hukum harus memuat Structure, Substansi dan Culture manakala menginginkan hukum itu dapat berjalan optimal sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pembuat hukum itu.

13

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, ( Bandung : Alumni, 1979 ), hal 21


(29)

warna dalam proses penegakan hukum. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisasi kompleks dimana struktur, substansi dan kultur berinteraksi. Untuk menjelaskan latar belakang dan efek dari setiap bagiannya diperlukan dari banyak elemen sistem tersebut.14

Output hukum adalah apa yang dihasilkan oleh sistem hukum sebagai respon atau tuntutan sosial. Berdasarkan teori Subs sistem yang menempatkan aparat penegak hukum sebagai bagian dari Legal Sistem. Hukum dibagi atas klassifikasi sifat dan bentuknya. Dari pembagian Hukum Publik suatu sistem negara terdapat Hukum Pidana yang mengatur hajat hidup orang banyak.

15

Sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik adalah hukum pidana. Hukum Pidana merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “Lembaga Moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

16

Kinerja dari aparat penegak hukum pidana untuk mewujudkan respon dalam upaya pencapaian cita-cita hukum diikat dalam kerangka Criminal

14

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, ( Bandung : Nusa Media, 2009 ), hal 18

15

Moeljatno, Asar-asas Hukum Pidana, (Jakarta; PT Rineka Cipta, 2008) hal 2

16

Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, (Bandung; Alumni, 1983), hal 129


(30)

Justice system ( CJS). Pada bagian CJS Teori Sub Sistem memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, Pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.17

Pendekatan adminstratif memandang keempat aparatur penegak hukum tersebut sebagai organisme manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi admintrasi. Keterpaduan dan keterkaitan antara fungsi dan lembaga itu sebagai mana tergambar dalam pelaksanaan tugas Jaksa tidak akan bisa mengajukan kasus ke pengadilan tanpa adanya berita acara pemeriksaan (BAP) dari Kepolisian. Sedangkan kepolisian yang telah mengadakan penyidikan tidak dapat “mem-by pass” kejaksaan untuk membawa kasus ke pengadilan.

18

Khusus dalam perkara penanganan tindak pidana korupsi peranan penyidikan dilaksanakan juga oleh kejaksaan dan KPK. Proses penanganan perkara tersebut kesemuanya tersebut tetap terikat dalam kerangka CJS sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kesepakatan didapat atas adanya

17

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Persfektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, (Bandung, Bina Cipta, 1996) hal 17-18

18


(31)

kompromi politik dalam pembahasan rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1999 menyerahkan atau menempatkan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.19

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

Proses peradilan pidana dikenal Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”. Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.

20

Pendapat ahli lainnya Hagan membedakan pengertian Criminal Justice

Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap

tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice

Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

19

Ibid hal 228

20

Muchamad Iksan, Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berperspektif Pancasila. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Selasa, 28 Februari 2012


(32)

System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.21

2. Landasan Konsepsional a. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.22

b. Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam.

21

Ibid

22


(33)

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.23

c. Tindak Pidana

Yang dimaksud Tindak pidana dalam penulisan ini adalah perbuatan yang melawan (melanggar) melanggar hukum. Adapun ukurannya , perbuatan melawan hukum yang mana ditentukan sebagai perbuatan pidana, hal itu adalah termasuk kebijakan pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Biasanya perbuatan-perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian yang besar dalam masyarakat diberikan sanksi pidana.24

d. Korupsi

Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, dilakukan berdasarkan asas Legalitas yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang. (pasal 1 ayat 1KUHP)

Pengertian korupsi secara harafiah dapat diartikan dalam Kamus Bahasa Inggris – Indonesia, sebagai “jahat” atau “busuk” (John M. Echols dan Hassan

Shadily, 1977:149), sedangkan The Advanced Learner’s Dictionary of Current

English (Oxford University Press, London 1963, p.218) mengartikan korupsi

23

Moeljatno, Asar-asas Hukum Pidana, ( Jakarta, PT Rineka Cipta, 2008) Hal 1

24


(34)

sebagai “penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap”

(corruption is defined as “the offering and accepting of bribes”). Dilihat dari

sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata “corruptio” dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobobrokan, dan dipakai pula untuk menunjukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang busuk.

Korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Korupsi juga dianggap sebagai perilaku menimpang dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang atau pencapaian status atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan yang memenfaatkan pengaruh pribadi.25. Melakukan korupsi berarti melakukan

kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Henry Campbell Black yang mengartikan korupsi sebagai

an act done with an with official duty and the rights of other”26

25

Hamid, Edy Suwandi dan Muhammad Sayuti, Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, ( Yogyakarta , Aditya Media, 1999 ) hal 23

26

Henry Campbell Black, Black,s Law Dictionary With Pronouncations, (St.Paul, Minn: West Publishing Co, 1983) hal.182

(Terjemahan bebas : Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain).


(35)

Korupsi perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan”27

e. Tindak Pidana Korupsi

. Banyak sekali pembahasan dan pengertian tentang korupsi yang kesemua itu artinya adalah perbuatan kotor, menjijikan, pengkhianatan dan sebagainya. Yang kesemuanya itu menyangkut dengan keuangan atau perekonomian negara.

Konsep tindak pidana korupsi merupakan gabungan dua kata yang terdiri atas “ tindak pidana “ dan “ korupsi “. Bila kita ikuti dari makna per kata tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang dapat diancam hukum pidana. Bila dilihat dalam pemikiran sempit pemahaman dalam arti sempit perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara.

Pemahaman tentang Korupsi tidak sebagaimana pemahaman yang ada dan berkembang dimasyarakat luas. Rumusan hukum pidana tentang korupsi mencakup aspek yang sangat luas, yang tidak hanya terbatas pada perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara saja. Akan tetapi lebih luas dari itu. Menurut Leiken, korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kemenfaatan politik.28

27

Mansyur Semma, Opcit hal 23.

28

Azyumardi Azra, “Korupsi dalam Perspektif Good Governence” Jurnal Kriminilogi Indonesia, Vol.2 No.1 FISIP.UI Januari 2002, hal 32


(36)

hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 tahun 1999 yo UU No.20 tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi.29

G. Metode Penelitian

Dalam penulisian ini mengangkat suatu permasalahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Untuk pemecahan suatu pemasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian. Menurut Soerjono Soekanto “Penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis, dilaksanakan dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.”30

29

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami Untuk Membasmi, Buku

Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, ( Jakarta

; 2006 ) hal. 15

30

Soerjono Soekanto dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode


(37)

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, dimana penulis bertujuan dapat menemukan, mengungkapkan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dengan mengacu kepada sisi normatif dan cara kerja ilmu hukum normatif, sehingga dengan hal tersebut dapat kiranya diketahui kaidah-kaidah hukum dan penerapan perinsip-perinsip hukum yang terkandung didalam kaidah hukum tersebut.

Sifat penelitian ini adalah Deskriptif Analisis yaitu menggambarkan dan menganalisis terhadap data-data, fakta-fakta yang dijadikan objek penelitian untuk menjadi sistematika dan sinkronisasi berdasarkan asfek yuridis dalam menjawab pertanyaan dalam permasalahan yang ada.

2. Sumber Data

Sumber-sumber data dalam penelitian normatif adalah data sekunder. Adapun data sekunder tersebut terdiri atas :


(38)

a. Bahan Hukum Primer

Sebagai bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.31

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana di perbaharui Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diselaraskan dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Serta berbagai peraturan atau perundan-undangan lainnya yang terkait.

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, makalah-makalah, dan media internet.32

31

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1988), Hal 19.

32

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982) hal 24

Data sekunder diatas juga didukung oleh data primer berupa data yang diperoleh melalui studi dilapangan.


(39)

c. Bahan Hukum Tersier

Sebagai bahan hukum tersier adalah bahan yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.33

3. Tehnik dan alat Pengumpul Data

Adapun sebagai Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Tehnik Studi Pustaka

Yaitu menemukan bahan-bahan hukum. Sebagai alat pengumpul datanya adalah studi dokumen.

b. Tehnik Wawancara

Yaitu untuk mengumpulkan data empiris sebagai data pendukung dalam analisis bahan hukum. Sebagai alat pengumpul datanya adalah Guide interview terhadap informan atau sasaran respondence secara acak.

33

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Pengantar), ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal 195-196.


(40)

4. Analisis Data

Adalah rangkaian atau suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.34 Adapun proses pengolahan data

itu diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :35

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah terhadap pengaturan mengenai praktek terjadinya Tindak Pidana Korupsi, proses pemberantasan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh Polri dan Kejaksaan.

c. Menemukan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah.

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian

34

Lexy J Moleong, Penelitian Kualitatif, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal 101.

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafindo, 2006), hal 225


(41)

dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan36 yang dikemukakan.

36


(42)

BAB II

KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLRESTA MEDAN DAN KEJARI MEDAN

D. Kredibilitas Polresta dan Kejari Medan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Kinerja aparatur pemerintah dinilai dan diawasi secara ketat oleh Institusi sendiri dan masyarakat. Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal sebagai bagian aparatur pemerintah juga tidak terlepas akan hal tersebut. Perkembangan dinamika yang terjadi di masyarakat membuat keadaan tuntutan masyarakat kepada kinerja aparatur pemerintah semakin tinggi. Karena disebagian besar negara demokrasi dalam dua puluh tahun terakhir ini kredibilitas aparat penegak hukum khususnya polisi turun, Kepolisian diminta untuk menunjukan bahwa mereka membuat masyarakat lebih aman.37

Penilaian itu kiranya dijadikan dasar untuk meningkatkan kinerja aparat kepolisian seperti Polresta Medan dan aparatur penegak hukum lainnya seperti Kejari Medan dalam pemberantasan kejahatan-kejahatan agar membuat masyarakat aman, tentram dan sejahtera. Kejahatan dalam bentuk tindak pidana korupsi, upaya penegakan hukum melalui penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polresta Medan dan Kejari Medan masih belum optimal.

Hal itu merupakan gambaran penilaian masyarakat terhadap aparat penegak hukum khususnya polisi di sebagian negara demokrasi termasuk di Indonesia.

37

David H. Bayley, Police For The Future Polisi Masa Depan, ( Jakarta, Cipta Manunggal, 1998) hal 155


(43)

Mengenai standar baku mengenai proses dan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik di institusi penegak hukum memang belum ada. Bahkan Penyidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK selaku institusi yang telah menelan biaya ratusan milyar untuk mendirikannya belum mempunyai standar baku. Inilah mengapa sampai saat ini perkara korupsi menjadi perkara yang “ buram “, sulit dipecahkan apalagi diberantas. Karena sifatnya tidak memiliki ukuran baku.38

Undang-undang yang mengatur tentang kewenangan dan pelaksanaan teknis dalam penegakan hukum korupsi menempatkan Kepolisian dan Kejaksaan dapat melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi. Kewenangan yang diberikan pada dua institusi lembaga negara itu di ibaratkan bekal seperti senjata untuk bertempur dalam suatu peperangan. Sekarang permasalahannya adalah bagaimanakah prajurit tersebut mampu mempergunakan senjata itu dengan mahir, dapat menempatkan dan mengarahkan senjata itu tepat pada sasaran atau musuh-musuh yang ditetapkan. Bukan sebaliknya senjata tersebut disimpan didalam gudang dan membiarkan musuh-musuh berkeliaran menghantui masyarakat sehingga kesan sebagai prajurit sebagai benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian warga menjadi terabaikan. Itulah sekedar gambaran ilustrasi tentang kewenangan yang ada pada intitusi Kepolisian dan

38

Ridwan Adi, Korupsi bukanlah suatu Kejahatan?, Kompasiana, Rubrik Sosbud, 17 Agustus 2010


(44)

Kejaksaan yang ada pada saat ini dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia khususnya pada daerah-daerah yang kurang terjangkau oleh KPK.

Penjabaran dan keberhasilan kesatuan-kesatuan atau kantor Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pemberantasan korupsi tercermin pada data kuantitas dan kualitas penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang ada pada wilayah kerja mereka. Data-data tersebut memang tidak sepenuhnya menggambarkan tentang keberhasilan di kesatuan wilayah tersebut. Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak semua daerah korupsi terjadi demikian gencar dan maraknya. Daerah yang tingkat korupsinya sangat minim, besar kemungkinan pada daerah tersebut jiwa pengabdian dan sadar hukum aparatur pemerintahannya sangat tinggi. Pada daerah yang sebaliknya korupsi terjadi merajalela atau marak, tingkat kesadaran hukum dan pengabdian aparatur negaranya sangat rendah.

Keberhasilan dalam kesatuan kewilayahan atau suatu institusi tentunya tidak terlepas dari kinerja, loyalitas, kemampuan para personil yang mengawaki institusi tersebut, plus bagaimana bagaimana kesatuan itu dapat mengelminir banyaknya kendala dan tantangan yang harus dihadapi. Pemberantasan korupsi tentunya tidak terlepas dari unsur penegak hukum. Tegak tidaknya prinsip supremasi hukum sebagai salah satu karakteristik dari


(45)

rechtsstaat” dapat dilihat dari apakah penegak hukum berjalan dengan baik atau tidak.39

Hukum merupakan instrumen sedangkan manusia sebagai operator atau orang yang mengoperasikannya. Seorang ahli hukum terkemuka di Belanda bernama Taverne menempatkan aparat penegak hukum pada posisi sentral dan strategis dalam penegakan hukum. Menurutnya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak baik sekalipun apabila dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang baik, maka akan dihasilkan suatu “output” yang baik dalam penegakan hukum

40

39

Elwi Danil, Opcit. Hal 265

40

Ibid hal 269

Kinerja Penyidik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polresta Medan dan Kejari Medan dalam wilayah hukum Kota Medan dan sekitarnya dapat dievaluasi dimana ditemukan laporan kasus korupsi yang kurang mendapat perhatian serius penanganannya. Satuan kewilayahan kepolisian Polresta Medan dalam data yang ada dalam tiga tahun terakhir tidak ditemukan adanya kasus perkara pidana korupsi yang disidik oleh Polresta Medan hingga tuntas ke Penuntut Umum. Berikut ini disajikan data kasus yang terjadi di wilayah hukum kota Medan dan sekitarnya hasil kerja Penyidik / Penyidik Pembantu Sat Reskrim Polresta Medan dan Kejari Medan sebagai berikut :


(46)

Tabel 1

Data Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi Polresta Medan tahun 2010 s/d 2012

NO. TAHUN JML

KASUS

KONDISI

Ket Lidik Sidik SP3 Selesai

1. 2010 2 2 - - -

2. 2011 - - - - -

3. 2012 1 1 - - -

Jumlah

Sumber Data : Lapsat Sat Reskrim Polresta Medan tahun 2013.

Dari data tersebut jumlah penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polresta Medan melalui proses Sidik Lidik perkara tindak pidana korupsi tahun 2010 s/d 2012 yang ditangani oleh Polresta Medan sebagaimana digambarkan pada tabel diatas dapat dirincikan Sbb :

1. Tahun 2010 diterima laporan kasus dugaan tindak pidana korupsi ke Polresta Medan sejumlah 2 kasus, dari sekian kasus yang ditemukan tersebut ditindak lanjuti hanya sebatas penyelidikan. Tidak ada kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke penuntut umum dan pengadilan.

2. Tahun 2011 tidak ada kasus tindak pidana korupsi diterima dan ditangani Polresta Medan.

3. Tahun 2012 diterima laporan kasus dugaan tindak pidana korupsi ke Polresta Medan sejumlah 1 kasus, dari sekian kasus yang ditemukan tersebut


(47)

ditindak lanjuti hanya sebatas penyelidikan. Tidak ada kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke penuntut umum dan pengadilan.41

Data penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Polresta Medan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yakni tahun 2010 s/d 2012 sejumlah 3 kasus, dari sekian kasus yang diterima tersebut ditindak lanjuti hanya sebatas penyelidikan. Tidak ada kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke penuntut umum dan pengadilan hingga saat penulisan ini.

Wujud penilaian kinerja aparatur penegak hukum pemberantasan korupsi di wilayah hukum kota Medan, dilakukan penelitian atas penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Instansi yang diberikan tugas dan kewenangan yang sama dalam Pemberantasan atau Penanganan tindak pidana korupsi yakni Kejari Medan. Polresta Medan dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan merupakan Institusi penegak hukum yang sama-sama diberikan tugas dan kewenangan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi di kota Medan dan sekitarnya.

41

Permintaan data Urmin Sat Reskrim Polresta Medan 28 Maret 2013 pukul 16.00 Wib di ruang Urmin Sat Reskrim Polresta Medan


(48)

Tabel 2

Data Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Negeri Medan tahun 2010 s/d 2012

NO. TAHUN JML

KASUS

KONDISI

Ket Lid Dik SP3 Tut

1. 2010 9 - - - 9

2. 2011 5 - - 3 2

3. 2012 7 - - 4 3

Jumlah 21 - - 7 14 Sumber Data : Kejari Medan tahun 2013.

Penanganan kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kejari Medan, ditemukan kasus yang tidak selesaikan hingga dapat disidangkan di Pengadilan Negeri Medan karena di hentikan atau SP3. Dari data tersebut jumlah penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui proses Sidik Lidik perkara tindak pidana korupsi tahun 2010 s/d 2012 yang ditangani oleh Kejari Medan sebagaimana digambarkan pada tabel diatas dapat dirincikan Sbb :

1. Pada tahun 2010 ditemukan oleh Kejari Medan terjadi kasus Tindak Pidana Korupsi sejumlah 9 kasus, dari sekian kasus yang ditemukan tersebut penyelesaian hingga ke Penuntutan sejumlah 9 kasus atau hanya 100 % kasus yang dapat terselesaikan.

2. Pada tahun 2011 ditemukan oleh Kejari Medan terjadi kasus Tindak Pidana Korupsi sejumlah 5 kasus, dari sekian kasus yang ditemukan tersebut penyelesaian hingga ke Penuntutan sejumlah 2 kasus atau hanya 40 % kasus yang dapat terselesaikan. Sisanya sebanyak 3 kasus dihentikan karena tidak cukup bukti.


(49)

3. Pada tahun 2012 ditemukan oleh Kejari Medan terjadi kasus Tindak Pidana Korupsi sejumlah 7 kasus, dari sekian kasus yang ditemukan tersebut penyelesaian hingga ke Penuntutan sejumlah 3 kasus atau hanya 40 % kasus yang dapat terselesaikan. Sisanya sebanyak 4 kasus dihentikan karena tidak cukup bukti.42

Data penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejari Medan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yakni tahun 2010 s/d 2012 sejumlah 21 kasus dengan penyelesaian tuntas hingga ke persidangan atau penuntutan sejumlah 14 kasus atau hanya 70 % kasus yang dapat terselesaikan hingga ke persidangan atau penuntutan. Selebihnya sebanyak 7 kasus atau 30% dihentikan karena tidak cukup bukti.

E. Kualitas Kinerja Penyidik Polresta Medan dan Kejari Medan dalam Penyidikan Kasus Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan data yang diperoleh dari kedua institusi tersebut, penegakan hukum tindak pidana korupsi di kota Medan masih kurang memuaskan. Manakala dilakukan analisa lebih mendalam hasil kinerja aparatur pemerintah penegak hukum tersebut ditemukan perbedaan yang sangat mencolok menyangkut kinerja dan keberhasilan di satuan intitusi yang berbeda. perbedaan itu seperti :

42

Permintaan data Staf TU Seksi Pidsus Kejari Medan 28 Maret 2013, pukul 15.00 Wib di ruang TU Seksi Pidsus Kejari Medan


(50)

Tabel 3

Data Jumlah Penyidik Korupsi Polresta Medan tahun 2010 s/d 2012 NO. TAHUN JUMLAH

PERSONIL

PENDIDIKAN Ket SMA S1 S2

1. 2010 10 6 4 -

2. 2011 12 8 4 -

3. 2012 11 4 7 -

Jumlah

Sumber Data : Lapsat Sat Reskrim Polresta Medan tahun 2013.

Tabel 4

Data Jumlah Penyidik

Kejari Medan tahun 2010 s/d 2012 NO. TAHUN JUMLAH

PERSONIL

PENDIDIKAN Ket SMA S1 S2

1. 2010 9 - 7 2

2. 2011 9 - 7 2

3. 2012 7 - 5 2

Jumlah

Sumber Data : Kejari Medan tahun 2013.

a. Tahun 2010 Satuan Intitusi Polresta Medan hanya menangani 2 kasus dugaan korupsi yang kemudian dilakukan penyelidikan, Hingga saat ini kasus tersebut belum berhasil dituntaskan hingga ke penuntutan atau Pengadilan. Sedangkan Satuan Intitusi Kejari Medan pada tahun yang sama berhasil menangani 9 kasus dan berhasil menuntaskannya hingga ke Pengadilan secara tuntas keseluruhan. Artinya disini secara kuantitas Kejari Medan ditahun 2010 lebih produktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebanyak 9 kasus.


(51)

b. Tahun 2011 Satuan Intitusi Polresta Medan tidak ada menerima laporan dan menangani kasus tindak pidana korupsi. Sedangkan satuan intitusi Kejari Medan pada tahun yang sama berhasil menangani 5 kasus dan berhasil menuntaskannya hingga ke Pengadilan 2 kasus. Artinya disini secara kuantitas Kejari Medan ditahun 2011 lebih produktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebanyak 2 kasus.

c. Tahun 2012 Satuan Intitusi Polresta Medan hanya menangani 1 kasus dugaan korupsi yang kemudian dilakukan penyelidikan, Hingga saat ini kasus tersebut belum berhasil dituntaskan hingga ke penuntutan atau Pengadilan. Sedangkan Satuan Intitusi Kejari Medan pada tahun yang sama berhasil menangani 7 kasus dan berhasil menuntaskannya hingga ke Pengadilan 3 kasus.43

Keberhasilan dan produktifitas Polresta Medan yang rendah dalam penanganan atau pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi ini juga tidak sebanding dengan jumlah kuantitas penyidik yang berada di satuan institusi masing-masing. Pada tahun 2010 tingkat keberhasilan Kejari Medan dalam menangani 9 kasus dan berhasil menuntaskannya semua kasus tersebut hingga ke penuntutan atau hingga ke Pengadilan. Sedangkan pihak Polresta Medan menangani 2 kasus korupsi namun hingga saat ini kasus tersebut belum

Artinya disini secara kuantitas Kejari Medan ditahun 2012 lebih produktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebanyak 3 kasus.

43


(52)

berhasil dituntaskan hingga ke penuntutan atau Pengadilan. Kejari Medan hanya memiliki personil penyidik sejumlah 9 personil yang manakala dibandingkan Polresta Medan dengan minimnya keberhasilan memiliki personil penyidik sebanyak 10 personil atau surplus 1 personil dibandingkan Kejari Medan.

Tahun 2011 tingkat keberhasilan Kejari Medan dalam menangani 5 kasus dan berhasil menuntaskannya 2 kasus tersebut hingga ke penuntutan atau hingga ke Pengadilan. Sedangkan Polresta Medan tidak ada menerima laporan dan menangani kasus korupsi. Kejari Medan hanya memiliki personil penyidik sejumlah 9 personil yang manakala dibandingkan Polresta Medan dengan minimnya keberhasilan memiliki personil penyidik sebanyak 12 personil atau surplus 3 personil dibandingkan Kejari Medan.

Tahun 2012 tingkat keberhasilan Kejari Medan dalam menangani 7 kasus dan berhasil menuntaskannya 3 kasus tersebut hingga ke penuntutan atau hingga ke Pengadilan. Polresta Medan menangani 1 kasus korupsi namun Hingga saat ini kasus tersebut belum berhasil dituntaskan hingga ke penuntutan atau Pengadilan. Kejari Medan hanya memiliki personil penyidik sejumlah 7 personil manakala dibandingkan Polresta Medan dengan minimnya keberhasilan memiliki personil penyidik sebanyak 11 personil atau surplus 3 personil dibandingkan Kejari Medan.


(53)

F. Kewenangan Polresta Medan Dan Kejari Medan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Indonesia

1. Kewenangan Polresta Medan

Di Indonesia, istilah korupsi mulai dipergunakan dalam produk hukum Indonesia pada tahun 1958 yaitu dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prp/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kata Korupsi dan Pemberantasan ialah peraturan penguasa perang pusat saat itu. Pengaturan penguasa perang pusat memakai istilah “pemberantasan korupsi” selain mengenai perumusan delik korupsi juga memuat ketentuan Badan Penilik Harta Benda yang bertugas meneliti dan mendaftar harta benda dari para pejabat44.

Sejalan dengan bergulirnya waktu dan perubahan-perubahan dalam peraturan perundang-undangan, istilah korupsi ini tetap dipakai dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-udang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengertian Korupsi, dari kaidah hukum yang bersifat normatif berdasarkan Undang-undang tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 yang dapat disederhanakan adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”.45

44

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 12

45

Budiharjo Hardjowiyono, Toolkit Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Lima Belas Langkah Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Indonesia Procurement Watch, (Jakarta: KPK, 2006) hal 1


(54)

Dalam hal mengenai pengertian yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka secara impilicit maupun eskplisit terkandung pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik “pemerintah” atau “swasta”, maupun masyarakat, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebagai unsur pokok yang tidak dapat terpisahkan dari pengertian “negara” atau “state” yang berkaitan dengan pengertian “abuse of power atau penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.46 Pengertian tindak pidana korupsi tidak bisa cukup

diambil hanya berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam rumusan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi.47

Kejahatan diperkirakan oleh beberapa ahli akan dapat dilenyapkan atau berkurang dengan sendirinya dengan telah dicapainya berbagai kemajuan dibidang ekonomi. Pendapat beberapa ahli tersebut dalam kenyataannya tidak demikian, Justru kemajuan-kemajuan itu sendiri dapat dikatakan sebagai biang dari perkembangan kejahatan

48

46

Ibid

47

Ibid

48

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat ; Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana, ( Bandung; Sinar Baru, 1983) hal 32.

. Dengan dasar Teori –teori tersebut negara selalu berupaya menciptakan hukum dan menegakan hukum untuk melindungi warga negaranya dari ancaman kejahatan . Posisi Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dimaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Berdasarkan ketentuan konstitusi ini, telah menjadi dasar rambu-rambu


(55)

dalam penyusunan kelembagaan Negara, baik yang menyangkut tugas, fungsi, dan wewenang kelembagaan atau lembaga-lembaga negara berdasarkan suatu ketentuan undang-undang yang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.

Salah satu lembaga negara yang disusun dan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan sentral khususnya dalam penegakan hukum dan keamanan dalam negeri adalah Kepolisian. Hal ini dimaklumi karena tugas Kepolisian diseluruh jagad raya ini identik dengan penegakan hukum dan menjaga ketertiban atau keamanan masyarakat. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan.49

49

Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang : Suryandaru Utama, 2005), hal 83

Penegakan hukum merupakan proses kegiatan atau aktivitas yang salah satunya dijalankan oleh penegak hukum ( Penyidik Kepolisian, Penyidik PPNS, Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan). Proses penegakan hukum oleh penegakan hukum merupakan bagian dari pendelegasian kekuasaan pemerintah. Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menurut UUD 1945 telah diatur kekuasaan pemerintah, yakni Kekuasaan Pemerintahan Negara. Kekuasaan Pemerintah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat ( 2 ) yang intinya ialah :

(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar.


(56)

(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian, yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Polisi berasal dari bahasa Yunani Policia yang arti aparatur pemerintahan kota. Secara harfiah pembentukan atau kehadiran Polisi secara konsideran nya adalah suatu badan yang dibentuk untuk menjaga peraturan atau ketentuan yang dibentuk Pemerintahan Kota atau Negara, agar pemerintahan dan warganya dalam menjalankan kehidupan sahari-hari dapat berjalan aman dan tertib. Proses menjaga peraturan dan ketentuan yang dibuat oleh pemerintah tidak terlepas dengan pola kerja Penegakan Hukum itu. Proses penegakan hukum itu sendiri harus berdasarkan Asas Legalitas. Dengan azas legalitas yang berdasarkan the rule of law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan :

1. Bertindak diluar ketentuan hukum, atau under to law maupun under process;

2. Bertindak sewenang-wenang, atau abuse of power. 50

50

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal.36.


(57)

Hukum harus ditegakan, namun dalam menegakan hukum atau dalam rangka menempatkan Hukum sebagai Panglima atau Supremasi Hukum. Selama hukum belum diposisikan sebagai “panglima”, maka selama itu pula supremasi hukum hanyalah angan-angan dan mimpi indah dari sebuah bangsa yang menyebutkan negaranya sebagai negara hukum.51

Kejaksaan dan Kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan.

Peran-peran penegak hukum sangat penting dalam mewujudkan hukum in concreto. Untuk mewujudkan hal tersebut semata-mata bukan hanya fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk didalam pengertian itu adalah pejabat admintrasi pemberian pelayanan hukum, dan penegak hukum.

52

Sistem Peradilan Pidana ( SPP) pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan Salah satu cara penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum dimaksud ialah dimulai dengan proses Penyelidikan dan Penyidikan, penuntutan di muka sidang pengadilan dan seterusnya. Kegiatan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tersebut pada umumnya dilakukan oleh aparatur pejabat negara yang dikenal bernama Polisi.

51

Elwi Danil, Opcit Hal 264

52

Bagir Manan, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum se Indonesia, ( Bandung : FH Unpad, 6 April 1999 ), hal 17


(58)

sistem kekuasaan / kewenangan menegakan hukum.53

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan Negara di bidang penegakan hukum, dimana Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai penyelidik dan penyidik terhadap semua jenis tindak pidana.

Tugas dan wewenang kepolisian sebagai penegak hukum diatur dalam pasal 13, 14 dan pasal 16 dari UU Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang proses penegakan hukum pidana berwenang sebagai penyidik umum terhadap semua jenis tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa:

2) Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden R.I.

Kajian UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat disimpulkan yaitu :

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam perspektif kebijaksanaan kriminal dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

2) Hakikat sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan bagian integral dari kebijaksanaan kriminal, yang pada dasarnya merupakan sistem penegakan hukum pidana yang bertujuan untuk penangggulangan kejahatan.

Status dan peran Polri dalam perspektif sistem peradilan pidana, sudah jelas, yakni sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana. Secara internasional hal inipun terlihat dalam laporan Kongres PBB ke-5 / 1975

53

Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya dengan


(59)

mengenai “ the prevention of crime and the trearment of offenders, “ khususnya dalam membicarakan masalah law enforcement agencies,” yang menegaskan bahwa : “ it was recognized that the police were a component of the larger system of criminal justice which operated against criminality.”54

Kedudukan Polri dalam penanganan perkara-perkara pidana diatur pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dan Pasal 6, Pasal 7 ayat ( 2 ), Pasal 107 dan Pasal 109 ayat (3) KUHAP. Rumusan yang terdapat dalam pasal itu diatur sangat Jelas Penyidik-penyidik dalam hukum acara pidana yakni berbunyi Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam pelaksanaan Penyidikan di bawah Koordinasi Penyidik Polri dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan Penyidikan. Kedudukan Polri menurut rumusan pasal tersebut

Pembahasan mengenai status Polri sebagai komponen / subsistem dari Sistem Peradilan Pidana, sudah jelas terlihat dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Undang-undang tersebut secara eksplisit dijelaskan tentang kedudukan Polri sebagai Penyelidik dan Penyidik, aparat negara penegak hukum dan merupakan bagian atau komponen dari sistem peradilan pidana.

54

Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 sebagaimana dikutip Komisi Kepolisian Nasional, Uji Materi Wewenang Jaksa Sebagai Penyidik, Rubrik Hukum, Rabu, 13 Februari 2008.


(60)

ditafsirkan oleh beberapa ahli pidana menunjukan posisi Polri dalam proses penyidikan tindak pidana sebagai Penyidik Utama.

Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi harus dilaksanakan melalui Undang-undang Tindak Pidana khusus yaitu Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara jelas ditemukan

bahwa dalam rumusan Pasal 26 menegaskan bahwa: Penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang ini.55

55

Elwi Danil, Op.cit, Hal 95

(sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi).

Penafsiran rumusan pasal diatas dengan jelas tersirat bahwa teknis proses penyidikan, penuntutan, dan pemutusan perkara korupsi oleh pengadilan dilakukan harus berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Atas penafsiran yang tersirat dalam undang-undang itu adalah Polri berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia. Polresta Medan sebagai salah satu satuan kewilayahan Polri maka secara otomatis kesatuan kewilayahan ini juga berhak melakukan penyidikan perkara-perkara tindak pidana korupsi di wilayah kerjanya.


(1)

Harahap Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2009

Harun M. Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, tanpa tahun, tanpa penerbit.

Henry Campbell Black, Black,s Law Dictionary With Pronouncations, St.Paul, Minn: West Publishing Co, 1983

Irjen Pol. Purn. Momo Kelana, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, , M.si, Jakarta : 2002

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2002

Jur Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai negara, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2005

_______________, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004

Kaligis OC, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung ; PT Alumni, 2006

_________, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, Bandung : P.T. Alumni, 2006.

Kunarto, Tribrata Catur Prasetya Sejarah Perspektif & Prospeknya, Jakarta : PT Cipta Manunggal. 1997.

Kunarto dan Hariadi Kuswaryono, Polisi dan Masyarakat, Jakarta; Cipta Manunggal, 1998

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami Untuk Membasmi, Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta ; 2006


(2)

Laurence M Friedmen, Legal Theory, 5 th Edition, 1967, p.4 dalam lan Mcleod, Legal Theory, London : Macmillan Press Ltd., 1998

---, American Law, New York-London: W.M Norton and Company, 1984

---, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Bandung : Nusa Media, 2009

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung : P.T. Alumni, 2007

Loqman Loebby, Beberapa Ikhwal didalam Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta; Data Com, 1991

_______________, Delik Politik di Indonesia, Jakarta; Ind-Hill-Co, 1993 Made Darma Weda, Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta :

Guna Widya, 2003

Manan Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa, Jakarta : FH UII Press Yogyakarta, 2005

Mansyur Semma, NEGARA dan KORUPSI Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, ( Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Jakarta : UI Press, 1999

---, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1990


(3)

Muljatno Sindhudarmoko, Masruchin, M.Sadeli, Suharli Marbun, Nugroho Arimuljarto, Ekonomi Korupsi, Jakarta : Penerbit Pustaka Quantum, 2001

Moeljatno, Asar-asas Hukum Pidana, Jakarta; PT Rineka Cipta, 2008 Moleong, Lexy J, Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya,

2002

R. Abdussalam, Penegakan Hukum dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai Law Enforcement Officer, Jakarta : PT Jasguna Wiratama, 1997

R Abdussalam dan Zen Zenibar, Refleksi Keterpaduan penyidikan, Penuntutan dan Peradilan dalam Penanganan Perkara, Jakarta : PT Jasguna Wiratama, 1998

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1984

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta, Yayasan Obor, 1998

_____________, Penuntutan Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Derah, diterjemahkan oleh Masri Maris, (Jakarta; Yayasan Obir dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2002

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Persfektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1996

Said Buchari, Sari Pati Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta : 1997

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, 1979 _______________, Hukum dan Masyarakat, Bandung; Angkasa, 1986 _______________, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta :

Genta Publishing, 2009

_______________, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta; 2002


(4)

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi ; Sebuah Penjelajahan dengan data Kontemporer, Jakarta : LP3ES, 1983

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Grafindo, 2006 Soerjono Soekanto dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta : Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2004

Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Pengantar

), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004

_______________, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, (Bandung; Alumni, 1983

Seodikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Yogyakarta : Liberty, 1988.

Soemitro, Ronny Hanitijio, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat ; Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung; Sinar Baru, 1983

______, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung; Alumni, 1986

Suwarni, Perilaku Polisi, Studi atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi, Bandung; Nusa Media, 2009

The United Nation, “The United Nations and Crime Prevention” New York : United Nation, 1996

Warasih Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : Suryandaru Utama, 2005


(5)

II. Artikel / Makalah / Jurnal

Bagaimana Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Badan

Reserse Kriminal Polri Direktorat III/ Pidana Korupsi & WCC,

Jakarta : Maret 2005

Berantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bareskrim Mabes Polri, Jakarta : 2008.

Manan Bagir, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum se Indonesia, Bandung : FH Unpad, 6 April 1999

Hubungan Polisi Dan Jaksa Dalam Peradilan Pidana Terpadu, Media Hukum Vol 2 No 8 November 2003

Penanganan dan Penanggulangan Korupsi Oleh KPK, Diskusi Internal Harian Umum PIKIRAN RAKYAT, Bandung, 25 Januari 2005

Korupsi Bias dan Strategi Penyidikan, Kuliah Umum Sespati Polri, Lembang : 2008.

Mencegah Korupsi dan Keterbukaan”, Majalah Forum Keadilan No.3, tanggal 9 Januari 2005

Tindak Pidana Khusus (Korupsi) dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional, Dalam PERSAHI, Nomor Perdana, September 1988.

Segitiga Latar Korupsi, Pelatihan Pemberantasan Tipkor, BRR NAD-NIAS, Banda Aceh; 2008.

Korupsi dalam Perspektif Good Governence” Jurnal Kriminilogi Indonesia, Vol.2 No.1 FISIP.UI Januari 2002


(6)

III.Peraturan Perundang-undangan

Perpu No. 24 tahun 1960, kemudian Undang-undang R.I No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Undang-undang R.I No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang R.I No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan TP. Korupsi.

undang R.I No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang R.I No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang RI No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Undang-undang R.I No. No. 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Korupsi.